Perlu diketahui bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Kitab Suci yang menyatakan
doktrin Allah Tritunggal secara keseluruhan. Doktrin Allah Tritunggal didapatkan
dari banyak ayat Kitab Suci. Sebagian ayat-ayat Kitab Suci menyatakan
ketunggalan Allah, tetapi sebagian yang lain menyatakan adanya kejamakan
tertentu dalam diri Allah.
2) Penggunaan kata-kata bentuk tunggal untuk Allah atau dalam hubungannya
dengan Allah:
Contoh:
a) Sifat self-existent (= ada dengan sendirinya / ada dari dirinya sendiri) dari
Allah, jelas merupakan ajaran dalam Kitab Suci, karena Kitab Suci
menunjukkan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah (Kej 1:1-31
Yoh 1:3,10), tetapi Kitab Suci tidak pernah menceritakan tentang
terjadinya Allah, dan ini menunjukkan bahwa Allah sendiri tidak pernah
diciptakan / dijadikan oleh siapapun / apapun juga.
2. Segala sesuatu ada hanya melalui Dia, dan segala sesuatu tergantung
kepada Dia.
Yoh 1:3 - “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak
ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”.
Kis 17:28a - “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita
ada, ...”.
c) Dari semua ini bisa disimpulkan bahwa tidak mungkin ada lebih dari satu
makhluk yang seperti itu! Karena tidak mungkin bisa ada 2 makhluk
yang sama-sama tidak tergantung apapun / siapapun, dan yang membuat
segala sesuatu tergantung dirinya.
Adanya kejamakan dalam diri Allah terlihat dari keilahian Yesus dan Roh
Kudus. Bahwa Yesus dan Roh Kudus juga adalah Allah, sebagaimana Bapa
adalah Allah, jelas menunjukkan adanya kejamakan dalam diri Allah.
1) Penggunaan kata ‘ELOHIM’ untuk Allah (Kej 1:1 dll) yang merupakan kata
bentuk jamak / plural.
Memang harus diakui bahwa ELOHIM sering dianggap sebagai bentuk
tunggal, tetapi yang perlu dipertanyakan adalah: kalau memang Allah itu
tunggal secara mutlak, mengapa tidak digunakan ELOAH saja terus
menerus? Mengapa digunakan ELOHIM, dan lebih lagi, mengapa digunakan
ELOHIM jauh lebih banyak dari ELOAH?
Tanggapan / Bantahan:
b) Allah itu begitu besar, ajaib, dan ada diluar jangkauan akal manusia.
Karena itu jelaslah bahwa tidak ada bahasa manusia (termasuk bahasa
Ibrani), yang bisa menggambarkan Allah dengan sempurna. Tata bahasa
dan kata-kata dari bahasa Ibrani (atau bahasa lain apapun) tidak bisa
menggambarkan bahwa Allah itu satu hakekat tetapi tiga pribadi.
Disamping itu, Kitab Suci bukanlah suatu buku Systematic Theology,
dan karena itu tidak menuliskan doktrin-doktrin yang ada di dalamnya
dengan rumus-rumus theologia, tetapi sebaliknya, mengajar dengan
menggunakan cerita sejarah, syair, surat-surat, dan sebagainya. Kalau
Kitab Suci selalumenggunakan kata bentuk tunggal ELOAH, maka akan
menunjuk kepada Allah yang tunggal secara mutlak. Sedangkan kalau
Kitab Suci selalu menggunakan kata bentuk jamak ELOHIM, maka akan
menunjuk kepada banyak Allah. Karena itu maka dalam ayat-ayat
tertentu Kitab Suci menggunakan ELOAH dan dalam ayat-ayat lain
Kitab Suci menggunakan ELOHIM.
Tanggapan / Bantahan:
Memang kata ELOHIM bisa digunakan untuk dewa / allah kafir, dan
sekalipun kata ELOHIM itu kata bentuk jamak, tetapi lalu diikuti kata kerja
bentuk tunggal. Ini juga terjadi dalam kasus Allah sendiri. Tetapi dalam
kasus Allah sendiri, kadang-kadang digunakan kata kerja bentuk jamak ,
seperti yang nanti akan kita lihat di bawah, dan setahu saya hal seperti ini
tidak pernah terjadi dengan dewa / allah kafir.
2) Penggunaan kata bentuk jamak untuk Allah atau dalam hubungannya
dengan Allah:
Contoh:
Mungkin dalam persoalan ini, contoh ayat yang terpenting adalah Yes 6:8b, karena
dalam ayat ini kata ganti orang bentuk tunggal dan jamak untuk menyatakan Allah,
keluar sekaligus dalam satu ayat.
Tetapi dalam Yes 6:8b ini, Kitab Suci bahasa Indonesia (baik terjemahan lama
maupun baru) salah terjemahan!
Contoh:
3) Beberapa ayat dalam Kitab Suci membedakan Allah yang satu dengan Allah
yang lain (seakan-akan ada lebih dari satu Allah).
Maz 45:7-8.
Karena dalam ayat ini Kitab Suci Indonesia kurang tepat terjemahannya,
mari kita lihat terjemahan NASB di bawah ini.
Maz 110:1.
Contoh:
Dalam Kej 16:7,9,10,11 - disebut sebagai Malaikat TUHAN; tetapi
dalam Kej 16:13 disebut sebagai TUHAN sendiri.
Hanya Allah yang bersumpah demi diriNya sendiri, karena tidak ada
yang lebih tinggi dari Dia. Bdk. Kel 32:13 Yer 22:5 44:26 49:13
51:14 Amos 6:8.
Jadi jelas bahwa Malaikat TUHAN itu adalah Tuhan / Allah sendiri.
Dari
kata-kata ‘namaKu ada di dalam dia’, Adam Clarke
menganggap bahwa malaikat ini adalah Malaikat Perjanjian, yaitu
Yesus Kristus sendiri.
Tentang
kata-kata ‘pelanggaranmu tidak akan diampuninya’,
Adam Clarke memberikan komentar sebagai berikut:
Untuk itu perhatikan kutipan dari buku ‘Haruskah anda percaya kepada Tri-
tunggal?’ di bawah ini:
“Kata-kata tersebut terdapat dalam Ulangan 6:4. New Jerusalem Bible
(NJB) Katolik berbunyi: ‘Dengarlah Israel: Yahweh Allah kita adalah
esa, satu-satunya Yahweh’. Dalam tatabahasa dari ayat itu kata ‘esa’
tidak mengandung sifat jamak untuk menyatakan bahwa kata itu
mempunyai arti yang lain, yaitu bukan satu pribadi” (hal 13).
Tanggapan / Bantahan:
Kej 1:5 - “Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu
malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari
pertama (YOM EKHAD)”.
Seluruh jemaat itu satu (EKHAD) tetapi terdiri dari banyak orang.
(Catatan: kata ‘satu’ ini hanya bisa terlihat dalam bahasa Ibraninya).
b) Sebetulnya ada sebuah kata lain dalam bahasa Ibrani yang berarti ‘satu
yang mutlak’ atau ‘satu-satunya’. Kata itu adalah YAKHID.
Contoh:
1) Perjanjian Baru menunjukkan ketiga pribadi Allah itu dengan lebih jelas,
dan juga menyetarakan Mereka.
Jadi pada waktu Yesus disebut sebagai saksi, dan Bapa sebagai Saksi yang
lain, dan kata ‘yang lain’ itub menggunakan ALLOS, maka itu
menunjukkan bahwa Yesus mempunyai kwalitet / jenis yang sama dengan
Bapa, dan ini membuktikan bahwa Yesus adalah Allah!
Hal yang sama terjadi antara Yesus dan Roh Kudus. Yesus disebut
PARAKLETOS (1Yoh 2:1 - diterjemahkan ‘pengantara’), dan Roh Kudus
disebut PARAKLETOS yang lain (Yoh 14:16 - diterjemahkan ‘Penolong’).
Di sini untuk kata-kata ‘yang lain’ juga digunakan ALLOS, yang
menunjukkan bahwa Yesus dan Roh Kudus mempunyai jenis / kwalitet yang
sama. Dengan demikian Bapa, Anak, dan Roh Kudus mempunyai jenis /
kwalitet yang sama, dan semua ini bisa digunakan untuk mendukung doktrin
Allah Tritunggal.
Memang di sini tidak terlihat kesatuan dari pribadi-pribadi itu, tetapi ini
dengan mudah bisa didapatkan dari ayat-ayat yang menunjukkan
ketunggalan Allah, seperti Ul 6:4 Mark 12:32 Yoh 17:3 1Tim 2:5 Yak
2:19 1Kor 8:4, dsb, yang telah saya bahas di depan.
3) Kalau dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa YAHWEH / YEHOVAH
tinggal di antara bangsa Israel dan di dalam hati orang-orang yang takut
akan Dia (Maz 74:2 Maz 135:21 Yes 8:18 Yes 57:15 Yeh 43:7,9
Yoel 3:17,21 Zakh 2:10-11), maka dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa
Roh Kuduslah yang mendiami Gereja / orang percaya (Kis 2:4 Ro 8:9,11
1Kor 3:16 Gal 4:6 Ef 2:22 Yak 4:5).
4) Perjanjian Baru memberikan pernyataan yang jelas tentang Allah yang
mengutus AnakNya ke dalam dunia (Yoh 3:16 Gal 4:4 Ibr 1:6 1Yoh 4:9),
dan tentang Bapa dan Anak yang mengutus Roh Kudus (Yoh 14:26 15:26
16:7 Gal 4:6).
5) Dalam Perjanjian Baru kita melihat Bapa berbicara kepada Anak
(Mark 1:11) dan Anak berbicara kepada Bapa (Mat 11:25-26 26:39
Yoh 11:41 12:27) dan Roh Kudus berdoa kepada Allah dalam hati orang
percaya (Ro 8:26).
6) Dalam Perjanjian Baru kita melihat ketiga pribadi Allah itu disebut dalam
satu bagian Kitab Suci.
Ef 4:4-6 - “(4) satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah
dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam
panggilanmu, (5) satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, (6) satu Allah
dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan
di dalam semua”.
Catatan: satu hal yang perlu diperhatikan dalam ayat-ayat di atas ini adalah bahwa
urut-urutannya tidak selalu Bapa sebagai yang pertama, Anak / Yesus sebagai yang
kedua, dan Roh Kudus sebagai yang ketiga. Urut-urutan dbolak-balik, dan ini
menunjukkan kesetaraan Mereka. Kalau Bapa memang lebih tinggi dari Anak,
maka adalah mustahil bahwa Yesus kadang-kadang ditulis lebih dulu dari Bapa,
dan kalau Roh Kudus hanya sekedar merupakan ‘tenaga aktif Allah’, maka juga
merupakan sesuatu yang mustahil bahwa ‘tenaga aktif Allah’ itu ditulis lebih dulu
dari Allahnya sendiri.
Untuk ini ada komentar / serangan dari Saksi Yehuwa dalam buku
‘Haruskah anda percaya kepada Tritunggal?’:
“Apakah
ayat-ayat ini menyatakan bahwa Allah, Kristus, dan roh
kudus membentuk suatu Keilahian Tritunggal, bahwa ketiganya
sama dalam bentuk, kekuasaan, dan kekekalan? Tidak, tidak
demikian, sama halnya menyebutkan tiga orang, seperti Amir, Budi
dan Bambang, tidak berarti bahwa mereka tiga dalam satu” (hal 23).
“Ketika
Yesus dibaptis, Allah, Yesus, dan roh kudus juga
disebutkan dalam konteks yang sama. Yesus ‘melihat roh Allah
seperti burung merpati turun ke atasNya’ (Matius 3:16). Tetapi, ini
tidak berarti bahwa ketiganya adalah satu. Abraham, Ishak, dan
Yakub banyak kali disebutkan bersama-sama, tetapi hal itu tidak
membuat mereka menjadi satu. Petrus, Yakobus dan Yohanes
disebutkan bersama-sama, tetapi itu tidak membuat mereka menjadi
satu juga” (hal 23).
Tanggapan / Bantahan:
a) Jelas bahwa doktrin Allah Tritunggal tidak bisa didapatkan seluruhnya
dari ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat itu hanyalah salah satu dasar dari
doktrin Allah Tritunggal, sehingga kalau kita hanya menyoroti ayat-ayat
itu saja, maka mungkin sekali memang tidak bisa dihasilkan doktrin
Allah Tritunggal!
Dalam ayat-ayat di atas, Bapa, Anak, dan Roh Kudus disebutkan dalam
kontext yang sakral, seperti formula baptisan (Mat 28:19), berkat kepada
gereja Korintus (2Kor 13:13), baptisan Yesus (Mat 3:16-17), dsb. Karena
itu ayat-ayat itu bisa dipakai sebagai dasar untuk menunjukkan bahwa
Bapa, Anak, dan Roh Kudus itu setingkat.
Ada satu ayat Kitab Suci / Perjanjian Baru yang berbicara tentang kesatuan
dari tiga pribadi Allah itu, yaitu 1Yoh 5:7-8 yang berbunyi: “Sebab ada tiga
yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh
Kudus; dan ketiganya adalah satu. Dan ada tiga yang memberi
kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu”.
Tetapi perlu diketahui bahwa ayat ini, pada bagian yang ada dalam tanda
kurung tegak, sangat diragukan keasliannya, dan dianggap sebagai suatu
penambahan pada text asli Kitab Suci. Persoalannya, ada banyak manuscript
yang tidak mempunyai bagian ini. Dan manuscript-manuscript yang
mempunyai bagian ini hanyalah manuscript-manuscript yang kurang bisa
dipercaya. Karena itu, dalam beberapa Kitab Suci bahasa Inggris, seperti
NIV dan NASB, bagian ini bahkan dihapuskan dari text Kitab Suci dan
hanya diletakkan pada footnote (= catatan kaki).
Ada cukup banyak dasar Kitab Suci yang lain yang mendukung doktrin
Allah Tritunggal, yang bisa kita gunakan, untuk menegaskan dan
membela doktrin ini.
Kesimpulan:
Dalam Kitab Suci ada ayat-ayat yang menunjukkan ketunggalan Allah dan juga
ada ayat-ayat yang menunjukkan ‘kejamakan Allah’. Ada 2 sikap extrim yang
salah dalam persoalan ini:
Ini menjadi Tritheisme (= kepercayaan kepada tiga Allah). Ini salah, karena
mengabaikan ketunggalan Allah, berarti mengabaikan sebagian dari Kitab
Suci.
-o0o-
DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL
Ps R Romalbest, S.Si,B.Th(Wesley United Seminary),M.Sc, D.Math
Tuhan Allah, yang sebagai sekutu umat-Nya, telah menyatakan atau memperkenalkan
diri-Nya sebagai Yang Esa tadi, selanjutnya dengan firman dan karya-Nya, juga
menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang
di dalam ajaran Kristen biasanya disebut Tritunggal.
Di dalam Alkitab tidak ada banyak ayat yang mengungkapkan ketritunggalan itu secara
langsung. Kita mendengar perintah Yesus untuk membaptiskan di dalam nama Bapa,
Anak, dan Roh Kudus; Rasul Paulus mengucapkan berkatnya sebagai “Kasih karunia
Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus”, yang secara lebih
luas lagi disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:
* 1 Korintus 12:4-6,
“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu
Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang
mengerjakan semuanya dalam semua orang.”
* Efesus 4:4-6,
“satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan
yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah
dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”
* 1 Petrus 1:1-2,
“Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di
Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia, yaitu orang-orang yang dipilih,
sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat
kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan
damai sejahtera makin melimpah atas kamu.”
* Yudas 20-21,
“Akan tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, bangunlah dirimu sendiri di atas
dasar imanmu yang paling suci dan berdoalah dalam Roh Kudus. Peliharalah dirimu
demikian dalam kasih Allah sambil menantikan rahmat Tuhan kita, Yesus Kristus,
untuk hidup yang kekal.”
Akan tetapi secara tidak langsung ada banyak ayat di dalam Perjanjian Baru yang
menunjuk kepada ketritunggalan itu.
Di dalam berita tentang kelahiran Yesus, malaikat berkata, bahwa anak Maria itu akan
disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, serta bahwa Roh Kudus akan turun atas Maria,
serta kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya. Pada waktu Yesus dibaptis, Roh
Allah turun ke atas-Nya seperti burung merpati, dan bahwa Tuhan Allah berfirman,
“Inilah Anak yang Kukasihi.”
Selain dari itu, Yesus sendiri mengaku di hadapan Sanhedrin, bahwa Ia adalah Anak
Allah. Di hadapan orang Yahudi, Ia menyebut Tuhan Allah Bapa-Nya, sedang orang lain
menyebut Dia Anak Allah. Mengenai Roh Kudus disebutkan, bahwa Yesus akan
mengutus Roh-Nya dari Bapa dan sebagainya.
Semua ayat ini, yang masih dapat ditambah lagi dengan banyak sekali, tidak boleh
diabaikan begitu saja.
Pada abad-abad yang pertama, Gereja yang masih muda itu dihadapkan dengan
persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Pengakuan yang diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah esa.
2. Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.
Oleh karena itu maka segeralah timbul persoalan, apakah dengan demikian orang
Kristen tidak menyembah kepada Allah yang lebih dari satu?
Di sepanjang sejarah Gereja, tampaklah pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk
merumuskan kepercayaannya yang mengenai Tuhan Allah. Di dalam pergumulan tadi
dapat disaksikan bagaimana Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri
dari bahaya “mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalannya”,
artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah esa,
sehingga sebutan Bapa, Anak, dan Roh Kudus seolah-olah hanya dipandang sebagai
sifat-sifat Allah saja. Di lain pihak dapat disaksikan pula, bagaimana Gereja bergumul
untuk menghindarkan diri dari bahaya “mempertahankan ketritunggalan Allah dengan
melepaskan keesaannya”, artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada
perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sehingga ketiganya itu seolah-olah
berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan.
Pada abad ketiga di Roma muncullah Praxeas yang mengajarkan bahwa Tuhan Allah
adalah Roh. Sebagai Roh, Tuhan Allah disebut Bapa. Allah ini telah mengenakan daging
atau menjadi manusia. Allah yang telah mengenakan daging ini disebut Anak. Di dalam
diri Yesus Kristus, Bapa dan Anak menjadi satu, dalam arti demikian, bahwa sang
manusia Yesus, yang daging adanya, adalah Anak, sedang Kristusnya, yang Roh adanya,
adalah Bapa. Yang dilahirkan adalah Anak, yaitu sang manusia Yesus di dalam diri Juru
Selamat. Sebenarnya Anak inilah yang menderita sengsara, sebab Allah Bapa, yang Roh
adanya, tidak dapat menderita. Tetapi oleh karena Allah Bapa telah memasuki daging
(Kristus memasuki Yesus) ia turut menderita juga. Ajaran ini disebut Patripassianisme,
artinya, bahwa Bapa turut menderita sengsara. Di sini Praxeas membedakan antara
daging (Anak) dan Roh (Bapa) di dalam diri Yesus Kristus. Sebenarnya, menurut
Praxeas, Bapa dan Anak (Roh dan daging, atau Kristus dan Yesus) ini adalah Pribadi
yang satu, yaitu Allah.
Dari uraian di atas jelas, bahwa Praxeas mempertahankan keesaan Allah. Tuhan Allah
adalah satu. Bapa dan Anak adalah satu Pribadi, yaitu pribadi Tuhan Allah. Tetapi
Praxeas melepaskan ketritunggalan atau di sini lebih tepat disebut kedwitunggalan.
Sebutan Bapa dan Anak tidak menunjukkan perbedaan, kecuali sebagai Roh dan daging
di dalam diri Juruselamat Yesus Kristus.
SABELLIUS :
Mempertahankan keesaan Tuhan Allah dan melepaskan ketritunggalan-Nya ini juga
dilakukan oleh Sabellius (meninggal pada tahun 215). Ia mengajarkan, bahwa Tuhan
Allah adalah esa. Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan
diri Tuhan Allah yang esa itu. Semula, yaitu di dalam Perjanjian Lama, Tuhan Allah
menampakkan diri-Nya di dalam wajah atau modus Bapa, yaitu sebagai Pencipta dan
Pemberi Hukum. Sesudah itu Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah
Anak, yaitu sebagai Juruselamat yang melepaskan umat-Nya, yang dimulai dari
kelahiran Kristus hingga kenaikan-Nya ke surga. Akhirnya Tuhan Allah sejak hari
Pentakosta menampakkan diri-Nya di dalam wajah Roh Kudus, yaitu sebagai Yang
Menghidupkan. Jadi ketiga sebutan tadi adalah suatu urut-urutan penampakan Tuhan
Allah di dalam sejarah.
Untuk menjelaskan pendapatnya itu Sabellius memakai gambaran matahari. Allah Bapa
dapat diumpamakan dengan matahari dalam penampakannya, sedang Allah Anak
adalah matahari dalam sinarnya, dan Allah Roh Kudus adalah matahari dalam
kekuatannya menyinarkan panas. Ketritunggalan di sini dipandang sebagai
ketritunggalan penampakan yang berganti-ganti atau bergiliran. Yang menampakkan
diri adalah Tuhan Allah yang satu itu.
Pernah ada suatu keterangan mengenai ketritunggalan Allah, yang sama dengan
keterangan Sabellius, yaitu ketritunggalan itu dapat diterangkan demikian: Bapak
Presiden di tengah-tengah keluarganya menjadi kepala keluarga, di tengah-tengah
angkatan bersenjata menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata, di tengah-tengah
rakyat menjadi kepala negara. Orangnya satu, tetapi tampil dalam tiga wajah.
Sebaliknya ada golongan ahli pikir Kristen pada waktu itu yang berusaha
mempertahankan ketritunggalan Allah, tetapi melepaskan keesaan-Nya, artinya bahwa
Allah Bapa, Allah Anak (atau Yesus Kristus) dan Roh Kudus dibedakan sedemikian
rupa, hingga ketiganya berdiri sendiri-sendiri, tanpa kesatuan.
Yesus Kristus adalah rumah Allah, yang didiami oleh Roh Allah atau Hikmat Allah
dengan sempurna. Seperti halnya dengan dua oknum yang dapat memiliki kesatuan
kegemaran dan kehendak, demikianlah halnya dengan Tuhan Allah dan Kristus.
Kesatuan kegemaran dan kehendak yang demikian itu terjadi karena kasih. Karena
kasih dan kehendak-Nya yang tidak berubah, maka Kristus dipersatukan dengan Tuhan
Allah, sehingga Ia bukan hanya dapat tidak berdosa, melainkan juga dapat
mengalahkan dosa-dosa nenek moyang-Nya. Sebagai upah kasih-Nya yang demikian
itu, ia dikaruniai nama yang di atas segala nama, dan mendapat hak untuk mengadili
dan memiliki kehormatan Allah, Ia diangkat menjadi Anak Allah.
Demikianlah Paulus dari Samosata mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa dan
Yesus Kristus. Keduanya dipisahkan hingga berdiri sendiri-sendiri tanpa kesatuan. Ia
mempertahankan ketritunggalan (atau di sini kedwitunggalan) dengan melepaskan
keesaan-Nya.
ORIGENES
Hal yang demikian juga dilakukan oleh Origenes (meninggal tahun 254). Menurut
Origenes, Tuhan Allah adalah satu atau esa, sebagai lawan dari segala yang banyak.
Tuhan ini menjadi sebab segala sesuatu yang berada. Dengan perantaraan Logos atau
Firman, Tuhan Allah, yang Roh adanya itu, berhubungan dengan dunia benda. Logos ini
berdiri sendiri sebagai suatu zat, yang memiliki kesadaran ilahi dan asas-asas duniawi.
Ia adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal ia dilahirkan dari Allah. Karena
kekuasaan kehendak ilahi ia terus-menerus dilahirkan dari zat ilahi. Ia memiliki tabiat
yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ia satu dengan Allah,
akan tetapi sebagai yang keluar dari Allah Bapa, Ia lebih rendah daripada Allah Bapa. Ia
adalah pangkat pertama dari perpindahan dari Yang Esa kepada Yang Banyak, atau
pangkat kedua di dalam zat Allah.
Aktivitas Logos atau Anak ini juga lebih rendah dibanding dengan aktivitas Bapa. Ia
adalah pelaksana kehendak Allah Bapa, yang melaksanakan instruksi Allah Bapa,
sebagai umpamanya penjadian.
Roh Kudus dianggapnya juga sebagai zat yang ada pada Allah, yaitu pangkat ketiga di
dalam zat Allah itu. Roh Kudus ini adanya karena Anak. Hubungannya dengan Anak
sama dengan hubungan Anak dengan Bapa. Bidang kerja-Nya juga lebih sempit
dibanding dengan bidang kerja Anak. Bapa adalah asas beradanya segala sesuatu,
sedang Roh Kudus adalah asas penyucian segala sesuatu.
Jadi ketritunggalan Allah dipandang sebagai berpangkat-pangkat. Oleh karena itu
ajaran ini disebut subordinasianisme. Di sini perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh
Kudus dipertahankan, akan tetapi kesatuannya ditiadakan.
Demikianlah secara singkat pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk
merumuskan ajarannya mengenai penyataan Tuhan Allah sebagai Bapa, Anak, dan Roh
Kudus.
“Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi,
segala yang kehilatan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak
Allah yang Tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari
Allah, terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat,
sehakekat dengan Sang Bapa …. dan seterusnya. Aku percaya kepada Roh Kudus, yang
jadi Tuhan dan yang menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak …. dan
seterusnya.
Dari perumusan ini jelas, bahwa dengan tegas diajarkan tentang Allah Tritunggal, Allah
Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang bersama-sama disembah dan dimuliakan.
Perlu diperhatikan, bahwa Gereja di sini mengakui Allah Tritunggal, akan tetapi tidak
memberi penjelasan secara teologis.
TERTULIANUS
Orang yang besar sekali pengaruhnya bagi perumusan ajaran Tritunggal ini adalah
Tertullianus (120 – 225). Darinyalah istilah substansi atau zat dan persona atau pribadi
dikenakan kepada ajaran Tritunggal. Ia merumuskan, bahwa Tuhan Allah adalah satu di
dalam substansi-Nya atau Dzat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pribadi-Nya
atau oknum-Nya (una substantia, tres personae).
Tertullianus sendiri mengajarkan demikian: Tuhan Allah memiliki pada diri-Nya akal
atau budi. Budi ini dilahirkan atau dikeluarkan di dalam Firman atau Logos-Nya pada
waktu penjadian alam semesta. Jadi Firman atau Logos itu keluar atau dilahirkan dari
budi, seperti batang pohon keluar dari akarnya, atau seperti sungai keluar dari
sumbernya, atau sebagai sinar keluar dari matahari. Oleh karena itu, maka Firman atau
Logos tadi disebut Anak. Mula-mula Roh Kudus adalah satu dengan Firman, tidak
terpisah dari Firman atau Logos, juga pada waktu Logos atau Firman menjadi manusia
dan menderita sengsara. Baru setelah Kristus ditinggikan, Roh itu keluar dari Bapa dan
Anak. Keluarnya Roh Kudus dari anak sama dengan keluarnya buah dari batang
pohonnya, atau seperti arus keluar dari sungai, atau seperti berkas sinar keluar dari
sinar. Jadi hubungan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus digambarkan seperti
hubungan: akar – batang – buah, atau sumber – sungai- arus, atau matahari – sinar –
berkas sinar. Bapa, Anak, dan Roh Kudus memiliki satu substansi, sedang mereka
adalah tiga persona atau pribadi atau oknum. Adapun yang dimaksud dengan substansi
oleh Tertullianus adalah apa yang berada secara kongkrit (sebagai umpamanya: batu,
tanah, dan sebagainya), dan yang dimaksud dengan persona adalah yang menjadi
subyek.
Sekalipun Gereja pada waktu itu tidak menerima ajaran Tertullianus, akan tetapi
perumusannya tentang adanya satu substansi dan tiga persona mempengaruhi
pemikiran-pemikiran Gereja dari zaman sesudah Tertullianus. Di sepanjang sejarah
Gereja, perumusan ini telah menimbulkan salah paham yang banyak sekali. Hal ini,
demikian banyak teolog berpendapat, disebabkan oleh istilah-istilah yang dipergunakan
di dalam bahasa Latin dan Yunani bagi pengertian-pengertian substansi dan persona
tidaklah tepat, terlebih-lebih yang mengenai pengertian persona atau pribadi, atau
oknum. Akan tetapi, salah paham itu terlebih-lebih disebabkan oleh pengungkapan-
pengungkapan itu didasarkan atas pandangan Plato yang mengenai tabiat ilahi atau
ketuhanan seperti yang telah diuraikan di atas.
THOMAS AQUINAS
Thomas Aquinas mengatakan, bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah cara berada
ilahi yang berdiri sendiri. Jadi yang dimaksud dengan persona adalah cara berada.
JOHN CALVIN
Calvin menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri di dalam kehidupan
ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat ilahi yang khas ilahi
semata-mata.
Di dalam bahasa Yunani yang disebut dengan ousia ialah apa yang membedakan satu
macam atau satu rumpun dengan macam atau rumpun yang lain, serta yang memberi
ciri khas kepada macam atau rumpun itu. Umpamanya: rumpun mangga; ousia mangga
adalah ciri-cirinya yang membedakan rumpun ini dengan rumpun yang lain
(umpamanya: jambu) dan ciri-ciri yang khas pada mangga yang menjadikan mangga
berbeda dengan jambu. Ousia atau substansi manusia, atau juga disebut zat atau
hakekat manusia, adalah apa yang membedakan manusia daripada binatang dan
daripada tumbuh-tumbuhan serta daripada Allah, pendeknya: yang menjadikan
manusia disebut manusia, bukan binatang atau tumbuh-tumbuhan atau Allah.
Demikian juga halnya dengan ousia atau substansi Allah, ialah apa yang membedakan
Allah dari manusia dan makhluk-makhluk yang lain yang oleh Plato disebut tabiat ilahi
atau ketuhanan, yang harus dibedakan dengan tabiat insani atau kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan hypostasis atau persona adalah apa yang membedakan satu
individu dari individu yang lain, serta yang membedakan ciri khas kepada individu itu
di dalam satu rumpun atau satu macam, umpamanya: buah jeruk ada bermacam-
macam, ada jeruk keprok, jeruk pecel, dan sebagainya. Semuanya itu termasuk rumpun
jeruk, akan tetapi yang sebuah berbeda dengan yang lain. (Atau juga jeruk pada satu
pohon, yang sebuah berbeda dengan yang lain).
Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu diterangkan sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak,
Roh Kudus adalah tiga hypostasis di dalam satu ousia atau tiga persona di dalam satu
substansi, atau tiga oknum di dalam satu Dzat.
Sejak abad ke-18 pengertian persona atau oknum telah dianggap sebagai suatu kekuatan
yang berdiri sendiri dengan secara sadar, atau suatu swadaya yang sadar, yang dengan
kekuatan kesusilaannya mempertahankan diri terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak
berpribadi di sekitarnya. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau
oknum telah tidak mungkin lagi diterapkan guna mengungkapkan pengertian Alkitab
yang mengenai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab memang bukan pengertian yang
seperti itulah yang dimaksud oleh Gereja kuno ketika merumuskan ajarannya tentang
ketritunggalan Allah. Oleh karena itu maka banyak para ahli teologia sekarang yang
menerjemahkan ungkapan υποστασις – HUPOSTASIS atau persona bukan dengan
oknum, melainkan dengan cara berada (seinsweise atau mode of existence) , sehingga
ketritunggalan dirumuskan demikian: Allah adalah satu di dalam substansi-Nya, tetapi
memiliki tiga cara berada.
Cara menerangkan ini juga masih kabur, karena masih terlalu dipengaruhi oleh gagasan
Plato mengenai adanya suatu tabiat ilahi atau ketuhanan tadi.
Pemuda:
Pak Pendeta, selama ini kita memahami bahwa ALLAH yang kita imani adalah Allah
Tritunggal. Sepengetahuan saya, ajaran tentang Allah Tritunggal (Trinitas) merupakan
tanggapan terhadap ajaran yang sedang berkembang pada jamannya.
Pendeta:
Ya benar, pengakuan iman tentang Allah Tritunggal (Trinitas) lahir dalam konteks
perdebatan untuk menanggapi ajaran Arius, seorang pemimpin gereja dari
Alexandria. Arius mengajarkan bahwa Yesus hanyalah mirip atau menyerupai Allah,
namun bukan Allah. Arius memakai sebuah istilah teologis yang menjelaskan ajarannya
yaitu “homoios” yang artinya: esensi ilahi yang mirip atau serupa.
Homoios menyatakan bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus tidaklah setara dan
sama. Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki wujud dan kedudukan yang tidak
serupa. Ajaran dari Arius pada prinsipnya mempersoalkan keilahian Yesus dengan
relasiNya dengan Allah. Konsili di Nicea tahun 325 dan 381, serta pengakuan iman
Athanasius sekitar tahun 500 menanggapi ajaran Arius dengan merumuskan ajaran
Trinitas. Istilah yang dipakai adalah “homoousios” dari bahasa Yunani yang berarti
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki esensi ilahi yang sama.
Pemuda:
Jika demikian, benarkah klaim kaum unitarian (Anti Trinitas) bahwa istilah Allah
Tritunggal (Trinitas) tidak Alkitabiah? Lalu apa yang mendasari ajaran Trinitas?
Pendeta:
Istilah “Trinitas” sesungguhnya mulai diterapkan dalam ajaran gereja sebagai suatu
refleksi ajaran gereja. Untuk lebih jelasnya mari kita memperhatikan benang merah
sejarah pembentukan doktrin Trinitas: (disarikan dari tulisan Pdt Hendri M Sendjaja )
1. Dimulai dari Paham Allah Israel
Orang Israel di jaman PL memahami dan menghayati Allah sebagai “Yang Transenden
dan Imanen”. ALLAH yang transenden adalah ALLAH Maha Tinggi yang kehadiran-
Nya tidak dapat tertampung apa pun di jagat raya ini, juga tidak dapat dikurung oleh
waktu. DIA tak terbatas. Kategori utama dalam PL yang menyatakan transendensi Allah
adalah kesadaran akan kekudusan. Kekudusan adalah kekhasan hakikat Allah yang
membedakan Dia dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sedangkan Allah Yang Imanen
adalah gambaran Allah yang hadir di dalam kehidupan manusia ini. Allah Yang Imanen
adalah Allah yang terlibat di dalam sejarah kehidupan ciptaan-Nya. Kategori utama
dalam PL yang menyatakan imanensi Allah adalah kesadaran akan kedekatan.
Kedekatan ini dirasakan orang Israel melalui sejarah kehidupan mereka.
Pengharapan akan Mesias terus berlangsung sampai pada zaman Yesus. Ini bisa
dipahami lantaran pada masa Yesus, Israel tetap di bawah penaklukan dan penjajahan
Romawi. Tampaknya pengharapan akan Mesias berkembang ke arah hal-hal politis
(yang bersifat partikular), yakni pengharapan akan kehadiran “tokoh” yang mampu
memulihkan Israel. Yesus adalah salah seorang yang pada gilirannya dianggap sebagai
Mesias, paling tidak oleh para murid-Nya. Awalnya Yesus dianggap sebagai Mesias
dalam pengertian partikular untuk bangsa Israel (lihat: Mat 20:2-28//Mrk 10:35-45;
Kis 1:6). Hal ini bisa dipahami karena Yesus memang berjuang untuk kedamaian
bangsanya melalui khotbah-khotbah, perbuatan-perbuatan ajaib (mujizat), dan juga
proklamasi penentangan apapun bentuk penindasan yang melahirkan penderitaan, baik
yang dilakukan oleh pelaku dan institusi pemerintah maupun pelaku dan institusi
keagamaan. Tidak jarang Yesus pun menyatakan diri-Nya sebagai pemenuhan kabar
baik Kerajaan Allah (bdk. Luk 4:18-21; Mat 11:2-6//Luk 7:18-23). Pada perkembangan
kemudian Yesus pun dianggap sebagai Mesias dalam pengertian universal untuk dunia
(Yoh 3:16). Pergeseran anggapan ini merupakan hasil dari perenungan (refleksi) para
murid atas hidup dan karya Yesus. Dalam hal ini, Yesus menjadi Kristus (Khristos, bhs.
Yunani: ‘Yang Diurapi’). “Pemberita Injil Kerajaan Allah” itu telah menjadi “Yang
Diberitakan”. Di dalam Yesus Kristus, Allah telah menyatakan diri-Nya, telah melawat
umat-Nya (Luk 7:16; 19:44). Sejak pergeseran anggapan tentang Yesus tersebut, orang-
orang yang disebut Khristianoi atau Kristen (Kristiani) merumuskan pengakuan
imannya: “Yesus Kristus adalah Tuhan.” (Flp 2:11; 1Kor 12:3) Inilah pengakuan iman
Kristiani yang mula-mula. Bagi Paulus, pengakuan iman ini dimungkinkan karena
pekerjaan Roh Allah saja (1Kor 12:3). Dari sini kita melihat bagaimana refleksi umat
Kristiani sampai kepada pengakuan akan ke-Tuhanan Yesus Kristus dan pengakuan
akan pekerjaan Roh Allah atau Roh Kudus. Lebih lanjut Paulus menyatakan imannya
demikian: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-
Allahan.” (Kol 2:9) Maka berkembanglah Kristologi pemahaman ke-Allahan di dalam
diri Yesus Kristus. Penulis Injil Yohanes kemudian mengungkapkan “Kristologi dari
atas”, yang mana Yesus Kristus dipahami sebagai Firman Allah yang telah menjadi
manusia, sebagai penyataan Allah di dunia (Yoh 1:1, 14, 18). Bagi Penulis Yohanes,
hubungan antara Yesus Kristus dan Allah itu satu: “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku; dan
barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku.” (Yoh 12:44-45)
“Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku,
supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” (Yoh 17:22). Perihal
keterkaitan dengan Roh Kudus, bagi Penulis Yohanes, Roh Kudus itu adalah Penolong
lain, Penghibur (Yunani: Parakletos) yang dijanjikan Yesus Kristus. Roh Kudus
dinyatakan sebagai Roh Kebenaran yang akan menyertai dan tinggal di dalam para
pengikut Kristus. (Yoh 14:15-26)
Ada suatu kelompok Kristiani mula-mula yang sangat prihatin akan keesaan Allah.
Mereka berharap keesaan Allah tidak dikhianati oleh pengakuan iman Kristiani. Oleh
karena itu mereka berusaha mencari jalan, bagaimana hubungan khusus Yesus dengan
Allah bisa dipikirkan tanpa membahayakan keesaan absolut Allah. Dua macam jawaban
yang mereka ajukan – itulah sebabnya kemudian mereka dibagi atas dua golongan.
Golongan pertama adalah monarkianisme dinamis. Golongan ini berpendapat bahwa
Yesus merupakan manusia biasa, tetapi Allah melengkapi-Nya dengan suatu kekuatan
(dunamis) istimewa. Pelengkapan itu terjadi pada peristiwa pembaptisan Yesus di
Sungai Yordan, atau ketika Yesus ditinggikan Allah dalam peristiwa kebangkitan. Jadi,
Yesus hanya diangkat sebagai Anak Allah, tanpa sungguh sebagai Allah. Karena ada
proses pengangkatan (adopsi), maka golongan ini pun dikenal dengan sebutan
adopsianisme. Pada tahun 269, paham seperti ini ditolak oleh sebuah sinode di
Antiokhia.
Golongan kedua adalah monarkianisme modalis (kata Latin modus berarti ‘cara’).
Menurut golongan ini, Yesus adalah suatu cara Allah menyatakan diri. Sambil mau
mempertahankan keesaan absolut Allah, golongan ini meyakini bahwa Yesus sungguh-
sungguh Allah, karena hanya sebagai Allah, Ia bisa menyelamatkan dunia. Golongan ini
mengajarkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya merupakan nama atau cara
penampakan yang berbeda dari Allah yang sama.
Pemuda:
Apakah di masa kini masih ada kelompok Kekristenan yang menolak ajaran Trinitas?
Pendeta :
Pandangan Arius di Indonesia tampak mewarnai ajaran dari Saksi Yehova yang
menyatakan bahwa Allah Bapa dan Putera Allah adalah dua pribadi dan Roh yang
secara hakiki berbeda dan terpisah satu sama lain. Allah Bapa, Jehova, sang Pencipta
lebih tinggi dari sang Putera. Dalam hal ini Yesus Kristus adalah hanyalah saksi dan
pelayan utama dari Jehova. Selain saksi Yehova, masih ada pula kelompok penganut
pandangan unitarianisme yang menyebut diri di Indonesia sebagai Kristen Tauhid.
Pemuda:
Jika kontroversi masih terus terjadi, lalu bagaimana menjelaskan secara sederhana
tentang hubungan Bapa, Anak dan Roh Kudus dalam keesaan ALLAH Tritunggal?
Pendeta:
Bapa, Anak (Yesus Kristus ) dan Roh Kudus adalah sebutan bukan dalam hubungan
dengan Allah sendiri namun dalam hubungan dengan manusia. Dalam hubungannya
dengan manusia, Allah disebut Bapa karena Ia-lah yang mengasihi, memelihara dan
melindungi umat-Nya. Dalam hubungannya dengan manusia Alalh disebut sebagai
Yesus Kristus karena Ia-lah yang menyelamatkan umat manusia melalui status dan
karya-Nya sebagai Mesias yang menyerahkan diri-Nya dalam penderitaan dan
kematian-Nya. Dalam hubungan-Nya dengan manusia, Allah disebut Roh Kudus,
karena Ia-lah yang hadir dalam hidup umat dan gereja-Nya, untuk menguduskannya
sehingga keselamatan itu menjadi bagian dari hidup umat-Nya. Jadi Bapa, Yesus
Kristus dan Roh Kudus adalah realitas yang sama. Dengan demikian Allah kita adalah
Allah yang esa.
Pemuda:
apa kesimpulan yang perlu ditegaskan dari kontroversi ajaran Trinitas?
Pendeta:
Inilah seharusnya yang menjadi kesadaran kita bahwa “yang terbatas tidak mampu
menampung Yang Tak Terbatas”. Allah senantiasa lebih besar daripada setiap konsep
dan gambaran yang dapat dibuat oleh manusia. Akal manusia tidak dapat menjangkau
realitas Allah secara sempurna dan tuntas. Bahasa manusia pun terbatas untuk
mengungkapkan Dia, tidak dapat menampung realitas-Nya.
——————————————–
Sumber:
1. www.yohanesbm.com, Pengantar Ajaran tentang Trinitas.
2. Budyanto, Mempertimbangkan Ulang Ajaran tentang Trinitas, Yogyakarta, TPK,
2001
3. http://teologikristiani.blogspot.com/2008/07/doktrin-trinitas-suatu-
pemahaman.html
Allah Tritunggal
dan Sejarah
Orang Kristen adalah orang-orang yang beriman kepada Allah Tritunggal, Pencipta
seluruh alam semesta. Implikasi dari pernyataan ini adalah kita harus mengerti segala
sesuatu dengan tepat sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta segala sesuatu
itu sendiri, yaitu Allah Tritunggal. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana kita
mengerti sejarah.
Banyak pertanyaan yang diajukan oleh manusia seputar sejarah. Apakah sejarah adalah
sesuatu yang dibentuk semata-mata oleh kekuatan manusia, sesuatu yang tidak
memiliki tujuan dan makna? Ataukah sejarah adalah sesuatu yang telah direncanakan
dan memiliki makna?
Kemudian secara khusus, sebagai orang Kristen, juga timbul berbagai pertanyaan:
Bagaimanakah relasi antara Allah Tritunggal dengan sejarah? Apakah signifikansi dari
iman Kristen di dalam sejarah dan penilaiannya terhadap sejarah? Bagaimanakah
seorang Kristen dapat mengaplikasikan apa yang diimaninya di dalam sejarah dengan
melihat akan seluruh konteks sejarah?
Sejarah, mau tidak mau, akan menemani perjalanan manusia dalam lingkup waktu dan
tempat. Saat saudara membaca artikel ini pun, terukir sebuah kejadian yang spesifik
dalam lempeng waktu. Namun, sejarah dapat dinilai berbeda oleh setiap orang dan
menghasilkan interpretasi yang berbeda pula. Maka pertanyaan pertama adalah “What
is history?”, bagaimana kita dapat mengenali sejarah dari kacamata Tritunggal yang
adalah Otoritas tertinggi di dalam semesta ini?
Unity and Diversity dalam Sejarah
Dalam bukunya ‘God Centered Biblical Interpretation’, Vern Sheridan Poythress
menjelaskan bahwa di dalam sejarah terdapat sifat ‘unity in diversity’. Unitymengacu
pada satu sistem yang panjang di dalam dimensi waktu dan tempat. Satu sistem yang
panjang ini dibentuk oleh unit-unit kejadian kecil yang setiap unitnya dapat
diklasifikasikan ke dalam kelas-kelas tertentu. Pengklasifikasian ini merupakan satu
implikasi dari sifat unity dalam sejarah, sedangkan unit-unit kecil ini mengacu pada
sifat diversity dari sejarah. Selain itu, diversity juga mengacu pada particularity, yang
berarti setiap kejadian ini pun juga merupakan sejarah dalam batasan
tertentu. Kemerdekaan Indonesia, contohnya, merupakan satu hal yang ada di dalam
dan sekaligus merupakan sejarah. Dan karena tiap kejadian ini adalah unik pada
esensinya; dalam artian ketidakmungkinan untuk terulang kembali dengan sama,
sejarah memiliki sifat keunikan dan mengandung unsur kesatuan dan keberagaman di
dalamnya.
Dan karakter terakhir adalah unity in diversity in history adalah bahwa setiap sejarah
ada keterkaitannya, dan setiap sejarah menjadi tonggak untuk sejarah-sejarah yang
akan terjadi di waktu berikutnya. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan dalam
menginterpretasikan sejarah. Setiap aspek ini memberikan perspektif kepada aspek
yang lain, tidak ada satu aspek pun yang dapat dimengerti kecuali kita memegang
kerangka pikir Tritunggal yang utuh dan koinheren. Karena bagaimanapun ketiga aspek
ini berbeda tetapi tetap terkait dan bersifat satu. Kesatuan yang menghilangkan
keberagaman akan menjadi suatu kesatuan yangabsurd dan mati. Hal demikian tidak
mungkin terjadi karena sejarah yang merupakan turunan dari waktu, yang terus
mengalir, sehingga harus bersifat dinamis. Saat waktu bergerak, kesatuan itu sendiri
juga harus mempunyai sifat keberagaman. Di lain pihak, keberagaman tidak dapat
dipisahkan dari atau berdiri sendiri di luar kesatuan. Karena hal demikian akan
mengakibatkan manusia tidak mempunyai pengharapan untuk hidup dan belajar; kita
membutuhkan adanya memori yang bergantung pada satu titik awal dari mana kita bisa
melihat sejarah sebagai suatu hal yang berurutan.
Sebagaimana Allah Tritunggal yang memiliki tiga pribadi yang berbeda, yang bisa
dibedakan, tetapi merupakan Allah yang Esa yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga aspek
sejarah ini merupakan analogi dari Allah Tritunggal, yang berbeda namun tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Makna yang diberikan oleh Anak Allah dalam lingkup yang lebih dalam berpusat pada
karya keselamatan yang dikerjakan oleh-Nya secara penuh dan tuntas bagi umat-Nya.
Melalui karya keselamatan-Nya, seluruh sejarah manusia ditarik dari yang paling kecil
ke yang paling besar, kembali kepada poros sejarah manusia; yaitu kematian Kristus di
atas kayu salib dan kebangkitan-Nya. Sebagai contoh, adalah kisah peperangan di
dalam Kitab Raja-Raja, di mana konsep peperangan menjadi salah satu hal yang
diketengahkan di dalam pembahasan. Peperangan yang direfleksikan di dalam kitab
tersebut mengandung makna dan esensi dari Peperangan Suci antara Allah yang benar
dan adil melawan Iblis, yang pada akhirnya dikalahkan melalui kematian dan
kebangkitan Kristus dan pada waktu Yesus datang untuk kedua kalinya.
Dalam refleksi ini, terdapat tiga poin penting yang dinyatakan secara implisit: (1)
kejatuhan manusia, yang menyebabkan manusia rusak total dan tidak bisa memuaskan
standar Allah; (2) pengorbanan Kristus di atas kayu salib, sebagai satu-satunya solusi
keberdosaan manusia; serta (3) kedatangan Kristus untuk kedua kalinya untuk
menggenapi seluruh janji Allah. Misalnya dalam perayaan Natal, kita tidak boleh
mengkotak-kotakkan hal itu terlepas dari keberdosaan manusia yang memerlukan
karya keselamatan Kristus dan pelayanan-Nya di dalam dunia ini. Serta Ia yang nanti
akan datang untuk menghakimi manusia pada akhir zaman. Kelahiran Kristus tidak
boleh dilepaskan dari seluruh karya keselamatan-Nya.
Melalui karya keselamatan Kristus, Allah memberikan satu anugerah pada umat
manusia untuk boleh diperdamaikan dengan Allah yang secara total menuntut
pertanggungan jawab total bagi seluruh dosa umat manusia. Hal ini tidak berarti bahwa
umat pilihan tidak akan dihakimi. Umat pilihan akan tetap menjalani penghakiman
Allah tapi dosa-dosa mereka telah ditanggungkan kepada Kristus di dalam kematian-
Nya di atas kayu salib.
Keyakinan akan adanya satu kesatuan dalam seluruh rangkaian sejarah bukanlah suatu
keyakinan yang tidak memiliki dasar. Sedikitnya ada tiga hal yang melandasi keyakinan
tersebut. Poin pertama adalah karakter Allah yang utuh sebagai originator,
manifestator, dan accomplisher dari seluruh yang pernah ada, yang ada, dan yang akan
ada dalam jenjang kronologis sejarah manusia. Allah yang satu menyatakan karakter-
Nya, salah satunya melalui ciptaan-Nya (Roma 1:20). Oleh karena itu, ciptaan yang
merefleksikan karakter dari Allah yang satu, tidak mungkin tidak menunjukkan satu
pola yang merujuk pada pribadi sang Pencipta. Sama seperti seorang seniman yang
membuat sebuah karya seni. Karya tersebut pasti merefleksikan karakternya, sehingga
seseorang dapat mengetahui pribadi di balik sebuah karya hanya dari mengamati karya
seniman tersebut.
Poin kedua adalah natur dasar dari manusia sebagai makhluk ciptaan yang telah jatuh
ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Tuhan yang asli. Dalam kondisi yang terpuruk
seperti ini tidak mungkin ada satu hal pun di dalam manusia yang dapat memuaskan
tuntutan Allah. Oleh karena itu Allah sendiri yang harus turun menyelamatkan
manusia. Tenggelam dalam satu kondisi bersalah yang sama dan membutuhkan
pembenaran dari Allah yang hanya berdasarkan anugerah semata, adalah hal yang
menyatukan seluruh umat manusia dalam seluruh rangkaian sejarah. Selain itu kondisi
keterpurukan manusia ini hanya memiliki satu jawaban yang pasti, yaitu Kristus, yang
juga merupakan pusat dari seluruh yang ada.
Poin yang ketiga adalah kepribadian dari tiap manusia. Manusia diciptakan sebagai
suatu makhluk berpribadi yang mencerminkan satu pribadi yang mutlak, yaitu Allah,
dan secara spesifik Kristus sebagai pribadi utama dan yang awal yang menjadi model
dalam penciptaan manusia. Oleh karena itu, manusia yang dicipta berdasar pada satu
model yang sama tidak mungkin tidak memiliki satu koneksi yang erat antara dirinya,
sesamanya, dan Tuhan yang berdaulat atas hidupnya.
Dari ketiga poin yang telah dipaparkan, sangat jelas bahwa seluruh pola hidup yang ada
di dunia ini tidak bisa tidak berpusat pada Kristus. Lalu, apakah pola yang tersusun ini,
di dalam kekayaan dan kekompleksannya adalah suatu pola yang tidak beraturan? Jelas
tidak! Dalam rangkaian sejarah, ada relasi yang memang ditetapkan untuk menjadi
penting, atau berhubungan erat dan dekat dengan Kristus sebagai inti dari sejarah, ada
pula yang ditetapkan untuk menjadi tidak penting. Akan tetapi, tidak setiap kejadian
yang dekat dengan sumber tersebut yang adalah penting. Ada kalanya kejadian yang
terdapat jauh dari sumber secara spasial (ruang) dan kronologikal (waktu) lebih penting
dari pada yang dekat. Sebagai contohnya adalah perjalanan para gembala yang pertama
kali melihat Kristus dalam palungan dari padang tempat mereka memelihara domba-
domba mereka sampai pada tempat kelahiran Kristus, tidaklah lebih penting
dibandingkan dengan kisah pertobatan Paulus dalam perjalanannya ke Damsyik. Sama
halnya dengan seluruh aspek kehidupan seorang Kristen, apa yang terletak dekat
dengannya, seperti keluarga, pacar, dan teman, bukanlah hal yang patut mendapat
prioritas utama dalam hidupnya. Apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidupnya,
tidak peduli sejauh apapun, adalah hal yang harus menjadi prioritas utama dalam hidup
ini
Sebagai dampaknya, Allah, yang menjadi sumber sejarah adalah Allah yang akan
menuntut pertanggungjawaban untuk setiap detik yang telah diberikan-Nya dalam
hidup setiap manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa setiap saat manusia
harus dan sedang memberikan kesaksian mengenai Allah: baik yang menjalankan
kehendak Allah, yang akan menyatakan kemahakuasaan Allah lewat pemeliharaan-Nya;
maupun yang melawan kehendak Allah, yang menyatakan kemahakuasaan Tuhan lewat
peringatan dan penghukuman dari-Nya. Kiranya pengertian akan sejarah yang benar
membuat kita menjadi orang yang bijaksana, yang selalu available dipakai Tuhan
sebagai alat kemuliaan di tangan-Nya untuk menyatakan Allah Tritunggal. Soli Deo
Gloria.