Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera

Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa

Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat

berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana

seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam,

agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu.

Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu),

yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama

Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-

pedagang dari Gujarat dan Cina.

Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin

menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat

dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat

melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu

disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari

tahun 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya

berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah

Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian mengIslamkan

Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan

tindakan yang sangat kejam.

1
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak

yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di

Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada

abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan

hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai

Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga

di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke

utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri

sampai Malaya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang melatar belakangi dalam prlawanan tersebut ?

2.      Bagaimana strategi yang dilakukan di setiap daerah untuk melawan?

3.      Siapa tokoh yang paling berperan dalam perlawanan tersebut?

4.      Bagaimana proses dalam perlawanan tersebut ?

5.      Bagaimana akhir dari perlawanan tersebut ?

C. Tujuan

Supaya kita dapat mengetahui susah payahnya para pejuang yang peduli akan

keadaan Bangsa Indonesia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Perang Paderi di Tanah Batak

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli

Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang

berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di

Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite)

Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di

Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat

sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari

Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau

masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari

Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.

Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar

terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan

seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering

melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga

konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek

moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap

pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang

jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin

3
marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk

melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. 

Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam

pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan

tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka

inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja

Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan

seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan

sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di

belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian

bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru,

Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga

Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara

untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika

Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan

Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X,

keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota

Dinasti Singamangaraja.

4
B. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan

a.      Sebab umum.

 (Animisme dinamisme) atas penyebaran agama Kristen di Tapanuli.

 Adanya siasat Belanda dengan menggunakan gerakan Zending untuk

menguasai daerah Tapanuli.

 Alasan yang digunakan Belanda untuk menindas pejuang Padri dan

pemimpin-pemimpin Aceh banyak melarikan diri ke daerah Tapanuli.

b.      Sebab Khusus.


Penolakan Raja Si Singamangaraja ke-XII atas penyebaran agama Kristen di

daerah Tapanuli. Perang Tapanuli (1878-1907) terjadi karena kebijakan

Belanda di Nusantara, dan berlaku juga di Tapanuli, membuat rakyat

mengalami penderitaan yang hebat. Banyak para petani yang kehilangan

tanah dan pekerjaannya karena diberlakukannya politik liberal yang

membebaskan kepada para pengusaha Eropa untuk dapat menyewa tanah

penduduk pribumi. Dan dalam pelaksanaanya banyak penduduk pribumi yang

dipaksakan untuk menyewakan tanahnya dengan harga murah. Untuk itu

Sisingamangaraja mengadakan perlawanan terhadap Belanda.

Berikut beberapa alasan Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan

terhadap Belanda:

1.      Pengaruh Sisingamangaraja semakin kecil.

2.      Adanya Zending atau misi penyebaran agama kristen di Tapanuli dan

sekitarnya

3.      Belanda memperluas kekuasaannya dalam rangka Pax Netherlandica.

Sedangkan penyebab khusus perlawanan adalah kemarahan

sisingamangaraja atas penempatan pasukan Belanda di Tarutung.

5
C. Tokoh Pemimpin Perang

Pada tahun 1878, Belanda mulai melancarkan gerakan militernya untuk

menyerang daerah Tapanuli, sampai pada akhirnya meletuslah Perang Tapanuli.

Perang Tapanuli yang paling sengit itu diawali dengan operasi militer yang

dilakukan oleh Jenderal Van Daalen di pedalaman Aceh tahun 1903-1904,

kemudian dilanjutkan sampai daerah Tapanuli. Serdadu Belanda yang mulai

berdatangan di daerah Sumatera Utara dibendung oleh rakyat Tapanuli yang

dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII.

Pada tahun 1905, kedudukan Raja Tapanuli semakin terjepit dalam menghadapi

operasi militer Belanda yang datang dari berbagai penjuru seperti dari arah utara

(Aceh), barat (Sibolga), dan selatan (Sumatera Barat). Pada tahun 1907, dalam

suatu pertempuran yang hebat, Raja Sisingamangaraja XII gugur dan seluruh

wilayah Tapanuli dikuasai oleh Belanda.

D. Proses Perlawanan

Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali

Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di

bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani

dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja

Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau

ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti

perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan

kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja

6
XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak

hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus

menaklukkan seluruh Toba.

Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat

kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil

Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju

ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara

kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian

mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan

ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan

yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga.

Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja

diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat

ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat

menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang

tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan

tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.

Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan

perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa

kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga

dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.

Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan

pasukan Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk

7
meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo,

Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang

Keumala. Karena Belanda selalu unggul dalam persenjataan, maka taktik perang

perjuangan Batak dilakukan secara tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang

Gerilya.

Pada tahun 1888, pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua.

Mereka dibantu orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan ini

dapat dihentikan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser, namun

Belanda juga menghadapi kesulitan melawan perjuangan di Aceh. Sehingga

Belanda terpaksa mengurangi kegiatan untuk melawan Sisingamangaraja XII

karena untuk menghindari berkurangnya pasukan Belanda yang tewas dalam

peperangan.

Pada tanggal 8 Agustus 1889, pasukan Sisingamangaraja XII kembali

menyerang Belanda. Seorang prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur

dari Lobu Talu. Namun Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang,

sehingga Lobu Talu dapat direbut kembali. Pada tanggal 4 September 1889,

Huta Paong diduduki oleh Belanda. Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke

Passinguran. Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Batak sehingga ketika

tiba di Tamba, terjadi pertarungan sengit. Pasukan Belanda ditembaki oleh

pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus menerus dengan peluru dan

altileri, sehingga pasukan Batak mundur ke daerah Horion.

Sisingamangaraja XII dianggap selalu mengobarkan perlawanan di seluruh

Sumatra Utara. Kemudian untuk menanggulanginya, Belanda berjanji akan

menobatkan Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja XII

8
tegas menolak iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada

menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram, sehingga mendatangkan

regu pencari jejak dari Afrika, untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja

XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan

Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”.

Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut

Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu

Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi

Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja,

Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima

Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan

tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII,

Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1906.

Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade

Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak

bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala,

Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-

putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim.

Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap,

menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.

Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si

Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi

yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda

pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya

9
Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Pengikut-pengikutnya

berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga

Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun

ikut menjadi korban perjuangan. Gugurnya Sisingamangaraja XII merupakan

pertanda jatunya tanah Batak ke tangan Belanda. 

E. Akhir Perlawanan

Yang awalnya pasukan Si Singa Mangaraja masih melakukan perlawana namun

tahun 1900 kekuatan Si Singa Mangaraja semakin surut. Sehingga perlawanna

tidak dikerahkan untuk melakukan penyerangan sebanyak mungkin melainkan

memperthankan diri dari serangan lawan selain penduduk daerah Dairi dan Pak

– Pak Masih setia kepada mereka. Selain itu  Belanda juga melakukan gerakan

pembasmi gerakan – gerakan perlawanan  yang ada diSumatera ( Aceh dan

Batak). Operasi diketuai oleh Overste Van Daelan yang bergerak dari Aceh terus

ke Batak. Mereka mengadakan pengepungan dan mebakar kamung – kampung

yang membangkan pertempuran semakin sengit antara kedua belah pihak.

Pada saat Belanda sampai di daerah pak – Pak dan Dairi  pasukan Si Singa

Mangaraja semakin terkepung sedangkan di lain pihak hubungan mereka dengan

Aceh sudah terputus. Denga terdesaknya  pasukan Si Singa Mangaraja merka

terus berpindah – pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk

menyelamatkan diri. Tahun 1907 pengepungan yag dilakukan oleh Belanda

terhadap pasukan Si Singa Mangaraja dilakukan secara intensif  yang dipimpin

oleh Hans Christoffel.

10
Dimulai menelusuri jejak Si Singa Mangaraja oleh Belanda namun merak gagal

menangkap Si Singa Mangaraja dan anak istri Si Singa Mangaraja ditawan oleh

Belanda. Boru Situmorang ibu Si Singa Mangaraja tertangkap dan dijadikan

tawanan perang oleh Belanda sementara itu Si Singa Mangaraja belum juga

mneyerahkan diri dan belanda terus mencari  sampai tanggal 28 Mei pihak

belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Barus  maka Wenzel

menarahkan pasukan untuk menangkapnya tetapi tidak berhasil.   

4 Juni 1907 pihak Belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di

Penegen dan Bululage dan mereka melakukan pengerebekan  melalui Huta

Anggoris  yang tak jauh dari panguhon. Ternyata Si Singa Mangaraja telah

meninggalkan tepat itu sebelum mereka datang. Si Singa Mangaraja terus

menyikir ke darah Alahan  sementara itu Belanda terus mengejar melalui

kampung Batu Simbolon, Bongkaras dan Komi. Banyak penduduk sekitar

ditangkap karena dicurigai bekerjasma dengan Si Singa Mangaraja. Berbagai

usaha yang dilakukan Belanda tanggal 17 jJuni 1907 Si Singa Mangaraja

berhasil ditangkap  didekat Aik Sibulbulon ( derah Dairi ) dalam keadaan lemah

Si Singa Mangaraja dan pasukanya terus mengadakan perlawanan. Dalam

peristiwa Si Singa Mangaraja tertebak oleh Belanda sehingga pada saat itu Si

Singa Mangaraja mati terbunuh ditempat. Disaat yang bersamaan anak

perempuan dan dua putra laki – lakinya juga gugur sedankan istri, ibu  dan putra

– putra masih menjadi tawana perang oleh Belanda . dengan gugurnya Si Singa

Mangaraja maka seluruh daerah Batak menjadi milik Belanda. Sejak saat  itu

kerja rodi didaerah ini meraja lelah struktur tradisional masyarakat semaki lama

semakin runtu

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku

Imam Bonjol berhasil  ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai

akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu itu telah

dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya

benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa

pengikutnya pindah kenegeri sembilan semenanjung malaya dan akhirnya

peperangan ini dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti.

B. Saran

Semoga dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana

susahnya pejuang Indonesia zaman dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta

maupun nyawa. Janganlah melupakan jasa pahlawan yang telah gugur dalam

membela Indonesia dan semoga kita bisa mengambil nilai-nilai luhur dari

mereka.

12
DAFTAR PUSTAKA

Notosusanto, Nugroho : Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional


Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta:PT Gramedia

Hanna, Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya

http://dokuliah.blogspot.co.id/2014/08/tuanku-raopembantaian-paderi-di-tanah.html

http://www.warnetgadis.com/2015/10/makalah-perang-tapanuli.html

13

Anda mungkin juga menyukai