Anda di halaman 1dari 53

Doktrin Allah Tritunggal

Pdt. Budi Asali, M.Div.


 

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Kitab Suci yang menyatakan
doktrin Allah Tritunggal secara keseluruhan. Doktrin Allah Tritunggal didapatkan
dari banyak ayat Kitab Suci. Sebagian ayat-ayat Kitab Suci menyatakan
ketunggalan Allah, tetapi sebagian yang lain menyatakan adanya kejamakan
tertentu dalam diri Allah.

I) Kitab Suci menunjukkan ketunggalan Allah.


1)  Ayat-ayat Kitab Suci yang secara explicit menyatakan bahwa Allah itu satu
(Ul 6:4  Mark 12:32  Yoh 17:3  1Kor 8:4  1Tim 2:5  Yak 2:19).

2)  Penggunaan kata-kata bentuk tunggal untuk Allah atau dalam hubungannya
dengan Allah:

a)  Penggunaan kata ganti orang bentuk tunggal.

Contoh:

        kalau Allah berbicara tentang diriNya sendiri, maka pada umumnya


Ia menggunakan kata ‘Aku’ (bahasa Inggris: ‘I’).

        kalau orang lain berbicara tentang Allah, maka pada umumnya


digunakan kata ‘Dia’ (bahasa Inggris: ‘He’).

        kalau orang berbicara kepada Allah, maka pada umumnya digunakan


kata ‘Engkau’ (bahasa Inggris: ‘You’). Dalam bahasa Yunani maupun
Ibraninya terlihat bahwa yang digunakan adalah ‘You’ dalam bentuk
tunggal.
 

b)  Penggunaan kata kerja bentuk tunggal.

Contoh: dalam bahasa Ibraninya, kata ‘menciptakan’ dalam Kej 1:1


adalah kata kerja bentuk tunggal.

c)  Penggunaan kata sifat bentuk tunggal.

Contoh: dalam bahasa Ibraninya, kata-kata ‘baik’ dan ‘benar’ dalam


Maz 25:8 adalah kata sifat bentuk tunggal.

Maz 25:8 - “TUHAN itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan


jalan kepada orang yang sesat”.

3)  Allah mempunyai sifat self-existent, dan sifat ini tidak memungkinkan


adanya lebih dari satu makhluk seperti Dia.

a)  Sifat self-existent (= ada dengan sendirinya / ada dari dirinya sendiri) dari
Allah, jelas merupakan ajaran dalam Kitab Suci, karena Kitab Suci
menunjukkan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah (Kej 1:1-31 
Yoh 1:3,10), tetapi Kitab Suci tidak pernah menceritakan tentang
terjadinya Allah, dan ini menunjukkan bahwa Allah sendiri tidak pernah
diciptakan / dijadikan oleh siapapun / apapun juga.

b) Sifat self-existent ini mempunyai 2 perwujudan:

1.  Allah adalah makhluk yang independent (= bebas / tak tergantung)


secara mutlak.

        diriNya / keberadaanNya / hidupNya independent.


Yoh 5:26 - “Sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam
diriNya sendiri, demikian juga diberikanNya Anak
mempunyai hidup dalam diriNya sendiri”.

        pikiranNya / rencanaNya / kehendakNya /


tindakanNya independent.

Ro 11:33-34 - “(33) O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat


dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-
keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya! (34)
Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan?
Atau siapakah yang pernah menjadi penasihatNya?”.

Ro 9:10-21 - “(10) Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang


lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari
Ishak, bapa leluhur kita. (11) Sebab waktu anak-anak itu
belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang
jahat, - supaya rencana Allah tentang pemilihanNya
diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi
berdasarkan panggilanNya - (12) dikatakan kepada Ribka:
‘Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,’ (13)
seperti ada tertulis: ‘Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci
Esau.’ (14) Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan?
Apakah Allah tidak adil? Mustahil! (15) Sebab Ia berfirman
kepada Musa: ‘Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa
Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati
kepada siapa Aku mau bermurah hati.’ (16) Jadi hal itu tidak
tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi
kepada kemurahan hati Allah. (17) Sebab Kitab Suci berkata
kepada Firaun: ‘Itulah sebabnya Aku membangkitkan
engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasaKu di dalam
engkau, dan supaya namaKu dimasyhurkan di seluruh bumi.’
(18) Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang
dikehendakiNya dan Ia menegarkan hati siapa yang
dikehendakiNya. (19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku:
‘Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab
siapa yang menentang kehendakNya?’ (20) Siapakah kamu,
hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang
dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah
engkau membentuk aku demikian?’ (21) Apakah tukang
periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk
membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai
guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai
guna tujuan yang biasa?”.

Daniel 4:35 - “Semua penduduk bumi dianggap remeh; Ia


berbuat menurut kehendakNya terhadap bala tentara langit
dan penduduk bumi; dan tidak ada seorangpun yang dapat
menolak tanganNya dengan berkata kepadaNya: ‘Apa yang
Kaubuat?’”.

Ef 1:5 - “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula


oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai
dengan kerelaan kehendakNya”.

Maz 115:3 - “Allah kita di sorga; Ia melakukan apa yang


dikehendakiNya!”.

2.  Segala sesuatu ada hanya melalui Dia, dan segala sesuatu tergantung
kepada Dia.

Neh 9:6 - “‘Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah


menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala
tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut
dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup
kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah
kepadaMu”.

Maz 104:27-30 - “(27) Semuanya menantikan Engkau, supaya


diberikan makanan pada waktunya. (28) Apabila Engkau
memberikannya, mereka memungutnya; apabila Engkau
membuka tanganMu, mereka kenyang oleh kebaikan. (29)
Apabila Engkau menyembunyikan wajahMu, mereka terkejut;
apabila Engkau mengambil roh mereka, mereka mati binasa dan
kembali menjadi debu. (30) Apabila Engkau mengirim rohMu,
mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi”.
 

Yoh 1:3 - “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak
ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”.

Kis 17:28a - “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita
ada, ...”.

Ibr 1:3a - “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud


Allah dan menopang segala yang ada dengan firmanNya yang
penuh kekuasaan”.

1Tim 6:13a - “Di hadapan Allah yang memberikan hidup kepada


segala sesuatu ...”.

c)  Dari semua ini bisa disimpulkan bahwa tidak mungkin ada lebih dari satu
makhluk yang seperti itu! Karena tidak mungkin bisa ada 2 makhluk
yang sama-sama tidak tergantung apapun / siapapun, dan yang membuat
segala sesuatu tergantung dirinya.

Jadi kita tetap mempercayai bahwa Allah itu satu.

II) Kitab Suci menunjukkan adanya ‘kejamakan dalam diri Allah’.


Perhatikan bahwa saya tidak menyebut adanya ‘banyak Allah’, tetapi adanya
‘kejamakan dalam diri Allah’. Jadi, saya tetap percaya pada ketunggalan /
keesaan Allah, tetapi dalam keesaanNya itu terdapat ‘suatu kejamakan tertentu’.
Allah itu mempunyai hanya satu hakekat, dalam 3 pribadi!

Keilahian Yesus dan Roh Kudus.

Adanya kejamakan dalam diri Allah terlihat dari keilahian Yesus dan Roh
Kudus. Bahwa Yesus dan Roh Kudus juga adalah Allah, sebagaimana Bapa
adalah Allah, jelas menunjukkan adanya kejamakan dalam diri Allah.

Philip Schaff: “Under the condition of monotheism, this doctrine followed of


necessity from the doctrine of the divinity of Christ and of the Holy Spirit” (=
Di bawah kondisi dari monotheisme, doktrin ini mengikuti sebagai suatu
keharusan dari doktrin tentang keilahian dari Kristus dan dari Roh
Kudus) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 566.

Tetapi saya masih ingin menambahkan bukti-bukti adanya kejamakan dalam


diri Allah, dalam Perjanjian Lama dan dalam Perjanjian Baru.

Dalam Perjanjian Lama.

1)  Penggunaan kata ‘ELOHIM’ untuk Allah (Kej 1:1 dll) yang merupakan kata
bentuk jamak / plural.

Kata ‘ELOHIM’ mempunyai bentuk tunggal / singular yaitu ‘ELOAH’ yang


digunakan antara lain dalam Ul 32:15-17 dan Hab 3:3.

Tetapi dalam Perjanjian Lama kata ‘ELOAH’ hanya digunakan sebanyak


250 x, sedangkan kata ‘ELOHIM’ sekitar 2500 x. Penggunaan kata bentuk
jamak / plural yang jauh lebih banyak ini menunjukkan adanya ‘kejamakan
dalam diri Allah’.

 
Memang harus diakui bahwa ELOHIM sering dianggap sebagai bentuk
tunggal, tetapi yang perlu dipertanyakan adalah: kalau memang Allah itu
tunggal secara mutlak, mengapa tidak digunakan ELOAH saja terus
menerus? Mengapa digunakan ELOHIM, dan lebih lagi, mengapa digunakan
ELOHIM jauh lebih banyak dari ELOAH?

Dalam persoalan ini, buku ‘Haruskah anda percaya kepada Tritunggal?’


memberikan suatu serangan yang bagus, yang saya kutip di bawah ini:

“‘ELOHIM’ bukan berarti ‘pribadi-pribadi’, melainkan ‘allah-allah’.


Jadi mereka yang berkukuh bahwa kata ini menyatakan suatu
Tritunggal menjadikan diri sendiri politeis, penyembah lebih dari satu
Allah. Mengapa? Karena ini berarti ada tiga allah dalam
Tritunggal” (hal 13).

Tanggapan / Bantahan:

Untuk menjawab serangan ini kita bisa menjelaskan sebagai berikut:

a)  ELOHIM tidak boleh diartikan ‘Allah-Allah’, karena ini akan


bertentangan dengan ayat-ayat yang menggunakan ELOAH. Sedangkan
ELOAH tidak boleh diartikan‘Allah yang satu secara mutlak’, karena
akan bertentangan dengan ayat-ayat yang menggunakan ELOHIM. Jadi
untuk mengharmoniskan ayat-ayat yang menggunakan ELOAH dengan
ayat-ayat yang menggunakan ELOHIM, haruslah diartikan bahwa Allah
itu tunggal dalam hakekatNya, tetapi jamak dalam pribadiNya.

b)  Allah itu begitu besar, ajaib, dan ada diluar jangkauan akal manusia.
Karena itu jelaslah bahwa tidak ada bahasa manusia (termasuk bahasa
Ibrani), yang bisa menggambarkan Allah dengan sempurna. Tata bahasa
dan kata-kata dari bahasa Ibrani (atau bahasa lain apapun) tidak bisa
menggambarkan bahwa Allah itu satu hakekat tetapi tiga pribadi.
Disamping itu, Kitab Suci bukanlah suatu buku Systematic Theology,
dan karena itu tidak menuliskan doktrin-doktrin yang ada di dalamnya
dengan rumus-rumus theologia, tetapi sebaliknya, mengajar dengan
menggunakan cerita sejarah, syair, surat-surat, dan sebagainya. Kalau
Kitab Suci selalumenggunakan kata bentuk tunggal ELOAH, maka akan
menunjuk kepada Allah yang tunggal secara mutlak. Sedangkan kalau
Kitab Suci selalu menggunakan kata bentuk jamak ELOHIM, maka akan
menunjuk kepada banyak Allah. Karena itu maka dalam ayat-ayat
tertentu Kitab Suci menggunakan ELOAH dan dalam ayat-ayat lain
Kitab Suci menggunakan ELOHIM.

Dalam buku ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 403,


Saksi-Saksi Yehuwa menunjuk kepada Hak 16:23 dimana untuk dewa
Dagon dari orang-orang Filistin, juga digunakan kata ELOHIM yang lalu
diikuti dengan kata kerja bentuk tunggal.

Hak 16:23 - “Sesudah itu berkumpullah raja-raja kota orang Filistin


untuk mengadakan perayaan korban sembelihan yang besar kepada
Dagon, allah mereka, dan untuk bersukaria; kata mereka: Telah
diserahkan oleh allah kita ke dalam tangan kita Simson, musuh kita.’”.

Catatan: kata ‘telah diserahkan’ adalah kata kerja bentuk tunggal.

Dan Saksi-Saksi Yehuwa itu lalu menyimpulkan tentang kata


ELOHIM: “Bentuk jamak dari kata-kata ini dalam bahasa Ibrani
adalah untuk menunjukkan keagungan atau kemuliaan. ... Jadi itu
tidak menunjukkan banyaknya pribadi-pribadi dalam ketuhanan” -
‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 403.

Tanggapan / Bantahan:

Memang kata ELOHIM bisa digunakan untuk dewa / allah kafir, dan
sekalipun kata ELOHIM itu kata bentuk jamak, tetapi lalu diikuti kata kerja
bentuk tunggal. Ini juga terjadi dalam kasus Allah sendiri. Tetapi dalam
kasus Allah sendiri, kadang-kadang digunakan kata kerja bentuk jamak ,
seperti yang nanti akan kita lihat di bawah, dan setahu saya hal seperti ini
tidak pernah terjadi dengan dewa / allah kafir.
 

2)  Penggunaan kata bentuk jamak untuk Allah atau dalam hubungannya
dengan Allah:

a)  Kata ganti orang bentuk jamak.

Contoh:

Mungkin dalam persoalan ini, contoh ayat yang terpenting adalah Yes 6:8b, karena
dalam ayat ini kata ganti orang bentuk tunggal dan jamak untuk menyatakan Allah,
keluar sekaligus dalam satu ayat.

Tetapi dalam Yes 6:8b ini, Kitab Suci bahasa Indonesia (baik terjemahan lama
maupun baru) salah terjemahan!

Yes 6:8b - “Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ‘Siapakah yang


akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’”.

KJV/RSV/NIV/NASB:  “Whom shall I send and who will go for Us?” (= Siapa


yang akan Kuutus dan siapa yang mau pergi untuk Kami?).

Kej 3:22a - “Berfirmanlah TUHAN Allah: ‘Sesungguhnya manusia


itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik
dan yang jahat; ...”.

Kej 11:7 - “Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana


bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-
masing.’”.

Yes 41:22 - “Biarlah mereka maju dan memberitahukan


kepada kami apa yang akan terjadi! Nubuat yang dahulu,
beritahukanlah apa artinya, supaya kamimemperhatikannya, atau
hal-hal yang akan datang, kabarkanlah kepada kami,
supaya kami mengetahui kesudahannya!”.
 

Kej 1:26 - “Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia


menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-
ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di
bumi.’”.

Ada yang mengatakan bahwa pada waktu Allah


menggunakan ‘Kita’ dalam Kej 1:26, maka saat itu Ia berbicara kepada
para malaikat. Jadi itu tidak menunjukkan‘kejamakan dalam diri
Allah’. Tetapi ini tidak mungkin, sebab kalau dalam Kej 1:26 diartikan
bahwa ‘Kita’ itu menunjuk kepada ‘Allah dan para malaikat’, maka
haruslah disimpulkan bahwa:

        manusia juga diciptakan menurut gambar dan rupa malaikat.

        Allah mengajak para malaikat untuk bersama-sama menciptakan


manusia, sehingga kalau Allah adalah pencipta / creator, maka
malaikat adalah co-creator (= rekan pencipta).

Pandangan Kristen menganggap bahwa kata ‘Kita’ menunjukkan bahwa


pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal itu berbicara satu dengan yang
lain, dan ini menunjukkan adanya ‘kejamakan tertentu dalam diri
Allah’.

b)  Kata kerja dalam bentuk jamak.

Contoh:

        Kej 20:13a - “Ketika Allah menyuruh aku mengembara keluar


dari rumah ayahku, berkatalah aku kepada isteriku: ...”.

Kata-kata ‘menyuruh aku mengembara’ dalam bahasa Ibraninya


adalah kata kerja bentuk jamak.

        Kej 35:7 - “Didirikannyalah mezbah di situ, dan dinamainyalah


tempat itu El-Betel, karena Allah telah menyatakan diri
kepadanya di situ, ketika ia lari terhadap kakaknya”.
Kata ‘menyatakan’ dalam bahasa Ibraninya adalah kata kerja bentuk
jamak.

        2Sam 7:23a - “Dan bangsa manakah di bumi seperti umatMu


Israel, yang Allahnya pergi membebaskannya menjadi
umatNya, ...”.

Kata ‘pergi’ dalam bahasa Ibraninya adalah kata kerja bentuk jamak.

        Maz 58:12 - “Dan orang akan berkata: ‘Sesungguhnya ada


pahala bagi orang benar, sesungguhnya ada Allah yang memberi
keadilan di bumi.’”.

Kata ‘memberi keadilan’ dalam bahasa Ibraninya ada dalam bentuk


jamak (sebetulnya ini bukan kata kerja tetapi participle).

Padahal dalam ayat-ayat di atas ini, subyeknya adalah kata ‘ELOHIM’


yang digunakan untuk menyatakan Allah yang esa.

c)       Kata-kata bentuk jamak lainnya seperti dalam:

        Pkh 12:1 - “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu,


sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun
yang kaukatakan: ‘Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!’”.

Kata ‘pencipta’ (creator), dalam bahasa Ibraninya ada dalam bentuk


jamak, sehingga seharusnya terjemahannya adalah ‘creators’ (=
pencipta-pencipta).

        Maz 149:2 - “Biarlah Israel bersukacita atas Yang


menjadikannya, biarlah bani Sion bersorak-sorak atas raja
mereka!”.

Kata-kata ‘Yang menjadikannya’, dalam bahasa Ibraninya ada


dalam bentuk jamak.
        Amsal 9:10 - “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan
mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian”.

Kata-kata ‘Yang Mahakudus’, dalam bahasa Ibraninya ada dalam


bentuk jamak.

        Hos 12:1 - “Dengan kebohongan Aku telah dikepung oleh Efraim,


dengan tipu oleh kaum Israel; sedang Yehuda menghilang dari
dekat Allah, dari dekatYang Mahakudus yang setia”.

Kata-kata ‘Yang Mahakudus’, dalam bahasa Ibraninya ada dalam


bentuk jamak.

        Ayub 35:10 - “tetapi orang tidak bertanya: Di mana Allah, yang


membuat aku, dan yang memberi nyanyian pujian di waktu
malam”.

Kata-kata ‘yang membuat aku’, dalam bahasa Ibraninya ada dalam


bentuk jamak.

        Yes 54:5 - “Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang


menjadikan engkau, TUHAN semesta alam namaNya; yang
menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia
disebut Allah seluruh bumi”.

Kata ‘yang menjadikan engkau’, dalam bahasa Ibraninya ada dalam


bentuk jamak.

        Yos 24:19 - “Tetapi Yosua berkata kepada bangsa itu: ‘Tidaklah


kamu sanggup beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah
yang kudus, Dialah Allah yang cemburu. Ia tidak akan
mengampuni kesalahan dan dosamu”.

Dalam bahasa Ibraninya, kata ‘kudus’ ada dalam bentuk jamak, tetapi


kata ‘cemburu’ ada dalam bentuk tunggal. Jadi, kalau dalam Yes 6:8a
digunakan kata ganti orang bentuk tunggal dan jamak untuk menunjuk
kepada Allah dalam 1 ayat, maka dalam Yoh 24:19 digunakan kata
sifat bentuk tunggal dan jamak terhadap diri Allah dalam 1 ayat.

 
3)  Beberapa ayat dalam Kitab Suci membedakan Allah yang satu dengan Allah
yang lain (seakan-akan ada lebih dari satu Allah).

        Maz 45:7-8.

Karena dalam ayat ini Kitab Suci Indonesia kurang tepat terjemahannya,
mari kita lihat terjemahan NASB di bawah ini.

Psalm 45:6-7 (NASB): “Thy throne, O God, is forever and ever ...


Therefore God, Thy God has anointed Thee” (= TahtaMu, Ya Allah,
kekal selama-lamanya. ... Karena itu, Allah, AllahMu telah mengurapi
Engkau).

Bandingkan dengan Ibr 1:8-9 yang mengutip ayat ini.

        Maz 110:1.

Juga untuk ayat ini perhatikan terjemahan NASB di bawah ini.

Psalm 110:1 (NASB): “The LORD says to my


Lord ...” (= TUHAN berkata kepada Tuhanku ...). Bandingkan dengan
Mat 22:44-45 yang mengutip ayat ini.

        Hos 1:7 - “Tetapi Aku akan menyayangi kaum Yehuda dan


menyelamatkan mereka demi TUHAN, Allah mereka. Aku akan
menyelamatkan mereka bukan dengan panah atau pedang, dengan
alat perang atau dengan kuda dan orang-orang berkuda.’”.

Hos 1:7 (NASB): “But I will have compassion on the house of Judah and


deliver them by the LORD their God, and will not deliver them by bow,
sword, battle, horses, or horseman” (= Tetapi Aku akan berbelaskasihan
kepada kaum Yehuda dan menyelamatkan mereka dengan /
oleh TUHAN Allah mereka, dan tidak akan menyelamatkan mereka
oleh / dengan busur, pedang, pertempuran, kuda-kuda, atau penunggang-
penunggang kuda).
 

        Kej 19:24 - “Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan


api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit”.

TUHAN (YHWH), yang saat itu ada di bumi, menurunkan hujan


belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN
(YHWH), dari langit. Jadi kelihatannya ada 2 TUHAN (YHWH), satu di
bumi, satu di langit.

        Amsal 8 berbicara tentang ‘hikmat Allah’.

Kalau dilihat dari istilahnya, yaitu ‘hikmat Allah’ [the wisdom of God (=


hikmat dari / milik Allah)], maka jelas bahwa ‘hikmat Allah’ ini tidak
sama dengan Allah.

Tetapi Amsal 8 ini lalu mempersonifikasikan ‘hikmat Allah’ itu dan


menunjukkannya sebagai seorang pribadi yang bersifat kekal (Yesus).
Dengan kata lain, hikmat Allah itu juga adalah Allah (bdk. 1Kor 1:24
- “Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah”).

        Penampilan dari Malaikat TUHAN (Kej 16:2-13 22:11,16 31:11,13 


48:15,16  Kel 3:2,4,5  Hak 13:20-22).

Sama seperti istilah ‘hikmat Allah’ di atas, maka istilah ‘Malaikat


TUHAN’ ini juga menunjukkan bahwa ‘Malaikat TUHAN’ (the
Angel of the LORD) ini tidak sama dengan Allah.

Tetapi, sekalipun dalam bagian-bagian tertentu Malaikat TUHAN itu


disebut sebagai Malaikat TUHAN, dalam bagian-bagian lain Ia juga
disebut sebagai Allah / TUHAN sendiri.

Contoh:
       Dalam Kej 16:7,9,10,11 - disebut sebagai Malaikat TUHAN; tetapi
dalam Kej 16:13 disebut sebagai TUHAN sendiri.

Kej 16:7-13 - “(7) Lalu Malaikat TUHAN menjumpainya dekat


suatu mata air di padang gurun, yakni dekat mata air di jalan ke
Syur. (8) Katanya: ‘Hagar, hamba Sarai, dari manakah
datangmu dan ke manakah pergimu?’ Jawabnya: ‘Aku lari
meninggalkan Sarai, nyonyaku.’ (9) Lalu kata Malaikat
TUHAN itu kepadanya: ‘Kembalilah kepada nyonyamu,
biarkanlah engkau ditindas di bawah kekuasaannya.’ (10) Lagi
kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: ‘Aku akan membuat
sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung
karena banyaknya.’ (11) Selanjutnya kata Malaikat TUHANitu
kepadanya: ‘Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang
anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah
mendengar tentang penindasan atasmu itu. (12) Seorang laki-laki
yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu;
tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap
orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan
menentang semua saudaranya.’ (13) Kemudian Hagar
menamakanTUHAN yang telah berfirman kepadanya itu dengan
sebutan: ‘Engkaulah El-Roi.’ Sebab katanya: ‘Bukankah di sini
kulihat Dia yang telah melihat aku?’”.

       Dalam Kej 22:11a - disebut sebagai ‘Malaikat TUHAN’; tetapi dalam


Kej 22:11b-12 - disebut sebagai ‘Tuhan’ / ‘Allah’ sendiri.

Kej 22:11-16 - “(11) Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari


langit kepadanya: ‘Abraham, Abraham.’ Sahutnya: ‘Ya, Tuhan.’
(12) Lalu Ia berfirman: ‘Jangan bunuh anak itu dan jangan
kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang,
bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan
untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu.’ (13) Lalu
Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di
belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar.
Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai
korban bakaran pengganti anaknya. (14) Dan Abraham menamai
tempat itu: ‘TUHAN menyediakan’; sebab itu sampai sekarang
dikatakan orang: ‘Di atas gunung TUHAN, akan disediakan.’ (15)
Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat TUHAN dari langit
kepada Abraham, (16) kataNya: ‘Aku bersumpah demi diriKu
sendiri - demikianlah firman TUHAN -: Karena engkau telah
berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk
menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu, ...”.

Sekalipun dalam ay 11 disebut sebagai ‘Malaikat TUHAN’, tetapi


dalam ay 11b disebut ‘Tuhan’ oleh Abraham. Dan dalam
ay 15, ‘Malaikat TUHAN’ itu berseru, tetapi dalam ay 16
dikatakan ‘firman TUHAN’.

Lalu dalam ay 16 Malaikat TUHAN itu bersumpah demi diriNya


sendiri.

Bdk. Ibr 6:13,16,17 - “(13) Sebab ketika Allah memberikan


janjiNya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diriNya sendiri,
karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari padaNya, ... (16)
Sebab manusia bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan
sumpah itu menjadi suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri
segala bantahan. (17) Karena itu, untuk lebih meyakinkan
mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian
putusanNya, Allah telah mengikat diriNya dengan sumpah,”.

Hanya Allah yang bersumpah demi diriNya sendiri, karena tidak ada
yang lebih tinggi dari Dia. Bdk. Kel 32:13  Yer 22:5  44:26  49:13 
51:14  Amos 6:8.

Seorang malaikat biasa akan bersumpah demi nama Tuhan, bukan


demi dirinya sendiri / namanya sendiri (bdk. Daniel 12:7  Wah 10:5-
6).

Jadi jelas bahwa Malaikat TUHAN itu adalah Tuhan / Allah sendiri.

Juga, dalam Kel 23:20-23, malaikat TUHAN ini mempunyai kuasa untuk


mengampuni dosa.

Kel 23:20-23 - “(20) ‘Sesungguhnya Aku mengutus seorang malaikat


berjalan di depanmu, untuk melindungi engkau di jalan dan untuk
membawa engkau ke tempat yang telah Kusediakan. (21) Jagalah
dirimu di hadapannya dan dengarkanlah perkataannya, janganlah
engkau mendurhaka kepadanya, sebab pelanggaranmu tidak akan
diampuninya, sebab namaKu ada di dalam dia. (22) Tetapi jika
engkau sungguh-sungguh mendengarkan perkataannya, dan
melakukan segala yang Kufirmankan, maka Aku akan memusuhi
musuhmu, dan melawan lawanmu. (23) Sebab malaikatKu akan
berjalan di depanmu dan membawa engkau kepada orang Amori,
orang Het, orang Feris, orang Kanaan, orang Hewi dan orang
Yebus, dan Aku akan melenyapkan mereka”.

Ada 2 hal yang perlu dipersoalkan:

       Dari
kata-kata ‘namaKu ada di dalam dia’, Adam Clarke
menganggap bahwa malaikat ini adalah Malaikat Perjanjian, yaitu
Yesus Kristus sendiri.

Semua ini menunjukkan bahwa Malaikat TUHAN itu adalah Allah /


TUHAN sendiri.

       Tentang
kata-kata ‘pelanggaranmu tidak akan diampuninya’,
Adam Clarke memberikan komentar sebagai berikut:

Adam Clarke: “‘He will not pardon your transgressions.’He is not


like a man, with whom ye may think that ye may trifle, were he
either man or angel, in the common acceptation of the term, it need
not be said, He will not pardon your transgressions, for neither man
nor angel could do it” (= ‘Ia tidak akan mengampuni
pelanggaranmu’ Ia bukan seperti seorang manusia, dengan siapa
engkau bisa berpikir / menganggap bahwa engkau boleh
menyepelekan; seandainya Ia adalah manusia atau malaikat,
dalam arti yang biasa diterima, tidak perlu dikatakan, ‘Ia tidak
akan mengampuni pelanggaranmu’, karena baik manusia
maupun malaikat tidak bisa melakukannya).

4)  Penggunaan nama ‘TUHAN’ (YAHWEH / YEHOVAH) 3 x berturut-turut


dalam Bil 6:24-26 dan sebutan ‘kudus’ bagi Allah 3 x berturut-turut dalam
Yes 6:3 (bdk. Wah 4:8).
Bil 6:24-26 - “(24) TUHAN memberkati engkau dan melindungi
engkau; (25) TUHAN menyinari engkau dengan wajahNya dan
memberi engkau kasih karunia; (26) TUHAN menghadapkan
wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera”.

Yes 6:3 - “Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya:


‘Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh
kemuliaanNya!’”.

Bdk. Wah 4:8 - “Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap


enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan
dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam:
‘Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah
ada dan yang ada dan yang akan datang.’”.

Tidak anehkah bahwa ayat-ayat itu


menyebutkan ‘TUHAN’ dan ‘kudus’ sebanyak 3 kali? Mengapa tidak 2
kali, atau 5 kali, atau 7 kali? Jelas karena ada hubungannya dengan
Allah Tritunggal!

5)  Kata ‘esa’ / ‘satu’ dalam Ul 6:4.

Ul 6:4 - “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN (YHWH) itu Allah


kita (ELOHEYNU), TUHAN (YHWH) itu esa!”.

Kata ‘esa / satu’ yang digunakan dalam Ul 6:4, dalam bahasa Ibraninya


adalah EKHAD.

Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan bahwa kata EKHAD ini berarti ‘satu yang


mutlak’ dan tidak mengandung kejamakan.

Untuk itu perhatikan kutipan dari buku ‘Haruskah anda percaya kepada Tri-
tunggal?’ di bawah ini:
“Kata-kata tersebut terdapat dalam Ulangan 6:4. New Jerusalem Bible
(NJB) Katolik berbunyi: ‘Dengarlah Israel: Yahweh Allah kita adalah
esa, satu-satunya Yahweh’. Dalam tatabahasa dari ayat itu kata ‘esa’
tidak mengandung sifat jamak untuk menyatakan bahwa kata itu
mempunyai arti yang lain, yaitu bukan satu pribadi” (hal 13).

Tanggapan / Bantahan:

a)  Pandangan / pernyataan Saksi Yehuwa bahwa kata EKHAD / ‘esa’ ini


tidak mengandung sifat jamak ini justru salah!

Kata EKHAD ini sering berarti ‘satu gabungan / a compound one’, bukan


‘satu yang mutlak / an absolute one’, dan itu akan saya buktikan dari
contoh-contoh di bawah ini:

        Kej 1:5 - “Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu
malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari
pertama (YOM EKHAD)”.

Gabungan dari petang dan pagi membentuk satu (EKHAD) hari.

        Kej 2:24 - Adam dan Hawa menjadi satu (EKHAD) daging.

Kej 2:24 - “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan


ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging”.

        Bil 13:23 - “Ketika mereka sampai ke lembah Eskol, dipotong


merekalah di sana suatu cabang dengan setandan buah
anggurnya, lalu berdualah mereka menggandarnya; juga mereka
membawa beberapa buah delima dan buah ara”.

‘Setandan buah anggur’, atau ‘satu (EKHAD) tandan buah anggur’.


Satu tandan buah anggur pasti terdiri dari banyak buah anggur.

        Hak 20:1,8,11 - “(1) Lalu majulah semua orang Israel; dari Dan


sampai Bersyeba dan juga dari tanah Gilead berkumpullah umat
itu secara serentakmenghadap TUHAN di Mizpa. ... (8)
Kemudian bangunlah seluruh bangsa itu dengan serentak, sambil
berkata: ‘Seorangpun dari pada kita takkan pergi ke kemahnya,
seorangpun dari pada kita takkan pulang ke rumahnya. ... (11)
Demikianlah orang Israel berkumpul melawan kota itu,
semuanya bersekutudengan serentak”.

Semua kata-kata ‘dengan serentak’ terjemahan hurufiahnya


adalah ‘as one man’ (= seperti / sebagai satu orang), seperti dalam
KJV, dan kata ‘satu’ menggunakan kata Ibrani EKHAD.

        Ezr 2:64 - “Seluruh jemaah itu bersama-sama ada empat puluh


dua ribu tiga ratus enam puluh orang”.

Seluruh jemaat itu satu (EKHAD) tetapi terdiri dari banyak orang.
(Catatan: kata ‘satu’ ini hanya bisa terlihat dalam bahasa Ibraninya).

        Yeh 37:17 - “Gabungkanlah keduanya menjadi satu papan,


sehingga keduanya menjadi satu dalam tanganmu”.

Dua papan digabung menjadi satu (EKHAD) papan.

b)  Sebetulnya ada sebuah kata lain dalam bahasa Ibrani yang berarti ‘satu
yang mutlak’ atau ‘satu-satunya’. Kata itu adalah YAKHID.

Contoh:

Kej 22:2,16 - “(2) FirmanNya: ‘Ambillah anakmu yang tunggal itu,


yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan
persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah
satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.’ ... (16) kataNya:
‘Aku bersumpah demi diriKu sendiri - demikianlah firman TUHAN
- : Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-
segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu”.

Kalau Musa memang mau menekankan tentang ‘kesatuan yang


mutlak’ dari Allah dan bukannya ‘kesatuan gabungan’ (a compound
unity), maka dalam Ul 6:4 itu ia pasti menggunakan kata YAKHID dan
bukannya EKHAD. Tetapi ternyata Musa menggunakan kata EKHAD,
dan ini menunjukkan bahwa Allah itu tidak satu secara mutlak, tetapi ada
kejamakan dalam diri Allah.

Dalam Perjanjian Baru.

Perjanjian Baru memberikan pernyataan yang lebih jelas tentang pribadi-pribadi


yang berbeda dalam diri Allah.

1)  Perjanjian Baru menunjukkan ketiga pribadi Allah itu dengan lebih jelas,
dan juga menyetarakan Mereka.

Yoh 5:31,32,37 - “(31) Kalau Aku bersaksi tentang diriKu sendiri, maka


kesaksianKu itu tidak benar; (32) ada YANG LAIN yang bersaksi
tentang Aku dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikanNya
tentang Aku adalah benar. ... (37) Bapa yang mengutus Aku, Dialah
yang bersaksi tentang Aku. Kamu tidak pernah mendengar suaraNya,
rupaNyapun tidak pernah kamu lihat”.

Yoh 5:31 menunjukkan Yesus sebagai saksi, dan Yoh 5:32,37a


menunjukkan Bapa sebagai ‘saksi yang lain’, dimana untuk kata-kata ‘yang
lain’ digunakan kata bahasa Yunani ALLOS.

Ada 2 kata bahasa Yunani yang berarti ‘yang lain (= another)’, yaitu


ALLOS dan HETEROS. Tetapi kedua kata ini ada bedanya.

W. E. Vine: “ALLOS ... denotes another of the same sort; HETEROS ...


denotes another of a different sort” (= ALLOS ... menunjuk pada ‘yang
lain’ dari jenis yang sama; HETEROS ... menunjuk pada ‘yang lain’
dari jenis yang berbeda) - ‘An Expository Dictionary of New Testament
Words’, hal 52.
Illustrasi: Saya mempunyai satu gelas Aqua. Kalau saya menginginkan satu
gelas Aqua ‘yang lain’, yang sama dengan yang ada pada saya ini, maka
saya akan menggunakan ALLOS. Tetapi kalau saya menghendaki
minuman ‘yang lain’, misalnya Coca Cola, maka saya harus menggunakan
HETEROS, bukan ALLOS.

Jadi pada waktu Yesus disebut sebagai saksi, dan Bapa sebagai Saksi yang
lain, dan kata ‘yang lain’ itub menggunakan ALLOS, maka itu
menunjukkan bahwa Yesus mempunyai kwalitet / jenis yang sama dengan
Bapa, dan ini membuktikan bahwa Yesus adalah Allah!

Hal yang sama terjadi antara Yesus dan Roh Kudus. Yesus disebut
PARAKLETOS (1Yoh 2:1 - diterjemahkan ‘pengantara’), dan Roh Kudus
disebut PARAKLETOS yang lain (Yoh 14:16 - diterjemahkan ‘Penolong’).
Di sini untuk kata-kata ‘yang lain’ juga digunakan ALLOS, yang
menunjukkan bahwa Yesus dan Roh Kudus mempunyai jenis / kwalitet yang
sama. Dengan demikian Bapa, Anak, dan Roh Kudus mempunyai jenis /
kwalitet yang sama, dan semua ini bisa digunakan untuk mendukung doktrin
Allah Tritunggal.

Memang di sini tidak terlihat kesatuan dari pribadi-pribadi itu, tetapi ini
dengan mudah bisa didapatkan dari ayat-ayat yang menunjukkan
ketunggalan Allah, seperti Ul 6:4  Mark 12:32  Yoh 17:3  1Tim 2:5  Yak
2:19  1Kor 8:4, dsb, yang telah saya bahas di depan.

2)  Kalau dalam Perjanjian Lama YAHWEH / YEHOVAH disebut sebagai


Penebus dan Juruselamat (Maz 19:15  78:35  Yes 43:3,11,14 47:4  49:7,26 
60:16), maka dalam Perjanjian Baru, Anak Allah / Yesuslah yang disebut
demikian (Mat 1:21  Luk 1:76-79  Luk 2:11  Yoh 4:42  Gal 3:13  4:5  Tit
2:13).

 
3)  Kalau dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa YAHWEH / YEHOVAH
tinggal di antara bangsa Israel dan di dalam hati orang-orang yang takut
akan Dia (Maz 74:2  Maz 135:21  Yes 8:18  Yes 57:15  Yeh 43:7,9 
Yoel 3:17,21  Zakh 2:10-11), maka dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa
Roh Kuduslah yang mendiami Gereja / orang percaya (Kis 2:4  Ro 8:9,11 
1Kor 3:16  Gal 4:6  Ef 2:22  Yak 4:5).

4)  Perjanjian Baru memberikan pernyataan yang jelas tentang Allah yang
mengutus AnakNya ke dalam dunia (Yoh 3:16  Gal 4:4  Ibr 1:6  1Yoh 4:9),
dan tentang Bapa dan Anak yang mengutus Roh Kudus (Yoh 14:26  15:26 
16:7  Gal 4:6).

5)  Dalam Perjanjian Baru kita melihat Bapa berbicara kepada Anak
(Mark 1:11) dan Anak berbicara kepada Bapa (Mat 11:25-26  26:39 
Yoh 11:41  12:27) dan Roh Kudus berdoa kepada Allah dalam hati orang
percaya (Ro 8:26).

6)  Dalam Perjanjian Baru kita melihat ketiga pribadi Allah itu disebut dalam
satu bagian Kitab Suci.

        Mat 3:16-17 - “(16) Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air


dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh
Allah seperti burung merpati turun ke atasNya, (17) lalu
terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: ‘Inilah AnakKu
yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan.’”.

        Mat 28:19 - “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa


muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan
Roh Kudus”.

        1Kor 12:4-6 - “(4) Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. (5) Dan


ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. (6) Dan ada berbagai-
bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan
semuanya dalam semua orang”.
        2Kor 13:13 - “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah,
dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”. Dalam Kitab
Suci Inggris 2Cor 13:14.

        Ef 4:4-6 - “(4) satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah
dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam
panggilanmu, (5) satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, (6) satu Allah
dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan
di dalam semua”.

        1Pet 1:2a - “yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan


rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya
taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darahNya”.

        Wah 1:4-5 - “(4) Dari Yohanes kepada ketujuh jemaat yang di Asia


Kecil: Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Dia,
yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, dan dari
ketujuh roh yang ada di hadapan takhtaNya, (5) dan dari Yesus
Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang
mati dan yang berkuasa atas raja-raja bumi ini. Bagi Dia, yang
mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh
darahNya”.

Catatan: satu hal yang perlu diperhatikan dalam ayat-ayat di atas ini adalah bahwa
urut-urutannya tidak selalu Bapa sebagai yang pertama, Anak / Yesus sebagai yang
kedua, dan Roh Kudus sebagai yang ketiga. Urut-urutan dbolak-balik, dan ini
menunjukkan kesetaraan Mereka. Kalau Bapa memang lebih tinggi dari Anak,
maka adalah mustahil bahwa Yesus kadang-kadang ditulis lebih dulu dari Bapa,
dan kalau Roh Kudus hanya sekedar merupakan ‘tenaga aktif Allah’, maka juga
merupakan sesuatu yang mustahil bahwa ‘tenaga aktif Allah’ itu ditulis lebih dulu
dari Allahnya sendiri.

Untuk ini ada komentar / serangan dari Saksi Yehuwa dalam buku
‘Haruskah anda percaya kepada Tritunggal?’:

       “Apakah
ayat-ayat ini menyatakan bahwa Allah, Kristus, dan roh
kudus membentuk suatu Keilahian Tritunggal, bahwa ketiganya
sama dalam bentuk, kekuasaan, dan kekekalan? Tidak, tidak
demikian, sama halnya menyebutkan tiga orang, seperti Amir, Budi
dan Bambang, tidak berarti bahwa mereka tiga dalam satu” (hal 23).

       “Ketika
Yesus dibaptis, Allah, Yesus, dan roh kudus juga
disebutkan dalam konteks yang sama. Yesus ‘melihat roh Allah
seperti burung merpati turun ke atasNya’ (Matius 3:16). Tetapi, ini
tidak berarti bahwa ketiganya adalah satu. Abraham, Ishak, dan
Yakub banyak kali disebutkan bersama-sama, tetapi hal itu tidak
membuat mereka menjadi satu. Petrus, Yakobus dan Yohanes
disebutkan bersama-sama, tetapi itu tidak membuat mereka menjadi
satu juga” (hal 23).

Dan dalam buku mereka yang lain mereka juga mengatakan: “Bandingkan


1Timotius 5:21, yang menyebut Allah, Kristus dan malaikat-malaikat
bersama-sama” - ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 403.

1Tim 5:21 - “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus dan malaikat-


malaikat pilihanNya kupesankan dengan sungguh kepadamu:
camkanlah petunjuk ini tanpa prasangka dan bertindaklah dalam
segala sesuatu tanpa memihak”.

Tanggapan / Bantahan:

Kita bisa menjawab serangan ini dengan berkata:

a)  Jelas bahwa doktrin Allah Tritunggal tidak bisa didapatkan seluruhnya
dari ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat itu hanyalah salah satu dasar dari
doktrin Allah Tritunggal, sehingga kalau kita hanya menyoroti ayat-ayat
itu saja, maka mungkin sekali memang tidak bisa dihasilkan doktrin
Allah Tritunggal!
 

b)  Memang adanya tiga nama yang disebutkan bersama-sama tidak


membuktikan bahwa mereka itu satu. Bahkan tidak selalu membuktikan /
menunjukkan bahwa mereka setingkat. Tetapi dalam kasus-kasus
tertentu, 3 nama yang diletakkan berjajar bisa menunjukkan bahwa
mereka setingkat. Misalnya kalau dikatakan ada konperensi tingkat tinggi
3 negara, maka kalau negara yang satu mengirimkan kepala negara, maka
pasti kedua negara yang lain juga demikian. Kalau negara yang satu
mengirim menteri luar negeri, maka pasti kedua negara yang lain juga
demikian. Jadi, kadang-kadang penyejajaran tiga nama memang bisa
menunjukkan bahwa tiga orang itu setingkat. Itu tergantung dari
kontexnya; dan karena itu harus dipertanyakan: dalam situasi dan
keadaan apa ketiga pribadi itu disebutkan bersama-sama?

Dalam ayat-ayat di atas, Bapa, Anak, dan Roh Kudus disebutkan dalam
kontext yang sakral, seperti formula baptisan (Mat 28:19), berkat kepada
gereja Korintus (2Kor 13:13), baptisan Yesus (Mat 3:16-17), dsb. Karena
itu ayat-ayat itu bisa dipakai sebagai dasar untuk menunjukkan bahwa
Bapa, Anak, dan Roh Kudus itu setingkat.

c) Dalam Mat 28:19 dikatakan ‘dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh


Kudus’.

Sesuatu yang menarik adalah: sekalipun di sini disebutkan 3 buah nama,


tetapi kata ‘nama’ itu ada dalam bentuk tunggal, bukan bentuk jamak!
Dalam bahasa Inggris diterjemahkan name (bentuk tunggal),
bukan names (bentuk jamak). Karena itu ayat ini bukan hanya
menunjukkan bahwa ketiga Pribadi itu setingkat, tetapi juga
menunjukkan bahwa ketiga Pribadi itu adalah satu!

7)  Kontroversi tentang 1Yoh 5:7-8.

Ada satu ayat Kitab Suci / Perjanjian Baru yang berbicara tentang kesatuan
dari tiga pribadi Allah itu, yaitu 1Yoh 5:7-8 yang berbunyi: “Sebab ada tiga
yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh
Kudus; dan ketiganya adalah satu. Dan ada tiga yang memberi
kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu”.

Tetapi perlu diketahui bahwa ayat ini, pada bagian yang ada dalam tanda
kurung tegak, sangat diragukan keasliannya, dan dianggap sebagai suatu
penambahan pada text asli Kitab Suci. Persoalannya, ada banyak manuscript
yang tidak mempunyai bagian ini. Dan manuscript-manuscript yang
mempunyai bagian ini hanyalah manuscript-manuscript yang kurang bisa
dipercaya. Karena itu, dalam beberapa Kitab Suci bahasa Inggris, seperti
NIV dan NASB, bagian ini bahkan dihapuskan dari text Kitab Suci dan
hanya diletakkan pada footnote (= catatan kaki).

Dalam berdebat / berdiskusi dengan Saksi-Saksi Yehuwa tentang Allah


Tritunggal, jangan menggunakan bagian ini sebagai dasar dari Allah
Tritunggal, karena:

        Pada umumnya Saksi-Saksi Yehuwa, yang terkenal ‘ahli’ dalam hal


menyerang doktrin Allah Tritunggal, mengetahui bahwa ayat itu sangat
diragukan keasliannya. Jadi kalau saudara menggunakan ayat itu, itu bisa
justru menjadi bumerang bagi saudara!

        Tidak fair bagi kita untuk menggunakan ayat yang kita tahu ketidak-


orisinilannya.

        Dalam perang melawan setan, Firman Tuhan adalah senjata (pedang


Roh) bagi kita (Ef 6:17). Kalau bagian ini sebetulnya tidak termasuk
dalam Kitab Suci, maka itu berarti bahwa bagian itu juga bukan
merupakan Firman Tuhan, dan karenanya tidak cocok untuk kita gunakan
sebagai senjata.

        Ada cukup banyak dasar Kitab Suci yang lain yang mendukung doktrin
Allah Tritunggal, yang bisa kita gunakan, untuk menegaskan dan
membela doktrin ini.

Kesimpulan:
 

Dalam Kitab Suci ada ayat-ayat yang menunjukkan ketunggalan Allah dan juga
ada ayat-ayat yang menunjukkan ‘kejamakan Allah’. Ada 2 sikap extrim yang
salah dalam persoalan ini:

1)  Terlalu menekankan ‘kejamakan dalam diri Allah’ dan


mengabaikan ‘kesatuanNya’.

Ini menjadi Tritheisme (= kepercayaan kepada tiga Allah). Ini salah, karena
mengabaikan ketunggalan Allah, berarti mengabaikan sebagian dari Kitab
Suci.

2)  Menekankan ‘kesatuan Allah’ dan membuang / mengabaikan ‘kejamakan


dalam diri Allah’.

Kita tidak bisa hanya menyoroti ayat-ayat yang menunjukkan ketunggalan


Allah, dan lalu mengatakan bahwa Allah itu tunggal secara mutlak. Karena
kalau kita melakukan hal itu, lalu apa yang akan kita lakukan dengan ayat-
ayat yang menunjukkan adanya kejamakan dalam diri Allah?
Membuangnya? Mengabaikannya? Ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh
orang yang mempercayai Kitab Suci sebagai Firman Tuhan!

Orang-orang yang sungguh-sungguh percaya pada Kitab Suci harus


memperhatikan kedua kelompok ayat ini, dan doktrin Allah Tritunggal merupa-
kan satu-satunya jalan untuk mengharmoniskan kedua grup ayat tersebut. Kalau
kita mau menerima doktrin Allah Tritunggal, maka kita bisa mengharmoniskan
kedua golongan ayat tersebut. Kalau kita menolak doktrin Allah Tritunggal, ini
berarti kita harus menghadapi kontradiksi yang tidak mungkin bisa
diharmoniskan dalam Kitab Suci! Yang mana yang menjadi pilihan saudara?

-o0o-
DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL
Ps R Romalbest, S.Si,B.Th(Wesley United Seminary),M.Sc, D.Math

Tuhan Allah, yang sebagai sekutu umat-Nya, telah menyatakan atau memperkenalkan
diri-Nya sebagai Yang Esa tadi, selanjutnya dengan firman dan karya-Nya, juga
menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang
di dalam ajaran Kristen biasanya disebut Tritunggal.
Di dalam Alkitab tidak ada banyak ayat yang mengungkapkan ketritunggalan itu secara
langsung. Kita mendengar perintah Yesus untuk membaptiskan di dalam nama Bapa,
Anak, dan Roh Kudus; Rasul Paulus mengucapkan berkatnya sebagai “Kasih karunia
Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus”, yang secara lebih
luas lagi disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:

* 1 Korintus 12:4-6,

“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu
Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang
mengerjakan semuanya dalam semua orang.”

* Efesus 4:4-6,

“satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan
yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah
dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”

* 1 Petrus 1:1-2,

“Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di
Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia, yaitu orang-orang yang dipilih,
sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat
kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan
damai sejahtera makin melimpah atas kamu.”
* Yudas 20-21,

“Akan tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, bangunlah dirimu sendiri di atas
dasar imanmu yang paling suci dan berdoalah dalam Roh Kudus. Peliharalah dirimu
demikian dalam kasih Allah sambil menantikan rahmat Tuhan kita, Yesus Kristus,
untuk hidup yang kekal.”

Akan tetapi secara tidak langsung ada banyak ayat di dalam Perjanjian Baru yang
menunjuk kepada ketritunggalan itu.

Di dalam berita tentang kelahiran Yesus, malaikat berkata, bahwa anak Maria itu akan
disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, serta bahwa Roh Kudus akan turun atas Maria,
serta kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya. Pada waktu Yesus dibaptis, Roh
Allah turun ke atas-Nya seperti burung merpati, dan bahwa Tuhan Allah berfirman,
“Inilah Anak yang Kukasihi.”

Selain dari itu, Yesus sendiri mengaku di hadapan Sanhedrin, bahwa Ia adalah Anak
Allah. Di hadapan orang Yahudi, Ia menyebut Tuhan Allah Bapa-Nya, sedang orang lain
menyebut Dia Anak Allah. Mengenai Roh Kudus disebutkan, bahwa Yesus akan
mengutus Roh-Nya dari Bapa dan sebagainya.

Semua ayat ini, yang masih dapat ditambah lagi dengan banyak sekali, tidak boleh
diabaikan begitu saja.

Di sepanjang sejarah Gereja telah timbul penafsiran-penafsiran gagasan tentang Tuhan


Allah yang telah dicetuskan oleh Plato. Segala pernyataan ini harus dilihat di dalam
terang yang menerangi hakekat Tuhan Allah, seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
yaitu di dalam semuanya itu Tuhan Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai sekutu
umat-Nya di dalam firman dan karya-Nya.

Pada abad-abad yang pertama, Gereja yang masih muda itu dihadapkan dengan
persoalan-persoalan sebagai berikut:

1. Pengakuan yang diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah esa.
2. Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.

Oleh karena itu maka segeralah timbul persoalan, apakah dengan demikian orang
Kristen tidak menyembah kepada Allah yang lebih dari satu?

Di sepanjang sejarah Gereja, tampaklah pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk
merumuskan kepercayaannya yang mengenai Tuhan Allah. Di dalam pergumulan tadi
dapat disaksikan bagaimana Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri
dari bahaya “mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalannya”,
artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah esa,
sehingga sebutan Bapa, Anak, dan Roh Kudus seolah-olah hanya dipandang sebagai
sifat-sifat Allah saja. Di lain pihak dapat disaksikan pula, bagaimana Gereja bergumul
untuk menghindarkan diri dari bahaya “mempertahankan ketritunggalan Allah dengan
melepaskan keesaannya”, artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada
perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sehingga ketiganya itu seolah-olah
berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan.

Pada abad ketiga di Roma muncullah Praxeas yang mengajarkan bahwa Tuhan Allah
adalah Roh. Sebagai Roh, Tuhan Allah disebut Bapa. Allah ini telah mengenakan daging
atau menjadi manusia. Allah yang telah mengenakan daging ini disebut Anak. Di dalam
diri Yesus Kristus, Bapa dan Anak menjadi satu, dalam arti demikian, bahwa sang
manusia Yesus, yang daging adanya, adalah Anak, sedang Kristusnya, yang Roh adanya,
adalah Bapa. Yang dilahirkan adalah Anak, yaitu sang manusia Yesus di dalam diri Juru
Selamat. Sebenarnya Anak inilah yang menderita sengsara, sebab Allah Bapa, yang Roh
adanya, tidak dapat menderita. Tetapi oleh karena Allah Bapa telah memasuki daging
(Kristus memasuki Yesus) ia turut menderita juga. Ajaran ini disebut Patripassianisme,
artinya, bahwa Bapa turut menderita sengsara. Di sini Praxeas membedakan antara
daging (Anak) dan Roh (Bapa) di dalam diri Yesus Kristus. Sebenarnya, menurut
Praxeas, Bapa dan Anak (Roh dan daging, atau Kristus dan Yesus) ini adalah Pribadi
yang satu, yaitu Allah.
Dari uraian di atas jelas, bahwa Praxeas mempertahankan keesaan Allah. Tuhan Allah
adalah satu. Bapa dan Anak adalah satu Pribadi, yaitu pribadi Tuhan Allah. Tetapi
Praxeas melepaskan ketritunggalan atau di sini lebih tepat disebut kedwitunggalan.
Sebutan Bapa dan Anak tidak menunjukkan perbedaan, kecuali sebagai Roh dan daging
di dalam diri Juruselamat Yesus Kristus.

Gereja pada waktu itu menolak ajaran ini.

SABELLIUS :
Mempertahankan keesaan Tuhan Allah dan melepaskan ketritunggalan-Nya ini juga
dilakukan oleh Sabellius (meninggal pada tahun 215). Ia mengajarkan, bahwa Tuhan
Allah adalah esa. Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan
diri Tuhan Allah yang esa itu. Semula, yaitu di dalam Perjanjian Lama, Tuhan Allah
menampakkan diri-Nya di dalam wajah atau modus Bapa, yaitu sebagai Pencipta dan
Pemberi Hukum. Sesudah itu Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah
Anak, yaitu sebagai Juruselamat yang melepaskan umat-Nya, yang dimulai dari
kelahiran Kristus hingga kenaikan-Nya ke surga. Akhirnya Tuhan Allah sejak hari
Pentakosta menampakkan diri-Nya di dalam wajah Roh Kudus, yaitu sebagai Yang
Menghidupkan. Jadi ketiga sebutan tadi adalah suatu urut-urutan penampakan Tuhan
Allah di dalam sejarah.

Untuk menjelaskan pendapatnya itu Sabellius memakai gambaran matahari. Allah Bapa
dapat diumpamakan dengan matahari dalam penampakannya, sedang Allah Anak
adalah matahari dalam sinarnya, dan Allah Roh Kudus adalah matahari dalam
kekuatannya menyinarkan panas. Ketritunggalan di sini dipandang sebagai
ketritunggalan penampakan yang berganti-ganti atau bergiliran. Yang menampakkan
diri adalah Tuhan Allah yang satu itu.

Pernah ada suatu keterangan mengenai ketritunggalan Allah, yang sama dengan
keterangan Sabellius, yaitu ketritunggalan itu dapat diterangkan demikian: Bapak
Presiden di tengah-tengah keluarganya menjadi kepala keluarga, di tengah-tengah
angkatan bersenjata menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata, di tengah-tengah
rakyat menjadi kepala negara. Orangnya satu, tetapi tampil dalam tiga wajah.

Demikianlah Sabellius juga mempertahankan keesaan Tuhan Allah, tetapi


ketritunggalan-Nya dilepaskan. Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya sebutan saja bagi
Allah yang satu itu.

Sebaliknya ada golongan ahli pikir Kristen pada waktu itu yang berusaha
mempertahankan ketritunggalan Allah, tetapi melepaskan keesaan-Nya, artinya bahwa
Allah Bapa, Allah Anak (atau Yesus Kristus) dan Roh Kudus dibedakan sedemikian
rupa, hingga ketiganya berdiri sendiri-sendiri, tanpa kesatuan.

PAULUS DARI SAMOSATA


Hal ini umpamanya dilakukan oleh Paulus dari Samosata, yang meninggal pada tahun
260. Menurut Paulus, Tuhan Allah hanya dapat dipandang sebagai satu pribadi saja.
Tetapi di dalam diri Allah dapat dibedakan antara Logos (Firman) dan Hikmat. Logos
dapat disebut Anak, sedang Hikmat dapat disebut Roh. Logos bukanlah suatu pribadi,
melainkan suatu kekuatan yang tidak berpribadi. Logos ini telah bekerja pada diri Musa
dan para nabi di dalam Perjanjian Lama, selanjutnya Ia juga bekerja di dalam diri
Yesus, anak Maria. Juruselamat Yesus Kristus adalah manusia, yang datangnya dari
bawah. Akan tetapi padanya telah bekerja Logos atau Firman, yang datangnya dari atas.
Logos atau Firman ini dapat juga disebut manusia batin dari Yesus, sang Juru Selamat
itu. Kediaman Logos atau Firman di dalam diri Yesus Kristus sama dengan kediaman
Hikmat atau Roh di dalam diri para nabi di Perjanjian Lama. Perbedaannya ialah,
bahwa pada Yesus kediaman Hikmat atau Roh tadi mempunyai sifat yang khas:

Yesus Kristus adalah rumah Allah, yang didiami oleh Roh Allah atau Hikmat Allah
dengan sempurna. Seperti halnya dengan dua oknum yang dapat memiliki kesatuan
kegemaran dan kehendak, demikianlah halnya dengan Tuhan Allah dan Kristus.
Kesatuan kegemaran dan kehendak yang demikian itu terjadi karena kasih. Karena
kasih dan kehendak-Nya yang tidak berubah, maka Kristus dipersatukan dengan Tuhan
Allah, sehingga Ia bukan hanya dapat tidak berdosa, melainkan juga dapat
mengalahkan dosa-dosa nenek moyang-Nya. Sebagai upah kasih-Nya yang demikian
itu, ia dikaruniai nama yang di atas segala nama, dan mendapat hak untuk mengadili
dan memiliki kehormatan Allah, Ia diangkat menjadi Anak Allah.

Demikianlah Paulus dari Samosata mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa dan
Yesus Kristus. Keduanya dipisahkan hingga berdiri sendiri-sendiri tanpa kesatuan. Ia
mempertahankan ketritunggalan (atau di sini kedwitunggalan) dengan melepaskan
keesaan-Nya.

ORIGENES
Hal yang demikian juga dilakukan oleh Origenes (meninggal tahun 254). Menurut
Origenes, Tuhan Allah adalah satu atau esa, sebagai lawan dari segala yang banyak.
Tuhan ini menjadi sebab segala sesuatu yang berada. Dengan perantaraan Logos atau
Firman, Tuhan Allah, yang Roh adanya itu, berhubungan dengan dunia benda. Logos ini
berdiri sendiri sebagai suatu zat, yang memiliki kesadaran ilahi dan asas-asas duniawi.
Ia adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal ia dilahirkan dari Allah. Karena
kekuasaan kehendak ilahi ia terus-menerus dilahirkan dari zat ilahi. Ia memiliki tabiat
yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ia satu dengan Allah,
akan tetapi sebagai yang keluar dari Allah Bapa, Ia lebih rendah daripada Allah Bapa. Ia
adalah pangkat pertama dari perpindahan dari Yang Esa kepada Yang Banyak, atau
pangkat kedua di dalam zat Allah.

Aktivitas Logos atau Anak ini juga lebih rendah dibanding dengan aktivitas Bapa. Ia
adalah pelaksana kehendak Allah Bapa, yang melaksanakan instruksi Allah Bapa,
sebagai umpamanya penjadian.

Roh Kudus dianggapnya juga sebagai zat yang ada pada Allah, yaitu pangkat ketiga di
dalam zat Allah itu. Roh Kudus ini adanya karena Anak. Hubungannya dengan Anak
sama dengan hubungan Anak dengan Bapa. Bidang kerja-Nya juga lebih sempit
dibanding dengan bidang kerja Anak. Bapa adalah asas beradanya segala sesuatu,
sedang Roh Kudus adalah asas penyucian segala sesuatu.
Jadi ketritunggalan Allah dipandang sebagai berpangkat-pangkat. Oleh karena itu
ajaran ini disebut subordinasianisme. Di sini perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh
Kudus dipertahankan, akan tetapi kesatuannya ditiadakan.

Demikianlah secara singkat pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk
merumuskan ajarannya mengenai penyataan Tuhan Allah sebagai Bapa, Anak, dan Roh
Kudus.

Di Konsili di Nikea (325) Gereja menentukan syahadatnya untuk mempertahankan


ketritunggalan di dalam keesaan dan keesaan di dalam ketritunggalan. Bunyi syahadat
itu demikian:

“Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi,
segala yang kehilatan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak
Allah yang Tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari
Allah, terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat,
sehakekat dengan Sang Bapa …. dan seterusnya. Aku percaya kepada Roh Kudus, yang
jadi Tuhan dan yang menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak …. dan
seterusnya.

Dari perumusan ini jelas, bahwa dengan tegas diajarkan tentang Allah Tritunggal, Allah
Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang bersama-sama disembah dan dimuliakan.

Perlu diperhatikan, bahwa Gereja di sini mengakui Allah Tritunggal, akan tetapi tidak
memberi penjelasan secara teologis.

TERTULIANUS
Orang yang besar sekali pengaruhnya bagi perumusan ajaran Tritunggal ini adalah
Tertullianus (120 – 225). Darinyalah istilah substansi atau zat dan persona atau pribadi
dikenakan kepada ajaran Tritunggal. Ia merumuskan, bahwa Tuhan Allah adalah satu di
dalam substansi-Nya atau Dzat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pribadi-Nya
atau oknum-Nya (una substantia, tres personae).
Tertullianus sendiri mengajarkan demikian: Tuhan Allah memiliki pada diri-Nya akal
atau budi. Budi ini dilahirkan atau dikeluarkan di dalam Firman atau Logos-Nya pada
waktu penjadian alam semesta. Jadi Firman atau Logos itu keluar atau dilahirkan dari
budi, seperti batang pohon keluar dari akarnya, atau seperti sungai keluar dari
sumbernya, atau sebagai sinar keluar dari matahari. Oleh karena itu, maka Firman atau
Logos tadi disebut Anak. Mula-mula Roh Kudus adalah satu dengan Firman, tidak
terpisah dari Firman atau Logos, juga pada waktu Logos atau Firman menjadi manusia
dan menderita sengsara. Baru setelah Kristus ditinggikan, Roh itu keluar dari Bapa dan
Anak. Keluarnya Roh Kudus dari anak sama dengan keluarnya buah dari batang
pohonnya, atau seperti arus keluar dari sungai, atau seperti berkas sinar keluar dari
sinar. Jadi hubungan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus digambarkan seperti
hubungan: akar – batang – buah, atau sumber – sungai- arus, atau matahari – sinar –
berkas sinar. Bapa, Anak, dan Roh Kudus memiliki satu substansi, sedang mereka
adalah tiga persona atau pribadi atau oknum. Adapun yang dimaksud dengan substansi
oleh Tertullianus adalah apa yang berada secara kongkrit (sebagai umpamanya: batu,
tanah, dan sebagainya), dan yang dimaksud dengan persona adalah yang menjadi
subyek.

Sekalipun Gereja pada waktu itu tidak menerima ajaran Tertullianus, akan tetapi
perumusannya tentang adanya satu substansi dan tiga persona mempengaruhi
pemikiran-pemikiran Gereja dari zaman sesudah Tertullianus. Di sepanjang sejarah
Gereja, perumusan ini telah menimbulkan salah paham yang banyak sekali. Hal ini,
demikian banyak teolog berpendapat, disebabkan oleh istilah-istilah yang dipergunakan
di dalam bahasa Latin dan Yunani bagi pengertian-pengertian substansi dan persona
tidaklah tepat, terlebih-lebih yang mengenai pengertian persona atau pribadi, atau
oknum. Akan tetapi, salah paham itu terlebih-lebih disebabkan oleh pengungkapan-
pengungkapan itu didasarkan atas pandangan Plato yang mengenai tabiat ilahi atau
ketuhanan seperti yang telah diuraikan di atas.

Dalam abad-abad sesudah Konsili di Nikea itu, pergumulan tentang perumusan


Tritunggal masih belum memuaskan segala pihak.
AGUSTINUS
Augustinus umpamanya, merumuskan ketritunggal itu demikian, bahwa hubungan
Bapa, Anak, dan Roh Kudus di dalam zat ilahi adalah sebagai ingatan, akal, dan
kehendak, atau sebagai yang mengasihi, sasaran kasih dan kasih. Roh bukan hanya
suatu fungsi, melainkan suatu tindakan kasih, ikatan yang menghubungkan Bapa dan
Anak.

THOMAS AQUINAS
Thomas Aquinas mengatakan, bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah cara berada
ilahi yang berdiri sendiri. Jadi yang dimaksud dengan persona adalah cara berada.

JOHN CALVIN
Calvin menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri di dalam kehidupan
ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat ilahi yang khas ilahi
semata-mata.

Demikianlah ada perumusan yang bermacam-macam mengenai ketritunggalan tadi.

SUBSTANSI & PERSONA ALLAH TRITUNGGAL


Kata substansi adalah ousia di dalam bahasa Yunani, sedang kata persona adalah
hupostasis atau hypostasis. Yang dimaksud Tertullianus dengan substansi adalah apa
yang berada secara kongkrit, sedang yang dimaksud dengan persona adalah apa yang
menjadi subyek.

Di dalam bahasa Yunani yang disebut dengan ousia ialah apa yang membedakan satu
macam atau satu rumpun dengan macam atau rumpun yang lain, serta yang memberi
ciri khas kepada macam atau rumpun itu. Umpamanya: rumpun mangga; ousia mangga
adalah ciri-cirinya yang membedakan rumpun ini dengan rumpun yang lain
(umpamanya: jambu) dan ciri-ciri yang khas pada mangga yang menjadikan mangga
berbeda dengan jambu. Ousia atau substansi manusia, atau juga disebut zat atau
hakekat manusia, adalah apa yang membedakan manusia daripada binatang dan
daripada tumbuh-tumbuhan serta daripada Allah, pendeknya: yang menjadikan
manusia disebut manusia, bukan binatang atau tumbuh-tumbuhan atau Allah.
Demikian juga halnya dengan ousia atau substansi Allah, ialah apa yang membedakan
Allah dari manusia dan makhluk-makhluk yang lain yang oleh Plato disebut tabiat ilahi
atau ketuhanan, yang harus dibedakan dengan tabiat insani atau kemanusiaan.

Yang dimaksud dengan hypostasis atau persona adalah apa yang membedakan satu
individu dari individu yang lain, serta yang membedakan ciri khas kepada individu itu
di dalam satu rumpun atau satu macam, umpamanya: buah jeruk ada bermacam-
macam, ada jeruk keprok, jeruk pecel, dan sebagainya. Semuanya itu termasuk rumpun
jeruk, akan tetapi yang sebuah berbeda dengan yang lain. (Atau juga jeruk pada satu
pohon, yang sebuah berbeda dengan yang lain).

Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu diterangkan sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak,
Roh Kudus adalah tiga hypostasis di dalam satu ousia atau tiga persona di dalam satu
substansi, atau tiga oknum di dalam satu Dzat.

Sejak abad ke-18 pengertian persona atau oknum telah dianggap sebagai suatu kekuatan
yang berdiri sendiri dengan secara sadar, atau suatu swadaya yang sadar, yang dengan
kekuatan kesusilaannya mempertahankan diri terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak
berpribadi di sekitarnya. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau
oknum telah tidak mungkin lagi diterapkan guna mengungkapkan pengertian Alkitab
yang mengenai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab memang bukan pengertian yang
seperti itulah yang dimaksud oleh Gereja kuno ketika merumuskan ajarannya tentang
ketritunggalan Allah. Oleh karena itu maka banyak para ahli teologia sekarang yang
menerjemahkan ungkapan υποστασις – HUPOSTASIS atau persona bukan dengan
oknum, melainkan dengan cara berada (seinsweise atau mode of existence) , sehingga
ketritunggalan dirumuskan demikian: Allah adalah satu di dalam substansi-Nya, tetapi
memiliki tiga cara berada.

Cara menerangkan ini juga masih kabur, karena masih terlalu dipengaruhi oleh gagasan
Plato mengenai adanya suatu tabiat ilahi atau ketuhanan tadi.

KONTROVERSI AJARAN TRINITAS


 
Dalam edisi yang lalu kita telah mengenal  3 rumusan pengakuan iman yang diakui GKI
yaitu Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan Pengakuan
Iman Athanasius. Inti ketiga rumusan tersebut adalah ajaran tentang Allah Tritunggal
(Trinitas).  Lahirnya rumusan pengakuan iman tersebut sebenarnya merupakan
tanggapan gereja atas  kontroversi ajaran Trinitas. Di jaman ini  masih adakah
kontroversi ajaran Trinitas?  Anda tertarik untuk memahaminya? Ambil dan Bacalah!
Pada suatu senja, terlihat seorang pemuda sedang duduk santai  dan berbincang-
bincang bersama pendetanya di beranda pastori.  Apa yang mereka perbincangkan?

Pemuda:
Pak Pendeta, selama ini kita memahami bahwa ALLAH yang kita imani adalah Allah
Tritunggal. Sepengetahuan saya, ajaran tentang Allah Tritunggal (Trinitas) merupakan
tanggapan terhadap ajaran yang sedang berkembang pada jamannya.

Pendeta:
Ya benar, pengakuan iman tentang Allah Tritunggal (Trinitas) lahir dalam konteks
perdebatan untuk menanggapi  ajaran  Arius, seorang pemimpin gereja dari 
Alexandria. Arius  mengajarkan bahwa Yesus hanyalah mirip atau menyerupai Allah,
namun bukan Allah. Arius memakai sebuah istilah teologis yang menjelaskan ajarannya
yaitu “homoios” yang artinya: esensi ilahi yang mirip atau serupa. 
Homoios menyatakan bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus tidaklah setara dan
sama. Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki wujud dan kedudukan yang tidak
serupa.  Ajaran dari Arius pada prinsipnya mempersoalkan keilahian Yesus dengan
relasiNya dengan Allah.  Konsili di Nicea tahun 325 dan 381, serta  pengakuan iman
Athanasius sekitar tahun 500 menanggapi ajaran Arius dengan merumuskan ajaran
Trinitas. Istilah yang dipakai adalah “homoousios” dari bahasa Yunani yang berarti
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki esensi ilahi yang sama.
Pemuda:
Jika demikian, benarkah klaim kaum unitarian (Anti  Trinitas) bahwa istilah Allah
Tritunggal (Trinitas) tidak Alkitabiah? Lalu apa yang mendasari ajaran Trinitas?

Pendeta:
Istilah “Trinitas” sesungguhnya mulai diterapkan dalam ajaran gereja sebagai suatu
refleksi ajaran gereja. Untuk lebih jelasnya mari kita memperhatikan benang merah
sejarah pembentukan  doktrin Trinitas: (disarikan dari tulisan Pdt Hendri M Sendjaja )
1. Dimulai dari Paham Allah Israel
Orang Israel di jaman PL memahami dan menghayati Allah sebagai “Yang Transenden
dan Imanen”. ALLAH yang transenden adalah ALLAH Maha Tinggi yang kehadiran-
Nya tidak dapat tertampung apa pun di jagat raya ini,  juga tidak dapat dikurung oleh
waktu. DIA tak terbatas. Kategori utama dalam PL yang menyatakan transendensi Allah
adalah kesadaran akan kekudusan. Kekudusan adalah kekhasan hakikat Allah yang
membedakan Dia dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sedangkan Allah Yang Imanen
adalah gambaran Allah yang hadir di dalam kehidupan manusia ini. Allah Yang Imanen
adalah Allah yang terlibat di dalam sejarah kehidupan ciptaan-Nya. Kategori utama
dalam PL yang menyatakan imanensi Allah adalah kesadaran akan kedekatan.
Kedekatan ini dirasakan orang Israel melalui sejarah kehidupan mereka.

2. Dipertajam oleh Kesaksian Hidup dan Karya Yesus


Sejarah bangsa Israel dalam Kitab Suci penuh dengan tragedi dan penderitaan. Dalam
masa tragis dan sengsara tersebut, di Israel berkembang apa yang dinamakan tradisi
apokaliptik. Secara sederhana, tradisi ini menggambarkan pertentangan antara
kekuatan yang jahat dan yang baik, antara gelap dan terang. Penggambaran realitas
yang cenderung dualisme ini mengisyaratkan suatu jeritan pengharapan umat akan
Allah Yang Transenden dan Imanen. Umat berharap, Allah Yang Transenden dan
Imanen itu mau membebaskan mereka dari tragedi dan penderitaan. Pengharapan
umat secara konkret adalah berupa “kedatangan seorang Raja Damai.” Raja ini
diharapkan mampu membebaskan umat dan membawa umat ke dalam keselamatan
atau shalom. Ia disebut sebagai antara lain: Mesias, Anak Manusia, Anak Daud, Anak
Allah.

Pengharapan akan Mesias terus berlangsung sampai pada zaman Yesus. Ini bisa
dipahami lantaran pada masa Yesus, Israel tetap di bawah penaklukan dan penjajahan
Romawi. Tampaknya pengharapan akan Mesias berkembang ke arah hal-hal politis
(yang bersifat partikular), yakni pengharapan akan kehadiran “tokoh” yang mampu
memulihkan Israel. Yesus adalah salah seorang yang pada gilirannya dianggap sebagai
Mesias, paling tidak oleh para murid-Nya. Awalnya Yesus dianggap sebagai Mesias
dalam pengertian partikular untuk bangsa Israel (lihat: Mat 20:2-28//Mrk 10:35-45;
Kis 1:6). Hal ini bisa dipahami karena Yesus memang berjuang untuk kedamaian
bangsanya melalui khotbah-khotbah, perbuatan-perbuatan ajaib (mujizat), dan juga
proklamasi penentangan apapun bentuk penindasan yang melahirkan penderitaan, baik
yang dilakukan oleh pelaku dan institusi pemerintah maupun pelaku dan institusi
keagamaan. Tidak jarang Yesus pun menyatakan diri-Nya sebagai pemenuhan kabar
baik Kerajaan Allah (bdk. Luk 4:18-21; Mat 11:2-6//Luk 7:18-23). Pada perkembangan
kemudian Yesus pun dianggap sebagai Mesias dalam pengertian universal untuk dunia
(Yoh 3:16). Pergeseran anggapan ini merupakan hasil dari perenungan (refleksi) para
murid atas hidup dan karya Yesus. Dalam hal ini, Yesus menjadi Kristus (Khristos, bhs.
Yunani: ‘Yang Diurapi’). “Pemberita Injil Kerajaan Allah” itu telah menjadi “Yang
Diberitakan”. Di dalam Yesus Kristus, Allah telah menyatakan diri-Nya, telah melawat
umat-Nya (Luk 7:16; 19:44). Sejak pergeseran anggapan tentang Yesus tersebut, orang-
orang yang disebut Khristianoi atau Kristen (Kristiani) merumuskan pengakuan
imannya: “Yesus Kristus adalah Tuhan.” (Flp 2:11; 1Kor 12:3) Inilah pengakuan iman
Kristiani yang mula-mula. Bagi Paulus, pengakuan iman ini dimungkinkan karena
pekerjaan Roh Allah saja (1Kor 12:3). Dari sini kita melihat bagaimana refleksi umat
Kristiani sampai kepada pengakuan akan ke-Tuhanan Yesus Kristus dan pengakuan
akan pekerjaan Roh Allah atau Roh Kudus. Lebih lanjut Paulus menyatakan imannya
demikian: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-
Allahan.” (Kol 2:9) Maka berkembanglah Kristologi pemahaman ke-Allahan di dalam
diri Yesus Kristus. Penulis Injil Yohanes kemudian mengungkapkan “Kristologi dari
atas”, yang mana Yesus Kristus dipahami sebagai Firman Allah yang telah menjadi
manusia, sebagai penyataan Allah di dunia (Yoh 1:1, 14, 18). Bagi Penulis Yohanes,
hubungan antara Yesus Kristus dan Allah itu satu: “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku; dan
barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku.” (Yoh 12:44-45)
“Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku,
supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” (Yoh 17:22). Perihal
keterkaitan dengan Roh Kudus, bagi Penulis Yohanes, Roh Kudus itu adalah Penolong
lain, Penghibur (Yunani: Parakletos) yang dijanjikan Yesus Kristus. Roh Kudus
dinyatakan sebagai Roh Kebenaran yang akan menyertai dan tinggal di dalam para
pengikut Kristus. (Yoh 14:15-26)

Pada perkembangan selanjutnya, Gereja mula-mula mulai memasukkan rumusan


liturgis yang menyatakan pengakuan iman akan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus
(2Kor 13:13; Mat 28:19). Kemudian Penulis 1Yohanes (5:7) menegaskan sebagai berikut:
“Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus
dan ketiganya adalah satu…]”

3. Diperdebatkan oleh Orang Yahudi


Sekitar pertengahan abad kedua, Justinus, menulis buku yang mengungkapkan
keberatan  orang Yahudi terhadap iman Kristen. Orang-orang Kristiani dipandang
mengkhianati iman para nabi akan Allah Yang Esa; dicap sebagai pengkhianat monoteis
Israel.

4. Dirumuskan oleh Bapa-Bapa Gereja


Berbagai upaya dilakukan oleh Bapa-Bapa Gereja menghadapi keberatan-keberatan
yang diajukan oleh kalangan Yahudi. Akibatnya, argumen-argumen tentang Allah
Tritunggal beragam dan mengundang perdebatan-perdebatan yang lain. Sebagai
contoh: Justinus memahami Allah Tritunggal secara subordinasianis: Anak dan Roh
bergantung dari Bapa; Anak melaksanakan tugas perutusan yang diberikan oleh Bapa;
Roh menyelesaikan tugas Anak. Selain Justinus, Origenes dan Arius dapat digolongkan
sebagai penganut subordinasianisme.

Ada suatu kelompok Kristiani mula-mula yang sangat prihatin akan keesaan Allah.
Mereka berharap keesaan Allah tidak dikhianati oleh pengakuan iman Kristiani. Oleh
karena itu mereka berusaha mencari jalan, bagaimana hubungan khusus Yesus dengan
Allah bisa dipikirkan tanpa membahayakan keesaan absolut Allah. Dua macam jawaban
yang mereka ajukan – itulah sebabnya kemudian mereka dibagi atas dua golongan.
Golongan pertama adalah monarkianisme dinamis. Golongan ini berpendapat bahwa
Yesus merupakan manusia biasa, tetapi Allah melengkapi-Nya dengan suatu kekuatan
(dunamis) istimewa. Pelengkapan itu terjadi pada peristiwa pembaptisan Yesus di
Sungai Yordan, atau ketika Yesus ditinggikan Allah dalam peristiwa kebangkitan. Jadi,
Yesus hanya diangkat sebagai Anak Allah, tanpa sungguh sebagai Allah. Karena ada
proses pengangkatan (adopsi), maka golongan ini pun dikenal dengan sebutan
adopsianisme. Pada tahun 269, paham seperti ini ditolak oleh sebuah sinode di
Antiokhia.

Golongan kedua adalah monarkianisme modalis (kata Latin modus berarti ‘cara’).
Menurut golongan ini, Yesus adalah suatu cara Allah menyatakan diri. Sambil mau
mempertahankan keesaan absolut Allah, golongan ini meyakini bahwa Yesus sungguh-
sungguh Allah, karena hanya sebagai Allah, Ia bisa menyelamatkan dunia. Golongan ini
mengajarkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya merupakan nama atau cara
penampakan yang berbeda dari Allah yang sama.

Di atas dikatakan, Arius termasuk penganut subordinasianisme.  Arius menyangkali


keilahian Yesus Kristus. Pertentangan hebat pun timbul di dalam Gereja gara-gara
paham Arianisme ini.  Oleh karena itu pada tahun 325 diadakan Konsili Nicea
memutuskan batas-batas paham Allah Tritunggal. Melawan segala godaan triteisme,
Konsili menegaskan keesaan absolut Allah. Terhadap subordinasianisme, Konsili
menegaskan keilahian yang benar dari Anak (Yesus Kristus).

Pemuda:
Apakah di masa kini masih ada kelompok Kekristenan yang menolak ajaran Trinitas?

Pendeta :
 Pandangan Arius di Indonesia tampak mewarnai ajaran dari Saksi Yehova yang
menyatakan bahwa Allah Bapa dan Putera Allah adalah dua pribadi dan Roh yang
secara hakiki berbeda dan terpisah satu sama lain. Allah Bapa, Jehova, sang Pencipta
lebih tinggi dari sang Putera. Dalam hal ini Yesus Kristus adalah hanyalah saksi dan
pelayan utama dari Jehova. Selain saksi Yehova,  masih ada pula kelompok penganut
pandangan unitarianisme yang menyebut diri di Indonesia sebagai Kristen Tauhid.

Pemuda:
Jika kontroversi masih terus terjadi, lalu bagaimana menjelaskan secara sederhana
tentang hubungan Bapa, Anak dan Roh Kudus  dalam  keesaan ALLAH Tritunggal?
Pendeta:
Bapa, Anak  (Yesus Kristus ) dan Roh Kudus adalah sebutan bukan dalam hubungan
dengan Allah sendiri namun dalam hubungan dengan manusia. Dalam hubungannya
dengan manusia, Allah disebut Bapa karena Ia-lah yang mengasihi, memelihara dan
melindungi umat-Nya. Dalam hubungannya dengan manusia Alalh disebut sebagai
Yesus Kristus karena Ia-lah  yang menyelamatkan umat manusia melalui status dan
karya-Nya sebagai Mesias  yang menyerahkan diri-Nya dalam penderitaan dan
kematian-Nya. Dalam hubungan-Nya dengan manusia, Allah disebut Roh Kudus,
karena Ia-lah yang hadir dalam  hidup umat dan gereja-Nya, untuk menguduskannya
sehingga keselamatan itu menjadi bagian dari hidup umat-Nya. Jadi Bapa,  Yesus
Kristus dan Roh Kudus adalah realitas yang sama.  Dengan demikian Allah kita adalah
Allah yang esa.

Pemuda:
apa kesimpulan yang perlu ditegaskan dari kontroversi ajaran Trinitas?

Pendeta:
Inilah seharusnya yang menjadi kesadaran kita bahwa “yang terbatas tidak mampu
menampung Yang Tak Terbatas”. Allah senantiasa lebih besar daripada setiap konsep
dan gambaran yang dapat dibuat oleh manusia. Akal manusia tidak dapat menjangkau
realitas Allah secara sempurna dan tuntas. Bahasa manusia pun terbatas untuk
mengungkapkan Dia, tidak dapat menampung realitas-Nya.

——————————————–

Sumber:
1.       www.yohanesbm.com, Pengantar Ajaran  tentang Trinitas.
2.       Budyanto, Mempertimbangkan Ulang Ajaran tentang Trinitas, Yogyakarta, TPK,
2001

3.       http://teologikristiani.blogspot.com/2008/07/doktrin-trinitas-suatu-
pemahaman.html

Allah Tritunggal
dan Sejarah
Orang Kristen adalah orang-orang yang beriman kepada Allah Tritunggal, Pencipta
seluruh alam semesta. Implikasi dari pernyataan ini adalah kita harus mengerti segala
sesuatu dengan tepat sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta segala sesuatu
itu sendiri, yaitu Allah Tritunggal. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana kita
mengerti sejarah.

Banyak pertanyaan yang diajukan oleh manusia seputar sejarah. Apakah sejarah adalah
sesuatu yang dibentuk semata-mata oleh kekuatan manusia, sesuatu yang tidak
memiliki tujuan dan makna? Ataukah sejarah adalah sesuatu yang telah direncanakan
dan memiliki makna?

Kemudian secara khusus, sebagai orang Kristen, juga timbul berbagai pertanyaan: 
Bagaimanakah relasi antara Allah Tritunggal dengan sejarah? Apakah signifikansi dari
iman Kristen di dalam sejarah dan penilaiannya terhadap sejarah? Bagaimanakah
seorang Kristen dapat mengaplikasikan apa yang diimaninya di dalam sejarah dengan
melihat akan seluruh konteks sejarah?

Sejarah, mau tidak mau, akan menemani perjalanan manusia dalam lingkup waktu dan
tempat. Saat saudara membaca artikel ini pun, terukir sebuah kejadian yang spesifik
dalam lempeng waktu. Namun, sejarah dapat dinilai berbeda oleh setiap orang dan
menghasilkan interpretasi yang berbeda pula. Maka pertanyaan pertama adalah “What
is history?”, bagaimana kita dapat mengenali sejarah dari kacamata Tritunggal yang
adalah Otoritas tertinggi di dalam semesta ini?
Unity and Diversity dalam Sejarah
Dalam bukunya ‘God Centered Biblical Interpretation’, Vern Sheridan Poythress
menjelaskan bahwa di dalam sejarah terdapat sifat ‘unity in diversity’. Unitymengacu
pada satu sistem yang panjang di dalam dimensi waktu dan tempat. Satu sistem yang
panjang ini dibentuk oleh unit-unit kejadian kecil yang setiap unitnya dapat
diklasifikasikan ke dalam kelas-kelas tertentu. Pengklasifikasian ini merupakan satu
implikasi dari sifat unity dalam sejarah, sedangkan unit-unit kecil ini mengacu pada
sifat diversity dari sejarah. Selain itu, diversity juga mengacu pada particularity, yang
berarti setiap kejadian ini pun juga merupakan sejarah dalam batasan
tertentu. Kemerdekaan Indonesia, contohnya, merupakan satu hal yang ada di dalam
dan sekaligus merupakan sejarah. Dan karena tiap kejadian ini adalah unik pada
esensinya; dalam artian ketidakmungkinan untuk terulang kembali dengan sama,
sejarah memiliki sifat keunikan dan mengandung unsur kesatuan dan keberagaman di
dalamnya.
Dan karakter terakhir adalah unity in diversity in history adalah bahwa setiap sejarah
ada keterkaitannya, dan setiap sejarah menjadi tonggak untuk sejarah-sejarah yang
akan terjadi di waktu berikutnya. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan dalam
menginterpretasikan sejarah. Setiap aspek ini memberikan perspektif kepada aspek
yang lain, tidak ada satu aspek pun yang dapat dimengerti kecuali kita memegang
kerangka pikir Tritunggal yang utuh dan koinheren. Karena bagaimanapun ketiga aspek
ini berbeda tetapi tetap terkait dan bersifat satu. Kesatuan yang menghilangkan
keberagaman akan menjadi suatu kesatuan yangabsurd dan mati. Hal demikian tidak
mungkin terjadi karena sejarah yang merupakan turunan dari waktu, yang terus
mengalir, sehingga harus bersifat dinamis. Saat waktu bergerak, kesatuan itu sendiri
juga harus mempunyai sifat keberagaman. Di lain pihak, keberagaman tidak dapat
dipisahkan dari atau berdiri sendiri di luar kesatuan. Karena hal demikian akan
mengakibatkan manusia tidak mempunyai pengharapan untuk hidup dan belajar; kita
membutuhkan adanya memori yang bergantung pada satu titik awal dari mana kita bisa
melihat sejarah sebagai suatu hal yang berurutan.
Sebagaimana Allah Tritunggal yang memiliki tiga pribadi yang berbeda, yang bisa
dibedakan, tetapi merupakan Allah yang Esa yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga aspek
sejarah ini merupakan analogi dari Allah Tritunggal, yang berbeda namun tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Once and for All, Transmission, dan Present


Menurut Poythress, kita dapat memandang sejarah dengan tiga perspektif lainnya,
sesuai dengan keberadaan Allah Tritunggal yang berfirman kepada manusia, yaitu Once
and for All, Transmission, dan Present.
Once and for all artinya bahwa saat Allah berbicara, Allah berbicara langsung dan
hanya sekali kepada orang-orang di zaman tertentu di dalam sejarah. Dan setiap
kejadian tersebut berada pada satu momen tertentu untuk memberikan perkembangan
dan signifikansi bagi seluruh zaman di depannya. Zaman tersebut menjadi semacam
‘audience’ bagi satu momen tertentu. Momen tertentu ini ‘berbicara kepada’ dan
mempengaruhi seluruh zaman di depannya. Tetapi dalam hal ini, setiap perkataan Allah
memiliki satu signifikansi penting yang tidak dapat dipisahkan dari konteks pada zaman
itu. Sebagai contoh, ketika Allah melalui Paulus menyatakan bahwa siapa yang mengaku
Kristus dengan mulutnya akan diselamatkan, tidak bisa dipisahkan dari keadaan di
mana umat Kristen adalah kelompok yang paling dicari dan dibenci oleh penguasa
zaman itu. Yang artinya siapa yang mengaku Kristus adalah Allah harus bersiap untuk
mati mempertahankan imannya.
Untuk bagian Alkitab yang sama, aspek yang kedua, Transmission dapat diterapkan.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Allah terus memelihara esensi dari pernyataan
Paulus lewat hal-hal yang dilalui umat Tuhan. Dalam runtutan sejarah, Allah
mengizinkan terjadinya penganiayaan akan kebenaran bahkan dari dalam suatu
lembaga yang mengaku sebagai umat Allah sekalipun. Sebagai contoh spesifik, Martin
Luther dipimpin untuk menyatakan suara peringatan kepada gereja di abad ke-16.
Gereja, yang berlabelkan umat Allah, telah sangat menyeleweng pada zaman itu dan
ketika Luther dipakai untuk menyatakan kebenaran, banyak orang dari dalam gereja
sendiri yang melawan kebenaran tersebut. Martin Luther kemudian harus
diekskomunikasikan, namun ia terus dipeliharakan imannya sehingga ia boleh terus
berjuang untuk menyatakan apa yang Allah ingin nyatakan. Di saat yang sama, Allah
dalam pemeliharaan-Nya juga membendung ujian yang diberikan sehingga ujian pada
tiap zaman tidaklah melebihi kemampuan iman daripada zaman tersebut.
Dalam aspek Present, bagian ini dapat dimengerti sebagaimana kita sebagai umat
Kristen boleh berespons dengan benar akan panggilan untuk menjadi pengikut Kristus
melalui apa yang diteladankan oleh Paulus dan jemaat mula-mula, serta setiap
perjuangan anak Tuhan sepanjang sejarah sampai hari ini. Tuhan secara khusus
berbicara pada umatnya di zaman ini melalui Firman-Nya dan teladan sepanjang
sejarah untuk boleh lebih tegar dan tegas dalam berjuang untuk mengikut Kristus,
memikul salib, dan menyangkal diri.
Ketiga aspek ini tidak boleh dipisahkan satu sama lain karena di dalam kemajemukan
makna dari tiga aspek ini, terkandung satu makna yang utuh, yang menjadi sumber dan
pemberi makna dari setiap pola interpretasi secara spesifik. Keterikatan ini
tergambarkan dalam “ketergantungan” tiap pola interpretasi terhadap pola yang
lainnya. Sebagai contohnya, tanpa mengetahui makna awal dari sebuah bagian Kitab
Suci, tidak mungkin kita dapat melihat pemeliharaan Tuhan sepanjang sejarah akan
janji-Nya, maupun penyataan Tuhan pada zaman ini secara utuh. Sebaliknya, tanpa
mau mengerti akan apa yang Tuhan kehendaki dalam zaman ini, seluruh pola
interpretasi tersebut hanyalah menjadi kekayaan intelektual yang sia-sia.

Kesatuan, Hierarki, dan Konteks


Selain aspek-aspek di atas, sejarah harus dimengerti melalui triad perspektif yang
terdiri dari prinsip kesatuan, hierarki, dan konteks.
Pertama, prinsip kesatuan menjelaskan masing-masing peristiwa sejarah yang
disatukan dapat diidentifikasi dalam satu kelompok tertentu. Pengkhotbah mengatakan
bahwa di dalam dunia ini tidak ada satu pun hal yang baru. Setiap kejadian di dalam
sejarah adalah kejadian yang secara umum sudah pernah terjadi. Tuhan yang adalah
sumber dari segala sesuatunya telah menyatakan seluruh hal yang terjadi dan akan
terjadi di dalam wahyu-Nya, baik secara umum maupun secara khusus, yaitu melalui
Kristus dan Alkitab. Perspektif yang demikian mengarah pada Pribadi Pertama
Tritunggal sebagai sumber (origin) dari segala sesuatu yang diciptakan.
Kedua, prinsip hierarki menjelaskan bagaimana masing-masing peristiwa sejarah
digabungkan dengan konteks yang lebih besar ataupun lebih kecil sehingga disatukan
menjadi satu jaring-jaring sejarah yang tidak terputus. Misalnya peristiwa kebangkitan
adalah sebagian dari kisah kehidupan Kristus, dan kejadian ini dikelompokkan menjadi
peristiwa yang lebih besar maupun menjadi lebih kecil. Peristiwa kebangkitan menjadi
bagian dari suatu rangkaian yang lebih besar tentang peristiwa dari penguburan dan
penampakan diri Kristus setelah kebangkitan. Rangkaian ini menggambarkan
kemenangan Kristus dari dosa dan kejahatan secara spesifik. Pola interpretasi yang
demikian mengarah pada sifat Pribadi Kedua Tritunggal yang
merupakan manifestasi dari seluruh rencana utuh Allah Tritunggal.
Ketiga, prinsip kontekstual memberikan gambaran akan korelasi antara satu kejadian
dengan kejadian yang lainnya, yang dipisahkan oleh limitasi konteks pada masing-
masing kejadian. Misalnya, karya keselamatan Kristus dan pengorbanan domba sebagai
pengganti Ishak yang akan dikorbankan bagi Tuhan, merupakan dua kejadian yang
secara kontekstual berbeda namun memiliki esensi yang sama, yaitu penggenapan
tuntutan Allah melalui substitusi. Perspektif ini mengarah pada pribadi Allah Roh
Kudus yang menyertai umat-Nya dalam segala zaman dalam melihat akan bergulirnya
waktu di samping berjalannya umat Allah menuju hari di mana Allah menyatakan
kemuliaan-Nya secara penuh.
Kristus Sebagai Pusat dari Sejarah
Kristus baik secara eksplisit maupun implisit adalah sumber dari segala makna dalam
seluruh sejarah manusia. Oleh karena itu, tidak akan ada satu pun fenomena di dalam
dunia ini yang dapat terjadi di luar kedaulatan Kristus. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa
setiap kejadian tidak akan memiliki makna yang benar di luar Kristus; dan tidak akan
pernah ada kejadian yang bersifat demikian (red. kejadian bermakna benar tetapi
terjadi di luar Kristus). Bahkan di dalam kejadian yang sangat kecil pun, seperti
membeli koran, memiliki signifikansi dalam penyataan akan siapakah Kristus dan
peran-Nya di dalam dunia ini. Akan tetapi, relasi yang terdapat dalam konteks ini tidak
bisa dihubungkan secara paralel sempurna melainkan lebih ke arah
hubungan analogical, di mana proses jual beli koran adalah analogi dari bagaimana
manusia dicipta berdasarkan gambar dan rupa Allah, yang berinteraksi dalam tiga
pribadi Allah Tritunggal.
Lebih dalam lagi, makna yang diberikan oleh Kristus tidaklah semata-mata berhenti
pada makna itu sendiri, namun setiap makna itu membawa dampak bagi kemuliaan
Allah dan keselamatan manusia di dalam Gereja-Nya yang kudus. Sebagai contohnya
adalah upacara persembahan korban di dalam Kitab Imamat. Upacara persembahan ini
melingkupi umat Israel pada zaman itu serta menunjuk pada satu karya keselamatan
yang sejati, pengorbanan Kristus di atas kayu salib. Melalui upacara ini, umat Israel
yang dipilih oleh Tuhan menikmati karunia dari karya Allah yang masih akan terjadi
pada masa yang akan datang dalam konteks kronologis ciptaan. Hal yang sama juga
dapat dilihat dalam setiap ibadah dari Gereja-Gereja Tuhan. Dalam tiap ibadah ini,
umat pilihan Allah menikmati sebuah karya penggenapan Kristus yang masih akan
datang pada saat Kristus datang untuk kedua kalinya dan menjadi penggenapan dari
seluruh iman umat pilihan. Di lain pihak, kegiatan ibadah tersebut juga
merepresentasikan akan Kristus yang sudah mati untuk umat-Nya segala zaman.
Dengan demikian, sejarah ketika dilihat dari suatu aspek tidak boleh dilepaskan dari
suatu kesatuan yang lebih luas.

Makna yang diberikan oleh Anak Allah dalam lingkup yang lebih dalam berpusat pada
karya keselamatan yang dikerjakan oleh-Nya secara penuh dan tuntas bagi umat-Nya.
Melalui karya keselamatan-Nya, seluruh sejarah manusia ditarik dari yang paling kecil
ke yang paling besar, kembali kepada poros sejarah manusia; yaitu kematian Kristus di
atas kayu salib dan kebangkitan-Nya. Sebagai contoh, adalah kisah peperangan di
dalam Kitab Raja-Raja, di mana konsep peperangan menjadi salah satu hal yang
diketengahkan di dalam pembahasan. Peperangan yang direfleksikan di dalam kitab
tersebut mengandung makna dan esensi dari Peperangan Suci antara Allah yang benar
dan adil melawan Iblis, yang pada akhirnya dikalahkan melalui kematian dan
kebangkitan Kristus dan pada waktu Yesus datang untuk kedua kalinya.

Dalam refleksi ini, terdapat tiga poin penting yang dinyatakan secara implisit: (1)
kejatuhan manusia, yang menyebabkan manusia rusak total dan tidak bisa memuaskan
standar Allah; (2) pengorbanan Kristus di atas kayu salib, sebagai satu-satunya solusi
keberdosaan manusia; serta (3) kedatangan Kristus untuk kedua kalinya untuk
menggenapi seluruh janji Allah. Misalnya dalam perayaan Natal, kita tidak boleh
mengkotak-kotakkan hal itu terlepas dari keberdosaan manusia yang memerlukan
karya keselamatan Kristus dan pelayanan-Nya di dalam dunia ini. Serta Ia yang nanti
akan datang untuk menghakimi manusia pada akhir zaman. Kelahiran Kristus tidak
boleh dilepaskan dari seluruh karya keselamatan-Nya.

Melalui karya keselamatan Kristus, Allah memberikan satu anugerah pada umat
manusia untuk boleh diperdamaikan dengan Allah yang secara total menuntut
pertanggungan jawab total bagi seluruh dosa umat manusia. Hal ini tidak berarti bahwa
umat pilihan tidak akan dihakimi. Umat pilihan akan tetap menjalani penghakiman
Allah tapi dosa-dosa mereka telah ditanggungkan kepada Kristus di dalam kematian-
Nya di atas kayu salib.

Perdamaian yang diberikan Allah melalui kematian Putra-Nya yang tunggal


menggantikan kita umat-Nya yang berdosa, membawa dampak pula di dalam relasi
manusia di dunia. Manusia dalam konteks ini adalah mereka yang hidupnya dipulihkan
kembali untuk boleh mengasihi dengan benar sesuai dengan kehendak Allah, yang juga
merupakan standar di dalam hidup ini. Kasih yang dimaksudkan di sini bukanlah kasih
yang berdasarkan pada semangat humanisme yang populer pada zaman ini, melainkan
kasih Allah akan dunia ini yang menuntut manusia untuk boleh berespons dengan
benar sesuai dengan kehendak-Nya yang benar dan adil adanya, karena di luar diri-Nya
tidak ada satu pun form yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu, relasi antar pribadi
Allah, Allah dengan manusia, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam
ciptaan yang lain, yang keseluruhannya terangkum dalam Kristus dan Gereja-Nya,
merupakan relasi yang menggerakkan seluruh jalannya sejarah.
Apakah relasi ini pasti merupakan suatu hal yang nyata? Mungkinkah relasi ini
hanyalah sebuah hal yang diimpi-impikan manusia dalam keberdosaan pikirannya?
Karena mungkinkah manusia yang berdosa dalam relasinya dengan pribadi yang lain
adalah merupakan suatu esensi dalam sejarah yang tidak mungkin ditarik kembali ke
dalam Kristus? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat mungkin muncul di dalam benak dari
tiap-tiap orang yang sadar akan keberdosaan dirinya dan kesucian Allah yang mutlak.
Namun dalam kesadaran akan diri yang berdosa dan kesucian Allah yang mutlak,
seseorang dapat dengan yakin menyatakan bahwa setiap kejadian di dalam sejarah
umat manusia merupakan rentetan kejadian yang dapat ditarik menuju porosnya yang
sejati, yaitu Kristus, Allah dari segala yang ada.

Keyakinan akan adanya satu kesatuan dalam seluruh rangkaian sejarah bukanlah suatu
keyakinan yang tidak memiliki dasar. Sedikitnya ada tiga hal yang melandasi keyakinan
tersebut. Poin pertama adalah karakter Allah yang utuh sebagai originator,
manifestator, dan accomplisher dari seluruh yang pernah ada, yang ada, dan yang akan
ada dalam jenjang kronologis sejarah manusia. Allah yang satu menyatakan karakter-
Nya, salah satunya melalui ciptaan-Nya (Roma 1:20). Oleh karena itu, ciptaan yang
merefleksikan karakter dari Allah yang satu, tidak mungkin tidak menunjukkan satu
pola yang merujuk pada pribadi sang Pencipta. Sama seperti seorang seniman yang
membuat sebuah karya seni. Karya tersebut pasti merefleksikan karakternya, sehingga
seseorang dapat mengetahui pribadi di balik sebuah karya hanya dari mengamati karya
seniman tersebut.
Poin kedua adalah natur dasar dari manusia sebagai makhluk ciptaan yang telah jatuh
ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Tuhan yang asli. Dalam kondisi yang terpuruk
seperti ini tidak mungkin ada satu hal pun di dalam manusia yang dapat memuaskan
tuntutan Allah. Oleh karena itu Allah sendiri yang harus turun menyelamatkan
manusia. Tenggelam dalam satu kondisi bersalah yang sama dan membutuhkan
pembenaran dari Allah yang hanya berdasarkan anugerah semata, adalah hal yang
menyatukan seluruh umat manusia dalam seluruh rangkaian sejarah. Selain itu kondisi
keterpurukan manusia ini hanya memiliki satu jawaban yang pasti, yaitu Kristus, yang
juga merupakan pusat dari seluruh yang ada.
Poin yang ketiga adalah kepribadian dari tiap manusia. Manusia diciptakan sebagai
suatu makhluk berpribadi yang mencerminkan satu pribadi yang mutlak, yaitu Allah,
dan secara spesifik Kristus sebagai pribadi utama dan yang awal yang menjadi model
dalam penciptaan manusia. Oleh karena itu, manusia yang dicipta berdasar pada satu
model yang sama tidak mungkin tidak memiliki satu koneksi yang erat antara dirinya,
sesamanya, dan Tuhan yang berdaulat atas hidupnya.
Dari ketiga poin yang telah dipaparkan, sangat jelas bahwa seluruh pola hidup yang ada
di dunia ini tidak bisa tidak berpusat pada Kristus. Lalu, apakah pola yang tersusun ini,
di dalam kekayaan dan kekompleksannya adalah suatu pola yang tidak beraturan? Jelas
tidak! Dalam rangkaian sejarah, ada relasi yang memang ditetapkan untuk menjadi
penting, atau berhubungan erat dan dekat dengan Kristus sebagai inti dari sejarah, ada
pula yang ditetapkan untuk menjadi tidak penting. Akan tetapi, tidak setiap kejadian
yang dekat dengan sumber tersebut yang adalah penting. Ada kalanya kejadian yang
terdapat jauh dari sumber secara spasial (ruang) dan kronologikal (waktu) lebih penting
dari pada yang dekat. Sebagai contohnya adalah perjalanan para gembala yang pertama
kali melihat Kristus dalam palungan dari padang tempat mereka memelihara domba-
domba mereka sampai pada tempat kelahiran Kristus, tidaklah lebih penting
dibandingkan dengan kisah pertobatan Paulus dalam perjalanannya ke Damsyik. Sama
halnya dengan seluruh aspek kehidupan seorang Kristen, apa yang terletak dekat
dengannya, seperti keluarga, pacar, dan teman, bukanlah hal yang patut mendapat
prioritas utama dalam hidupnya. Apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidupnya,
tidak peduli sejauh apapun, adalah hal yang harus menjadi prioritas utama dalam hidup
ini

Sebagai dampaknya, Allah, yang menjadi sumber sejarah adalah Allah yang akan
menuntut pertanggungjawaban untuk setiap detik yang telah diberikan-Nya dalam
hidup setiap manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa setiap saat manusia
harus dan sedang memberikan kesaksian mengenai Allah: baik yang menjalankan
kehendak Allah, yang akan menyatakan kemahakuasaan Allah lewat pemeliharaan-Nya;
maupun yang melawan kehendak Allah, yang menyatakan kemahakuasaan Tuhan lewat
peringatan dan penghukuman dari-Nya. Kiranya pengertian akan sejarah yang benar
membuat kita menjadi orang yang bijaksana, yang selalu available dipakai Tuhan
sebagai alat kemuliaan di tangan-Nya untuk menyatakan Allah Tritunggal. Soli Deo
Gloria.

Anda mungkin juga menyukai