Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Nabi adalah seseorang yang menerima panggilan khusus dari Tuhan dan yang
bertindak sebagai perantara Tuhan dan manusia. Nabi dijumpai dalam banyak agama,
misalnya: Kristen, Islam, Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan, dan agama lainnya.
Kehadiran nabi mendapat tempat penting dalam agama sama seperti imam.
A.                Latar belakang
Umat Yahudi, Kristen, dan Islam berakar pada pemberitaan para nabi yang
bangkit di Timur Tengah. Ketiga umat beragama itu bersama-sama mengaku kepada
Allah yang maha Esa, pencipta langit dan bumi serta seluruh isinya, Tuhan atas
manusia. Mereka yakin bahwa Allah berfirman melalui para nabi dan
memberitahukan baik petunjuk hidup yang tetap (Musa dengan Taurat, Yesus dengan
hukum kasih, dan Muhammad dengan syariah) serta petunjuk yang memberitahukan
kehendak Allah dalam situasi dan kondisi konkret tertentu. Secara khusus Allah
memperhatikan manusia tertindas dan miskin. Segala firman Allah harus ditafsirkan
berulang-ulang dalam situasi dan kondisi yang berubah sehingga dapat timbul
pemahaman yang berbeda-beda, yang tidak boleh dimutlakan (dan dijadikan
“ideology yang benar”), tetapi senantiasa perlu dipikirkan ulang dalam iman kepada
Tuhan.
Para nabi ditandai oleh lima tanda persamaan yang formal:
.                  Seorang nabi biasanya dikatakan pernah hidup sebagai manusia biasa, baik laki-laki
maupun perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, dan dikaruniakan
nubuat selama waktu tertentu, yang panjang maupun yang pendek.
.                  Manusia itu biasanya menerima suatu penglihatan yang disertai dengan firman ilahi
dan ia dipanggil menyampaikan wahyu itu kepada orang lain. Ia dipenuhi oleh suatu
kuasa rohani yang dasyat dan tidak terelakan. Namun, nabi sepenuhnya sadar; ia
berbeda dengan orang yang mengalami ekstase (di mana ia berdiri di luar dirinya dan
bersatu dengan kuasa ilahi).
.                  Pengalam tersebut mengubah manusia itu secara mutlak. Ia diperlengkapi dengan
karunia-karunia, dan bakat-bakat ajaib seperti bernubuat, melihat masa depan,
melakukan mujuzat dan tanda-tanda, dan sebagainya.
.                  Dengan segala kekuatan baru itu, ia digerakkan dan dikuatkan menjadi petugas yang
menyiarkan kehendak Pengutusnya betapapun hebat perlawan yang ia hadapi.
.                  Sering kali manusia itu mengikutsertakan orang lain sebagai murid-muridnya, buah
sulung suatu umat, atau gerakan rohani yang baru.
Di samping itu nabi yang diutus Allah, bangkit juga nabi yang tidak diutus
dan mengikuti entah bisikan hati sendiri atau mewakili suatu ajaran atau ideology
sebagai kebenaran yang harus dianut manusia untuk hidup wajar. Tidak ada tanda
lahiriah untuk membedakan mana nabi yang diutus Allah dan mana nabi yang tidak
demikian. Karena itu, hendaklah manusia waspada dan memeriksa dengan kritis
apakah berita nabi searah dan setujuan dengan berita yang disampaikan Allah.
B.                 Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teologi Perjanjian Lama – 2.
2.      Untuk mengetahui Latar belakang munculnya nabi di Israel.
3.      Untuk mengetahui Ciri-ciri nabi .
4.      Untuk mengetahui Gelar-gelar nabi.
5.      Untuk mengetahui Isi pemberitaan dan nubuat.
6.      Untuk mengetahui Penglihatan dan metode nubuat.
7.      Untuk mengetahui Kitab nabi-nabi.
8.      Untuk mengetahui Nabi-nabi yang benar dan yang palsu.
9.      Untuk mengetahui Peranan Nabi Dalam Agama Israel.
C.                Manfaat penulisan
Sebagai penambahan pengetahuan bagi mahasiswa/I agar dapat mengetahui
secara khusus tentang konsep bagaimana Allah memanggil dan mengutus nabi-nabi
dalam Perjanjian Lama serta tugas pemberitaannya untuk memberi kontribusi bagi
tranformasi masyarakat secara sosial maupun spiritual.

BAB II
PEMBAHASAN

A.             Latar belakang munculnya nabi di israel


Israel sebagai umat yang percaya kepada Tuhan Allah menyaksikan
bangkitnya nabi-nabi. Dalam Perjanjian Lama diungkapkan bahwa nabi dipilih
menjadi perantara Allah dengan umat Israel. Nabi dan kenabian di Israel tampak jelas
dalam Kitab Taurat, Kitab Sejarah dan Kitab Nabi-nabi (Blenkinsopp, 1996:10).
Cerita tentang nabi dimulai dengan Abraham, sebab Abraham disebut sebagai nabi
(Kej 20:7; bnd Mzm 105:15). Musa dipanggil dan diutus sebagai seorang nabi (Kel
3:1; 4:17), meskipun istilah nabi dikenakan kepadanya kemudian (Ul 18:15,18;
34:10-12). Harun bertugas seperti seorang nabi (Kel 7:1), demikian juga Miryam
sebagai nabiah (Kel 15:20). Dalam Kitab Hakim-hakim, Debora bertindak sebagai
pemimpin suku-suku Israel melawan tentara Kanaan di bawah pimpinan Sisera, selain
itu dia juga bertindak sebagai hakim dan nabiah (Hak 4:4-25); Gideon dipanggil dan
diutus hampir sama dengan nabi (Hak 6:11-24); dalam cerita Gideon juga disisipkan
cerita tentang nabi tanpa nama (Hak 6:7-10).
Kitab Samuel memberi informasi tentang nabi-nabi yang tampak dalam cerita:
Eli dan keturunannya ditegur seorang abdi Allah (1 Samuel 1:27-28); Samuel
dipanggil menjadi nabi (1 Sam 3:1; 4:1a) dengan tugas: mengurapi Saul (1 Sam 9:1-
10, 16); mengurapi Daud (1 Sam 16:1-13); selanjutnya tugas kenabian Samuel yang
lain tampak juga dalam tema-tema cerita (1 Sam 11:14-15; 12:1-25; 13:7-15; 15:1-35;
19:18-24; 25:1; 28:1-25). Nabi lainnya dalam Kitab Samuel adalah Natan (2 Sam 7:1-
17; 12:11-15); Gad bertugas sebagai nabi di bawah pemerintahan Daud (2 Sam 24:10-
14, 18-25).
Kitab Raja-raja mengungkapkan nabi-nabi misalnya: Ahia seorang Silo pernah
menunjuk Yerobeam sebagai raja Israel utara (1 Raj 11:29-39); Semaya, seorang abdi
Allah melarang Rehabeam untuk keluar berperang melawan Israel utara (1 Raj 12:21-
24); seorang abdi Allah tanpa nama dari Yehuda pada zaman itu juga di utus ke Betel
(1 Raj 13:1-32; 2 Raj 23:16-18); Ahia menegur Yerobeam (1 Raj 14:1-18); Yehu bin
Hanani, seorang nabi yang berulangkali bernubuat melawan Baesa dan Ela, raja Israel
utara (1 Raj 16:1-4; 7:12-13). Nabi Elia seorang Tisbe melakukan tugas kenabiannya
yang dikemukakan berbagai cerita (1 Raj 17:19-21; 2 Raj 1-2) seperti: Elia menegur
Ahab, lalu menyingkir ke Sungai Kerit (1 Raj 17:1-5); menolong janda Sarfat dan
anaknya (1 Raj 17:7-24); bertemu Obaja, pegawai Ahab (1 Raj 18:1-16); bertemu
dengan Ahab (1 Raj 18:17-20); menentang dan mengalahkan nabi-nabi Baal di atas
gunung Karmel (1 Raj 18:17-20); berziarah ke Gunung Horeb (1 Raj 19:1-18);
memanggil Elisa (1 Raj 19:19-21); mengecam Ahab karena perbuatannya terhadap
Nabot ( 1 Raj 21:1-29); mengecam Ahazia (2 Raj 1:1-17: 9-16); Elia terangkat ke
sorga, lalu Elisa diserahi roh Elia (1 Raj 2:1-18). Seperti Nabi Elia, Elisa
melaksanakan tugas kenabiannya seperti yang diungkapkan dalam berbagai cerita
tentang abdi Allah itu (2 Raj 2-9:13); menyehatkan air di Yeriko (1 Raj 2:1-18);
mengutuk anak-anak yang mencemoohnya (1 Raj 2:23-25); memberitakan kabar
selamat kepada Yoram dan Yosafat (1 Raj 3:4-27); menolong memberi makan seratus
orang (2 Raj 4:42-44); menyembuhkan Naaman (2 Raj 5:1-27); menimbulkan mata
kapak yang mengapung (2 Raj 6:1-7); menyelamatkan Israel dari ancaman Aram (2
Raj 6:8-23); menyelamatkan Samaria dari pengepungan (2 Raj 6:24-7:20); menolong
perempuan Sunem (2 Raj 4:8-37); bernubuat di Damsyik (2 Raj 8:7-25); menyuruh
Yehu diurapi menjadi raja Israel (2 Raj 9:1-13), memberitakan kemenangan kepada
raja Yoas (2 Raj 13:14-19); dan terjadi keajaiban di atas kuburannya (2 Raj 13 :20-
21).
Kitab Raja-raja memuat beberapa cerita nabi-nabi lain. Mikha bin Yimla
memberitakan kekalahan kepada Raja Ahab; menentang Zedekia dan empat ratus
nabi palsu (1 Raj 22:1-38); Yunus bin Amitai memberitakan kemenangan Israel di
bawah pimpinan Yerobeam II (2 Raj 14: 25-27); Nabi Yesaya bin Amos
menyampaikan berita kesembuhan kepada Hizkia (2 Raj 20: 1-11); namum kemudian
menegur Hizkia karena kesombongannya (2 Raj 20:12-19); Raja Manasye ditegur
nabi yang tidak bernama (2 Raj 21:10-15); Hulda seorang nabiah di bawah
pemerintahan Yosia membawa berita hukuman (2 Raj 22:14-20).
Kitab Tawarikh menyebut nabi-nabi, antara lain: Heman seorang penilik raja (1
Taw 25:5); Azarya bin Oded pada zaman Raja Asa (2 Taw 15:1-17); Zakharia yang
mati syahid di bawah pemerintahan raja Yoas (2 Taw 24:19-22); seorang nabi tanpa
nama (2 Taw 25:14-26); dan nabi Odeb di Samaria (2 Taw 28:9-15). Kitab Yeremia
menyebut sekali tentang Nabi Uria bin Semaya, seorang nabi yang mati syahid di
bawah pemerintahan Yoyakin (Yer 26:20-24).
Dari uraian di atas tampak bahwa nabi sudah bangkit di Israel jauh sebelum
masa berdirinya kerajaan Israel. Tampak pula bahwa nabi dipanggil dari berbagai
latar belakang yang berbeda namun mereka adalah duta yang ditugaskan Allah untuk
menyampaikan pesan kepada umat-Nya.

B.  Ciri-ciri Nabi


Dalam pembahasan mengenai ciri nabi-nabi, umumnya para ahli
mengungkapkan ciri-ciri nabi sebagai berikut:
         Nabi menerima panggilan khusus dan bersifat pribadi dari Allah. Ini berarti bahwa
Allah adalah inisiator pemanggilan nabi. Pemanggilan nabi bertujuan untuk
menghadirkan orang itu sebagai wakil Allah dan menyampaikan maksud Allah bagi
umat-Nya (Kel 3:1-4: 17; Yes 1:4-16; Yeh 1:3; Hos 1:2, Am 7:14-15; Yun 1:1).
         Nabi memiliki kesadaran sejarah. Sejarah membuktikan bahwa nabi adalah
seseorang yang menyampaikan suatu berita meskipun ucapannya terbukti jauh setelah
berita itu diucapkan. Kesadaran nabi terhadap sejarah tampak dalam pengungkapan
ibadah hari raya besar di Israel, yang pada mulanya adalah perayaan-perayaan di
Palestina. Perayaan tahun baru yang bersumber di Kanaan adalah perluasan dari
agama-agama petani atau gembala yang melihat proses berlangsungnya penanaman
dan penuaian sebagai kejadian sakral. Ini dilihat oleh Israel sebagai analogi keluar
dari Mesir (Kel 23:15) atau pesta panen (Im 23:42). Pengambilalihan perayaan agama
kafir itu lalu diberi muatan Yahwisme oleh nabi-nabi sesuai dengan keyakinan Israel.
Keluar dari Mesir dan masuk tanah Kanaan dilihat sebagai suatu waktu yang sangat
berarti dalam sejarah Israel. Sejarah Israel telah menunjukkan perkembangan
pemahaman teologis tersendiri dalam periode-periode yang dilalui Israel. Hal itu
tampak dalam banyaknya upacara perayaan ibadat yang dirayakan oleh bangsa-
bangsa Mesopotamia, Kanaan, Palestina dan bangsa lainnya yang diambil alih Israel
dengan pengertian baru secara turun temurun. Di antara bangsa-bangsa kuno Israellah
yang mempunyai kesadaran yang benar perihal sejarahnya. Kesadaran itu mereka
peroleh dari nabi-nabi dan di bawah pimpinan Tuhan yang adalah Tuhan sejarah
(Wilson, 1980:261-262; von Rad, 1965: 80-83).
         Nabi memberikan perhatian yang serius terhadap masalah etika dan sosial.
Pemberitahuan nabi harus sepadan dengan hukum dan undang-undang, khususnya
memberi perhatian terhadap kaum lemah (Ul 24:19-22) dan membasmi penindasan
(Im 19:9). Musa, misalnya memperhatikan umat Israel bahkan memberikan hukum
yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan pada zaman itu (Kel 2:11; 20:1-17; Ul 5:6-
20).
         Nabi aktif menggumuli masalah negara. Nabi adalah warga negara sekaligus pula
sebagai utusan Allah untuk menyampaikan kehendak-Nya. Dalam menjalankan
tugasnya, dia bersikap kritis terhadap pemerintah dan masyarakat, bahkan dia bisa
saja berseberangan pandangan. Manakala kehendak Tuhan bertentangan dengan
pemerintah dan masyarakat maka nabi harus berani menegurnya, sekalipun kondisi
seperti itu membawa risiko yang tinggi bagi dirinya.
         Nabi membicarakan masalah-masalah pelik di zamannya dan membicarakan masa
yang akan datang. Dua sisi pemberitaan itu akan selalu menjadi ciri pemberitaan nabi.
Musa, misalnya, membicarakan masalah hubungan umat dengan Allah dan daya tarik
ibadah-ibadah kafir namun pada saat yang sama ia juga mengungkapkan mengenai
nabi yang akan datang (Ul 18:15).
         Nabi seringkali mengemukakan maksud pemberitaannya dengan lambang (Kel 17:9;
Bil 21:8; Yer 19:1; Yeh 4:1)
         Nabi dalam relasinya dengan Allah dan manusia adalah sebagai perantara atau
mewakili umat di hadapan Allah (Kel 18:19; Bil 27:5), dan dia harus menghadapi
berbagai tantangan (Kel 32:30; Ul 9:18; 1 Raj 13:6; 2 Raj 19:4; Yer 7:16; 11:14;
14:4).
Dengan demikian nabi memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan,
sebab dia harus berdiri sebagai perantara Allah dan manusia. Dalam menjalankan
tugasnya itu nabi bisa saja merasa tertolak dari dunia sekitarnya tapi oleh kemurahan
Allah nabi diberi kemampuan untuk menyelesaikan tugasnya.
C.    Gelar Nabi
Istilah umum yang dipakai untuk nabi di Israel adalah “abdi Allah” dan
“hamba-Nya”. Istilah “abdi Allah” menggambarkan bagaimana nabi-nabi dipandang
oleh sesamanya. Gelar “abdi Allah” ini pertama kali dipakai bagi Musa (Ul 33:1) dan
gelar ini umumnya dipakai hingga masa kerajaan (1 Sam 2:27; 9:6; 1 Raj 13:1). Gelar
“abdi Allah” itu dimaksud untuk mengungkapkan perbedaan sifat antara nabi dan
orang lain (2 Raj 4:9). Selain “abdi Allah” gelar lain untuk nabi-nabi adalah “hamba-
Nya”, “hamba-Ku”, “hamba-Mu”. Gelar “hamba Allah” dipergunakan untuk
menyapa nabi, tetapi Allah sering menyebut nabi dengan gelar “hamba-Ku” (2 Raj
7:13, 23; 21:10; 24:2; Ezr 9:11; Yer 7:25). Gelar kedua ini diungkapkan dalam
hubungan antara nabi dengan Allah (Yos 1:1-2) dan pertama kali digunakan oleh
Musa (Motyer, 1994: 163).
Sehubungan dengan gelar nabi ini, maka kata kerja Ibrani yang biasa dipakai
untuk nabi: navi, ro’e dan khaza. Secara etimologi kata navi telah lama menjadi
bahan perdebatan di antara para ahli. Kata itu biasanya dihubungkan ke suatu akar
kata Akkad, yang artinya seorang yang dipanggil, atau seorang yang memanggil. Kata
navi ini dipakai kepada Musa atas nama Allah. Kata yang sama juga dipergunakan
kepada Abraham (Kej 20:7). Penggunaan kata kerja ra'a dan khaza hampir sama
dengan kata benda turunannya, biasanya digunakan sehubungan dengan pengalaman
nabi yaitu “melihat”. Kata ra’a diambil dari bahasa sehari-hari (Kej 13:15) sedangkan
khaza tampaknya menunjuk ucapan beradab (mis. memandang) yang mungkin
diambil alih dari bahasa Aram (Barth, 1993:20-21).
Kata ra’a banyak dijumpai sehubungan dengan kesaksian nabi-nabi yang
dimulai dengan ungkapan “aku melihat …”; misalnya: Bileam (Bil 22:9); Mikha bin
Yimla (1 Raj 22:17,19), Yesaya (Yes 6:1); Amos (Am 9:1; 7:8; 8:2); Yeremia (Yer
4:23-26; 1:11-13); Yehezkiel (Yeh 1:1,4; 8:2); Zakharia (Zak 1:8; 2:1) dan Daniel
(Dan 8:2). Selain itu, ada kalanya nabi-nabi mengaku “inilah yang diperlihatkan
Tuhan kepadaku” misalnya; Elisa (2 Raj 8:10,13); Amos (Am 7:1,4,7; 8:1); Yeremia
(Yer 24:1); Zakharia (Zak 3:1); nabi-nabi juga dikatakan mendapat penglihatan (Ibr.
mara), Samuel (1 Sam 3:15) dan Yehezkiel (Yeh 1:1; 8:3). Tampak di sini bahwa
sudah sepantasnya nabi-nabi disebut sebagai pelihat (Ibr. ro’e). Sejak abad kedelapan
sebelum Masehi umumnya kata ra’a dipakai untuk sebutan nabi (1 Sam 9:9) (Barth,
1993:21).
Alkitab sering menggunakan kata khaza dan turunannya untuk nabi-nabi.
Bileam, misalnya melihat penglihatan (Bil 24:3-4:15-16); Samuel melihat
penglihatan-penglihatan (Ibr. hazon) (1 Sam 3:1); Yesaya melihat penglihatan yang
dikumpulkan dalam satu gulungan berisi nubuat-nubuat (Yes 1:1). Pada zaman
pembuangan nabi-nabi tidak menerima penglihatan dari Tuhan (Rat. 2:9), sebab para
buangan tidak percaya terhadap penglihatan yang dilihat oleh Yehezkiel (Yeh 12:27).
Di sini tampak bahwa istilah khaza atau ‘pelihat’ (2 Sam 24:11; Am 7:12; Yes 29:10;
30:10) adalah sebutan untuk seorang nabi (Barth, 1993:21
Dalam Perjanjian Lama, kedua kata ra’a dan khaza dapat disejajarkan:
keduanya dipakai untuk ramalan (Za 10:2; Yeh 21:21), yang dimiliki bersama navi
(Mi 3:11); keduanya dipakai untuk pengamatan terhadap arti kejadian-kejadian (Mzm
46:8; Yes 5:12) dan akan penafsiran watak (Mzm 11:4,7; 1 Sam 16:1); keduanya
dipakai untuk penglihatan Allah (Mzm 27:4; Yes 6:5) dan bagi keaktifan kenabian
(Yes 1:1; Yeh 13:3). Selanjutnya dalam Yesaya 29:10, navi dan khaza dipergunakan
sejajar; dalam Yesaya 30:10 ro’e dan khaza sejajar; dalam Amos 7:12, Amazia
menyapa Amos dengan khoze; sementara Yehezkiel 13:9 kata navi menjadi pelaku
kata kerja khaza (Motyer,1996:164).
Akhirnya, ketiga istilah navi, ro’e, dan khaza menunjukkan tugas nabi sebagai
perantara Tuhan dan manusia. Kata-kata itu kadang-kadang dipakai sejajar, namun
tujuannya adalah mengungkapkan bagaimana nabi meresponi tugas dan
panggilannya.
D.    Isi pemberitaan dan nubuat

Sumber informasi mengenai nabi-nabi Perjanjian Lama adalah Perjanjian Lama


itu sendiri. Alkitab memberikan informasi tentang nabi sebagai berikut:
1.      Nabi pelayan firman Allah. Hubungan para nabi dengan firman Tuhan sangat pribadi
dan langsung. Firman itu mengikat dalam bentuk yang sangat khusus dan dalam
waktu yang sangat efektif sebagaimana firman itu datang pada mereka. Firman Allah
menjumpai nabi dengan cara yang sangat pribadi. Peristiwa itu berkaitan langsung
dengan pendengar yakni kepada siapa firman itu disampaikan zaman itu (von Rad,
1965: 60-67). Firman ini memang bukan pendapat yang pasif, seolah-olah Allah
hanya mengijinkan manusia mengetahui bagaimana Allah melihat persoalannya
sebelum mereka menentukan sendiri kebijaksanaan mengatasinya. Nabi-nabi yakin
bahwa pemashyuran firman Allah dapat mengubah keadaan (Yes 28:29; 40:8; 55:11).
Dalam kaitan dengan pelayanan firman ini, para nabi berbicara pada situasi mereka
terutama beberapa peringatan dan bimbingan mengenai masa depan (von Rad, 9-10).
Umumnya nabi-nabi pada awalnya muncul sebagai “peramal” (Am 1:2). Artinya,
nabi memprediksi masa depan. Ini menempatkan nubuat Perjanjian Lama bukan
hanya pada ramalan semata-mata melainkan juga berkaitan erat dengan masa depan
(Yes 2:5; 30:6-9) (Barth, 1993:28-29)
2.      Nabi berbicara atas nama Tuhan. Panggilan nabi diawali dengan pengenalan akan
Allah, lalu Allah menyampaikan kehendak-Nya kepada nabi untuk diinformasikan
kepada umat Israel. Berita yang disampaikan nabi kepada umat haruslah atas nama
Tuhan yang mengutusnya.
3.      Nabi dipanggil untuk bernubuat (Ul 18:9). Nabi-nabi diperlengkapi dengan
kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui manusia biasa,
contoh Elisa (2 Raj 6:12); Yehezkiel terkenal dengan pengetahuan yang rinci
mengenai Yerusalem pada waktu di Babel, dll. Dengan demikian kenabian Perjanjian
Lama membuktikan ramalan yang sangat cocok dan tepat seperti yang dinyatakan
Alkitab (Motyer, 1996:164-165; Barth, 1993:33-35)

E.     Penglihatan dan metode nubuat


a.      Penglihatan
      Allah mempercayakan firman-Nya kepada nabi dengan cara mendatanginya,
memberikan penglihatan serta mempercayakan firman kepadanya. Artinya Allah
menghargai dan menghormati nabi serta menjadinya kepercayaan-Nya. Allah
mewakilkan firman-Nya kepada manusia berarti firman itu mengalami suatu
perubahan yang hebat. Firman itu berubah tempat dari dunia baka ke dunia fana.
Allah sendiri menyatakan firman-Nya di dalam bentuk perkataan yang dapat
dipahami oleh manusia. Apa yang diterima oleh nabi, apa yang diberitakannya dan
apa yang kini kita hadapi di dalam bentuk nubuat-nubuat Alkitab adalah ciptaan Allah
semata-mata, dan wahyu yang dikirimkan dalam keadaan utuh dan sempurna. Para
nabi menerima firman Allah dan menyampaikannya selengkap mungkin. Namun
kerap kali juga mengirimnya dengan perkataan-perkataan nabi sendiri (Barth,
1993:28-29).
      Allah menampakkan diri kepada seseorang untuk menyatakan atau memperlihatkan
sesuatu kepada orang itu. Ini bisa terjadi melalui mimpi dan penglihatan. Suatu
penglihatan kadang-kadang diterima pada malam hari, misalnya Ishak (Kej 26:24);
Samuel (1Sam3:3); Salomo (1Raj 3:5); Daniel (Dan 7:1); Yesaya (Yes 29:7); Ayub
(Ay 4:13); dan Yeremia (Yer 31:26). Nabi Zakharia menerima firman Allah melalui
penglihatan (Zak. 1-6)(Motyer, 1965: 165)
      Dalam pengilhaman, Roh Allah memiliki peranan yang sangat penting. Alkitab
menunjukkan bahwa pengilhaman berkaitan erat dengan aktivitas Roh: Bileam
menerima penglihatan (Bil 24:2); ekstase kenabian (Bil 11:29; 1 Sam 10:6,
10:19,20,23); nabi-nabi bernubuat (1 Raj 22:24; 1 Taw 12:18; 2 Taw 15:1; 20:14;
24:20; Neh 9:20,30; Yeh 11:5; Hos 9:7; Yl 2:28-29; Zak 7:12); dan pengilhaman (Mi
3:8).
b.      Cara-cara Berkomunikasi
         Nabi tampil sebagai orang yang hendak berbicara kepada masyarakat sesamanya.
Nabi mengungkapkan firman Allah sesuai dengan ciri pribadi dan pengalamannya
sendiri, tetapi dengan kesadaran bahwa firman itu adalah milik Allah sendiri yang
diberikan kepada nabi. Allah memakai orang itu sebagai penyambung lidah-Nya;
kata-kata yang mereka ucapkan adalah firman Allah, dan disampaikan dalam bahasa
manusia pada waktu dan keadaan tertentu.
         Para nabi mengemukakan firman yang dibawakan dalam bentuk perumpamaan dan
alegori (Yer 5:1-7; 2 Sam 12:1-7; Yeh 16, 23). Selain itu, nabi juga menggunakan
firman sebagai alat peraga (2 Raj 3:14). Kisah Elisa dan Yoas merupakan simbol
yang sangat efektif untuk menyampaikan firman Allah. Bentuk komunikasi yang lain
adalah Yesaya berjalan-jalan tanpa busana dan kasut (Yes 20); Yeremia memecah
buli-buli di tempat tembikar (Yer 19); Ahia merobek jubahnya menjadi dua belas
potong dan memberikan sepuluh potong kepada Yerobeam (1Raj 11:30); Yehezkiel
seolah-olah mengepung satu kota sebagai model (Yeh 4:1-3); menggali tembok
rumah (Yeh 12:1); tidak berkabung atas kematian istrinya (Yeh 24:12). Firman Allah
yang dipentaskan adalah gerak dari Allah tertuju kepada manusia oleh prakarsa Allah
sendiri.

F.     Kitab Nabi-nabi

Para nabi memberikan kontribusi mereka terhadap literatur Perjanjian Lama


dengan dua cara yakni: cerita atau kumpulan cerita yang menceritakan apa yang telah
mereka lakukan; dan ucapan atau kumpulan ucapan yang mereka sampaikan sendiri.
Selain itu, nabi memperhatikan apa yang terjadi pada zaman mereka dan zaman
sesudah mereka. Ini bersumber dari khotbah-khotbah yang mereka sampaikan sesuai
dengan situasi di sekitar mereka, seperti: konflik-konflik yang dihadapi, mujizat-
mujizat yang terjadi, penolakan yang dialami, serta orang-orang yang ditunjukkan
nabi-nabi.
Pemberitaan nabi dekat dengan fenomena yang dialaminya sehingga
mempengaruhi pemahamannya terhadap pandangan spiritual yang memungkinkan
pengumpulan ucapan dalam kaitannya dengan sejarah serta pemberian evaluasi yang
tersirat di dalamnya. Hal itu tampak dalam berbagai hal:
1.      Keyakinan terhadap berita nabi. Cerita tentang Elia dan Amos memberi penekanan
terhadap masa lampau. Artinya, pendengar belajar dari apa yang dikatakan nabi
bahkan mereka mencoba menuliskannnya. Ini berarti bahwa tradisi bercerita
mengalami perkembangan terhadap pengumpulan dan transmisi tentang apa yang
diucapkan nabi, lalu dikumpulkan dan sempurnakan kembali oleh redaktur.
2.      Karya akhir nabi-nabi sebagai rumusan (formula) nubuat. memberi pengertian dan
penekanan fungsinya. Dalam Perjanjian Lama tidak ada satu bentuk rumusan nubuat
(formula nubuat) sebagai pola yang dapat diterapkan secara praktis. Para nabi selalu
menempatkan dirinya sebagai utusan Tuhan, sehingga pembuatan rumusan nubuat itu
disajikan dalam berbagai bentuk yang bertujuan menyampaikan kepada si penerima
dan kepada siapa sebenarnya berita itu ditujukan. Di sini tampak bahwa rumusan
nubuat memberi penekanan terhadap pengertian dan fungsi nubuat itu sendiri. Dalam
kasus-kasus hukuman Allah misalnya, diawali dengan pidato kecaman yang
dilanjutkan dengan berita keselamatan. Rumusan nubuat mengenai hukuman akan
berbeda dengan rumusan utusan.
3.      Pengelompokan antara ucapan-ucapan (orakel) dengan nyanyian-nyanyian dalam
bentuk yang lebih kecil. Tidak dapat dipungkiri bahwa kadang-kadang dijumpai
kesulitan untuk menentukan apakah bagian-bagian tertentu dituliskan oleh nabi itu
sendiri atau murid-muridnya, namun redaktur telah menyajikan bentuk akhir rumusan
nubuat. Meskipun informasi mengenai murid-murid kemungkinannya sangat terbatas
namun pemikiran yang berkembang kemudian memastikan bahwa mereka
mengumpulkan dan mentranmisikan pengajaran nabi-nabi. Contoh, orakel-orakel
celakalah oleh Nabi Yesaya (Yes 5:8-24; bnd. Mat 23:13); Nabi Yeremia mengecam
nabi-nabi palsu (Yer; 23:9; bnd. Yer 21:11-23:8). Redaktur mengelompokkan
kronologi latar belakang Yesaya untuk memisahkannya dari panggilan nabi yang
terdiri dari pergumulan, ucapan-ucapan celaka yang dihubungkan dengan waktu
perang Syro-Efraim (Yes 6:9-9:6); dan kumpulan cerita nabi yang disertai tindakan
simbolik (Yeh 4-5) (von Rad, 1965: 16-20).
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa terbentuknya Kitab Nabi-nabi telah
melalui proses panjang. Ucapan-ucapan atau khotbah-khotbah para nabi ada yang
ditulis oleh nabi sendiri, tetapi ada juga yang ditulis oleh murid-muridnya lalu
disempurnakan oleh redaktur akhir.

G.    Nabi-nabi yang benar dan yang palsu


Nabi-nabi yang benar di Israel tidak sepi dari ancaman nabi-nabi palsu.
misalnya Mikha bin Yimla memperingatkan tentang kekalahan yang akan dihadapi
Ahab, pada saat yang sama Zedekia bin Kenanya menubuatkan kemenangan (1 Raj
22); Yeremia dan Hananya memiliki ramalan yang sangat berbeda (Yes 28); nabi tua
di Betel ‘membawa kembali’ abdi Allah dari Yehuda dengan nubuat palsu dan
menghadapkannya dengan firman Allah yang benar. Meskipun ada kesulitan untuk
membedakan nabi palsu dan nabi benar, namun ada beberapa ciri yang dapat
membedakannya, misalnya:
         Nabi palsu dapat diidentifikasi melalui ekstase (1 Sam 9:10) yang dibangkitkan
secara spontan atau dapat dibangkitkan khususnya dengan musik (1 Sam 10:5; 2 Raj
13:15) atau upacara ritual (1 Raj 18:28); sehingga dia sering lupa diri dan tidak peka
terhadap kesakitan (1 Sam 19:24; 1 Raj 18:28);
         Nabi palsu adalah mereka yang menyenangkan raja, mereka adalah pelayan-pelayan
yang dibayar oleh raja demi kepentingannya dan hanya mengucapkan kata-kata yang
disenangi oleh rakyat (Am 7:10; 1 Raj 22);
         Nubuat nabi palsu tidak digenapi (Ul 13, 18);
         nabi palsu memanggil dan membawa umat mengikuti allah lain yang tidak dikenal
(Ul 13:2);
         Amanat nabi palsu ialah amanat damai dan optimisme yang dangkal (Yeh 13:10-20)
tanpa ada isi moral, mendukakan orang benar (Yeh 13:22); tidak serius melainkan
pura-pura (Yeh 14:4,5); tidak menentang dosa (Yeh 14:7,8) (Motyer, 1993:168-169).
Dengan demikian nabi-nabi palsu tidak melahirkan kekudusan dan
kedamaian, tidak mengecam dosa, tidak dapat digenapi dan mengabaikan hukum
yang benar.

H.    Peranan nabi dalam agama israel


a.       Nabi-nabi di tempat suci
Tempat-tempat suci, selain para imam mempersembahkan korban juga ada
nabi-nabi yang bertugas mengumumkan firman Allah, kemungkinan ini juga terjadi
di Israel, antara lain: adanya serikat nabi di tempat tinggi Gibea (1 Sam 10:5);
Samuel. Nabi itu adalah seorang pejabat di Silo (1 Sam 3:19; 9:12); nabi menyuruh
Daud mendirikan mezbah di tempat pengirikan Araruna (2 Sam 24:11,18); dan
kelompok penyanyi di Bait Suci (2 Sam 7:11); Elia mengadakan pertunjukan
pemujaan (1 Raj 18:30); kebiasaan mengunjungi nabi pada saat pemujaan (2 Raj
4:23); dan adanya tempat tinggal nabi dalam Bait Suci (Yer 35:4).
b.      Nabi dan Korban
Sehubungan dengan adanya pandangan bahwa nabi-nabi juga memiliki peran
aktif di Bait Suci, maka kecaman nabi terhadap korban menjadi sulit dipahami (Am.
5:21-25; Hos. 6:6; Yes. 1:11-15; 43:22-24; Mi. 6:6-8; Yes. 7:21-22). Apakah nabi-
nabi menolak kurban ? Sebenarnya amanat nabi-nabi sesuai dengan amanat Alkitab
sehingga dalam kasus persembahan yang ditolak nabi adalah merupakan kecaman
terhadap rutinitas agamani belaka tanpa ada pertobatan atau mengabaikan hakekat
ibadah yang sebenarnya. Jadi nabi-nabi tidak pernah mengabaikan pentingnya kurban
(Yes 44:28; Yes 53) melainkan memberi penekanan terhadap hakekat kurban yang
sebenarnya.
c.       Kesatuan Agama Israel
Agama Israel memulai bentuknya yang normatif dengan Musa, akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya imam dan nabi juga bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan agama Israel (Kel 24:4-8). Kesatuan agama Israel itu tampak dalam
rangkaian Allah yang menyelamatkan umat-Nya; mereka diperlengkapi dengan
hukum; sebagai umat tebusan mereka terikat kepada Allah.

BAB III
KESIMPULAN

Bangkitnya nabi-nabi di Israel sebagaimana diungkapkan Perjanjian Lama


adalah fakta sejarah yang tidak bisa ditolak. Kehadiran nabi sesuai dengan tugas dan
panggilan yang dipercayakan kepadanya oleh Tuhan Allah. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai nabi maka dia tetap sebagai bagian integral dari masyarakat di mana
nabi itu hadir. Ini berarti alamat pemberitaan nabi adalah masyarakat di mana dia
hidup. Nabi sebagai utusan Allah dituntut bertindak dan bersikap kritis terhadap
masyarakat termasuk di dalamnya pemerintah. Manakala tindakan mereka tidak
sesuai dengan kehendak Tuhan, maka nabi akan memberitahukannya dengan tegas,
seperti yang dilakukan oleh Yesaya, Amos, Yeremia, dll.
Nabi adalah pemberita firman Allah. Dalam relasi antara nabi dengan Tuhan,
selain pengenalan akan Tuhan maka nabi juga diilhami Roh Allah melalui cara-cara
yang ditetapkan Allah. Nabi harus berusaha menjelaskan firman itu kepada pendengar
sesuai dengan bahasa yang dimengerti pendengar. Ada kalanya nabi harus
mempergunakan peraga dan perumpamaan untuk menjelaskan isi berita yang hendak
disampaikannya. Selanjutnya berita nabi juga menulis nubuatnya, tetapi ada juga
yang ditulis oleh murid-murid atau pendengarnya, misalnya Amos, Yesaya, Yeremia,
dll. Keseluruhan nubuat nabi juga merupakan fakta sejarah adanya relasi umat dengan
Tuhan Allahnya.
Selain memberitakan firman Allah, para nabi juga memiliki peran aktif di Bait
Suci seperti imam. Sehingga kemajuan agama bukan hanya tanggung jawab imam
melainkan juga nabi-nabi. Dalam kaitan dengan Bait Suci ini, tampaklah bahwa
pemberitaan nabi bukan hanya menyoroti peranan ibadah saja melainkan juga dalam
kehidupan Israel secara keseluruhan.
Nabi menyoroti masa di mana nabi itu hadir, tetapi juga pengharapan akan
masa depan atau penghaparan eskatologis. Pengharapan eskatologis dalam nubuat
nabi-nabi Perjanjian Lama menjadi sempurna digenapi dalam diri Yesus Kristus.

PERAN PARA NABI DI DI MASA PEMBUANGAN BABEL

(Suatu tinjauan Terhadap Peran Nabi di Masa Pembuangan)

Oleh:
Godfried San Ferre

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PERAN NABI DI MASA PEMBUANGAN…………….. 2

1. 1. Pemberitaan Para Nabi Di Masa Pembuangan….. 3


2. 1. Aspek-Aspek Keagamaan Yang Muncul ……….. 6
di Masa Pembuangan…………………………….. 6
1. 1. 1. Yudaisme……………………………… 6
1. 1. 2. Synagoge……………………………… 8
1. 1. 3. Gerakan Zionisme…………………….. 10

BAB II KESADARAN KEAGAMAAN SETELAH


PEMBUANGAN………………………………………….. 12

2. 1. Pemberitaan Nabi Setelah Pembuangan………… 12


2. 2. Aspek-Aspek Keagamaan Yang Muncul
Setelah Pembuangan …………………………….. 12
2. 2. 1. Pembangunan Kembali Bait Allah…….. 12
2. 2. 2. Organisasi Dan Kepemimpinan
Agamawi………………………………. 15

BAB III REFLEKSI ……………………………………………….. 16

BAB IV KESIMPULAN…………………………………………… 19

KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN

Keadaan umat Israel (Yehuda) di awal pembuangan di Babel sangat menyedhkan. Ini
dikarenakan mereka sungguh terpukul dan merasa kehilangan segalanya, entah harta
benda, hak kewarganegaraan maupun iman kepada Allah. Situasi yang demikian juga
dikatakan oleh Etienne Charpienter bahwa kehancuran kota Yerusalem dan Bait
Allah, membuat umat Israel merasa kehilangan Allah, Yahweh. Mereka beranggapan
bahwa setiap bangsa dilindungi oleh ilah nasionalnya yang berkuasa dibalik angkatan
perangnya. Artinya, ada muncul anggapan umat bahwa Allah Israel telah dikalahkan
oleh dewa Babel, yaitu Marduk, karena itu, mereka pesimis untuk melayani ilah yang
kalah. Pemikiran seperti ini adalah wajar sebab bagaimanapun juga umat sedang ada
dalam situasi yang menderita dan putus asa. Namun ditengah-tengah penderitaan dan
keputusasaan, Allah mengutus para nabi untuk menyampaikan berita pelepasan dan
penghiburan bagi umat Israel di tanah perbudakan yang kedua.
Untuk itu akan dijelaskan secara singkat, peran Para Nabi di pembuangan yang
kemudian membawa pengaruh bagi munculnya aspek-aspek keagamaan seperti
Yudaisme, Synagoge dan Gerakan Zionisme

1. 1. Pemberitaan Para Nabi di Masa Pembuangan


Nabi yang muncul di masa pembuangan adalah DeutroYesaya dan Yehezkiel.
Menurut Deutro Yesaya, penderitaan bukan hukuman yang berat dari Tuhan, selagi
hukuman dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan sebelumnya, walaupun
memang hukuman menyebabkan penderitaan. Gambaran kesenggsaraan rohani umat
Israel di pembuangan dan hasrat yang menyala-nyala untuk peroleh kebebasan
tertuang di Mazmur 137 yang berbunyi:
”Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk menangis, Apabila kita
mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu menggantung kecapi kita.
Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita, meminta kepada kita
memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian
suka cita: ”Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!” Bagaimanakah kita
menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing ? Jika aku melupakan engkau hai
Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku ! Biarlah lidahku melekat pada
langit-langitku !”

Dari Mazmur 137 dapat ditafsirkan betapa kejam dan pilunya penderitaan yang
dirasakan umat Israel. Peter A. Ackroyd menggambarkan betapa menderitanya situasi
yang dialami umat Israel melalui apa yang ditulis Yehezkiel. Bangsa ini merasa
seperti tulang kering yang dihancurkan oleh beban yang berat (Yeh. 4: 14).
Penderitaan tersebut semakin bertambah dengan ketidakadilan yang dialami (Yeh.
18). Namun demikian umat tidak berpaling dari Yahweh, malahan peristiwa
pembuangan membawa perubahan iman, karena umat yakin bahwa akan datang kuasa
dari Allah untuk memberi kelepasan . Keyakinan yang besar inilah yang membuat
mereka tidak terpengaruh oleh kepercayaan bangsa Babel yang menyembah banyak
dewa-dewi melainkan tetap teguh untuk setia dengan beriman hanya kepada Allah.
Nabi Yehezkiel dan para nabi lainnya mengajak umat Israel membaca ulang tradisi-
tradisi yang lama sehingga menemukan cara yang baru untuk menjalankan kehidupan
iman. Bait Allah dan korban adalah perkara-perkara masa lalu, tetap masih ada
kemungkinan bertemu pada hari Sabat untuk menyembah Allah dan merenungkan
firman-Nya. Walau raja tidak ada, Allah adalah satu-satunya raja Israel yang memiliki
dimensi rohani. Th. C. Vriezen menambahkan bahwa hal yang menarik bahwa Nabi
Yehezkiel dan Deutro Yesaya, begitu menyoroti periode malang tersebut dengan
firman Allah, sehingga periode itu menjadi suatu puncak dalam perkembangan rohani
Israel. Justru di tengah-tengah kehancuran politik, terjadilah suatu kelahiran kembali
Yahwehisme. Titik awal pembaharuan terletak dalam pengalaman rohani Deutro
Yesaya dan dialah yang meneruskan kepada kaum buangan.
Lembah kehancuran politik menjadi puncak rohani bagi umat Israel karena pada
periode ini, di tengah-tengah penderitaan yang dialami membuat umat Israel
merasakan betapa perlunya pertolongan Allah, dan persekutuan dengan Allah sajalah
yang dapat membawa kelepasan. Bukan diperoleh melalui kepercayaan kepada dewa-
dewa Babel. Demikian muncul kebangkitan baru di bidang keagamaan. Kritik-kritik
para nabi yang pernah disampaikan terhadap agama Yahudi sebelum zaman
pembuangan dipelajari ulang, diterima dan dimanfaatkan. Ortodoksi yang barupun
diciptakan. Keterpisahan dari kegiatan kultus di Bait Allah ditanggapi melalui dua
cara. Pertama, dikembangkan kerangka keagamaan yang idealistis untuk
pembaharuan dan pembangunan kembali kehidupan kultus. Hal ini merupakan
motivasi yang ada dibelakang kitab Yeh. 40-48. Kedua, bersamaan dengan itu, mulai
dikembangkan lembaga-lembaga serta perangkat-perangkat keagamaan yang lebih
banyak memberikan kebebasan kepada mereka dari praktek-praktek kultus
tradisional. Kedua hal ini sangat menarik, karena ternyata terulang lagi kemudian
ketika Bait Allah untuk selamanya tahun 70 M. Kehancuran Bait Allah tahun 70 M
menyebabkan para rabi Yahudi melakukan dua hal, yakni menjabarkan peraturan-
peraturan ritual Bait Allah sampai ke hal-hal terkecil dan bersamaan dengan itu pula
dikembangkan segala sarana yang memungkinkan Ke-Yahudian bisa bertahan tanpa
bait Allah. Reformasi Deutronomis yang berlangsung antara abad 8-7 sM, secara
tidak langsung telah ikut serta mempersiapkan orang-orang Yahudi untuk dapat
melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang baru. Dengan sentralisasi kultus di
Bait Allah, reformasi Deutronomis secara baik telah membiasakan orang-orang
Yahudi untuk terpisah dari pusat kultus. Mereka hanya datang ke Yerusalem sebagai
pusat kultus setahun sekali, sehingga di luar waktu itu mereka telah terbiasa untuk
mempelajari hukum agama, dan secara sungguh-sungguh memberlakukannya dalam
kehidupan keluarga jauh dari pusat kultus. Jadi kelompok Deutronomis telah berhasil
mengisi kesenjangan agama dengan mempelajari hukum-hukum agama dalam
konteks kehidupan keluarga. Perubahan iman yang terjadi di dalam pembuangan
inilah yang kemudian melahirkan aspek-aspek keagamaan seperti Yudaisme,
Synagoge dan Gerakan Zionisme.

1. 1. Aspek-Aspek Keagamaan Yang Muncul di Masa Pembuangan


1. 1. 1. Yudaisme
Konsep awal Yudaisme, yang menjadi dasar dan merupakan ciri khas dimulai pada
peristiwa pembuangan bangsa Israel di Babel. Baru tahun 70 M, istilah ini kemudian
dipakai untuk unsur-unsur baik yang merupakan modifikasi maupun perluasan
konsep-konsep PL. Dalam karya penulis-penulis Jerman berulang kali muncul
ungkapan menyesatkan ”Yudaisme yang kemudian” yang dipakai untuk agama
Yahudi pada zaman Yesus. H.L Elisson dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid
II, mengatakan bahwa:
”Lebih baik menganggap Yudaisme mencapai kedewasaan sesudah runtuhnya Bait
Allah tahun 70 M, dan memakai istilah ”Agama Antar Perjanjian” untuk kurun waktu
antar Ezra dan Tuhan Yesus, kecuali jika yang dibicarakan adalah gejala-gejala yang
menyusul sesudah keruntuhan Bait Allah. Satu alasan itu ialah, kendati agama Kristen
paling awal tidak menolak atau tidak mengabaikan seluruh perkembangan sejarah
dalam keempat abad pasca Ezra, tetapi Gereja perdana tegas menolak unsur itu dalam
Yudaisme, yaitu sikapnya terhadap hukum Taurat dan penafsirannya, yang
memisahkan Yudaisme dari agama Kristen Perjanjian Lama. Yudaisme mencapai
puncak perkembangannya sekitar tahun 500 sM. Yudaisme tak terelakkan akibat
reformasi Raja Yosia tahun 621 sM. Ketentuan bahwa kurban yang sah hanyalah
yang dipersembahkan di Bait Allah di Yeusalem, membawa pengaruh bahwa hidup
keagamaan banyak orang makin jauh dari tempat kudus dan sepi korban sembelihan.
Kecenderungan makin diperkuat oleh pembuangan di Babel. Masa Pembuangan
adalah kurun waktu menantikan pemulihan. Dan penolakan untuk kembali ke
Palestina tahun 538 sM oleh mayoritas Yahudi, mengharuskan adanya perubahan
dalam hidup keagamaan, jika ingin hidup sebagai Yahudi. Tidak cukup
mengembangkan ibadat tanpa korban sembelihan. Pandangan baru atas hidup yang
sama sekali dapat dipisahkan dari tempat kudus sangat dibutuhkan.”

Dari pemikiran H.L. Elisson dapat dikatakan bahwa Yudaisme muncul akibat gejolak
batin umat Israel yang merindukan kelepasan dan kebebasan agar mereka dapat
berbakti kepada Allah. Pembuangan di Babel memunculkan pengharapan semakin
kuat dan terus berkembang sampai di zaman PB. Pengharapan yang bertumpuh pada
pemikiran bahwa seluruh Israel akan mendapat bagian dalam dunia yang akan datang.

Ada 7 ciri bagi kelompok Yudaisme yang dikemukan oleh E. A Livington . Ke-7 ciri
ini masih kental sampai pada zaman PB yakni: kepatuhan kepada Hukum Taurat,
mematuhi peraturan Hari Sabat, menanti kedatangan Mesias dan ajaran
Monotheisme. Selain muncul komunitas keagamaan di Babel, hadir pula bentuk
persekutuan yang nyata, para buangan ternyata telah membangun dan
mengembangkan sistem peribadatan yang dikenal dengan nama Synagoge. Adalah
sebuah tempat perkumpulan kecil yang berfungsi sebagai tempat peribadatan. Hal ini
dilakukan mengingat bahwa bangsa Yahudi yang terbuang tidak punya tempat
beribadat, lagi pula jauh dari Yerusalem. Dengan semangat pembaharuan iman,
mereka berusaha berkumpul dan beribadat kepada Yahweh dalam synagoge (Yeh.
11:16).

1. 1. 2. Synagoge
Terkait dengan Synagoge, Peter Ackroyd mengemukakan gambaran tempat ibadat
yang bersifat temporer atau kecil. Bagi umat Israel synagoge merupakan tempat
kudus dalam ukuran mini mengganti Bait suci yang telah hilang. Di tempat ini,
Yahweh hadir dan menemui mereka lewat para nabi maupun para imam (Yeh. 20:1).
Walaupun demikian masih muncul penantian masa pemulihan Bait Allah di
Yerusalem. Suatu penantian akan pulihnya kembali Bait Allah yang kemudian
melahirkan pengharapan Ke-Yahudi-an yaitu gerakan Zionisme. Gerakan yang
menanti dan terus menerus rindu kepada Sion. Kota dimana Raja Daud yang mereka
hormati, dulu menjadi pusat kehadiran Yahweh (2 Sam. 5:6-7), yang kembali
disampaikan oleh nabi Yesaya : ”Sion akan kubebaskan dengan penghakiman yang
adil dan orang-orangnya yang bertobat akan Kubebaskan dengan tindakan yang
benar.” Yes. 1: 27. Pengharapan akan Sion sebagai pusat kehadiran Yahweh
kemudian dipertahankan sampai di zaman PB. Dalam PB, makna Sion telah bersifat
eskhatologis yang merupakan sebuah lukisan alegori dalam Ibrani 12: 22, ”Tetapi
kamu sudah datang ke bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem surgawi dan
kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah. Pengharapan umat Israel
terhadap Sion dikuatkan oleh pemberitaan nabi Deutro Yesaya yang menyinggung
akan adanya Sion baru, tempat tinggal Yahweh, sehingga dia memberitakan bahwa
kota Yerusalem dengan Baitnya pasti akan dibangun kembali.
Dengan demikian pembuangan di Babel ternyata telah menjadi ladang bagi
tertanamnya kelompok yang baru Yudaisme. Aliran yang tidak hanya berpengaruh
pada zaman Tuhan Yesus tetapi juga terus bertahan sampai dengan saat ini, walaupun
para penganutnya tidak sebanyak awalnya.
Jelas bahwa pembuangan di Babel disebabkan karena ketidaktaatan Israel sebagai
umat kepunyaan Allah namun memiliki makna positif. Maksud Tuhan dengan
pembuangan umat Israel sadar akan kesalahan. Dan melalui berita para nabi mereka
diajak dan dituntun untuk mengakui kesalahan. Timbul rasa bersalah dalam diri
sendiri berarti menjadi titik balik bagi sebuah proses perubahan iman. Perubahan
iman tidak terjadi begitu saja tetapi melalui proses. Proses diawali ketika
Nebukadnezar memberi kebebasan kepada mereka, sehingga mereka bebas
melakukan kegiatan sosial ekonomi maupun keagamaan. Keadaan ini tidak disia-
siakan. Dengan situasi dan kondisi yang baru mulai dipikirkan bagaimana mereka
dapat berhubungan dengan Allah. Kemudian lahirlah bentuk tatananan ibadat yang
lebih konkrit. Dibangun Synagoge sebagai tempat dimana mereka boleh berkumpul
dan beribadat kepada Yahweh karena di tempat itulah Allah hadir. Walaupun
demikian dalam kepercayaan ada keyakinan bahwa Allah kelak akan mendirikan
kerajaan-Nya kembali di Zion. Kota di mana Raja Daud, mendirikan Kerajaan Israel.
Bukan hanya harapan itu saja tetapi kerinduan akan pembangunan kembali Bait Allah
di Yerusalem.
Dengan demikian konteks religi dan sosial ekonomi bangsa Israel dalam pembuangan
dapat dikatakan adalah sebuah konteks yang menyedihkan, namun dibalik itu, Allah
bermaksud mengajar umat-Nya agar lebih mengenal diri-Nya. Makna penderitaan
yang dialami menjadi matang di hadapan Allah. Sehingga apa yang disebut ”sisa
Israel” yang pulang adalah gambaran mereka yang telah benar-benar menjadi orang
pilihan Allah.

1. 1. 3. Gerakan Zionisme
Pembuangan di Babel ternyata membawa perubahan besar di bidang keagamaaan, hal
ini ditandai dengan munculnya gerakan Zionisme. Gerakan ini, tidak muncul begitu
saja tetapi melalui proses yang panjang dari hasil pergumulan iman yang hancur,
akibat kota Yerusalem dan Bait Allah sebagai pusat peribadatan umat, rata dengan
tanah, dan penduduk Yudea kemudian ditawan serta diangkut ke tanah Babel.
Malapetaka ini menyebabkan perasaan Umat Israel terpukul, putus asa, bimbang dan
ragu atas kemahakuasaan Allah, Yahweh.
Di saat krisis iman yang dilanda orang-orang Israel, Allah memanggil dan mengutus
nabi Yehezkiel dan Deutro Yesaya untuk memberi kekuatan dan penghiburan bagi
orang-orang buangan agar mereka memahami dan menyadari bahwa bencana yang
dialami umat adalah rencana Allah. Rencana Allah berkaitan dengan penghukuman
karena umat telah menyembah berhala dan para pemimpin tidak berlaku adil. Oleh
sebab itu, Allah menghukum mereka lewat bangsa lain. Agar mereka dapat terlepas
dari hukuman itu nabi Yehezkiel menyeruhkan agar umat Israel berbalik kepada
Allah. Dengan berbalik, Nabi melihat bahwa Allah akan memulihkan dan
memulangkan mereka ke Yerusalem dengan membangun kembali Bait Allah di
Yerusalem (Yeh. 33: 19; 36: 24-28). Sambil menanti penggenapan akan janji Allah
maka dibangunlah Synagoge (lht. hlm. 41-42).
Di tegaskan pula oleh Nabi Deutro Yesaya bahwa bencana yang menimpa bangsa
akan diakhiri dengan datangnya sang pembebas bagi mereka. Ia sungguh yakin bahwa
Allah lebih dari sekedar Allah Yang Maha Tinggi dan Pencipta segala sesuatu (Yes.
45:18). Dialah satu-satunya Allah (Yes. 44: 6; 46:9). Dewa Marduk dan dewa-dewi
bawahannya yang disembah orang Babel sesungguhnya tak berarti sama sekali (Yes.
40: 18-20). Nabi percaya bahwa dengan datangnya sang pembebas, berarti Allah akan
membolehkan mereka membangun kembali Yerusalem sehingga seluruh bangsa akan
memperoleh keselamatan yang dari pada Allah (Yes. 45:22; 49: 6; 54:11-14). Dengan
demikian akan berlangsung keluaran yang baru, yaitu keluaran dari Babilonia ke
Yerusalem (Yes. 43: 16-21; 48: 20 dyb; 55: 11 dyb). Ucapan-ucapan kedua nabi
semakin hari semakin bertumbuh dan melahirkan gerakan Zionisme yang bertolak
dari pengharapan akan datangnya kebebasan bagi umat untuk kembali ke Yerusalem
serta mendirikan Bait Allah.
Ternyata berita yang disampaikan Nabi tergenapi dengan datangnya raja Persia,
Koresy (Cyrus). Kemenangan Koresy atas Babel tahun 538 sM dilihat dan diyakini
umat Israel sebagai penggenapan dari janji Allah. Bahkan nabi sendiri yakin bahwa
Allah tidak akan meninggalkan umatnya oleh karena itu raja Koresy dipahami
sebagai alat yang dipakai Allah untuk menyelamatkan bangsa Israel. Dialah yang
menjadi utusan Allah, raja penyelamat Umat. Dengan kemenangannya atas Babel, ia
segera mengizinkan orang-orang Yehuda untuk kembali ke Yerusalem untuk
membangun kembali Bait Allah (Ez. 1: 2-4). Maka genaplah nubuat nabi. Dengan
kesadaran dan semangat yang didorong oleh gerakan Zionisme bangsa Israel kembali
ke Yerusalem dengan maksud membangun kembali Bait Allah. Mereka yang pulang
tidak seluruhnya tetapi sebagian saja. Hal ini dikarenakan yang lain telah merasa
hidup mewah dan kecukupan di Babel. Sisa Israel yang kembali ke Yerusalem di
pimpin oleh Zerubabel dan Yosua.

BAB II KESADARAN KEAGAMAAN SETELAH PEMBUANGAN

2. 1. Pemberitaan Para Nabi Setelah Pembuangan


Pembuangan Babelonia (597-322 SM ), memberikan kesadaran bagi umat Israel agar
betul-betul memperhatikan hukum Taurat dan mengamalkannya, sehingga mereka
jangan lagi dimurkai Allah dan mengalami hukuman serta penderitaan sebagaimana
yang mereka alami semasa pembuangan. Itulah sebabnya masa sesudah pembuangan,
pembangunan kembali Bait Allah dan organisasi keagamaan begitu penting bagi para
nabi zaman sesudah pembuangan guna memulihkan kepercayaan umat Israel kepada
Yahweh .

2. 1. Aspek-Aspek Yang Muncul Setelah Pembuangan

2. 1. 1. Pembangunan kembali Bait Allah


Setelah umat Israel (Yehuda) yang kembali dari pembuangan di Babel tiba di
Yerusalem dan hendak membangun Bait Allah, mereka kemudian ditentang oleh
orang-orang Yehuda dan suku Benyamin yang ada di Yerusalem. Kedua kelompok
ini, dahulunya tidak ikut terbuang atau mereka berhasil lolos dari pasukan Babel.
Selain itu juga, karena situasi dan kondisi ekonomi para eks buangan yang serba
kekurangan sehingga mereka belum mampu membiayai pembangunan kembali Bait
Allah (Hag. 1: 2). Akibatnya rencana pembangunan kembali Bait Allah tertunda.
Di masa itulah, Nabi Hagai tampil mengkritik cara berpikir umat Israel dengan
menegaskan bahwa pemikiran mereka adalah keliru seharusnya mereka
mengutamakan pelayanan dan pekerjaan Tuhan. Dengan berbuat begitu pasti
kehidupan ekonomi keluarga akan baik berkat pertolongan Tuhan. Karena itu, nabi
mengimbau agar umat segera membangun kembali Bait Allah. Lagi pula, nabi
melihat konflik intern yang terjadi atas pemerintahaan Koresy yang dilakukan oleh
Darius menunjukkan bahwa Allah akan memberikan kemerdekaan. Dan Zerubabel
sebagai keturunan Daud akan menjadi raja baru (mesias). Dengan pandangan dan
kondisi yang terjadi maka nabi mendesak Zerubabel yang saat itu sebagai gubenur
untuk segera membangun kembali Bait Allah. Usul nabi di terima (Hag. 2: 1-8).
Dalam waktu 5 tahun terhitung sejak munculnya Hagai tahun 520 sM dan dilanjutkan
oleh nabi Zakharia, Bait Allah telah rampung tahun 515 sM di masa pemerintahan
raja Darius.
Dengan demikian dapat dsimpulkan bahwa inti pemberitaan para nabi setelah
pembuangan adalah pemulihan iman kepercayaan umat terhadap Yahweh dan
pembangunan kembali Bait Allah di Yerusalem.
Selanjutnya, untuk menyelengarakan peribadatan diangkat seorang Imam dan
tugasnya terpisah dari tugas seorang raja. Yosua diangkat sebagai imam besar (Zakh.
3) dan Zerubabel dianggap sebagai raja (Zakh. 4).
Walaupun demikian semangat peribadatan yang telah dikobarkan nabi Hagai dan
Zakharia tidak lagi bertahan lama, umat Israel kembali hidup dalam kemerosotan
iman. Mereka melakukan kesemberonoan dan ketidaksungguhan dalam beribadatan
kepada Allah, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Trito Yesaya (Yes. 56:1
dyb; 58:9b- 14). Hal yang sama pula ditegaskan oleh nabi Maleaki bahwa para
pemimpin agama lalai dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelengara
peribadatan (Mal. 1:6-2:9). Umat Israel lalai dalam memberi perpuluhan (Mal. 3: 6-
9). Muncul sikap apatis acuh tak acuh sehingga umat tidak terlibat dalam peribadatan
(Mal. 2: 17-3:5; 3: 13-15). Terjadi kawin campur dan perceraian (Mal. 2: 10-16).
Keadaan Umat Israel tidak lagi beres. Lalu nabi mengkritik sikap hidup mereka
dengan mengatakan bahwa akan datang hari Tuhan. Hari penghakiman,
penghukuman, dan pembersihan. Hari dimana Tuhan akan menghukum orang-orang
yang berdosa (Mal. 4: 1; 3:5). Hari itu pasti datang dimana Allah akan menghukum
mereka yang berbuat jahat juga membersihkan penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para imam dan umat sehingga diselenggarakan ibadat yang sejati dan
murni (Mal. 3:3-4). Hari yang penuh dengan keadilan Tuhan. Tuhan akan
menghukum orang berdosa dan memberi kasih sayang serta kemenangan kepada
orang-orang benar (Mal. 3: 17; 4: 1-3). Demikian umat tetap tidak menghirauan
seruan nabi hingga 70 tahun kemudian Allah mengutus Ezra dan Nehemiah untuk
menata kembali persekutuan hidup umat Israel dari berbagai pelanggaran.
Mulai zaman Ezra dan selanjutnya peribadatan menjadi agama hukum. Setiap orang
diwajibkan menaati dan memenuhi hukum Taurat. Melakukan upacara dan perayaan
keagamaan, memberi persepuluhan, menaati hukum hari Sabat dan menajiskan haram
dan halal. Kultuspun dijalankan secara ketat. Kehidupan keagamaan umatpun
semakin diperketat agar umat hidup kudus dihadapan Allah. Bahkan nama Baal
sebagai nama perorangan, dilarang. Nama ilah-ilah lain tidak boleh masuk ke dalam
mulut orang Israel. Dari situlah kemudian timbul kebiasaan kata Baal sebagai unsur
nama perorangan diganti dengan kata Bosyeth yang berarti main.

2. 2. 2. Organisasi dan Kepemimpinan Agamawi


Organisasi dan kepemimpinan di Bait Allah berada di tangan Imam Besar. Imam
Besar adalah seorang Imam kepala yang diangkat baik oleh pemerintah ataupun
seluruh umat sebagai pemimpin agama.
Jika masa sebelumnya yakni di masa kerajaan, seorang imam memiliki peran rangkap
yakni sebagai pemimpin ritual tetapi juga sebagai pemimpin politis maka di zaman
setelah pembuangan peran Imam, khusus hanya sebagai penyelenggara kebaktian
bagi Umat.
Adapun kepengurusan di Bait Allah, adalah sebagai berikut:
a. Imam Besar
Imam Besar adalah seorang Imam kepala yang diangkat sebagai pemimpin agama.
Dia juga diberi hak untuk menata organisasi dan kepemimpinan di dalam Bait Allah.
b. Imam Kepala
Bertanggung jawab atas semua kegiatan peribadahan yang rutin di Bait Allah dan
sekaligus memimpin Imam-Imam lainnya. Dia juga bertanggung jawab atas
keamanan Bait Allah dan mempunyai wewenang untuk menangkap siapa saja yang
melanggar peraturan-peraturan di Bait Allah.
c. Pengawas
Pengawas Bait Allah berjumlah tujuh orang Imam. Mereka bertugas untuk
mengelolah seluruh pendapatan dan harta benda milik Bait Allah.
d. Bendahara
Terdiri dari tiga Orang Imam. Mereka bertugas untuk mengelolah seluruh pendapatan
dan harta milik Bait Allah.
Disamping Imam Besar dan Pembantu-pembantunya terdapat pula suatu Dewan
Yahudi yang disebut Sanhedrin. Kata Yunaninya Synedrion yang berarti Sidang
Alkitab. Lembaga Alkitab Indonesia, menterjemahkan dengan mahkamah agama.
Namun menurut penulis, pengertian ini kurang tepat sebab banyak hal Sanhedrin juga
memiliki pengaruh dan wewenang sosial politik (contoh pekerjaan Paulus sebelum ia
bertobat).
Komposisi Keanggotaan Sanhedrin, adalah sebagai berikut:
Imam Besar, Kepala-kepala Imam, orang-orang tua dan Para Ahli Taurat. Dan
anggota Sanhedrin beranggota 71 orang yang terdiri dari satu orang Imam Besar
sebagai ketua Sidang dan 70 anggota yang dipilih untuk seumur hidup oleh
Sanhedrin.

BAB III

REFLEKSI TEOLOGI

Judul dari tulisan ini, adalah Peran para nabi di pembuangan Babel
Setelah umat Israel mendiami tanah Kanaan dan dan hidup bersama diantara bangsa
Kanaan, mereka tidak lagi percaya pada Allah, Yahweh sebagaimana yang telah
mereka ikrarkan di Sinai tetapi sebaliknya mereka mau kompromi dengan dewa-dewa
milik orang Kanaan, akibatnya mereka ikut dalam ritus-stus pemujaan para Baal yang
bersifat amoral yakni seperti bersetubuh dan pembunuhan. Praktek ritus-ritus ini
berpengaruh di dalam kehidupan social dan keagamaaan umat. Mareka tidak lagi
memandang perzinahan dan pembunuhan adalah perbuatan yang bertentangan dengan
ikatan perjanjian melainkan praktek seperti itu malahan mendatangkan kebaikan.
Selain itu kemakmuran hidup tidak saja dipercaya sebagai pemberian Allah, tetapi
ada juga kuasa lain yang dapat memberi kemakmuran bagi mereka. Bagi mereka
dengan jimat, menyembah patung, atau tempat-tempat keramat dapat pula
mendatangkan apa yang mereka harapkan.
Karena kondisi kehidupan umat Israel yang bobrok dan percaya takhyul-takhyul
makanya tua-tua Israel bersepakat untuk mengangkat seorang raja atas mereka
dengan maksud bahwa seorang raja dapat membawa dan menuntun umat ke arah
yang lebih baik.
Sejak umat, dipimpin raja, Daud-lah raja yang dipandang umat sebagai raja ideal
umat Israel. Hal ini terungkap dalam berbagai teks di PL dan PB yang menunjukkan
bahwa dari keturunannya akan lahir seorang raja dan ia akan memerintah umat-Nya
dengan penuh keadilan.
Namun setelah Daud diganti oleh Salomo, anaknya, Salomo tidak lagi berperan
sebagai raja umat Allah, seperti Daud, ayahnya. Salomo lebih mementingkan politik
daripada keagamaan. Atau dapat dikatakan bahwa Salomo lebih mementingkan
kekuasaan dari pada Allah. Bagi Salomo kekuasaan akan diperoleh lewat hubungan
baik dengan bangsa-bangsa asing. Itu berarti Salomo tidak lagi mengandalkan Allah
sebagai Allah yang berkuasa atas hidup manusia. Karena itu, tanpa peduli dengan
Tuhan ia memperisteri putreri-puteri bangsa-bangsa asing. Maksudnya, agar
kedudukan dan kekuasaannya sebagai raja Israel akan aman dan abadi Dan apa yang
diharapkan Salomo ternyata tidaklah demikian melainkan politik yang sedang
dimainkannya membawa kehancuran bagi dirinya dan rakyatnya.
Salomo akhirnya mau membangun kuil-kuil berhala bagi isteri-isterinya, bahkan dia
sendiri pula memuja dewi-dewi tersebut. Dengan demikian Salamo tidak tidak lagi
berpegang teguh pada sumpah janjinya sewaktu ia ditahbiskan menjadi raja Israel.
Karena ketidaksetiaan dan ketidaktaatannya maka Salomo sedang membawa
kehancuran bagi dirinya dan rakyatnya. Dan hal itu terjadi setelah kematiannya
dimana kemudian kerajaan Israel mengalami kemunduran dan terpecah dua dan
akhirnya umat Israel dibuang ke Asyur dan Babel.
Peristiwa pembuangan inilah yang kemudian dpahami sebagai hukuman Allah karena
penyembahan Baal.
Karena itulah para nabi tampil di pembuangan untuk memberi penghiburan dan berita
pelepasan bagi umat untuk tetap percaya bahwa peristiwa yang terjadi dan dialami
adalah karena Allah. Allah-lah yang menghukum mereka karena mereka telah
menyembah berhala.
Bagi para nabi di zaman pembuangan, satu-satunya yang dapat memberi kelepasan
hanya Allah, Yahweh dan tidak ada kuasa yang lain. Karena itu umat harus sadar dan
bertobat. Dengan berbuat demikian, maka Allah akan memulangkan mereka kembali
ke Yerusalem.
Sambil menanti penggenapan dari harapan-harapan itu, umat mendirikan Synagoge.
Di tempat yang baru inilah, umat berkumpul untuk beribadah kepada Yahweh.
Dan setelah masa pembuangan, umat yang kembali ke Yerusalem membangun
kembali Bait Allah serta dibentuklah organisasi keagamaan yang baik. Semuanya ini
bertujuan untuk memulihkan hubungan kembali kepada Allah Yahweh.
Yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan kehidupan umat Kristen
sekarang ini dalam memahami Allah. Apakah mereka sungguh-sungguh percaya
bahwa Allah adalah Allah yang Mahakuasa. Jika pengenalan umat Kristen yang
dalam tentang Allah, maka hidup orang Kristen akan terus di berkati Allah di dunia
ini, tetapi sebaliknya mereka akan mendapat hukuman seperti yang dialami umat
Israel.

BAB IV

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dari tulisan ini, adalah sebagai
berikut:
Kondisi awal umat Israel di pembuangan Babel sangat menyedihkan. Hal ini
dikarenakan umat merasa kehilangan segalanya, entah itu harta benda, hak
kewarganegaraan maupun kepercayaan kepada Allah, Yahweh. Secara khusus kondisi
ini mempengaruhi cara pandang umat kepada Allah.
Bagi umat di saat itu, Allah, Yahweh telah kalah oleh Dewa Babel; Marduk sehingga
buat apalagi melayani Allah. Dan pemikiran seperti adalah wajar sebab
bagaimanapun umat sedang ada dalam penderitaan dan keputusasaan.
Ditengah-tengah keputusasaan umat, maka Allah memanggil dan mengutus para nabi
untuk memberi penghiburan dan pelepasan bagi umat . Diantara nabi-nabi yang
muncul di zaman pembuangan adalah nabi Deutro Yesaya dan Yehezkiel. Lewat
pemberitaan dan kuasa Allah, akhirnya umat kembali sadar dan bangkit kembali
untuk tetap percaya kepada Allah, Yahweh. Di masa kerja kedua nabi inilah maka
muncul konsep-konsep keagamaan seperti Yudaisme, Synagoge, dan Gerakan
Zionisme.
Selanjutnya di zaman setelah pembuangan umat melanjutkan konsep-konsep yang
telah muncul di zaman Pembuangan seperti Gerakan Zionisme yaitu gerakan untuk
kembali ke Yerusalem untuk mendirikan Bait Allah di Yerusalem. Di zaman itu,
nabi-nabi yang muncul yaitu Hagai, Zakharia, Trito Yesaya.
Mulai zaman Ezra dan selanjutnya peribadatan menjadi agama hukum. Setiap orang
diwajibkan menaati dan memenuhi hukum Taurat. Melakukan upacara dan perayaan
keagamaan, memberi persepuluhan, menaati hukum hari Sabat dan menajiskan haram
dan halal. Kultuspun dijalankan secara ketat. Kehidupan keagamaan umatpun
semakin diperketat agar umat hidup kudus dihadapan Allah. Bahkan nama Baal
sebagai nama perorangan, dilarang. Nama ilah-ilah lain tidak boleh masuk ke dalam
mulut orang Israel. Dari situlah kemudian timbul kebiasaan kata Baal sebagai unsur
nama perorangan diganti dengan kata Bosyeth yang berarti main.
Selain itu ditata organisasi dan kepemimpinan di Bait Allah meliputi: Imam Besar.
Imam Besar adalah seorang Imam kepala yang diangkat baik oleh pemerintah ataupun
seluruh umat sebagai pemimpin agama.

KEPUSTAKAAN

I. Sumber Utama: Alkitab

Alkitab Dengan Kidung Jemaat, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2003.

II. Buku-Buku Teks

Ackroyd Peter A.,


Exile And Restoration, Philadelphia: The Westminster, 1968.
Bakker F. L.,
Sejarah Kerajaan Allah, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1996.
Baron Salo Wittmayer,
A Social And Hstory of the Jews, Volume I, New York: Columbia University
Press,tt.
Bloomendaal J.,
Pengantar Perjanjian Lama, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 2003.
Boadt Lawrence,
Reading The Old Testament, New York: Paulist Press, 1984.

Bright John,
A History of Israel, Philadephia: Westminster Press, 1981.
Charpenter Etienne,
Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, Jakarta: B. P. K., Gunung Mulia, 1991.

Groenen C,
Pengantar ke dalam Perjanjian Lama,Yogjakarta: Kanisius, 1992.

Wahono S. Wismoady,
Di Sini Kutemukan, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1994.

III. Kamus, Ensiklopedia dan lain-lain

A. Kamus

Livington E. A., (Edt),


The Concise Oxford Dictionary Of The Christian Church, New York: Oxford
University Press, 1987.

B. Ensiklopedia

Douglas J., D.,


Ensikopedi Alkitab Masa Kini Jilid II (M-Z), Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2008.
DAFTAR PUSTAKA
Barth, C
1993 Theologia Perjanjian Lama 4, Jakarta (BPK)
Blenkinsopp, J
996        A History of Prophecy in Israel, Louisville (Westminster John Knox)
Heaton, E.W
985        The Old Testament Prophets, London (Darton, Longman & Todd)
Mays, J, L & Achtemeir, P, J
986        Interpreting The Prophets, Philadelphia (Fortress)
Motyer, J,A
996 ‘Nubuat Nabi-nabi’, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, M-Z, Jakarta (YKBK),
hal. 163-171
on Rad, G
1965 The Old Testament Prophets, New York (Harper and Row)
Wilson, R, R
980        Prophecy and Society in Ancient Israel, Philadelphia (Fortress)

Anda mungkin juga menyukai