Anda di halaman 1dari 16

RELEVANSI PENIDDIKAN ISLAM TERHADAP KEMAJUAN BANGSA

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah :Ilmu Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Daimah, S.Pd.I, M.Pd

Disusunoleh :

Aziz Rofiqi

Firda Rahmayanti

PROGRAM STUDI MANEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN)

PURWOREJO

2021
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan dan hambatan pendidikan Islam
juga terus mengalami perkembangan dan perubahan. Jika pada beberapa dekade
silam percakapan akrab antara peserta didik dengan guru terasa tabu, maka hari
ini justru merupakan hal yang wajar. Bahkan dalam pandangan teori pendidikan
modern, hal itu merupakan sebuah keharusan. Interaksi semacam itu justru
menjadi indikasi keberhasilan proses pendidikan.
Pergeseran paradigma lainnya misalnya dalam hal pendekatan pembelajaran.
Pada era pendidikan Islam tradisional, guru menjadi figur sentral dalam
kegiatan pembelajaran. Ia merupakan sumber pengetahuan utamadi dalam kelas,
bahkan dapat dikatakan satu-satunya. Namun dalam konteks pendidikan Islam
modern, hal demikian tidak berlaku lagi. Peran guru hari ini telah mengalami
pergeseran, yakni sebagai fasilitator bagi peserta didik. Pembelajaran tidak lagi
berpusat pada guru(teacher centered), namun lebih berpusat pada peserta didik
(student centered)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Lika Liku Pendidikan Islam Di Indonesia?
2. Bagaimanakah Pendidikan Islam Di Indonesia Pada Masa Penjajahan?
3. Bagaimanakah Pendidikan Islam Indonesia Setelah Kemerdekaan?
4. Seperti Apa Moralitas Pendidikan Islam Di indonesia?

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Seperti apa Lka Liku Pendidikan Islam Di Indonesia


Berabad-abad lamanya ajaran Islam dibawa melalui jalur pendidikan non-formal
dan informal. Pendidikan non-formal dijalankan lewat padepokan dan pondok
pesantren, serta dakwah yang dilakukan oleh para ulama dengan berbagai model,
tentunya melalui pendekatan kultural edukatif. Sementara jalur pendidikan in-formal
merupakan proses pendidikan yang diajarkan dari dalam rumah. Kedua jalur tersebut
sangat efektif membawa perubahan sikap hidup individual dan sosial yang tinggi,
serta membangun kepekaan yang baik terhadap kemungkaran yang terjadi pada
lingkungan.
Ajaran yang mengandung unsur nilai-nilai islami tersebut dalam prosesnya mulai
mengalami gangguan dan ancaman dari budaya asing yang dibawa oleh pada
penjajah Belanda pada tahun 1596 M atau sekitar abad 16 Masehi (Meirison, 2017).
Seperti yang kita ketahui bersama di balik kata gold, glory dan gospel, penjajah
Belanda ke Indonesia tidak hanya untuk menguasai sumber daya alam (gold),
merebut kekuasaan (glory), tetapi juga membawa misi agama (gospel). Perlahan,
cakrawala budaya dan pola pikir masyarakat dipenetrasi oleh budaya dan pola pikir
barat, sehingga konfigurasinya semakin lemah daya tangkalnya dan semakin meluas
kearah episetrumnya.
Keberadaan pondok pesantren pada masa itu merupakan sebuah model
pendidikan karakter Indonesia yang tradisional dan islami yang kemudian semakin
berkembang disamping keberadaan madrasah. Seperti audara kembar, kedua model
ini berjalan secara berdampingan sebagai lembaga keilmuan dan organisatoris.
(Harmonedi, 2020).
Singkat cerita, Pendidikan Islam mulai memasuki babak baru setelah
kemerdekaan Indonesia. Pendidikan Islam mulai hadir dengan berbagai model yang
terus mendapat kesempatan untuk berkembang, terutama dalam person sertanya
membina akhlak bangsa yang berkepribadian Pancasila. Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang secara konstitusional ber Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan

2
kebebasan beribadah bagi para pemeluk agama sesuai dengan kepercayaannya. UUD
1945 pada pasal 29 dibangun berlandaskan Pancasila yang merupakan kristalisasi
dari esensi kehidupan budaya bangsa menghendaki agar watak sosialis religius
masyarakat Indonesia tetap lestari dan diperkokoh melalui pendidikan agama
termasuk pendidikan Islam.(Harmonedi, 2020).
Kementerian Agama yang resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 sangat
berperan dalam perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Sejak saat itu
Kementerian Agama secara politik memperjuangkan Pendidikan Islam di Indonesia.
Upaya tersebut ditangani secara khusus oleh sebuah badan khusus yang mengatur
masalah pendidikan agama. Akhirnya penyelenggaraan Pendidikan Islam pun
mendapat tempat dan perhatian khusus oleh pemerintah, baik di sekolah-sekolah
negeri maupun swasta. Pada tanggal 27 Desember 1945 Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat (BPKNP) memberikan bantuan kepada lembaga Pendidikan Islam
dengan pernyataan bahwa pesantren dan madrasah pada hakekatnya merupakan
sebuah alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah
mengakar pada masyarakat Indonesia secara umum. Untuk itu perlu mendapat
perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah Indonesia.12

1
Jurnal Tahdzibi : Manajemen Pendidikan Islam Volume 6 No. 1 Mei 2021
2
Website : jurnal.umj.ac.id/index.php/Tahdzibi

3
Sebagai bentuk pengakuan dan perhatian pemerintah, pada tahun 1950 sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan, madrasah diakui negara secara formal. UndangUndang nomor 4
tahun 1950 tentang Dasar Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pada pasal 10
menyebutkan “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Kementerian Agama,
sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar”. Guna mendapatkan pengakuan dari Kementerian
Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling
sedikit enam jam seminggu secara teratur di samping mata pelajaran umum (Harmonedi, 2020)

Pada tahun 1970-an madrasah terus berkembang untuk memperkuat keberadaannya,


namun di awal tahun tersebut, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya mengisolasi
madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal tersebut terlihat pada langkah yang
ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 tanggal 18
April Tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Keputusan
tersebut intinya mencakup tiga hal, yakni:

a) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kejuruan.
b) Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan
keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.
c) Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan 3

2. Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Penjajahan


3
Jurnal Tahdzibi: Manajemen Pendidikan Islam Volume 6 No. 1 Mei 2021 Website :
Jurnal.umj.ac.id/index.php/Tahdzibi

4
Selama berabad-abad Islam diajarkan melalui jalur pendidikan informal dan non-
formal. Jalur pendidikan informal adalah pendidikan yang dilakukan di rumah tangga.
Sedangkan jalur pendidikan non-formal dilakukan di padepokan dan pondok
pesantren,serta dakwah dengan berbagai model yang dilakukan oleh para ulama dengan
pendekatan kultural edukatif. Cara itu dapat membawa perubahan sikap hidup individual
dan sosial yang tinggi, serta kepekaan terhadap kemungkaran yang terjadi di
lingkungannya.
Namun budaya yang mengandung nilai-nilai Islami itu dalam proses
perkembangannya mulai mengalami gangguan dan ancaman dari kebudayaan asing yang
dibawa oleh penjajah Belanda pada tahun 1596 M (abad 16 M). 4 Sebab penjajah
Belanda datang ke Indonesia tidak hanya bertujuan merebut kekuasaan (glory) dan
menguasai sumber daya alam (gold), tetapi juga membawa misi agama (gospel). Sedikit
demi sedikit cakrawala budaya masyarakat dan pola pikirnya dipenetrasi oleh budaya dan
pola pikir Eropa sehingga pada sisi-sisi konfigurasinya semakin lemah daya tangkalnya,
dan semakin meluas ke arah episentrumnya.
Bersamaan dengan munculnya sistem pendidikan klasikal yang diperkenalkan oleh
oleh kaum penjajah, muncul pula di sana-sini model pendidikan formal/klasikal yang
disebut madrasah. Model pendidikan madrasah itu makin kokoh mentradisi dalam
masyarakat Islam di berbagai wilayah yang penduduknya mayoritas muslim. Dan setelah
kembalinya beberapa ulama dari Mesir dan Saudi Arabia, ide-ide pembaharuan yang
dicetuskan oleh cendekiawan muslim di Mesir dan Saudi Arabia, seperti Jamaluddin al-
Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, dan lain-lain, membuat
model madrasah semakin dijadikan tumpuan bagi pelestarian dan modernisasi oleh umat
Islam.
Pondok pesantren sebagai model pendidikan karakteristik Indonesia yang tradisional
Islami tetap berkembang di samping madrasah, bahkan antara kedua model ini saling
berdampingan sebagai saudara kembar dalam pengertian organisatoris dan keilmuan.
Sementara itu sekolah-sekolah umum yang minus pendidikan agama didirikan oleh
Gubernemen (Pemerintah Belanda), sekolah-sekolah Islam partikulir yang plus agama
Islam didirikan pula oleh beberapa organisasi mesyarakat. Sehingga terjadilah dua kubu

5
yang berbeda pola pendidikannya. Di satu pihak pendidikan sekolah umum hanya
berorientasi kepada duniawi yang etis, di lain pihak madrasah dan pondok pesantren
berorientasi kepada ukhrawi yang populis. Pada akhirnya terjadilah kesenjangan dalam
pola pendidikan yang semakin diperlebar oleh pemerintah Belanda, bahkan dijadikan
pola pikir politik pecah belah (devide et impera). Masing-masing kubu saling mengejek
satu sama lain. sehingga tanpa disadari terjadi dikotomi pendidikan dengan jurang
pemisah yang amat dalam Sekalipun Pemerintah Belanda memberikan ruang untuk
berdirinya lembaga pendidikan Islam, namun pada masa itu tidak mudah bagi masyarakat
pribumi untuk (rakyat Indonesia) untuk bergerak di bidang pendidikan Islam. Hal ini
disebabkan Pemerintah Belanda sangat mengekang kebebasan umat Islam untuk bergerak
di bidang itu. Pemerintah Belanda membuat berbagai kebijakan diskriminatif. Di satu sisi
mereka membantu perkembangan sekolahsekolah gereja, namun di sisi lain mereka
mempersulit dan menekan keberadaan sekolah-sekolah yang berbasis Islam.
Pada tahun 1819 M Gubernur Jenderal Van Der Capellen mengambil inisiatif
merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu
Pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para bupati tersebut sebagai berikut:
“Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang
menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis untuk penduduk pribumi agar
mereka lebih mudah untuk dapat mentaati Undang-Undang dan Hukum Negara.
Agaknya kebijakan Pemerintah Belanda mempersempit ruang gerak pendidikan
Islam lebih didasari oleh kekhawatiran terhadap bakal munculnya kader-kader nasionalis
dan agamis yang dapat mengganggu eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia. Oleh
sebab itu Pemerintah Belanda terus melakukan tindakkan itu. Hal ini tercermin dari
kebijakannya dengan membentuk badan khusus yang bernama Priesteraden pada tahun
1882 M. Badan ini bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Atas
nasihat dari badan ini maka pada tahun 1905 M Pemerintah Belanda membuat peraturan
yang dinamakan Ordonansi Guru Agama (Godsdienstoderwijs) yang isinya mewajibkan
guru agama untuk meminta izin kepada Pemerintah Belanda dalam melakukan kegiatan
mengajar dan operasional sekolah .
Pada tahun 1925 M Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang lebih ketat
lagi, yaitu tidak membolehkan semua orang memberikan pelajaran mengaji. Kemudian

6
pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak berizin, atau memberikan pelajaran yang tidak disukai
oleh pemerintah.4

Setelah kemerdekaan Indonesia pendidikan Islam memasuki babak baru.


Berdasarkan pendekatan kultural sebagaimana disebutkan di atas, pendidikan Islam
4
Meirison Meirison et al., “‫“ وتحدياته إندونيسيا في الدعوة نمط‬,AL-’ABQARI: Journal of Islamic Social Sciences
and Humanities 0, no. 0 (October 3, 2019), accessed October 31, 2019,
http://abqarijournal.usim.edu.my/index.php/abqari/article/view/193. 5 Ibid, hlm 88

7
3. Pendidikan Islam pada Masa Setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia pendidikan Islam memasuki babak baru.


Berdasarkan pendekatan kultural sebagaimana disebutkan di atas, pendidikan Islam
dalam berbagai model dan institusinya tetap mendapat kesempatan untuk
berkembang oleh Pemerintah Republik Indonesia terutama dalam keikutsertaannya
dalam membina akhlak bangsa yang berkepribadian Pancasila. Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang secara konstitusional ber Ketuhanan Yang Maha Esa,
memberikan kebebasan beribadah bagi para pemeluk agama sesuai dengan
kepercayaannya. Pasal 29 UUD 1945 dibangun atas landasan idil Pancasila yang
merupakan kristalisasi dari esensi kehidupan kultural bangsa menghendaki agar
watak sosialistik-religius rakyatnya tetap lestari dan diperkokoh melalui pendidikan
agama termasuk pendidikan Islam.

Perkembangan pendidikan Islam setelah kemerdekaan Indonesia sangat terkait


dengan peran Kementerian Agama yang resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga ini
secara inisiatif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih
spesifik, usaha ini ditangani oleh suatu badan khusus yang mengurus masalah
pendidikan agama. Penyelenggaraan pendidikan Islam mendapat perhatian serius
dari pemerintah, baikdi sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu sudah
dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga pendidikan Islam
sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP)
tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren pada
hakekatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata
yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula
mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntutan dan bantuan dari pemerintah.

Sebagai bentuk pengakuan dan perhatian pemerintah terhadap pendidikan Islam


maka dilahirkan berbagai peraturan perundangan yang mengatur pendidikan Islam
itu. Pada tahun 1950 madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui
oleh negara secara formal. Undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar

8
Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pada pasal 10 disebutkan “ Belajar di sekolah
agama yang telah mendapat pengakuan Kementerian Agama, sudah dianggap
memenuhi kewajiban belajar”. Untuk mendapat pengakuan dari Kementerian
Agama, madrasah harus. Memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok
paling sedikit enam jam seminggu secara teratur di samping mata pelajaran umum.5

5
Haidar Nawawi, dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009),
hlm 362

9
4. Seperti Apa Moralitas Pendidikan Islam Di Indonesia?

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menyisakan beberapa


persoalan yang perlu perhatian. Tidak dipungkiri masyarakat modern telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahun dan teknologi untuk menjadi alternatif penyelesaian
masalah kehidupan sehari-hari (Iptek sebagai produk budaya), namun pada kondisi
lain ilmu pengetahuan dan teknologi canggih tersebut kurang mampu menumbuhkan
moralitas (akhlak) yang mulia (Iptek sebagai faktor conditioning) (Abdul Munir
Mulkhan, dkk, 1998:29).
Perkembangan teknologi saat ini, yang ditandai hadirnya zaman modern,
termasuk di Indonesia diikuti oleh gejala dekadensi moral yang benar-benar berada
pada taraf yang memprihatinkan. Akhlak mulia seperti kejujuran, kebenaran, keadilan,
tolong menolong, tepo seliro (toleransi), dan saling mengasihi sudah mulai terkikis
oleh penyelewengan, penipuan, permusuhan, penindasan, saling menjatuhkan,
menjilat, mengambil hak orang lain secara paksa dan sesuka hati, dan perbuatan-
perbuatan tercela yang lain. Kemerosotan moral atau yang sering kita dengar dengan
istilah ‘dekadensi moral’ sekarang ini tidak hanya melanda kalangan dewasa,
Melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar yang menjadi generasi penerus
bangsa. Orang tua, guru, dan beberapa pihak yang berkecimpung dalam bidang
pendidikan, agama dan sosial banyak mengeluhkan terhadap perilaku sebagian pelajar
yang berperilaku di luar batas kesopanan dan kesusilaan, semisal: mabuk-mabukan,
tawuran, penyalahgunaan obat terlarang, pergaulan dan seks bebas, bergaya hidup
hedonis dan hippies di Barat, dan sebagainya. Dengan begitu, bukanlah tanpa bukti
untuk mengatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki
konsekuensi logis terciptanya kondisi yang mencerminkan kemerosotan akhlak
(dekadensi moral) (Haidar Putra Daulay, 2012:141).6

6
Jurnal Edukasia Islamika: Volume I, Nomor 1, Desember 2016/1438

10
Di antara akibat negatif dari era global ini, ialah nilai-nilai spiritualitas agama menjadi
momok dalam kehidupan, agama hanya untuk akhirat, sementara urusan dunia tidak
berkaitan dengan agama. Sebagian masyarakat menjauh dari nilai-nilai agama, nilai-nilai
sosial budaya dan nilai-nilai falsafah bangsa. Menurut Mudji Sutrisno (1994:178), sisi
negatif dari globalisasi ialah: (1) kecenderungan untuk massifikasi, penyeragaman
manusia dalam kerangka teknis, sistem industri yang menempatkan semua orang sebagai
mesin atau sekrup dari sebuah sistem teknis rasional; (2) sekularisme, yang berarti tidak
diakuinya lagi adanya ruang nafas buat yang Ilahi, atau dimensi religious dalam hidup
kita; (3) orientasi nilainya yang menomorsatukan instant solution, resep jawaban tepat,
cepat, langsung.

Menurut Zakiah Daradjat (1979:10-20), kejadian sebagaimana dipaparkan di atas


disebabkan oleh beberapa faktor yang memengaruhi cara berpikir manusia modern.
Faktor-faktor penyebab kejadian tersebut antara lain kebutuhan hidup yang semakin
meningkat, rasa individualistis dan egois, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak
stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari nilai-nilai agama. Sedangkan menurut Syed
Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (2000:23) berpendapat bahwa saat ini masyarakat
tengah mengalami krisis moral dan kejiwaan sebagai akibat dari gelombang krisis
materialisme. Tradisi hidup materialistik tidak menjadikan moralitas sebagai anutan, akan
tetapi kekayaan yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan.

Dekadensi moral yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda harapan masa depan
tersebut, meskipun tidak besar prosentasenya, namun menjadi sesuatu yang disayangkan
dan bahkan mencoreng kredibilitas dan kewibawaan dunia pendidikan. Para pelajar yang
seharusnya menunjukkan sikap dan perbuatan yang bermuatan akhlak mulia justru
menunjukkan tingkah laku yang sebaliknya. Tidaklah berlebihan ketika dalam kasus ini
kita sebagai pihak yang ikut andil dalam dunia pendidikan merasa gelisah dan ikut
bertanggung jawab di dalamnya.

Pendidikan memang mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai transfer nilai
(transformation of value) dan transfer pengetahuan (transformation of knowledge).
Sebagai fungsi transfer nilai, dunia pendidikan diharapkan mampu mentransfer nilai-
nilai, norma-norma, dan budi pekerti luhur (akhlakul karimah). Sebagai fungsi transfer

11
pengetahuan, dunia pendidikan diharapkan mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan
teknologi pada anak didik (Nurul Zuriah, 2008:175). Persoalan yang muncul

kemudian adalah seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang


diagung-agungkan justru tidak disertai dengan perkembangan nilai atau moralitas yang
baik, malah justru sebaliknya. Menurut Zamroni (2000:90-91), untuk menghadapi
tantangan perkembangan zaman ini dibutuhkan pendidikan yang berwawasan global,
pendidikan yang memiliki nilai lentur terhadap perkembangan zaman namun muatan
nilai-nilai moral keagamaan tetap terpatri di dalamnya.

Sekali lagi, sebagai pihak yang ikut andil dalam dunia pendidikan, terkhusus pada
pendidikan agama Islam (PAI), kita dihadapkan pada kondisi yang sangat perlu berbenah
diri (muhasabah). Salah satu bentuk muhasabah tersebut adalah meramu strategi yang
efektif dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam, sehingga tercipta format
pendidikan agama Islam yang ideal dalam rangka meningkatkan moralitas generasi
bangsa, khususnya para pelajar tunas masa depan.

Tulisan ini mencoba meneguhkan kembali peran strategis Pendidikan Agama Islam
(PAI) dalam meminimalisir dekadensi moral para pelajar ataupun remaja generasi masa
depan. Harapannya, upaya revitalisasi Pendidikan Agama Islam ini menjadi solusi efektif
dan aplikatif, serta menjadi koreksi bersama dalam penyelenggaraan pendidikan agama di
sekolah atau madrasah, terlebih lagi di perguruan tinggi tanpa terkecuali.

A. Faktor Penyebab Dikadensi Moral

Sebelum kita menawarkan solusi terbaik dari kejadian kemerosotan moral di


kalangan generasi tunas bangsa, alangkah lebih baiknya kita mencari sebab atau
mengidentifikasi faktor-faktor penyebab timbulnya dekadensi moral. Banyak
faktor yang bisa menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang di kalangan
remaja. Diantaranya adalah sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi di


dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan terhadap

12
Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak
diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama,
maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian,
satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah
masyarakat dengan hukum dan peraturannya. Namun biasanya pengawasan
masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena
pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang tidak tahu, atau tidak ada
orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu
akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum sosial itu. Apabila dalam
masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran, dengan sendirinya
orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang sama (Zakiah Daradjat, 1978:66). Di sinilah yang menurut
Abdul Munir Mulkhan (2008:29) sebagai “conditioning” terjadinya evolusi
budaya masyarakat.

Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga,
sekolah, maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga
institusi ini tidak berjalan menurut semestinya (normatif) atau yang sebisanya
(objektif). Pembinaan moral di rumah tangga misalnya harus dilakukan dan sejak
anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak-anak
akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral yang dilakukan di
rumah tangga.

13
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Titik tumpu pendidikan agama Islam (PAI) yang paling sentral adalah apa yang
dinamakan structure of religious person, dimana menggambarkan personalita seseorang
atau manusia yang merupakan internalisasi nilai-nilai religiositas yang di dalamnya
tertanam moralitas secara utuh, yang diperoleh dari hasil sosialisasi nilai-nilai
religius/moral itu sepanjang kehidupannya, termasuk hasil pergulatan seseorang di dalam
mengikuti proses pendidikan. Dengan demikian, revitalisasi strategi PAI betul-betul
harus diupayakan secara maksimal dan konsisten (istiqomah).

Secara tegas dapat dikatakan bahwa pendidikan islam merupakan upaya strategis
dalam membentuk pribadi manusia. Konsep pendidikan dalam ajaran Islam menyatakan
demikian, dan sejarah pun telah membuktikan kebenaran paradigma ini. Dalam konteks
mikro, pendidikan islam merupakan upaya strategis dalam membentuk karakter
seseorang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan dalam konteks makro, pendidikan
nasional adalah langkah paling efektif dalam membentuk sekaligus mempertahankan
kepribadian bangsa, terutama di era globalisasi.

sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, sudah


sepantasnya pendidikan Islam berkembang dan maju. Berdasarkan realitas yang ada,
maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk dilakukan
perbaikan demi mewujukan pendidikan yang sesuai dengan tujuan negara Indoensia yaitu
(1) laporan pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah swasta, (2) pembelajaran baca
tulis al-qur’an dan bahasa arab, (3) perbaikan administrasi pendidikan agama Islam, (4)
banyak Tawuran, dan (5) Integrasi Pendidikan Umum dan Pendidikan Agama.

14
DAFTAR PUSTAKA

Azra, A. (2002). Esei esei intelektual muslim pendidikan islam. Jakarta: Logs Ilmu.

Daulay, Haidar Putra. 2012. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana

Arifin, H.M. Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat, (Jakarta: Golden
Terayon Press, 1991)

15

Anda mungkin juga menyukai