Disusun Oleh:
Cindry Alfa Tatuhas 01073190174
Dibimbing Oleh:
dr. Fatrin Patrycia Salim, Sp. M
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6
2.1 Definisi...........................................................................................................6
2.4 Epidemiologi................................................................................................13
2.5 Etiologi.........................................................................................................14
2.5.1 Durasi....................................................................................................14
2.5.3 Onset.....................................................................................................14
2.7 Patofisiologi.................................................................................................15
2
2.9.2 Dakriosistitis Kronik.............................................................................17
2.10.3 Endoskopi............................................................................................19
2.11.2 Blefaritis..............................................................................................19
2.11.3 Alakrima..............................................................................................20
2.12 Tatalaksana.................................................................................................20
2.13 Komplikasi.................................................................................................24
3
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26
4
BAB I
PENDAHULUAN
Dakriosistitis adalah suatu inflamasi yang terjadi pada saluran air mata
sehingga menyebabkan gejala seperti nyeri, kemerahan, dan edema. Meskipun
masih jarang diketahui oleh masyarakat umum, dakriosistitis merupakan salah
satu peradangan pada saluran lakrimal yang paling sering ditemui. Menurut suatu
penelitian yang dilakukan di Nepal pada tahun 2020, dakriosistitis lebih banyak
ditemui pada daerah beriklim tropis, bahkan hingga mencapai 87% persen dari
total responden yang berada di daerah iklim tersebut. Penelitian tersebut juga
menemukan bahwa prevalensi dakriosistitis pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki.(1) Penelitian di Indonesia pada tahun 2020 juga
memenemukan hal yang sama, di mana menemukan dari total seluruh responden,
77% merupakan wanita dengan dakriosistitis. Penelitian lainnya oleh
Madhusudhan dkk. juga menmukan bahwa dari total 46 responden yang terbagi
rata antara wanita dan pria, 17 dari 23 wanita tersebut mengalami dakriosistitis,
sementara lak-laki yang mengalami dakriosistitis hanya 6 dari 23.(2) Meskipun
dakriosistitis masih kurang diketahui di Indonesia, namun penting untuk
mengetahui penyakit ini lebih jauh agar penderita dapat menerima tatalaksana
yang tepat. Selain itu, adanya referat ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa
kedokteran mengenai topik dakriosistitis sehingga dapat memberikan edukasi
serta tatalaksana yang tepat bagi pasien dengan dakriosistitis.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dakriosistitis adalah inflamasi yang terjadi pada duktus lakrimalis yang
terjadi akibat adanya obstruksi pada duktus nasolakrimal sehingga menyebabkan
terhambatnya ekskresi air mata di dalam duktus lakrimalis.(3)
Kelenjar lakrimal, terbagi menjadi dua yaitu main macrimal gland dan
accessory lacrimal gland
Lacrimal passages yang meliputi puncta, kanalikuli, lacrimal sac, dan
duktus lakrimalis
6
2.2.1 Main Lacrimal Gland
Bagian Orbital
Bagian orbital memiliki bentuk dan ukuran sebesar kacang almond dan
terletak di bagian fossa untuk kelenjar lakrimalis, yang berada pada bagian luar
orbital plate dari frontal bone. Bagian orbital terbagi lagi menjadi dua, yaitu
superior dan inferior. Bagian superior berbentuk convex dan melekat dengan
tulang. Sementara bagian inferior memiliki bentuk concave dan terletak pada
levator palpebrae superioris (LPS) muscle.(4)
7
Gambar 3. Anatomi eyelid.
Sumber: Buku Gray’s Anatomy for Students 4th edition, 2020.
Bagian Palpebral
Bagian palpebral memiliki ukuran lebih kecil dan hanya terdiri atas 2 lobul
dan dibatasi oleh otot
8
Glands of Krause
Merupakan kelenjar mikroskopik yang terletak di bawah konjungtiva
palpebral, di antara fornix dan bagian ujung dari tarsus. Kelenjar ini memiliki
jumlah kurang lebih sebanyak 42 pada fornix bagian atas dan 6-8 pada bagian
bawah fornix.
Glands of Wolfring
Kelenjar Wolfring terletak dekat dari bagian superior tarsal plate dan pada
bagian bawah dari inferior tarsus.
Innvervasi
Nervus zygomatic
Nervus lakrimalis
Kelenjar lakrimal
9
2.2.5 Lacrimal Passages
Lacrimal Puncta
Terletak pada bagian atas dan bawah dari lipatan mata, temporan dari
inner canthus, dan berbentuk oval dengan diameter 6-6,5mm.(4)
Lacrimal Canaliculi
Lacrimal Sac
Terletak pada lacrimal fossa yang berada pada bagian anterior dari medial
orbital wall. Lacrimal fossa terbentuk oleh tulang lakrimal dan bagian frontal dari
maxilla. Lacrimal sac memiliki panjdang 12-15 mm dan lebar 5-6 mm dengan
volume sekitar 2cc. Lacrimal sac terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian fundus
yang merupakan bagian awal dari kanalikuli, bagian body yang merupakan bagian
tengah, dan bagian neck yang merupakan bagian bawah yang akan menyempit dan
bergabung dengan duktus nasolakrimalis.(4)
10
2.2.6 Tear Film
Tear film merupakan struktur yang terdiri dari cairan dan berfungsi untuk
melindungi kornea. Osmolaritas dari tear film adalah senilai 295 hingga 309
mosm/L.(5) Film ini terdiri atas 3 lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan mukus dengan
urutan dari anterior ke posterior.(4)
Lapisan Film
1. Lapisan Lipid
Merupakan lapisan paling luar dan memiliki ukuran paling tipis yaitu
sekitar 0,1 µm. Lapisan ini berfungsi untuk mencegah overflow dari air
pata, menghambat evaporasi dari air mata, dan melubrikasi lipatan mata
ketika menutup mata atau berkedip.
2. Lapisan aqueous
Lapisan aqueous merupakan lapisan paling tebal dengan ukuran 7 µm dan
mengandung air mata yang telah disekresi oleh kelenjar lakrimalis. Air
mata sendiri memiliki kandungan mayoritas air dan beberapa substansi
lain seperti sodium klorida, urea, glukosa, dan protein. Air mata juga
mengandung substansi antibakterial seperti lisozom, betalisin, dan
laktoferrin.
11
3. Lapisan Mukus
Lapisan mukus merupakan lapisan paling dalam dan memiliki ketebalan
sekitar 0,2 µm. Lapisan ini mengandung mucin yang disekresi oleh sel
goblet di konjungtiva dan kelenjar Manz. Lapisan mukus akan
mengkonversi lapisan kornea yang bersifat hidrofobik menjadi hidrofilik.
K+, Na+, dan Cl- juga terdapat pada air mata dengan konsentrasi yang
lebih tinggi daripada yang ada di plasma. Air mata mengandung sedikit glukosa
dengan konsentrasi 5 mg/dL dan urea dengan konsentrasi 0,04 mg/dL. Perubahan
konsentrasi glukosa dan urea pada darah juga akan menyebabkan perubahan
konsentrasi pada air mata. Rata-rata pH yang normal pada air mata adalah 7,35.(5)
12
pemecahan dari tear film. Hiperlakrimasi terjadi karena adanya sensasi iritasi dari
kornea atau konjungtiva. Jalur afferent dari sekresi ini berasal dari nervus lima.(4)
13
2.4 Epidemiologi
Kasus dakriosistitis paling sering ditemukan pada 2 kelompok populasi,
yaitu ketika seseorang lahir yang disebabkan karena adanya dakriosistitis
kongenital dan orang dewasa dengan umur di atas 40 tahun. Obstruksi pada
duktus lakrimalis kongenital ditemukan sebanyak 6% pada bayi baru lahir dan
dakriosistitis muncul dalam 1/3884 kelahiran. Pada orang dewasa, dakriosistitis
lebih sering menyerang wanita daripada laki-laki, dan ras Caucians lebih rentan
terkena daripada African Americans.(3)
2.5 Etiologi
Etiologi dari dakriosistitis adalah adanya sumbatan pada duktus lakrimalis.
Etiologi dari dakriosistitis dapat dilihat berdasarkan klasifikasi durasi dan onset.
2.5.1 Durasi
Dakriosistitis Akut
Dakriosistitis Kronik
2.5.3 Onset
Kongenital
14
terletak pada bagian distal dari duktus lakrimalis. Jika cairan amnion tidak
dikeluarkan melalui duktus lakrimalis hingga beberapa hari setelah kelahiran,
maka hal ini dapat menyebabkan neonatal dakriosistitis.(3)
Acquired
Wanita lebih berisiko daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena wanita
memiliki duktus lakrimalis yang lebih sempit
Duktus lakrimalis cenderung semakin menyempit ketika seseorang
bertambah tua serta melambatnya drainase
Deviasi septum, rinitis
Trauma pada nasoethmoid
Penyakit sistemik seperti Wegener's Granulomatosis, Sarkoidosis,
systemic lupus erythematosus (SLE), ataupun adanya tumor
Penggunaan obat-obatan seperti timolol, pilocarpine, dan trifulridine
2.7 Patofisiologi
Patofisiologi dakriosistitis terjadi karena adanya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis. Obstruksi yang terjadi menyebabkan terhambatnya pengeluaran
air mata pada sistem drainase. Air mata yang terus menumpuk dapat menjadi
tempat yang baik untuk organisme-organisme penyebab infeksi. Karena hal
tersebut, maka lacrimal sac akan mengalami inflamasi sehingga menyebabkan
manifsetasi klinis berupa eritema dan edema papa bagian inferomedial dari orbit.
(3)
15
2.9 Manifestasi Klinis
2.9.1 Dakriosistitis Akut
1. Fase Selulitis
Fase ini ditandai dengan adanya edema yang nyeri pada area lacrimal sac
dan disertai dengan epifora dan gejala sistemik seperti demam dan lemas.
Edema yang terjadi berwarna kemerahan, panas, padat, dan nyeri jika
ditekan. Kemerahan dan edema dapat menyebar hingga ke pipi.
2. Fase Abses Lakrimal
Inflamasi yang terus berlanjut akan menyebabkan edema sehingga terjadi
oklusi pada kanalikuli. Lacrimal sac akan mulai dipenuhi dengan pus dan
seiring perkembangan dinding anterior akan memecah sehingga
16
menyebabkan pericystic swelling. Edema seringkali akan mengarah
menjauh dari lacrimal sac.
3. Fase Pembentukan Fitsula
Ketika abses lakrimal tidak ditindaklanjuti, maka cairan akan keluar secara
spontan, meninggalkan fitsula eksternal di bawah ligamen palpebral
medial. Jika abses keluar pada nasal cavity, maka hal ini akan
menyebabkan fitsula internal.
17
berubah menjadi pyocele. Kondisi ini dikaratkeristikan dengan epifora,
konjungtivitis berulang dan pembengkakan pada inner canthus dengan
kemerahan ringan. Pada tes regurgitasi, akan ditemukan adanya frank
purulent discahrge.
4. Fase chronic fibrotic sac
Infeksi ringan yang terjadi berulang pada jangka waktu yang lama akan
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrotik pada lacrimal sac karena
terjadinya penebalan mukosa yang terkadang juga dikarakteristikan
dengan adanya epifora persisten dan discharge. Pada dacryocystography
akan ditemukan lacrimal sac yang berukuran sangat kecil dengan lipatan
iregular pada mukosa.
18
2.10.2 Pemeriksaan Imaging
Foto x-ray dapat membantu dalam mengetahui adanya kelainan tulang
wajah atau adanya benda asing yang dapat menyebabkan kelainan lakrimal,
seperti masa ataupun pendarahan setelah trauma. CT scan dapat digunakan dan
sangat membantu bagi pasien yang cenderung memiliki penyebab keganasan atau
masa ataupun pendarahan pasca trauma. Dacryocystography (DCG) adalah salah
satu penunjang yang sangat membantu untuk mengetahui adanya malformasi
anatomi dari duktus nasolakrimal, biasanya digunakan pada penderita
dakriosistitis kongenital.(6)
2.10.3 Endoskopi
Endoskopi nasal seringkali digunakan untuk mencari etiologi dari
dakriosistitis seperti tumor, papiloma, hipertorif, deviasi dari septum nasal,
ataupun penyempitan.(7)
2.11.2 Blefaritis
Kemungkinan blefaritis lebih sering ditemui pada dakriosistitis yang
terjadi pada orang dewasa ketimbang kongenital. Blefarisit adalah suatu penyakit
inflamasi yang terjadi pada eyelid. Pasien seringkali datang dengan gejala mata
merah, gatal, kemerahan pada daerah lids, serta adanya perubahan pada bulu mata.
Gejala lain yang dapat dialami juga meliputi fotofobia, hingga adanya gangguan
penglihatan.(9)
19
2.11.3 Alakrima
Alakrima merupakan istilah luas yang digunakan untuk menggambarkan
gangguan sekretorik pada kelenjar lakrimal yang sebagian besar merupakan
kongenital. Gejala yang dialami pasien dapat berupa hiposekresi dari air mata atau
bahkan tidak ada sama sekali. Alakrima biasanya diturunkan secara genetik
autosomal recessive karena adanya mutasi pada gen AAAS PADA KROMOSOM
12q13. Gen tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan protein ALADIN
(alacrima-achalasia-adrenal insufficiency-neurologic disorder) yang berperan
sebagai protein regulator dan berperan penting dalam meregulasi perpindahan
protein intraselular.(10)
2.12 Tatalaksana
2.12.1 Dakriosistitis Akut
Fase Selulitis
Pada fase ini, pasien dapat diberikan antibiotik topikal dan juga sistemik
untuk mengontrol adanya infeksi serta anti inflamasi dan analgesik sistemik untuk
mengurangi nyeri dan edema.(4)
20
Fase Pembentukan Fitsula
21
Pada teknik operasi ini, laser akan digunakan melalui kanalikuli hingga ke
bagian medial dari lacrimal sac. Insisi akan dilakukan dengan ablasi
posteromedial wall dari sac, biasa dilakukan dengan Holmium YAG atau
KTP laser. Prosedur ini sangat cepat dan dapat dilakukan dengan anestesi
lokal sehingga biasanya lebih aman pada orang-orang tua. Tingkat
kesuksean pada prosedur ini hanya mencapai hingga 70%.
Sementara itu, pada DCT perbedaan yang mendasar adalah maka lacrimal
sac akan diangkat dan memutus hubungannya denan kanalikuli lakrimal. Selain
itu juga akan dilakukan kuretase dari tulang duktus nasolakrimal khususnya pada
bagian yang mengalami infeksi.(4)
22
- Terdapat tumor pada lacrimal sac
- Gross nasal disease seperti rhinitis atrofi
23
Terapi ini dilakukan jika terapi probing dan balon telah dilakukan
berulang kali namun tetap saja gagal. Silicone tube akan dibiarkan pada
duktus nasolakrimal selama kurang lebih 6 bulan.(4)
6. Dacryocystorhinostomy (DCR)
Terapi ini dilakukan pada anak yang telah menjalani seluruh tahapan
prosedur operatif namun tetap saja gagal. Terapi konservatif disertai irigasi
dan antibiotik harus tetap dilaksanakan hingga pasien berusia 4 tahun.
Setelah itu, terapi DCR dapat dilaksanakan.(4)
2.13 Komplikasi
2.13.1 Dakriosistitis Akut
Konjungtivitis akut
Abrasi kornea
Abses pada lipatan mata
Osteomyelitis pada tulang lakrimal
Selulitis orbital
Selulitis fasial dan ethmoiditis akut
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
7. Ghose S, Chhabra MS, Thakar A, Roy B, Bajaj MS, Pushker N, et al. Nasal
endoscopy in congenital dacryocystitis. J Pediatr Ophthalmol Strabismus.
2006;43(6):341–5.
26
10. Huebner A, Kaindl AM, Knobeloch KP, Petzold H, Mann P, Koehler K.
The triple A syndrome is due to mutations in ALADIN, a novel member of
the nuclear pore complex. Endocr Res. November 2004;30(4):891–9.
11. van Weert HCPM, Tellegen E, Ter Riet G. A new diagnostic index for
bacterial conjunctivitis in primary care. A re-derivation study. Eur J Gen
Pract. September 2014;20(3):202–8.
27