PENDAHULUAN
Nabi adalah seseorang yang menerima panggilan khusus dari Tuhan dan yang
bertindak sebagai perantara Tuhan dan manusia. Nabi dijumpai dalam banyak agama,
misalnya: Kristen, Islam, Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan, dan agama lainnya.
Kehadiran nabi mendapat tempat penting dalam agama sama seperti imam.
A. Latar belakang
Umat Yahudi, Kristen, dan Islam berakar pada pemberitaan para nabi yang
bangkit di Timur Tengah. Ketiga umat beragama itu bersama-sama mengaku kepada
Allah yang maha Esa, pencipta langit dan bumi serta seluruh isinya, Tuhan atas
manusia. Mereka yakin bahwa Allah berfirman melalui para nabi dan
memberitahukan baik petunjuk hidup yang tetap (Musa dengan Taurat, Yesus dengan
hukum kasih, dan Muhammad dengan syariah) serta petunjuk yang memberitahukan
kehendak Allah dalam situasi dan kondisi konkret tertentu. Secara khusus Allah
memperhatikan manusia tertindas dan miskin. Segala firman Allah harus ditafsirkan
berulang-ulang dalam situasi dan kondisi yang berubah sehingga dapat timbul
pemahaman yang berbeda-beda, yang tidak boleh dimutlakan (dan dijadikan
“ideology yang benar”), tetapi senantiasa perlu dipikirkan ulang dalam iman kepada
Tuhan.
Para nabi ditandai oleh lima tanda persamaan yang formal:
. Seorang nabi biasanya dikatakan pernah hidup sebagai manusia biasa, baik laki-laki
maupun perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, dan dikaruniakan
nubuat selama waktu tertentu, yang panjang maupun yang pendek.
. Manusia itu biasanya menerima suatu penglihatan yang disertai dengan firman ilahi
dan ia dipanggil menyampaikan wahyu itu kepada orang lain. Ia dipenuhi oleh suatu
kuasa rohani yang dasyat dan tidak terelakan. Namun, nabi sepenuhnya sadar; ia
berbeda dengan orang yang mengalami ekstase (di mana ia berdiri di luar dirinya dan
bersatu dengan kuasa ilahi).
. Pengalam tersebut mengubah manusia itu secara mutlak. Ia diperlengkapi dengan
karunia-karunia, dan bakat-bakat ajaib seperti bernubuat, melihat masa depan,
melakukan mujuzat dan tanda-tanda, dan sebagainya.
. Dengan segala kekuatan baru itu, ia digerakkan dan dikuatkan menjadi petugas yang
menyiarkan kehendak Pengutusnya betapapun hebat perlawan yang ia hadapi.
. Sering kali manusia itu mengikutsertakan orang lain sebagai murid-muridnya, buah
sulung suatu umat, atau gerakan rohani yang baru.
Di samping itu nabi yang diutus Allah, bangkit juga nabi yang tidak diutus
dan mengikuti entah bisikan hati sendiri atau mewakili suatu ajaran atau ideology
sebagai kebenaran yang harus dianut manusia untuk hidup wajar. Tidak ada tanda
lahiriah untuk membedakan mana nabi yang diutus Allah dan mana nabi yang tidak
demikian. Karena itu, hendaklah manusia waspada dan memeriksa dengan kritis
apakah berita nabi searah dan setujuan dengan berita yang disampaikan Allah.
B. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teologi Perjanjian Lama – 2.
2. Untuk mengetahui Latar belakang munculnya nabi di Israel.
3. Untuk mengetahui Ciri-ciri nabi .
4. Untuk mengetahui Gelar-gelar nabi.
5. Untuk mengetahui Isi pemberitaan dan nubuat.
6. Untuk mengetahui Penglihatan dan metode nubuat.
7. Untuk mengetahui Kitab nabi-nabi.
8. Untuk mengetahui Nabi-nabi yang benar dan yang palsu.
9. Untuk mengetahui Peranan Nabi Dalam Agama Israel.
C. Manfaat penulisan
Sebagai penambahan pengetahuan bagi mahasiswa/I agar dapat mengetahui
secara khusus tentang konsep bagaimana Allah memanggil dan mengutus nabi-nabi
dalam Perjanjian Lama serta tugas pemberitaannya untuk memberi kontribusi bagi
tranformasi masyarakat secara sosial maupun spiritual.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
KESIMPULAN
Oleh:
Godfried San Ferre
DAFTAR ISI
Halaman
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………… 19
KEPUSTAKAAN
BAB I PENDAHULUAN
Keadaan umat Israel (Yehuda) di awal pembuangan di Babel sangat menyedhkan. Ini
dikarenakan mereka sungguh terpukul dan merasa kehilangan segalanya, entah harta
benda, hak kewarganegaraan maupun iman kepada Allah. Situasi yang demikian juga
dikatakan oleh Etienne Charpienter bahwa kehancuran kota Yerusalem dan Bait
Allah, membuat umat Israel merasa kehilangan Allah, Yahweh. Mereka beranggapan
bahwa setiap bangsa dilindungi oleh ilah nasionalnya yang berkuasa dibalik angkatan
perangnya. Artinya, ada muncul anggapan umat bahwa Allah Israel telah dikalahkan
oleh dewa Babel, yaitu Marduk, karena itu, mereka pesimis untuk melayani ilah yang
kalah. Pemikiran seperti ini adalah wajar sebab bagaimanapun juga umat sedang ada
dalam situasi yang menderita dan putus asa. Namun ditengah-tengah penderitaan dan
keputusasaan, Allah mengutus para nabi untuk menyampaikan berita pelepasan dan
penghiburan bagi umat Israel di tanah perbudakan yang kedua.
Untuk itu akan dijelaskan secara singkat, peran Para Nabi di pembuangan yang
kemudian membawa pengaruh bagi munculnya aspek-aspek keagamaan seperti
Yudaisme, Synagoge dan Gerakan Zionisme
Dari Mazmur 137 dapat ditafsirkan betapa kejam dan pilunya penderitaan yang
dirasakan umat Israel. Peter A. Ackroyd menggambarkan betapa menderitanya situasi
yang dialami umat Israel melalui apa yang ditulis Yehezkiel. Bangsa ini merasa
seperti tulang kering yang dihancurkan oleh beban yang berat (Yeh. 4: 14).
Penderitaan tersebut semakin bertambah dengan ketidakadilan yang dialami (Yeh.
18). Namun demikian umat tidak berpaling dari Yahweh, malahan peristiwa
pembuangan membawa perubahan iman, karena umat yakin bahwa akan datang kuasa
dari Allah untuk memberi kelepasan . Keyakinan yang besar inilah yang membuat
mereka tidak terpengaruh oleh kepercayaan bangsa Babel yang menyembah banyak
dewa-dewi melainkan tetap teguh untuk setia dengan beriman hanya kepada Allah.
Nabi Yehezkiel dan para nabi lainnya mengajak umat Israel membaca ulang tradisi-
tradisi yang lama sehingga menemukan cara yang baru untuk menjalankan kehidupan
iman. Bait Allah dan korban adalah perkara-perkara masa lalu, tetap masih ada
kemungkinan bertemu pada hari Sabat untuk menyembah Allah dan merenungkan
firman-Nya. Walau raja tidak ada, Allah adalah satu-satunya raja Israel yang memiliki
dimensi rohani. Th. C. Vriezen menambahkan bahwa hal yang menarik bahwa Nabi
Yehezkiel dan Deutro Yesaya, begitu menyoroti periode malang tersebut dengan
firman Allah, sehingga periode itu menjadi suatu puncak dalam perkembangan rohani
Israel. Justru di tengah-tengah kehancuran politik, terjadilah suatu kelahiran kembali
Yahwehisme. Titik awal pembaharuan terletak dalam pengalaman rohani Deutro
Yesaya dan dialah yang meneruskan kepada kaum buangan.
Lembah kehancuran politik menjadi puncak rohani bagi umat Israel karena pada
periode ini, di tengah-tengah penderitaan yang dialami membuat umat Israel
merasakan betapa perlunya pertolongan Allah, dan persekutuan dengan Allah sajalah
yang dapat membawa kelepasan. Bukan diperoleh melalui kepercayaan kepada dewa-
dewa Babel. Demikian muncul kebangkitan baru di bidang keagamaan. Kritik-kritik
para nabi yang pernah disampaikan terhadap agama Yahudi sebelum zaman
pembuangan dipelajari ulang, diterima dan dimanfaatkan. Ortodoksi yang barupun
diciptakan. Keterpisahan dari kegiatan kultus di Bait Allah ditanggapi melalui dua
cara. Pertama, dikembangkan kerangka keagamaan yang idealistis untuk
pembaharuan dan pembangunan kembali kehidupan kultus. Hal ini merupakan
motivasi yang ada dibelakang kitab Yeh. 40-48. Kedua, bersamaan dengan itu, mulai
dikembangkan lembaga-lembaga serta perangkat-perangkat keagamaan yang lebih
banyak memberikan kebebasan kepada mereka dari praktek-praktek kultus
tradisional. Kedua hal ini sangat menarik, karena ternyata terulang lagi kemudian
ketika Bait Allah untuk selamanya tahun 70 M. Kehancuran Bait Allah tahun 70 M
menyebabkan para rabi Yahudi melakukan dua hal, yakni menjabarkan peraturan-
peraturan ritual Bait Allah sampai ke hal-hal terkecil dan bersamaan dengan itu pula
dikembangkan segala sarana yang memungkinkan Ke-Yahudian bisa bertahan tanpa
bait Allah. Reformasi Deutronomis yang berlangsung antara abad 8-7 sM, secara
tidak langsung telah ikut serta mempersiapkan orang-orang Yahudi untuk dapat
melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang baru. Dengan sentralisasi kultus di
Bait Allah, reformasi Deutronomis secara baik telah membiasakan orang-orang
Yahudi untuk terpisah dari pusat kultus. Mereka hanya datang ke Yerusalem sebagai
pusat kultus setahun sekali, sehingga di luar waktu itu mereka telah terbiasa untuk
mempelajari hukum agama, dan secara sungguh-sungguh memberlakukannya dalam
kehidupan keluarga jauh dari pusat kultus. Jadi kelompok Deutronomis telah berhasil
mengisi kesenjangan agama dengan mempelajari hukum-hukum agama dalam
konteks kehidupan keluarga. Perubahan iman yang terjadi di dalam pembuangan
inilah yang kemudian melahirkan aspek-aspek keagamaan seperti Yudaisme,
Synagoge dan Gerakan Zionisme.
Dari pemikiran H.L. Elisson dapat dikatakan bahwa Yudaisme muncul akibat gejolak
batin umat Israel yang merindukan kelepasan dan kebebasan agar mereka dapat
berbakti kepada Allah. Pembuangan di Babel memunculkan pengharapan semakin
kuat dan terus berkembang sampai di zaman PB. Pengharapan yang bertumpuh pada
pemikiran bahwa seluruh Israel akan mendapat bagian dalam dunia yang akan datang.
Ada 7 ciri bagi kelompok Yudaisme yang dikemukan oleh E. A Livington . Ke-7 ciri
ini masih kental sampai pada zaman PB yakni: kepatuhan kepada Hukum Taurat,
mematuhi peraturan Hari Sabat, menanti kedatangan Mesias dan ajaran
Monotheisme. Selain muncul komunitas keagamaan di Babel, hadir pula bentuk
persekutuan yang nyata, para buangan ternyata telah membangun dan
mengembangkan sistem peribadatan yang dikenal dengan nama Synagoge. Adalah
sebuah tempat perkumpulan kecil yang berfungsi sebagai tempat peribadatan. Hal ini
dilakukan mengingat bahwa bangsa Yahudi yang terbuang tidak punya tempat
beribadat, lagi pula jauh dari Yerusalem. Dengan semangat pembaharuan iman,
mereka berusaha berkumpul dan beribadat kepada Yahweh dalam synagoge (Yeh.
11:16).
1. 1. 2. Synagoge
Terkait dengan Synagoge, Peter Ackroyd mengemukakan gambaran tempat ibadat
yang bersifat temporer atau kecil. Bagi umat Israel synagoge merupakan tempat
kudus dalam ukuran mini mengganti Bait suci yang telah hilang. Di tempat ini,
Yahweh hadir dan menemui mereka lewat para nabi maupun para imam (Yeh. 20:1).
Walaupun demikian masih muncul penantian masa pemulihan Bait Allah di
Yerusalem. Suatu penantian akan pulihnya kembali Bait Allah yang kemudian
melahirkan pengharapan Ke-Yahudi-an yaitu gerakan Zionisme. Gerakan yang
menanti dan terus menerus rindu kepada Sion. Kota dimana Raja Daud yang mereka
hormati, dulu menjadi pusat kehadiran Yahweh (2 Sam. 5:6-7), yang kembali
disampaikan oleh nabi Yesaya : ”Sion akan kubebaskan dengan penghakiman yang
adil dan orang-orangnya yang bertobat akan Kubebaskan dengan tindakan yang
benar.” Yes. 1: 27. Pengharapan akan Sion sebagai pusat kehadiran Yahweh
kemudian dipertahankan sampai di zaman PB. Dalam PB, makna Sion telah bersifat
eskhatologis yang merupakan sebuah lukisan alegori dalam Ibrani 12: 22, ”Tetapi
kamu sudah datang ke bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem surgawi dan
kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah. Pengharapan umat Israel
terhadap Sion dikuatkan oleh pemberitaan nabi Deutro Yesaya yang menyinggung
akan adanya Sion baru, tempat tinggal Yahweh, sehingga dia memberitakan bahwa
kota Yerusalem dengan Baitnya pasti akan dibangun kembali.
Dengan demikian pembuangan di Babel ternyata telah menjadi ladang bagi
tertanamnya kelompok yang baru Yudaisme. Aliran yang tidak hanya berpengaruh
pada zaman Tuhan Yesus tetapi juga terus bertahan sampai dengan saat ini, walaupun
para penganutnya tidak sebanyak awalnya.
Jelas bahwa pembuangan di Babel disebabkan karena ketidaktaatan Israel sebagai
umat kepunyaan Allah namun memiliki makna positif. Maksud Tuhan dengan
pembuangan umat Israel sadar akan kesalahan. Dan melalui berita para nabi mereka
diajak dan dituntun untuk mengakui kesalahan. Timbul rasa bersalah dalam diri
sendiri berarti menjadi titik balik bagi sebuah proses perubahan iman. Perubahan
iman tidak terjadi begitu saja tetapi melalui proses. Proses diawali ketika
Nebukadnezar memberi kebebasan kepada mereka, sehingga mereka bebas
melakukan kegiatan sosial ekonomi maupun keagamaan. Keadaan ini tidak disia-
siakan. Dengan situasi dan kondisi yang baru mulai dipikirkan bagaimana mereka
dapat berhubungan dengan Allah. Kemudian lahirlah bentuk tatananan ibadat yang
lebih konkrit. Dibangun Synagoge sebagai tempat dimana mereka boleh berkumpul
dan beribadat kepada Yahweh karena di tempat itulah Allah hadir. Walaupun
demikian dalam kepercayaan ada keyakinan bahwa Allah kelak akan mendirikan
kerajaan-Nya kembali di Zion. Kota di mana Raja Daud, mendirikan Kerajaan Israel.
Bukan hanya harapan itu saja tetapi kerinduan akan pembangunan kembali Bait Allah
di Yerusalem.
Dengan demikian konteks religi dan sosial ekonomi bangsa Israel dalam pembuangan
dapat dikatakan adalah sebuah konteks yang menyedihkan, namun dibalik itu, Allah
bermaksud mengajar umat-Nya agar lebih mengenal diri-Nya. Makna penderitaan
yang dialami menjadi matang di hadapan Allah. Sehingga apa yang disebut ”sisa
Israel” yang pulang adalah gambaran mereka yang telah benar-benar menjadi orang
pilihan Allah.
1. 1. 3. Gerakan Zionisme
Pembuangan di Babel ternyata membawa perubahan besar di bidang keagamaaan, hal
ini ditandai dengan munculnya gerakan Zionisme. Gerakan ini, tidak muncul begitu
saja tetapi melalui proses yang panjang dari hasil pergumulan iman yang hancur,
akibat kota Yerusalem dan Bait Allah sebagai pusat peribadatan umat, rata dengan
tanah, dan penduduk Yudea kemudian ditawan serta diangkut ke tanah Babel.
Malapetaka ini menyebabkan perasaan Umat Israel terpukul, putus asa, bimbang dan
ragu atas kemahakuasaan Allah, Yahweh.
Di saat krisis iman yang dilanda orang-orang Israel, Allah memanggil dan mengutus
nabi Yehezkiel dan Deutro Yesaya untuk memberi kekuatan dan penghiburan bagi
orang-orang buangan agar mereka memahami dan menyadari bahwa bencana yang
dialami umat adalah rencana Allah. Rencana Allah berkaitan dengan penghukuman
karena umat telah menyembah berhala dan para pemimpin tidak berlaku adil. Oleh
sebab itu, Allah menghukum mereka lewat bangsa lain. Agar mereka dapat terlepas
dari hukuman itu nabi Yehezkiel menyeruhkan agar umat Israel berbalik kepada
Allah. Dengan berbalik, Nabi melihat bahwa Allah akan memulihkan dan
memulangkan mereka ke Yerusalem dengan membangun kembali Bait Allah di
Yerusalem (Yeh. 33: 19; 36: 24-28). Sambil menanti penggenapan akan janji Allah
maka dibangunlah Synagoge (lht. hlm. 41-42).
Di tegaskan pula oleh Nabi Deutro Yesaya bahwa bencana yang menimpa bangsa
akan diakhiri dengan datangnya sang pembebas bagi mereka. Ia sungguh yakin bahwa
Allah lebih dari sekedar Allah Yang Maha Tinggi dan Pencipta segala sesuatu (Yes.
45:18). Dialah satu-satunya Allah (Yes. 44: 6; 46:9). Dewa Marduk dan dewa-dewi
bawahannya yang disembah orang Babel sesungguhnya tak berarti sama sekali (Yes.
40: 18-20). Nabi percaya bahwa dengan datangnya sang pembebas, berarti Allah akan
membolehkan mereka membangun kembali Yerusalem sehingga seluruh bangsa akan
memperoleh keselamatan yang dari pada Allah (Yes. 45:22; 49: 6; 54:11-14). Dengan
demikian akan berlangsung keluaran yang baru, yaitu keluaran dari Babilonia ke
Yerusalem (Yes. 43: 16-21; 48: 20 dyb; 55: 11 dyb). Ucapan-ucapan kedua nabi
semakin hari semakin bertumbuh dan melahirkan gerakan Zionisme yang bertolak
dari pengharapan akan datangnya kebebasan bagi umat untuk kembali ke Yerusalem
serta mendirikan Bait Allah.
Ternyata berita yang disampaikan Nabi tergenapi dengan datangnya raja Persia,
Koresy (Cyrus). Kemenangan Koresy atas Babel tahun 538 sM dilihat dan diyakini
umat Israel sebagai penggenapan dari janji Allah. Bahkan nabi sendiri yakin bahwa
Allah tidak akan meninggalkan umatnya oleh karena itu raja Koresy dipahami
sebagai alat yang dipakai Allah untuk menyelamatkan bangsa Israel. Dialah yang
menjadi utusan Allah, raja penyelamat Umat. Dengan kemenangannya atas Babel, ia
segera mengizinkan orang-orang Yehuda untuk kembali ke Yerusalem untuk
membangun kembali Bait Allah (Ez. 1: 2-4). Maka genaplah nubuat nabi. Dengan
kesadaran dan semangat yang didorong oleh gerakan Zionisme bangsa Israel kembali
ke Yerusalem dengan maksud membangun kembali Bait Allah. Mereka yang pulang
tidak seluruhnya tetapi sebagian saja. Hal ini dikarenakan yang lain telah merasa
hidup mewah dan kecukupan di Babel. Sisa Israel yang kembali ke Yerusalem di
pimpin oleh Zerubabel dan Yosua.
BAB III
REFLEKSI TEOLOGI
Judul dari tulisan ini, adalah Peran para nabi di pembuangan Babel
Setelah umat Israel mendiami tanah Kanaan dan dan hidup bersama diantara bangsa
Kanaan, mereka tidak lagi percaya pada Allah, Yahweh sebagaimana yang telah
mereka ikrarkan di Sinai tetapi sebaliknya mereka mau kompromi dengan dewa-dewa
milik orang Kanaan, akibatnya mereka ikut dalam ritus-stus pemujaan para Baal yang
bersifat amoral yakni seperti bersetubuh dan pembunuhan. Praktek ritus-ritus ini
berpengaruh di dalam kehidupan social dan keagamaaan umat. Mareka tidak lagi
memandang perzinahan dan pembunuhan adalah perbuatan yang bertentangan dengan
ikatan perjanjian melainkan praktek seperti itu malahan mendatangkan kebaikan.
Selain itu kemakmuran hidup tidak saja dipercaya sebagai pemberian Allah, tetapi
ada juga kuasa lain yang dapat memberi kemakmuran bagi mereka. Bagi mereka
dengan jimat, menyembah patung, atau tempat-tempat keramat dapat pula
mendatangkan apa yang mereka harapkan.
Karena kondisi kehidupan umat Israel yang bobrok dan percaya takhyul-takhyul
makanya tua-tua Israel bersepakat untuk mengangkat seorang raja atas mereka
dengan maksud bahwa seorang raja dapat membawa dan menuntun umat ke arah
yang lebih baik.
Sejak umat, dipimpin raja, Daud-lah raja yang dipandang umat sebagai raja ideal
umat Israel. Hal ini terungkap dalam berbagai teks di PL dan PB yang menunjukkan
bahwa dari keturunannya akan lahir seorang raja dan ia akan memerintah umat-Nya
dengan penuh keadilan.
Namun setelah Daud diganti oleh Salomo, anaknya, Salomo tidak lagi berperan
sebagai raja umat Allah, seperti Daud, ayahnya. Salomo lebih mementingkan politik
daripada keagamaan. Atau dapat dikatakan bahwa Salomo lebih mementingkan
kekuasaan dari pada Allah. Bagi Salomo kekuasaan akan diperoleh lewat hubungan
baik dengan bangsa-bangsa asing. Itu berarti Salomo tidak lagi mengandalkan Allah
sebagai Allah yang berkuasa atas hidup manusia. Karena itu, tanpa peduli dengan
Tuhan ia memperisteri putreri-puteri bangsa-bangsa asing. Maksudnya, agar
kedudukan dan kekuasaannya sebagai raja Israel akan aman dan abadi Dan apa yang
diharapkan Salomo ternyata tidaklah demikian melainkan politik yang sedang
dimainkannya membawa kehancuran bagi dirinya dan rakyatnya.
Salomo akhirnya mau membangun kuil-kuil berhala bagi isteri-isterinya, bahkan dia
sendiri pula memuja dewi-dewi tersebut. Dengan demikian Salamo tidak tidak lagi
berpegang teguh pada sumpah janjinya sewaktu ia ditahbiskan menjadi raja Israel.
Karena ketidaksetiaan dan ketidaktaatannya maka Salomo sedang membawa
kehancuran bagi dirinya dan rakyatnya. Dan hal itu terjadi setelah kematiannya
dimana kemudian kerajaan Israel mengalami kemunduran dan terpecah dua dan
akhirnya umat Israel dibuang ke Asyur dan Babel.
Peristiwa pembuangan inilah yang kemudian dpahami sebagai hukuman Allah karena
penyembahan Baal.
Karena itulah para nabi tampil di pembuangan untuk memberi penghiburan dan berita
pelepasan bagi umat untuk tetap percaya bahwa peristiwa yang terjadi dan dialami
adalah karena Allah. Allah-lah yang menghukum mereka karena mereka telah
menyembah berhala.
Bagi para nabi di zaman pembuangan, satu-satunya yang dapat memberi kelepasan
hanya Allah, Yahweh dan tidak ada kuasa yang lain. Karena itu umat harus sadar dan
bertobat. Dengan berbuat demikian, maka Allah akan memulangkan mereka kembali
ke Yerusalem.
Sambil menanti penggenapan dari harapan-harapan itu, umat mendirikan Synagoge.
Di tempat yang baru inilah, umat berkumpul untuk beribadah kepada Yahweh.
Dan setelah masa pembuangan, umat yang kembali ke Yerusalem membangun
kembali Bait Allah serta dibentuklah organisasi keagamaan yang baik. Semuanya ini
bertujuan untuk memulihkan hubungan kembali kepada Allah Yahweh.
Yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan kehidupan umat Kristen
sekarang ini dalam memahami Allah. Apakah mereka sungguh-sungguh percaya
bahwa Allah adalah Allah yang Mahakuasa. Jika pengenalan umat Kristen yang
dalam tentang Allah, maka hidup orang Kristen akan terus di berkati Allah di dunia
ini, tetapi sebaliknya mereka akan mendapat hukuman seperti yang dialami umat
Israel.
BAB IV
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dari tulisan ini, adalah sebagai
berikut:
Kondisi awal umat Israel di pembuangan Babel sangat menyedihkan. Hal ini
dikarenakan umat merasa kehilangan segalanya, entah itu harta benda, hak
kewarganegaraan maupun kepercayaan kepada Allah, Yahweh. Secara khusus kondisi
ini mempengaruhi cara pandang umat kepada Allah.
Bagi umat di saat itu, Allah, Yahweh telah kalah oleh Dewa Babel; Marduk sehingga
buat apalagi melayani Allah. Dan pemikiran seperti adalah wajar sebab
bagaimanapun umat sedang ada dalam penderitaan dan keputusasaan.
Ditengah-tengah keputusasaan umat, maka Allah memanggil dan mengutus para nabi
untuk memberi penghiburan dan pelepasan bagi umat . Diantara nabi-nabi yang
muncul di zaman pembuangan adalah nabi Deutro Yesaya dan Yehezkiel. Lewat
pemberitaan dan kuasa Allah, akhirnya umat kembali sadar dan bangkit kembali
untuk tetap percaya kepada Allah, Yahweh. Di masa kerja kedua nabi inilah maka
muncul konsep-konsep keagamaan seperti Yudaisme, Synagoge, dan Gerakan
Zionisme.
Selanjutnya di zaman setelah pembuangan umat melanjutkan konsep-konsep yang
telah muncul di zaman Pembuangan seperti Gerakan Zionisme yaitu gerakan untuk
kembali ke Yerusalem untuk mendirikan Bait Allah di Yerusalem. Di zaman itu,
nabi-nabi yang muncul yaitu Hagai, Zakharia, Trito Yesaya.
Mulai zaman Ezra dan selanjutnya peribadatan menjadi agama hukum. Setiap orang
diwajibkan menaati dan memenuhi hukum Taurat. Melakukan upacara dan perayaan
keagamaan, memberi persepuluhan, menaati hukum hari Sabat dan menajiskan haram
dan halal. Kultuspun dijalankan secara ketat. Kehidupan keagamaan umatpun
semakin diperketat agar umat hidup kudus dihadapan Allah. Bahkan nama Baal
sebagai nama perorangan, dilarang. Nama ilah-ilah lain tidak boleh masuk ke dalam
mulut orang Israel. Dari situlah kemudian timbul kebiasaan kata Baal sebagai unsur
nama perorangan diganti dengan kata Bosyeth yang berarti main.
Selain itu ditata organisasi dan kepemimpinan di Bait Allah meliputi: Imam Besar.
Imam Besar adalah seorang Imam kepala yang diangkat baik oleh pemerintah ataupun
seluruh umat sebagai pemimpin agama.
KEPUSTAKAAN
Bright John,
A History of Israel, Philadephia: Westminster Press, 1981.
Charpenter Etienne,
Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, Jakarta: B. P. K., Gunung Mulia, 1991.
Groenen C,
Pengantar ke dalam Perjanjian Lama,Yogjakarta: Kanisius, 1992.
Wahono S. Wismoady,
Di Sini Kutemukan, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1994.
A. Kamus
B. Ensiklopedia