Disusunoleh :
Aziz Rofiqi
Firda Rahmayanti
JURUSAN TARBIYAH
PURWOREJO
2021
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan dan hambatan pendidikan Islam
juga terus mengalami perkembangan dan perubahan. Jika pada beberapa dekade
silam percakapan akrab antara peserta didik dengan guru terasa tabu, maka hari
ini justru merupakan hal yang wajar. Bahkan dalam pandangan teori pendidikan
modern, hal itu merupakan sebuah keharusan. Interaksi semacam itu justru
menjadi indikasi keberhasilan proses pendidikan.
Pergeseran paradigma lainnya misalnya dalam hal pendekatan pembelajaran.
Pada era pendidikan Islam tradisional, guru menjadi figur sentral dalam
kegiatan pembelajaran. Ia merupakan sumber pengetahuan utamadi dalam kelas,
bahkan dapat dikatakan satu-satunya. Namun dalam konteks pendidikan Islam
modern, hal demikian tidak berlaku lagi. Peran guru hari ini telah mengalami
pergeseran, yakni sebagai fasilitator bagi peserta didik. Pembelajaran tidak lagi
berpusat pada guru(teacher centered), namun lebih berpusat pada peserta didik
(student centered)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Lika Liku Pendidikan Islam Di Indonesia?
2. Bagaimanakah Pendidikan Islam Di Indonesia Pada Masa Penjajahan?
3. Bagaimanakah Pendidikan Islam Indonesia Setelah Kemerdekaan?
4. Seperti Apa Moralitas Pendidikan Islam Di indonesia?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
kebebasan beribadah bagi para pemeluk agama sesuai dengan kepercayaannya. UUD
1945 pada pasal 29 dibangun berlandaskan Pancasila yang merupakan kristalisasi
dari esensi kehidupan budaya bangsa menghendaki agar watak sosialis religius
masyarakat Indonesia tetap lestari dan diperkokoh melalui pendidikan agama
termasuk pendidikan Islam.(Harmonedi, 2020).
Kementerian Agama yang resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 sangat
berperan dalam perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Sejak saat itu
Kementerian Agama secara politik memperjuangkan Pendidikan Islam di Indonesia.
Upaya tersebut ditangani secara khusus oleh sebuah badan khusus yang mengatur
masalah pendidikan agama. Akhirnya penyelenggaraan Pendidikan Islam pun
mendapat tempat dan perhatian khusus oleh pemerintah, baik di sekolah-sekolah
negeri maupun swasta. Pada tanggal 27 Desember 1945 Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat (BPKNP) memberikan bantuan kepada lembaga Pendidikan Islam
dengan pernyataan bahwa pesantren dan madrasah pada hakekatnya merupakan
sebuah alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah
mengakar pada masyarakat Indonesia secara umum. Untuk itu perlu mendapat
perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah Indonesia.12
1
Jurnal Tahdzibi : Manajemen Pendidikan Islam Volume 6 No. 1 Mei 2021
2
Website : jurnal.umj.ac.id/index.php/Tahdzibi
3
Sebagai bentuk pengakuan dan perhatian pemerintah, pada tahun 1950 sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan, madrasah diakui negara secara formal. UndangUndang nomor 4
tahun 1950 tentang Dasar Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pada pasal 10
menyebutkan “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Kementerian Agama,
sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar”. Guna mendapatkan pengakuan dari Kementerian
Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling
sedikit enam jam seminggu secara teratur di samping mata pelajaran umum (Harmonedi, 2020)
a) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kejuruan.
b) Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan
keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.
c) Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan 3
4
Selama berabad-abad Islam diajarkan melalui jalur pendidikan informal dan non-
formal. Jalur pendidikan informal adalah pendidikan yang dilakukan di rumah tangga.
Sedangkan jalur pendidikan non-formal dilakukan di padepokan dan pondok
pesantren,serta dakwah dengan berbagai model yang dilakukan oleh para ulama dengan
pendekatan kultural edukatif. Cara itu dapat membawa perubahan sikap hidup individual
dan sosial yang tinggi, serta kepekaan terhadap kemungkaran yang terjadi di
lingkungannya.
Namun budaya yang mengandung nilai-nilai Islami itu dalam proses
perkembangannya mulai mengalami gangguan dan ancaman dari kebudayaan asing yang
dibawa oleh penjajah Belanda pada tahun 1596 M (abad 16 M). 4 Sebab penjajah
Belanda datang ke Indonesia tidak hanya bertujuan merebut kekuasaan (glory) dan
menguasai sumber daya alam (gold), tetapi juga membawa misi agama (gospel). Sedikit
demi sedikit cakrawala budaya masyarakat dan pola pikirnya dipenetrasi oleh budaya dan
pola pikir Eropa sehingga pada sisi-sisi konfigurasinya semakin lemah daya tangkalnya,
dan semakin meluas ke arah episentrumnya.
Bersamaan dengan munculnya sistem pendidikan klasikal yang diperkenalkan oleh
oleh kaum penjajah, muncul pula di sana-sini model pendidikan formal/klasikal yang
disebut madrasah. Model pendidikan madrasah itu makin kokoh mentradisi dalam
masyarakat Islam di berbagai wilayah yang penduduknya mayoritas muslim. Dan setelah
kembalinya beberapa ulama dari Mesir dan Saudi Arabia, ide-ide pembaharuan yang
dicetuskan oleh cendekiawan muslim di Mesir dan Saudi Arabia, seperti Jamaluddin al-
Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, dan lain-lain, membuat
model madrasah semakin dijadikan tumpuan bagi pelestarian dan modernisasi oleh umat
Islam.
Pondok pesantren sebagai model pendidikan karakteristik Indonesia yang tradisional
Islami tetap berkembang di samping madrasah, bahkan antara kedua model ini saling
berdampingan sebagai saudara kembar dalam pengertian organisatoris dan keilmuan.
Sementara itu sekolah-sekolah umum yang minus pendidikan agama didirikan oleh
Gubernemen (Pemerintah Belanda), sekolah-sekolah Islam partikulir yang plus agama
Islam didirikan pula oleh beberapa organisasi mesyarakat. Sehingga terjadilah dua kubu
5
yang berbeda pola pendidikannya. Di satu pihak pendidikan sekolah umum hanya
berorientasi kepada duniawi yang etis, di lain pihak madrasah dan pondok pesantren
berorientasi kepada ukhrawi yang populis. Pada akhirnya terjadilah kesenjangan dalam
pola pendidikan yang semakin diperlebar oleh pemerintah Belanda, bahkan dijadikan
pola pikir politik pecah belah (devide et impera). Masing-masing kubu saling mengejek
satu sama lain. sehingga tanpa disadari terjadi dikotomi pendidikan dengan jurang
pemisah yang amat dalam Sekalipun Pemerintah Belanda memberikan ruang untuk
berdirinya lembaga pendidikan Islam, namun pada masa itu tidak mudah bagi masyarakat
pribumi untuk (rakyat Indonesia) untuk bergerak di bidang pendidikan Islam. Hal ini
disebabkan Pemerintah Belanda sangat mengekang kebebasan umat Islam untuk bergerak
di bidang itu. Pemerintah Belanda membuat berbagai kebijakan diskriminatif. Di satu sisi
mereka membantu perkembangan sekolahsekolah gereja, namun di sisi lain mereka
mempersulit dan menekan keberadaan sekolah-sekolah yang berbasis Islam.
Pada tahun 1819 M Gubernur Jenderal Van Der Capellen mengambil inisiatif
merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu
Pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para bupati tersebut sebagai berikut:
“Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang
menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis untuk penduduk pribumi agar
mereka lebih mudah untuk dapat mentaati Undang-Undang dan Hukum Negara.
Agaknya kebijakan Pemerintah Belanda mempersempit ruang gerak pendidikan
Islam lebih didasari oleh kekhawatiran terhadap bakal munculnya kader-kader nasionalis
dan agamis yang dapat mengganggu eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia. Oleh
sebab itu Pemerintah Belanda terus melakukan tindakkan itu. Hal ini tercermin dari
kebijakannya dengan membentuk badan khusus yang bernama Priesteraden pada tahun
1882 M. Badan ini bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Atas
nasihat dari badan ini maka pada tahun 1905 M Pemerintah Belanda membuat peraturan
yang dinamakan Ordonansi Guru Agama (Godsdienstoderwijs) yang isinya mewajibkan
guru agama untuk meminta izin kepada Pemerintah Belanda dalam melakukan kegiatan
mengajar dan operasional sekolah .
Pada tahun 1925 M Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang lebih ketat
lagi, yaitu tidak membolehkan semua orang memberikan pelajaran mengaji. Kemudian
6
pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak berizin, atau memberikan pelajaran yang tidak disukai
oleh pemerintah.4
7
3. Pendidikan Islam pada Masa Setelah Kemerdekaan
8
Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pada pasal 10 disebutkan “ Belajar di sekolah
agama yang telah mendapat pengakuan Kementerian Agama, sudah dianggap
memenuhi kewajiban belajar”. Untuk mendapat pengakuan dari Kementerian
Agama, madrasah harus. Memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok
paling sedikit enam jam seminggu secara teratur di samping mata pelajaran umum.5
5
Haidar Nawawi, dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009),
hlm 362
9
4. Seperti Apa Moralitas Pendidikan Islam Di Indonesia?
6
Jurnal Edukasia Islamika: Volume I, Nomor 1, Desember 2016/1438
10
Di antara akibat negatif dari era global ini, ialah nilai-nilai spiritualitas agama menjadi
momok dalam kehidupan, agama hanya untuk akhirat, sementara urusan dunia tidak
berkaitan dengan agama. Sebagian masyarakat menjauh dari nilai-nilai agama, nilai-nilai
sosial budaya dan nilai-nilai falsafah bangsa. Menurut Mudji Sutrisno (1994:178), sisi
negatif dari globalisasi ialah: (1) kecenderungan untuk massifikasi, penyeragaman
manusia dalam kerangka teknis, sistem industri yang menempatkan semua orang sebagai
mesin atau sekrup dari sebuah sistem teknis rasional; (2) sekularisme, yang berarti tidak
diakuinya lagi adanya ruang nafas buat yang Ilahi, atau dimensi religious dalam hidup
kita; (3) orientasi nilainya yang menomorsatukan instant solution, resep jawaban tepat,
cepat, langsung.
Dekadensi moral yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda harapan masa depan
tersebut, meskipun tidak besar prosentasenya, namun menjadi sesuatu yang disayangkan
dan bahkan mencoreng kredibilitas dan kewibawaan dunia pendidikan. Para pelajar yang
seharusnya menunjukkan sikap dan perbuatan yang bermuatan akhlak mulia justru
menunjukkan tingkah laku yang sebaliknya. Tidaklah berlebihan ketika dalam kasus ini
kita sebagai pihak yang ikut andil dalam dunia pendidikan merasa gelisah dan ikut
bertanggung jawab di dalamnya.
Pendidikan memang mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai transfer nilai
(transformation of value) dan transfer pengetahuan (transformation of knowledge).
Sebagai fungsi transfer nilai, dunia pendidikan diharapkan mampu mentransfer nilai-
nilai, norma-norma, dan budi pekerti luhur (akhlakul karimah). Sebagai fungsi transfer
11
pengetahuan, dunia pendidikan diharapkan mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan
teknologi pada anak didik (Nurul Zuriah, 2008:175). Persoalan yang muncul
Sekali lagi, sebagai pihak yang ikut andil dalam dunia pendidikan, terkhusus pada
pendidikan agama Islam (PAI), kita dihadapkan pada kondisi yang sangat perlu berbenah
diri (muhasabah). Salah satu bentuk muhasabah tersebut adalah meramu strategi yang
efektif dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam, sehingga tercipta format
pendidikan agama Islam yang ideal dalam rangka meningkatkan moralitas generasi
bangsa, khususnya para pelajar tunas masa depan.
Tulisan ini mencoba meneguhkan kembali peran strategis Pendidikan Agama Islam
(PAI) dalam meminimalisir dekadensi moral para pelajar ataupun remaja generasi masa
depan. Harapannya, upaya revitalisasi Pendidikan Agama Islam ini menjadi solusi efektif
dan aplikatif, serta menjadi koreksi bersama dalam penyelenggaraan pendidikan agama di
sekolah atau madrasah, terlebih lagi di perguruan tinggi tanpa terkecuali.
12
Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak
diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama,
maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian,
satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah
masyarakat dengan hukum dan peraturannya. Namun biasanya pengawasan
masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena
pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang tidak tahu, atau tidak ada
orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu
akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum sosial itu. Apabila dalam
masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran, dengan sendirinya
orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang sama (Zakiah Daradjat, 1978:66). Di sinilah yang menurut
Abdul Munir Mulkhan (2008:29) sebagai “conditioning” terjadinya evolusi
budaya masyarakat.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga,
sekolah, maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga
institusi ini tidak berjalan menurut semestinya (normatif) atau yang sebisanya
(objektif). Pembinaan moral di rumah tangga misalnya harus dilakukan dan sejak
anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak-anak
akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral yang dilakukan di
rumah tangga.
13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Titik tumpu pendidikan agama Islam (PAI) yang paling sentral adalah apa yang
dinamakan structure of religious person, dimana menggambarkan personalita seseorang
atau manusia yang merupakan internalisasi nilai-nilai religiositas yang di dalamnya
tertanam moralitas secara utuh, yang diperoleh dari hasil sosialisasi nilai-nilai
religius/moral itu sepanjang kehidupannya, termasuk hasil pergulatan seseorang di dalam
mengikuti proses pendidikan. Dengan demikian, revitalisasi strategi PAI betul-betul
harus diupayakan secara maksimal dan konsisten (istiqomah).
Secara tegas dapat dikatakan bahwa pendidikan islam merupakan upaya strategis
dalam membentuk pribadi manusia. Konsep pendidikan dalam ajaran Islam menyatakan
demikian, dan sejarah pun telah membuktikan kebenaran paradigma ini. Dalam konteks
mikro, pendidikan islam merupakan upaya strategis dalam membentuk karakter
seseorang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan dalam konteks makro, pendidikan
nasional adalah langkah paling efektif dalam membentuk sekaligus mempertahankan
kepribadian bangsa, terutama di era globalisasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Azra, A. (2002). Esei esei intelektual muslim pendidikan islam. Jakarta: Logs Ilmu.
Daulay, Haidar Putra. 2012. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana
Arifin, H.M. Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat, (Jakarta: Golden
Terayon Press, 1991)
15