Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS 

ILMU KESEHATAN JIWA


SINDROM PASKA-KONTUSIO (F07.2)

Disusun oleh:
Cindry Alfa Tatuhas
01073190174

Pembimbing:
Dr. dr. Dharmady Agus, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE OKTOBER – NOVEMBER
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I.........................................................................................................................................4

LAPORAN KASUS...................................................................................................................4

1.1 Identitas Pasien............................................................................................................4

1.2 Anamnesis...................................................................................................................4

1.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................................6

1.4 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................................9

1.5 Resume......................................................................................................................11

1.6 Diagnosis Kerja.........................................................................................................12

1.7 Terapi.........................................................................................................................12

1.8 Prognosis...................................................................................................................13

BAB II......................................................................................................................................14

ANALISA KASUS..................................................................................................................14

BAB III.....................................................................................................................................33

KESIMPULAN........................................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................35

2
BAB I

LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Ms. F
Kelamin : Perempuan
Umur : 21 tahun
Status Perkawinan: Belum menikah
Agama :-
No. Rekam Medis : -
Anamnesis : Alloanamnesis dari rekam medis pasien

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama

Nyeri kepala yang muncul mendadak sejak beberapa jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke klinik dengan keluhan utama nyeri kepala yang muncul mendadak
beberapa jam SMRS yang terjadi setelah pasien mengalami trauma kepala dalam
pertandingan bola basket, di mana pasien ditabrak oleh lawan mainnya dan membentur
kepala bagian depan. Pasien mengatakan bahwa skor nyerinya berada di skor 5. Pasien
mengatakan bahwa nyeri kepala diperparah dengan aktivitas, dan membaik dengan istirahat.
Karena itu, sesudah trauma terjadi, pasien segera dipulangkan ke rumah untuk beristirahat.
Pasien menyangkal adanya keluhan lain seperti mual, muntah, pusing, penurunan kesadaran,
serta gangguan penghilatan. Pasien belum pernah mengonsumsi obat apapun untuk
meredakan gejala yang dialami.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat kontusio pertama kali sekitar 1,5 tahun yang lalu. Pasien
mengatakan ketika pasien sedang bertanding di lapangan basket, pasien ditabrak dari kedua
sisi oleh lawan mainnya, kemudian pasien terjatuh dan membentur kepala bagian frontal kiri.
Pasien mengatakan bahwa sesudah trauma tersebut, pasien langsung merasakan nyeri kepala

3
dan pusing, namun masih dapat melanjutkan pertandingan hingga selesai. Pasien segera
pulang dan memutuskan untuk beristirahat di apartemennya. Namun, semakin malam pasien
justru merasakan gejala-gejala lain seperti mual, muntah, penglihatan menjadi kabur, nafsu
makan menurun, sangat kelelahan, bahkan pasien mengatakan adanya perubahan emosi di
mana pasien tiba-tiba menangis sendirian di apartemennya. Karena pasien merasa gejalanya
sudah sangat menganggu, maka pasien mengonsumsi ibuprofen sebelum tidur.

Riwayat Pskiatri

Pasien menyangkal adanya riwayat gangguan psikiatri sebelum terjadinya kontusio


pertama 1,5 tahun yang lalu.

Riwayat Kesehatan Medis

Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit lainnya.

Riwayat Zat/Psikoaktif

Pasien menyangkal adanya riwayat penggunaan zat atau psikoaktif lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit mental dalam keluarga.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Tidak ada data

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada data

1.5 Ikhtisar Penemuan Bermakna


 Pasien wanita, berusia 21 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kepala mendadak
paska trauma kepala.
 Pasien memiliki riwayat trauma kepala berulang dalam pertandingan sejak 1,5 tahun
yang lalu.

4
 Pasien memiliki riwayat keluhan sindrom paska kontusio seperti gangguan kognitif
dan gangguan mood, yang mengakibatkan menurunnya performa akademik.

1.6 Diagnosis Kerja


ST Eleveation Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal Wall KILLIP II

1.7 Terapi
1. Terapi non-farmakologi
 Posisi tirah baring
 Pasang EKG untuk memonitor keadaan pasien
 Pasang akses IV
2. Terapi Farmakologi Dini

 Pemberian oksigen dengan nasal canul 3 lpm


 Cairan NaCl 0,9% 500ml/24 jam IV
 ISDN 5mg SL PRN
 Aspirin 80 mg PO 1x2 tab
 Clopidogrel 75mg PO 1x4 tab
 Enoxaparin 1mg/kgBB SC 1x/hari
 Atorvastatin 40 mg PO 1x/hari
3. Segera konsultasikan kepada sepsialis jantung untuk terapi reperfusi IKP primer (jika
tersedia)
4. Terapi Paska Reperfusi
 Captopril 12,5 mg PO 3x//hari
 Bisoprolol 1x10mg PO 1x/hari
 Atorvastatin 40 mg PO 1x/hari
 Aspirin 75mg 1x/hari
 Clopidogrel 75mg 1x/hari
1.8 Prognosis
Ad vitam : Bonam

Ad functionam : Dubia ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad malam

5
BAB II

ANALISA KASUS

2.1 Definisi
Infark miokardium adalah kematian dari sel miokardium (nekrosis) yang bersifat
irreversible yang disebabkan karena kekurangan kadar oksigen untuk waktu yang cukup lama
(iskemia) yang dapat terjadi karena adanya oklusi pada arteri koroner pada keadaan tidak
adanya aliran sirkulasi kolateral. Pertumbuhan dan perluasan dari jaringan nekrosis sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi oklusi, ada dan tidaknya sirkulasi kolateral pada area
tersebut, apakah oklusi muncul terus menerus atau hilang timbul, sensitivitas miosit pada
keadaan iskemia, dan myocardial cellular demand terhadap pasokan oksigen dan nutrisi.
Dibutuhkan kurang lebih 2 hingga 4 jam hingga nekrosis dapat terdeteksi baik melalui
pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis.1

Infark miokardium akut (IMA) adalah nekrosis dari sel jantung pada keadaan klinis
yang konsisten dengan iskemia miokardium akut. IMA juga dapat didefinisikan sebagai
kenaikan kenaikan dari biomarker jantung (troponin jantung T/I) dengan salah satu nilai di
atas 99th persentil dari batas atas dan minimal salah satu dari kriteria berikut:2

- Gejala dari iskemik

- Perubahan EKG yang baru dari iskemik

- Adanya gelombang Q patologis pada EKG

- Thrombus pada pembuluh darah koroner yang terdeteksi pada angiografi

- Gambaran radiologi dari loss of viable myocardium/new regional wall motion


abnormality pada pola yang konsisten dengan etiologi iskemik

2.2 Klasifikasi
Berdasarkan hasil elektrokardiografi (EKG) dari pasien, maka infark miokardium
dapat dibagi menjadi dua klasifikasi. Oklusi total pada arteri koroner mayor dengan tidak
adanya perfusi kolateral akan mengakibatkan nekrosis sel jantung secara tiba-tiba sehingga

6
dapat dilihat pada gambaran EKG sebagai ST segment elevated myocardial infarct (STEMI).
Sedangkan oklusi sebagian pada arteri juga dapat mengakibatkan nekrosis sel jantung sebagai
akibat dari embolisasi thrombus menuju sirkulasi arteri distal yang akhirnya dapat dilihat
pada gambaran perubahan gambaran EKG tanpa ST segment elevation (NSTEMI).

2.3 Epidemiologi
Penyakit jantung merupakan penyebab kurang lebih sepertiga seluruh kematian di
dunia, dengan estimasi sekitar 7,5 juta kematian disebabkan karena penyakit jantung iskemik.
Sindrom koroner akut dan kematian mendadak menjadi penyebab sebagian besar pasien
dengan penyakit iskemik jantung dengan estimasi sekitar 1,8 juta kematian pertahunnya.
Insiden dari ACS meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan rata-rata muncul 7
hingga 10 tahun lebih awal pada laki-laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan catatan
rawat inap pasien, pasien ACS dengan NSTEMI memiliki populasi lebih 2 hingga 3 kali lipat
banyak ketimbang pasien STEMI.1

Menurut data yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2017, penyakit jantung
menjadi penyebab kematian nomor 1 di dunia dengan total kematian sekitar 17,9 juta jiwa, di
mana kematian 85% dari populasi tersebut disebabkan oleh serangan jantung dan stroke.3
Selain itu, menurut RISKEDAS 2018 prevalensi penyakit jantung di Indonesia adalah 1,5%.4

2.4 Faktor Resiko


2.4.1 Faktor Resiko Tidak Dapat Dimodifikasi
Umur dan Jenis Kelamin

Resiko dari penyakit jantung meningkat seiring dengan peningkatan umur pada laki-
laki dan perempuan. Meskipun demikian, perempuan mengalami serangan pertama kurang
lebih 9 tahun lebih lambat daripada laki-laki. Pada tahun 2012 di Eropa, infark penyakit arteri
koroner memiliki mortalitas 100/100,000 pada wanita dan 180/100,000 pada laki-laki. 5
Wanita lebih cenderung mengalami gejala angina atipikal. Penelitian lebih jauh menunjukkan
baik pada STEMI maupun NSTEMI, proporsi wanita yang memiliki MINOCA.1

Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik

7
Riwayat keluarga dengan penyakit jantung memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
mengalami ACS meskipun setelah gaya hidup yang telah dimodifikasi. Varian genetik dari
CAD yang pertama kali ditemukan adalah 9p21 pada tahun 2007, muncul pada 75% individu
Eropa dengan riwayat keluarga penyakit jantung dan meningkatkan resiko sekitar 25%.1

2.4.2 Faktor Resiko Dapat Dimodifikasi


Dislipidemia

Dislipidemia dikarakteristikkan sebagai level HDL-C yang rendah dan peningkatan


dari kolesterol total, LDL-C, non-HDL-C, dan trigliserida. Keadaan ini memiliki hubungan
dengan meningkatnya resiko dari penyakit jantung.6

Rokok

Rokok adalah faktor resiko independent yang kuat bagi ACS karena bersifat kronis
dengan mempercepat proses aterosklerosis dan meningkatkan vulnerabilitas dari plak secaara
akut sehingga meningkatkan resiko rupture dan pembentukan thrombus. Selain itu, perokok
pasif juga dapat meningkatkan resiko dari infark miokardium dan harus dihindari.7

Obesitas

Obesitas, terutama obesitas pada abdomen, memiliki hubungan terhadap penyakit


jantung. Menurut studi yang dilakukan oleh EUROSASPIRE IV, rasio waist-to-hip dan
indeks masa tubuh yang tinggi memiliki hubungan dengan meningkatnya resiko dari infark
miokardium pada seluruh populasi dengan peningkatan resiko sekitar 30% per kenaikan
ukuran dari standar deviasi.8

Hipertensi

Hipertensi adalah faktor resiko independen dari penyakit jantung dan dideskripsikan
sebagai tekanan darah di atas 140/90 mmHg. Hipertensi untuk jangka waktu yang lama dapat
mempercepat proses dari aterosklerosis dan mengurangi kemampuan arteri koroner untuk
melakukan vasodilatasi sebagai respon dari demand yang meningkat.9

Diabetes

Baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2 memiliki hubungan dengan menaikan resiko dari
penyakit jantung dan mortalitas akibat kardiovaskular.

8
Pada kasus ini, teradapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan bahkan
mempercepat proses aterosklerosis. Pasien laki-laki usia 59 tahun memiliki kebiasaan
merokok dan merupakan perokok berat sejak usia 21 tahun serta adanya riwayat keluarga
tingkat pertama yang didiagnosis pada usia muda. Faktor risiko lainnya yang didapat dari
pemeriksaan fisik dan penunjang adalah bahwa pasien memiliki obesitas dengan IMT 26,6
dan dislipidemia yang ditemukan dari hasil pemeriksaan darah.

2.5 Patofisiologi
2.5.1 Atherosclerosis
Pembentukan atherosclerosis dimulai pada usia muda, tidak peduli ras maupun jenis
kelamin. Faktor resiko seperti hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, dan predisposisi
genetik dapat mempercepat proses pembentukan. Proses pembentukan ini dimulai dengan
adanya disfungsi dari endotel yang dapat disebabkan karena paparan terhadap bahan kimia
tertentu maupun tekanan fisik. Ketika homeostasis dari endotel terganggu, maka endotel akan
berubah menjadi aktif. Ketika menjadi aktif, fungsi endotel sebagai penjaga permeabilitas
akan terganggu sehingga lipoprotein (LDL) dapat masuk ke dalam dinding arterial. Ketika
LDL masuk dia akan terakumulasi pada subendotelial dengan berikatan pada proteoglikan.
LDL akan mengalami modifikasi dan menginisiasi masuknya leukosit ke dalam tunika
intima. Monosit yang sudah di dalam intima akan berdifrensiasi menjadi makrofag untuk
mulai membentuk foam cell. Sementara penumpukan plak terus terjadi, sel otot polos (SMC)
akan melakukan migrasi dari intima ke media karena penumpukan yang terlalu banyak di
dalam intima. Karena SMC keluar sintesis dan degradasi dari matrix akan terganggu. Sitokin
di dalam tunika intima akan menstimulasi foam cells untuk mensekresi kolagen dan elastin
sebagai pengganti dari SMC sehingga akan semakin melemahkan fibrous cap dan menjadi
rentan untuk terjadinya ruptur. Ruptur dari plak aterosklerosis akan menginisiasi proses
terjadinya trombosis.10

2.5.6 Trombosis
Trombosis merupakan proses yang sangat penting pada pasien dengan sindrom
koroner akut. Ruptur dari plak aterosklerosis akan mengakibatkan aktivasi dari sistem
koagulasi melalui faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yang mengakibatkan pembentukan
diubahnya protrombin menjadi trombin dan sehinga terjadi formasi dari fibrin. 11 Platelet akan
pergi menuju subendotelial yang kemudian akan diaktivasi oleh kolagen dan trombin

9
sehingga terjadi perubahan bentuk, pelepasan dari tromboksan, degranulasi, dan agregasi.
Propagasi dari pembentukan trombus akan mengakibatkan oklusi pada arteri koroner yang
akan mengakibatkan iskemia miokardium atau infark miokardium, ataupun keduanya. 1 Selain
itu, akan terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
mengurangi aliran darah. Hal ini juga dapat menyebabkan keadaan iskemik.12

2.5.7 Infark Miokardium


2.5.7.1 Perubahan Patologis
Hipoksia pada Miokardium

Perubahan awal yang terjadi adalah perubahan histologi dari infark itu sendiri dan
terganggunya kontraktilitas jantung disebabkan karena perubahan yang terjadi pada kadar
oksigen. Perubahan ini akan terus meningkat menjadi nekrosis koagulatif dari miokardium
dalam 2 hingga 4 hari. Ketika oksigen berkurang di dalam jantung, maka akan terjadi
perubahan metabolisme aeorobik menjadi anaeorobik. Metabolisme anaerobik akan
mengurangi ATP secara drastis sehingga menganggu kerja Na+, K+-ATPase. Hal ini dapat
menyebabkan keluarnya K+ sehingga kadarnya akan meningkat pada ekstraselular, yang
dapat menganggu energi potensial membran sehingga menimbulkan gejala aritmia.
Sementara itu, Na+ akan tertahan di dalam sel sehingga terjadi peningkatan Na+ pada
intraseluler dan menyebabkan edema. Produksi fosfat juga akan meningkatkan kadar asam
laktat, sehingga pH akan menurun dan mengaktifkan degradasi lipase dan protease, yang
akhirnya menyebabkan nekrosis. Seluruh perubahan metabolik ini terjadi hanya dalam waktu
2 menit setelah oklusi trombus. Jika tidak dilakukan intervensi apapun, maka akan terjadi
kerusakan jaringan yang irreversible dalam 20 menit. Enzim proteolitik akan keluar melalui
membran miosit yang telah rusak dan masuk ke dalam sirkulasi, sehingga dapat dideteksi
sebagai marker pada infark akut. Perubahan histologis yang terjadi pada awal fase meliputi
edema, wavy fibrofibers, dan adanya contraction bands.

Perubahan patologis yang dapat terjadi setelah cukup lama infark terjadi meliputi
pembersihan dari jaringan nekrosis miokardium dan deposisi dari kolagen untuk membentuk
scar tissue. Setelah 5 sampai 7 hari infark terjadi, proses penyembuhan akan mulai terjadi.
Pada fase inilah dapat ditemukan yellow softeing of tissue resorption. Kurang lebih 1 minggu
setelah infark, fibrosis akan mulai terbentuk dan akan selesai 7 minggu setelah infark terjadi.

10
2.5.7.2 Gangguan Fungsional

Gangguan terhadap kontraktilitas dan compliance

Destruksi dari sel miokardium dapat menganggu fungsi dari jantung dan akan
mempengaruhi kontraksi dari ventrikel sehingga cardiac output akan terkompensasi dan
berkurang. Pada pasien dengan ACS, ventrikel kiri juga dapat terganggu oleh dystolic
dysfunction.

Ischemic Preconditioning

Merupakan suatu kondisi ketika suatu area miokardium yang telah mengalami
beberapa serangan iskemik akan menyebabkan jaringan tersebut lebih resisten terhadap
episode yang akan datang. Secara klinis, pasien yang memiliki infark miokardium yang
menetap akan mengalami morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah terhadap serangan
angina dibandingkan dengan pasien yang belum pernah mengalami iskemik.

Ventricular remodelling

Infark miokardium yang terjadi dapat menyebabkan perubahan otot ventrikel baik
terhadap area yang terkena infark maupun tidak. Infark pada miokardium menyebabkan
berkurangnya volume dari sel miosit pada area tersebut. Untuk mengkompensasi daerah yang
telah mati, maka ventrikel akan menekan bagian yang tidak terkena infark untuk bekerja lebih
keras, yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan dan dapat secara progresif
berubah menjadi hipertrofi dari ventrikel.

Pada kasus ini, disfungsi endotel terjadi sebagai awal dari aterosklerosis. Disfungsi
endotel dapat disebabkan karena berbagai faktor risiko pasien yang akhirnya menyebabkan
inflamasi kronis. babkan karena berbagai faktor risiko pasien akhirnya menyebabkan
inflamasi kronis. Permeabilitas pembuluh darahpun terganggu dan akhirnya terjadilah proses
aterosklerosis. Plak dengan fibrous cap yang lemah akan mengalami ruptur sehingga
mengakibatkan proses trombogenesis. Trombogenesis akan menyebabkan oklusi pada
pembuluh darah, dan ketika oklusi menutupi seluruh pembuluh darah akhirnya terjadilah
iskemik lalu terjadilah infark yang dapat terekam di EKG sebagai elevasi gelombang ST.
Infark pada pasien mengakibatkan beberapa gangguan fungsional seperti disfungsi diastolik

11
dan fraksi ejeksi yang berkurang, yang ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi. Selain
itu pasien juga memiliki kardiomegali berdasarkan hasil foto thorax, yang mungkin
disebabkan karena adanya ventricullar remodelling.

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis dari Infark Miokardium
Karakteristik nyeri Durasi >30 menit
Nyeri terus menerus, tidak membaik saat
beristirahat
Nyeri terasa seperti tertindih beban berat, rasa
terbakar
Lokasi nyeri Biasanya retrosternal atau substernal
Tidak dapat ditunjuk
Dapat menjalar hingga ke leher, rahang, area
interskapular, bahu, dan lengan kiri
Gejala simpatetik Diaforesis
Kulit terasa dingin
Gejala parasimpatetik Mual, muntah
Lemas

2.7 Diagnosis STEMI


2.7.1 Anamnesis
Keluhan dari pasien dapat berupa angina tipikal atau angina ekuivalen. Keluhan
angina tipikal dapat digali lebih jauh dengan menanyakan keluhan pasien seperti karakteristik
dari nyeri, durasi dari nyeri, dan lokasi nyeri. Keluhan atipikal merupakan adanya gejala lain
yang pasien mungkin rasakan seperti diaforesis, sesak, nafas, mual, muntah, dll. Selain itu,
penting untuk mengetahui adanya faktor resiko dari pasien. Tanyakan mengenai riwayat
penyakit pasien dahulu yang dapat menjadi faktor resiko seperti riwayat penyakit jantung
koroner, hipertensi, diabetes, dislipidemia, maupun penyakit komorbid lainnya. Riwayat
kebiasaan pasien juga penting untuk mengetahui faktor resiko seperti kebiasaan merokok atau
pola diet yang tidak sehat.

Pada kasus ini, pasien mengalami nyeri dada sejak 3 jam SMRS. Nyeri muncul ketika
pasien sedang bersantai di teras rumahnya beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada
digambarkan pasien seperti tertindih oleh benda berat. Nyeri berada di sebelah kiri dada,
menjalar hingga ke bahu dan punggung namun tidak dapat ditunjuk. Nyeri bertahan terus
hingga lebih dari 30 menit. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak dan keringat dingin
yang muncul bersamaan dengan gejala. Pasien pernah mengalami gejala yang sama 3 tahun

12
lalu dan memiliki kebiasaan merokok. Berdasarkan anamnesis, maka kemungkinan besar
pasien mengalami infark miokard akut.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada pasien STEMI umumnya tidak memiliki temuan yang
spesifik. Namun pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi,
penyakit penyerta, serta menyingkirkan diagnosis banding. Komplikasi iskemia yang dapat
ditemukan pada pasien dapat berupa adanya suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus,
regurgitasi katup mitral, dan hipotensi.

Pada kasus ini ditemukan adanya peningkatan JVP, reflux hepatojugular (+), suara
tambahan paru ronkhi basah halus, dan kardiomegali yang dapat menjadi indikasi terjadinya
komplikasi akibat sindrom koroner akut.

2.7.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram


Diagnosis STEMI dapat ditegakkan berdasarkan gejala pasien dan temuan klinis,
salah satunya dengan melihat hasil EKG. Monitor menggunakan EKG dibutuhkan secepat
mungkin terutama pada pasien gawat darurat dengan kecurigaan STEMI. Untuk menilai
elevasi dari gelombang ST, EKG dilakukan pada titik J dan minimal 2 lead yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi untuk mendiagnosis STEMI berbeda berdasarkan pada
jenis kelamin dan usia.

Tabel 1. Nilai ambang elevasi ST pada pasien STEMI

Sumber: Buku Pedoman Tatalaksana Sindrom Akut, 2018

13
Tabel 2. Lokasi Infark Berdasarkan EKG

Sumber: Buku Pedoman Tatalaksana Sindrom Akut, 2018


Hasil EKG yang normal tidak langsung menyingkirkan diagnosis dari STEMI, karena
pada terdapat beberapa keadaan yang dapat menyebabkan deviasi dari segmen ST sulit
terdeteksi. Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non-diagnostik dan angina
masih berlangsung, pemeriksaan dapat diulang setiap 10 hingga 20 menit dan juga memasang
sadapan tambahan. Jika setelah diulang hasil EKG tetap sama dan biomarka jantung negatif,
namun keluhan angina sangat sugestif ke arah sindrom koroner akut, maka pasien dapat
dipantau selama 12-24 jam dan EKG diulang setiap terjadi angina.

Pada kasus ini, ditemukan hasil ST elevasi pada sadapan V1 hingga V3 pada EKG
pasien. Hal ini memenuhi kriteria diagnosis STEMI di mana ditemukannya elevasi
gelombang ST pada minimal 2 sadapan yang bersebelahan. Berdasarkan hasil sadapan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasien mengalami infark miokard akut dengan elevasi
gelombang ST.

Evolusi EKG pada Pasien STEMI

Berbeda dengan pasien NSTEMI, pasien STEMI dapat memiliki perubahan


abnormalitas EKG. Pasien STEMI dapat terdeteksi dengan adanya ST elevasi pada awal
kedatangan, namun dapat diikuti dengan inversi dari gelombang T dan adanya gelombang Q
patologis dalam beberapa jam.

Gambar 1. Evolusi EKG pada pasien STEMI

14
Sumber: Buku Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty: Fifth Edition, 2013
2.7.4 Pemeriksaan Biomarka Jantung
Biomarka yang dapat dipakai sebagai biomarka nekrosis miosit jantung adalah
kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T. Troponin memiliki 3 subunit, yaitu
troponin C, troponin I, dan troponin T yang dapat ditemukan pada otot jantung dan skeletal.
Namun, cardiac isoforms dari troponin T dan I hanya diekspresikan di dalam sel jantung,
karena itulah troponin I/T memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang lebih tinggi dari CK-
MB sebagai biomarka nekrosis jantung.13 Namun sayangnya, troponin I/T juga dapat
meningkat pada keadaan kardiak non-koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, dan perikarditis dan keadaan non-kardiak sekalipun seperti
sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, dan emboli paru. 12 Dalam keadaan
nekrosis, CK-MB akan meningkat 3-6 jam setelah serangan dan Troponin dalam waktu 3-4
jam setelah serangan. CK-MB akan memuncak dalam 24 jam dan menghilang dalam 48 jam.
Sedangkan troponin akan memuncak dalam 18-36 jam dan memiliki waktu paruh lebih lama
karena baru akan menghilang sekitar 10-14 hari. Selain itu, CK-MB juga dapat meningkat
pada pasien yang memiliki kerusakan otot skeletal. Karena itu, CK-MB lebih baik dipakai
untuk mendiagnosis kemungkinan infark berulang.

Gambar 2. Waktu Timbulnya Biomarka Jantung

Sumber: Buku Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut, 2018


Pada kasus ini ditemukan bahwa pasien mengalami kenaikan enzim jantung dengan
hasil laboratorium CK 150, CKMB 50, dan Troponin T hs 98. Hasil biomarka jantung yang
didapat mendukung penegakan diagnosis sindrom koroner akut

15
2.7.5 Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat sangat baik untuk menentukan
diagnosis banding karena dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel secara umum.
Melalui ekokardiografi kita dapat melihat adanya hipokinesia (area di mana kontraksi
berkurang) maupun akinesia (area yang tidak berkontraksi sama sekali) pada saat iskemia
berlangsung. Diagnosis banding yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan ini meliputi
stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, maupun diseksi aorta.

Pada pemeriksaan ekokardiografi ditemukan adanya disfungsi diastolik pada ventrikel


kiri dan gangguan fungsi siastolik yang ditandai dengan menurunnya ejeksi fraksi menjadi
43%. Penemuan ini mengindikasikan bahwa sudah terjadi gangguan fungsional dari jantung
sebagai komplikasi dari infark miokard yang dialami pasien. Hasil pemeriksaan ini
menunjang diagnosis infark miokard akut pada pasien.

2.7.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa meliputi tes darah rutin, gula darah
sewaktu untuk memantau pasien diabetes, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan profil lipid.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa pasien mengalami dislipidemia


dengan hasil total kolesterol 269, HDL 186, dan LDL 37. Selain itu, pasien juga mengalami
leukositosis dengan WBC 16,820. Tidak terdapat gangguan koagulasi darah,
ketidakseimbangan elektrolit, dan fungsi ginjal dalam batas normal.

2.7.7 Pemeriksaan X-Ray


Pemeriksaan X-Ray dilakukan dengan tujuan untuk menyingkirkan diagnosis
banding, mengidentifikasi penyakit penyerta, serta mengetahui adanya komplikasi pada
pasien.

Pemeriksaan foto polos dada mengonfirmasi hasil pemeriksaan fisik adanya


kardiomegali, yang menjadi indikasi terjadinya komplikasi dari infark miokard yang dialami
oleh pasien.

16
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Algoritma Tatalaksana
Tatalaksana dari pasien STEMI, termasuk penegakan diagnosis dan pemberian terapi,
dimulai sejak kontak pertama pasien dengan tim medis. Pasien STEMI direkomendasikan
untuk menerima terapi reperfusi secepat mungkin untuk meminimalkan mortalitas.

Gambar 3. Presentasi pasien, komponen waktu iskemik, serta diagram pemilihan reperfusi

Sumber: Buku Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut, 2018


Pemasangan EKG sesegera mungkin sangat direkomendasikan pada seluruh pasien
dengan kecurigaan STEMI untuk penegakkan diagnosis dan penentuan strategi reperfusi
sesegera mungkin. Diagnosis pada pasien infark miokardium dengan elevasi gelombang ST
harus ditegakkan dalam waktu kurun waktu 10 menit sejak pasien tiba di rumah sakit. Sebisa
mungkin diusahakan bagi pasien untuk menuju rumah sakit yang memiliki fasilitas IKP
primer. Di fasilitias kesehatan dengan IKP primer, target waktu sejak kontak medis pertama
hingga wire melewati lesi di dalam arteri adalah ≤90 menit. Jika pasien tidak dapat segera
menuju ke faskes dengan IKP primer, pertimbangkan apakah faskes dapat dijangkau kurang
dari 2 jam. Jika jarak tempuh melebihi 120 menit, maka berikan fibrinolitik terlebih dahulu
kepada pasien. Fibrinolitik harus diberikan kurang dari 30 menit sejak kontak medis pertama.

17
Setelah itu jika memungkinkan, pertimbangkan pasien untuk tetap menerima terapi IKP
primer.

2.8.2 Tatalaksana Dini


Standar baku emas dari infark miokard akut adalah terapi reperfusi dengan IKP
primer. Namun, sambil menunggu diagnosis ditegakkan dan keputusan untuk dilakukannya
terapi reperfusi maka pasien dengan sindrom koroner akut harus menerima tatalaksana dini
terlebih dahulu di unit gawat darurat. Tatalaksana dini yang umumnya diterima oleh pasien
adalah:

1. Posisi tirah baring


2. Pasang EKG. Diagnosis diusahakan di bawah 10 menit sejak tibanya pasien di rumah
sakit. Selain itu, EKG juga digunakan untuk memantau adanya aritmia yang terjadi.
3. Pemberian oksigen disarankan untuk pasien dengan saturasi <90% atau PaO2
<60mmHg.
4. Tetapkan jalur IV untuk terapi cairan dengan NaCl 0,9%. Pada prosedur ini juga
dilakukan pengambilan darah untuk pengecekan laboratorium.
5. Pemberian ISDN 5 mg secara subilingual bagi pasien yang datang masih dengan nyeri
dada yang berlangsung. Nitrat memiliki efek dilatasi pembuluh darah. Diberikan
untuk meringankan gejala akut pasien. Pemberian nitrat dapat diulang setiap 5 menit
bagi jika nyeri persisten dengan maksimal penggunaan adalah 3 kali.
Jika pemberian nitrat tidak berhasil dapat diberikan morfin 2-5mg melalui IV
6. Pemberian antiplatelet ganda diindakasikan bagi pasien yang datang dengan sindrom
koroner akut tanpa kontraindikasi aspirin.
 Aspirin dengan loading dose 160-320mg dan dosis pemeliharaan 75-125mg
 Ticagrelor dengan loading dose 180mg atau Clopidogrel dengan loading dose
300mg atau 600mg bagi pasien yang akan menjalani terapi IKP primer
7. Pemberian antikoagulan sangat disarankan bagi pasien yang menerima terapi dengan
antiplatelet.
 Enoxaparin 1mg/kgBB SC, dapat diberikan 2x/hari. Disarankan bagi pasien
yang akan menjalani IKP primer
 Heparin yang tidak terfraksi/UFH 60-70 IU/kgBB dengan bolus pelan,
maksimal 4000 IU

18
 Fondaparinux 2,5mg SC. Dibandingkan dengan antikoagulan lainnya, obat ini
memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Obat ini tidak
disarankan bagi pasien yang akan menjalani terapi IKP primer

Tabel 3. Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang menjalani IKP primer
atau belum melakukan reperfusi

Sumber: Buku Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut, 2018


8. Terapi reperfusi dengan IKP primer atau fibrinolitik
9. Pemberian statin intensitas tinggi sangat direkomendasikan dalam waktu sesegera
mungkin, kecuali pasien memiliki kontraindikasi atau intoleransi. Target LDL yang
direkomendasikan adalah ≤70 mg/dL atau adanya pengurangan minimal 50% jika
nilai awal adalah 70-135 mg/dL. Obat yang dapat digunakan adalah:
 Atorvastastin 40-80mg
 Rotuvastatin 10-20mg
10. Segera konsultasikan kepada spesialis jantung untuk mendapatkan terapi reperfusi

19
Pada kasus ini, diagnosis dari pasien harus segera ditegakkan dalam waktu 10 menit
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta bantuan monitor EKG. Setelah itu, pasien dapat
menerima terapi oksigen, pemasangan akses IV serta tetap dilakukan pemantauan EKG untuk
mengetahui adanya aritmia. Terapi farmakologi yang umum diberikan pada pasien di IGD
adalah ISDN 5mg SL, Aspirin 80mg 1x2 tab, Clopidogrel 75mg 1x4 tab, Enoxaparin
1mg/kgBB SC, Atorvastatin 40mg. Pasien harus segera dikonsultasikan kepada spesialis
jantung agar segera mendapatkan terapi reperfusi IKP primer jika tersedia.

2.8.3 Terapi Reperfusi


Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang muncul dalam
12 jam dengan ST elevation yang menetap atau left bundle branch block (LBBB). Meskipun
demikian, terapi reperfusi tetap direkomendasikan meskipun gejala telah muncul lebih dari 12
jam jika disertai dengan:

1. EKG pasien menunjukan bawha iskemia sedang berlangsung


2. Nyeri sedang berlangsung/rekuren dengan perubahan EKG yang dinamis
3. Nyeri sedang berlangsung/rekuren dengan gejala dan tanda gagal jantung, syok, atau
aritmia maligna terapi reperfusi diusahakan sebisa mungkin adalah IKP primer. Jika
IKP primer tidak tersedia, maka langsung berikan fibrinolitik kepada pasien.

Teknik reperfusi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik invasif
menggunakan IKP primer atau menggunakan strategi fibrinolitik. Seleksi untuk terapi
reperfusi dapat mempertimbangkan beberapa hal berikut, yaitu:

1. Waktu sejak gejala muncul, apakah di bawah 12 jam atau sudah lewat dari 12 jam
yang disertai dengan gejala dan tanda dari iskemik
2. Risiko fibrinolisis dan kontraindikasi fibrinolisis.
3. Ketersediaan faskes dan waktu yang dibutuhkan

Gambar 4. Menentukan pilihan terapi reperfusi

20
Sumber: Buku Pedoman Tatalaksana Sindroma Koroner Akut, 2018
Pada kasus ini, pasien harus segera dikonsultasikan kepada spesialis jantung untuk
mendapatkan terapi reperfusi yang tepat secepat mungkin.

2.8.3.1 Terapi IKP Primer


IKP primer merupakan intervensi koroner perkutan pada keadaan emergensi dengan
menggunakan balon, stent, ataupun alat lainnya, yang dilakukan pada arteri yang mengalami
infark tanpa pemberian fibrinolitik sebelumnya. Target waktu yang direkomendasikan adalah
120 menit sejak kontak medis pertama. Selain pada pasien dengan STEMI, IKP primer juga
diindikasikan bagi pasien dengan acute heart failure yang berat maupun syok kardiogenik.
Terapi ini tidak disarankan untuk dilakukan secara rutin pada arteri yang sudah tersumbat
total lebih dari 24 jam sejak munculnya gejala, terutama pada pasien yang stabil tanpa gejala
iskemia.

2.8.3.2 Terapi Fibrinolitik


Terapi fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang dapat digunakan terutama pada
fasilitas kesehatan yang tidak dapat melakukan tindakan IKP primer dalam jangka waktu
yang telah direkomendasikan. Terapi fibrinolitik dapat diberikan pada pasien 12 jam setelah
gejala muncul dan pasien tanpa kontraindikasi. Fibrinolitik harus dimulai di ruang gawat
darurat.

21
Agen spesifik terhadap fibrin seperti tenecteplase, alteplase, dan reteplase lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin seperti streptokinase.
Pasien yang akan menerima terapi fibrinolitik harus menerima aspirin oral dan clopidogrel
dapat diberikan sebagai tambahan. Penggunaan antikoagulan disarankan pada pasien STEMI
yang akan menggunakan fibrinolitik sampai mendapatkan terapi dengan IKP primer atau
pasien yang akan dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang dapat digunakan
berupa:

1. Enoxaparin subkutan
2. Heparin tidak terfraksi/UFH dengan bolus IV sesuai berat badan dan infus selama 3
hari
3. Pada pasien yang mengonsumsi streptokinase, maka akan diberikan fondaparinux IV
secara bolus dilanjutkan secara subkutan 24 jam kemudian

Tabel 4. Dosis fibrinolitik dan ko-terapi antitrombolitik

Sumber: Buku Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut, 2018


2.8.4 Terapi Jangka Panjang
1. Pemberian beta blocker diindikasikan bagi pasien dengan diberikan ketika pasien
sudah stabil, tidak memiliki asma dan AV block (bradiaritmia). Obat yang dapat
dipakai berupa:
 Bisoprolol 10mg 1x/hari
 Propanolol 80mg 2x/hari

22
 Jika pasien memiliki kontraindikasi, dapat diganti menggunakan Verapamil
180-240mg dibagi 2-3 dosis atau Dilitiazem 120-360mg dibagi 3-4 dosis
2. Pemberian ACE Inhibitor dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
sistolik ventrikel kiri atau infark anterior. Obat yang dapat diberikan berupa:
 Captopril 6,5mg atau 12,5 mg 3x/hari
 Ramipril 2,5mg atau 5mg 1x/hari
3. Terapi dengan antiplatelet ganda harus dilanjutkan bagi seluruh pasien dengan riwayat
sindrom koroner akut. Waktu penggunaan DAPT dapat dihitung menggunakan DAPT
score.
 Aspirin 75-100mg
 Clopidogrel 75mg/hari
 Ticagrelor 90mg 2x/hari
4. Untuk terapi jangka panjang, maka target HDL dari pasien adalah 70 atau terdapat
50% penurunan dari angka awal. Pemberian statin tetap dilanjutkan dengan obat:
 Atorvastatin 20-40mg/hari
 Rimvastatin 10-20mg/hari
5. Memodifikasi faktor risiko yang dimiliki pasien seperti rokok, menjaga berat badan,
serta diet rendah lemak.

Pada pasien ini diberikan Captopril 12,5mg 3x/hari, Bisoprolol 10mg 1x/hari,
Atorvastatin 40mg 1x/hari, Aspirin 75mg 1x/hari, Clopidogrel 75mg 1x/hari. Selain itu,
pasien juga diharuskan untuk melakukan modifikasi gaya hidup serta kontrol teratur untuk
menghindari risiko terjadinya infark berulang.

2.9 Penilaian Risiko


2.9.1 Grace Score
Pasien yang telah menjalani reperfusi harus dinilai resiko jangka panjangnya, untuk
mengetahui adanya resiko tinggi dari pasien untuk mengalami serangan kembali. Penilaian
risiko ini dapat mebantu pasien dan tenaga medis untuk melakukan intervensi dan mencegah
rekurensi. Beberapa penilaian telah dibuat berdasarkan parameter yang dapat diidentifikasi
dalam fase akut sebelum reperfusi. Salah satu penliaian yang direkomendasikan untuk
menilai risiko pasien adalah The Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE).14

Gambar 5. Skor GRACE

23
Sumber: Buku Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut, 2018
Berdasarkan hasil dari GRACE, maka dapat disimpulkan hasil penilaian risiko
sebagai berikut:

1. Prediksi kematian di rumah sakit


 Skor ≤108 resiko kematian rendah (<1%)
 Sko
r 109-140
resiko
kematian
menengah (1-
3%)
 Skor >140 resiko kematian tinggi (>3%)
2. Prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar
dari rumah sakit
 Skor ≤88 resiko kematian rendah (<1%)
 Skor 89-118 resiko kematian menengah
(1-3%)
 Skor >118 resiko kematian tinggi (>3%)

Pada kasus ini, skor pasien dapat dihitung berdasarkan kriteria berikut yaitu skor dari
usia 36 (usia pasien 54 tahun), skor dari denyut jantung 7 (nadi pasien 89), skor dari tekanan

24
darah sistolik 47 (sistolik pasien 110), skor dari kreatinin 2 (Cr 1.1), skor dari Killip 21
(klasifikasi Killip II), skor dari kenaikan enzim 15, skor dari deviasi segmen ST 30 (terdapat
ST elevasi) maka akan didapatkan total skor pasien adalah 158. Dari prediksi risiko ini, dapat
dikatakan bahwa pasien memiliki risiko kematian tinggi bahkan hingga 6 bulan setelah keluar
dari rumah sakit. Karena itu, penting agar pasien mendapatkan terapi yang tepat sesegera
mungkin untuk menurunkan mortalitas.

2.9.2 Killip Classification


Klasifikasi Killip digunakan sebagai salah satu variabel dalam Grace score. Penilaian
risiko menggunakan klasifikasi Killip merupakan penilaian risiko berdasarkan adanya
indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi dari infark miokardium akut. Tujuan dari
klasifikasi ini adalah untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognosis) pasien dalam
jangka waktu 30 hari.15

Gambar 5. Klasifikasi Killip

Sumber: Buku Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut, 2018


Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien memiliki ronkhi basah halus pada kedua
basal paru. Berdasarkan klasifikasi Killip, maka pasien masuk dalam klasifikasi Killip II
dengan mortalitas 30 hari ke depan adalah 17%.

25
BAB III

KESIMPULAN

Tuan N datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada sejak 3 jam SMRS. Nyeri dada
dirasakan pada bagian dada sebelah kiri dan menjalar hingga ke bahu dan punggung. Nyeri
bertahan lebih dari 30 menit dan tidak membaik dengan istirahat. Nyeri dada disertai dengan
gejala sesak nafas dan keringat dingin.

Nyeri dada karena perikarditis dapat disingkirkan karena nyeri tidak berkarakteristik
tajam, tidak diperparah dengan inspirasi, dan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien. Nyeri dada
karena diseksi aorta dapat disingkirkan karena pasien tidak merasa nyeri seperti disobek yang
bermigrasi. Selain itu, diagnosis banding angina stabil dapat disingkirkan karena nyeri dada
pasien tidak diperparah oleh aktivitas, memiliki durasi yang lama >30 menit, dan tidak
membaik saat istirahat. Sesak nafas karena asma dapat disingkirkan karena pasien
menyangkal adanya riwayat asma dan juga alergi.

Pasien memiliki beberapa faktor resiko untuk terjadinya sindrom koroner akut yaitu, jenis
kelamin laki-laki, riwayat dugaan infark miokardium akut, kebiasaan merokok, riwayat
keluarga. Pasien mengatakan memiliki riwayat keluhan yang sama 3 tahun lalu dan diberikan
obat di bawah lidah. Jika pasien pernah memiliki riwayat yang persis sama, maka
kemungkinan pasien sudah pernah mengalami serangan infark miokardium akut sebelumnya.
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia 21 tahun kurang lebih 1 hingga 2 bungkus
rokok per hari. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh pasien, pasien termasuk dalam
kategori perokok berat dan meningkatkan risiko untuk memiliki penyakit jantung. Pasien juga
memiliki riwayat keluarga yang merupakan first degree related, yaitu ibu pasien yang
memiliki penyakit hipertensi sejak usia 35 tahun. Menurut buku ESC cardiovascular
medicine, riwayat keluarga dapat menjadi faktor risiko jika ayah didiagnosis memiliki
penyakit jantung koroner sebelum usia 55 tahun atau 65 tahun untuk usia ibu. Risiko akan
meningkat jika penyakit jantung koroner didiagnosis pada usia yang lebih muda.

Selain itu, pada pemeriksaan fisik umum ditemukan bahwa pasien mengalami tachypnea,
kenaikan tekanan vena jugular, dan reflux hepatojugular yang positif. Pemeriksaan fisik
khusus menemukan adanya suara tambahan ronki basah halus pada bagian basal paru serta

26
kardiomegali dengan batas jantung kiri bergeser 1 jari ke arah lateral dari linea
midklavicularis sinistra ICS V. Berdasarkan penemuan ini, maka pasien dapat
diklasifikasikan ke dalam Killip II, di mana mortalitas pasien dalam 30 hari ke depan adalah
17%.

Pada pemeriksaan penunjang EKG, ditemukan elevasi gelombang ST pada sadapan v1-v3
yang mengindikasikan adanya STEMI anteroseptal wall. Pemeriksaan lab pasien
menunjukkan peningkatan pada leukosit dan enzim jantung (CK, CKMB, dan Troponin T
hs). Pada pemeriksaan ekokardiografi ditemukan adanya disfungsi diastolik dan penurunan
fungsi sistolik dengan EF 43%. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan terhadap pasien, maka dapat ditegakkan diagnosis sindrom
koroner akut dengan elevasi segmen ST infark miokardium dengan killip II.

Seluruh pasien dengan diagnosis sindrom koroner akut maupun kemungkinan diagnosis
sindrom koroner akut berdasarkan keluhan angina yang terjadi di ruang gawat darurat harus
menerima terapi dini bahkan sebelum ada hasil EKG atau biomarka jantung. Tatalaksana
awal meliputi pemantauan kestabilan hemodinamik pasien dan juga EKG pasien untuk
melihat terjadinya aritmia. Pasien yang datang ke IGD segera diposisikan tirah baring,
memasang EKG untuk pemantauan aritmia, dan pemasangan IV line. Setelah itu, pasien
dapat diberikan oksigen dengan nasal kanul dapat diberikan jika saturasi pasien di bawah
90%. Terapi cairan dengan Nacl 0,9% 500ml diberikan dalam 24 jam untuk memelihara
hidrasi dan keseimbangan elektrolit pasien. ISDN 5mg secara subilingual diberikan untuk
pasien yang datang masih dengan nyeri dada. Semua pasien dengan kecurigaan sindrom
koroner akut yang datang ke IGD tanpa kontraindikasi aspirin harus langsung menerima
aspirin dengan loading dose 160-320 mg. Pada pasien ini diberikan terapi double antiplatelet
dengan Aspirin PO 80 mg 1x2 tab dan Clopidogrel 75mg PO 1x4 tab. Pemberian
antikoagulan disarankan pada seluruh pasien yang menerima terapi antiplatelet, karena itu
pasien diberikan Enoxaparin 1mg/kgBB SC. Enoxaparin direkomendasikan pada pasien yang
akan menjalani primary PCI. Pasien juga diberikan statin dengan Atarvostatin 40mg PO.
Sambil menerapkan terapi dini, pasien harus segera dikonsultasikan kepada spesialis jantung
untuk mendapatkan terapi reperfusi dengan IKP primer. Setelah menjalani reperfusi, pasien
dapat menerima terapi jangka berupa Aspirin 75mg/hari, Clopidogrel 75mg/hari, dan
Captopril 12,5 mg PO. Beta blocker dapat diberikan jika pasien sudah stabil dan tidak
memiliki asma dan AV block, karena itu pasien menerima Bisoprolol 10mg 1x/hari. Pasien

27
juga harus melakukan modifikasi gaya hidup untuk faktor-faktor risiko yang dimiliki,
sehingga mencegah terjadinya infark berulang.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Camm AJ, Thomas F. Luscher, Maurer G. Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Oxford
University Press; 2018.

2. Ibanez B, James S, Agewall S, et al. 2017 ESC Guidelines for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur
Heart J 2018;39(2):119–77.

3. Bognolo G. Cardiovascular diseases. 2017.

4. Kemenkes RI. Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf [Internet]. Badan Penelit.


dan Pengemb. Kesehat. 2018;198. Available from:
http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Laporan_Nas
ional_RKD2018_FINAL.pdf

5. Pa CK. The effective history of critical theory: The reception history of Frankfurt
school in Taiwan. Universitas (Stuttg) 2010;37(6):111–25.

6. Mahalle N, Garg M, Naik S, Kulkarni M. Study of pattern of dyslipidemia and its


correlation with cardiovascular risk factors in patients with proven coronary artery
disease. Indian J Endocrinol Metab 2014;18(1):48–55.

7. Himbert D, Klutman M, Steg G, White K, Gulba DC. Cigarette smoking and acute
coronary syndromes: A multinational observational study. Int J Cardiol
2005;100(1):109–17.

8. Kotseva K, Wood D, De Bacquer D, De Backer G, Rydén L JC et al. EUROASPIRE


IV. Eur J Prev Cardiol 2016;1–41.

9. Picariello C, Lazzeri C, Attanà P, Chiostri M, Gensini GF, Valente S. The impact of


hypertension on patients with acute coronary syndromes. Int J Hypertens 2011;2011.

10. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of medical students
and faculty: Fifth edition. 2013.

11. Crea F, Liuzzo G. Pathogenesis of acute coronary syndromes. J Am Coll Cardiol


[Internet] 2013;61(1):1–11. Available from:

29
http://dx.doi.org/10.1016/j.jacc.2012.07.064

12. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018. Perhimpun. Dr. Spes.
Kardiovask. Indones. 2018;76.

13. Korff S, Katus HA, Giannitsis E. Differential diagnosis of elevated troponins. Heart
2006;92(7):987–93.

14. University of Edinburgh. Case Study THE ‘ GRACE RISK SCORE ’: ASSESSING
HEART ATTACK RISK AND GUIDING TREATMENT. 2011;

15. de Mello BHG, Oliveira GBF, Ramos RF, et al. Validation of the killip–kimball
classification and late mortality after acute myocardial infarction. Arq Bras Cardiol
2014;(2):107–17.

30

Anda mungkin juga menyukai