Disusun Oleh:
Nama: Rahul Agustira
NPM: 61120055
A. TERMINOLOGI ASING
1. Compos mentis : yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Jugular venous pressure: adalah tekanan sistem vena yang diamati secara tidak
langsung.
3. Iskemia miokard : termasuk kondisi yang menyebabkan aliran oksigen ke jantung
berkurang.
4. Aspirin : adalah obat untuk meredakan nyeri, demam, dan peradangan. Selain itu,
obat yang dikenal juga dengan nama asam asetisalisilat ini juga digunakan untuk
mencegah terbentuknya gumpalan darah, sehingga menurunkan risiko terjadinya
serangan jantung atau stroke pada penderita penyakit kardiovaskular.
5. Isosorbitdinitrat sublingual : (ISDN) adalah obat golongan nitrat yang digunakan
untuk mencegah dan meredakan angina (nyeri dada) akibat penyakit jantung
coroner.
6. Morphine : adalah obat untuk menghilangkan rasa nyeri dengan intensitas sedang
hingga parah, seperti nyeri pada kanker atau serangan jantung.
7. Infark miokard : dikenal juga sebagai serangan jantung merupakan kondisi ketika
terjadi sumbatan pembuluh darah jantung yang mengakibatkan kekurangan suplai
darah dan oksigen sehingga jaringan otot jantung mengalami kerusakan dan
kematian.
8. Terapi oksigen : adalah pengobatan yang dapat membantu orang bernapas dan
mendapatkan asupan oksigen cukup. Terapi ini diperlukan oleh orang-orang yang
mengalami kesulitan bernapas atau memiliki kadar oksigen rendah dalam
darahnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa keluhan nyeri dada 3 tahun yg lalu dapat hilang tanpa pengobatan?
2. Mengapa keluhan yang di alami tuan tores muncul saat bermain futsal?
3. Apa saja diagnosis banding pada pasien?
4. Kenapa dokter memberikan terapi oksigen kepada pasien?
5. Apakah penyakit pada pasien berkaitan dengan usia?
6. Mengapa dokter memberikan obat analgetik kuat golongan morphine?
C. HIPOTESA
1. Nyeri dada memang bisa merupakan manifestasi dari gangguan lambung dan/atau
saluran pencernaan. Bisa pula akibat gangguan kejiwaan, berupa cemas atau
panik.
2. Tn tores timbul keluhan seperti sesak nafas, perasaan sakit pada daerah dada
disertai dengan mual dan keringat dingin dikarenakan Aktifitas fisik dan emosi
akan menyebabkan jantung lebih bekerja berat dan menyebabkan meningkatnya
kebutuhan jantung akan oksigen. Jika arteri mengalami penyumbatan maka aliran
darah ke otot tidak dapat memenuhi kebutuhan jantung akan oksigen, sehingga
akan terjadi iskemia dan menyebabkan nyeri.
3. Infark Miokard Akut, Angina pectoris, nyeri esofagus, nyeri muskuloskeletal,
pericarditis, aorta dissecans, emboli paru, dan lain-lain
4. Karena pasien di dapatkan tanda-tanda iskemia miokard dan infark miokard,
Iskemia miokard termasuk kondisi yang menyebabkan aliran oksigen ke jantung
berkurang, dan infark miokard dapat menyebabkan kekurangan suplai darah dan
oksigen. Sehingga dr memberikan terapi oksigen yang Tujuannya agar kadar
oksigen di dalam tubuh tercukupi sehingga fungsi organ berjalan lancar.
5. iya, karena semakin bertambahnya usia sel dalam tubuh akan mengalami
degenerasi sel.
6. golongan obat Morfin (morphine) adalah pilihan obat untuk meredakan nyeri
parah. Dokter akan meresepkan obat ini jika nyeri yang dirasakan pasien cukup
parah dan tidak dapat diredakan dengan obat nyeri lainnya. Obat ini termasuk
dalam kelas obat analgesik opioid.
D. SKEMA Tuan Tores
Laki laki
46 tahun
Status vitalis:
Riwayat penyakit terdahulu:
1. Tekanan darah: 100/60
Keluhan ini di rasakan 3 tahun mmHg
lalu namun sempat hilang tanpa 2. Frekuensi denyut jantung
pengobatan. 110 kali/menit
3. Rr: 18 kali / menit
4. JVP normal
Diagnosa kerja:
Infark miokard akut
Diagnosa banding:
Emboli paru yang pasif,
pericarditis akut, diseksi aorta
Penatalaksanaan:
1. Terapi oksigen 6 Liter/menit
2. Obat analgetik kuat golongan morphine (obat isosobitdinitrat
sublingual dan aspirin).
3. Dirawat di rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
E. LEARNING OBJECTIVE
TUJUAN UMUM
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi Akut Miokard
Infark
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor risiko Akut
Miokard Infark
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi Akut Miokard
Infark
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis Akut Miokard
Infark
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pendekatan diagnostik Akut
Miokard Infark
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan Akut Miokard
Infark
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi Akut Miokard Infark
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan prognosis Akut Miokard Infark
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan prosedur rujukan kasus Akut
Miokard Infark
F. PEMBAHASAN
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi Akut Miokard
Infark
Epidemiologi infark miokard akut (acute myocardial infarct) berbeda antara ST-
segment elevation myocardial infarction (STEMI) dengan Non-ST-segment
elevation myocardial infarction (NSTEMI). Mortalitas infark miokard akut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, klasifikasi Killip, waktu tata
laksana, keberadaan fasilitas, dan komorbiditas pasien.
a. Global
Epidemiologi infark miokard akut (IMA) secara global menunjukkan insidensi
STEMI menurun, sedangkan insidensi NSTEMI meningkat. Sekitar 3 juta
orang menderita STEMI, dan sekitar 4 juta orang menderita NSTEMI secara
global. Setiap tahun, di Amerika Serikat terjadi IMA sekitar 650.000 kasus,
sedangkan di Inggris sekitar 180.000 kasus. Di India, epidemiologi IMA lebih
tinggi akibat faktor genetik dan gaya hidup yaitu mencapai 64,37/1.000 orang.
b. Indonesia
Belum ada data epidemiologi khusus IMA di Indonesia. Pada laporan riset
kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung secara umum di
Indonesia berada pada angka 1,5%, termasuk IMA dan sindrom koroner akut,.
Prevalensi penyakit jantung terbesar berada di provinsi Kalimantan Utara
sebesar 2,2%, Yogyakarta 2,0%, dan Gorontalo 2,0%.
c. Mortalitas
Mortalitas IMA dipengaruhi faktor usia, klasifikasi Killip, waktu dilakukan
tata laksana, keberadaan fasilitas kesehatan, dan adanya komorbiditas pada
pasien. Angka kematian akibat IMA masih berada pada tingkatan yang tinggi,
di mana sebagian besar kematian terjadi sebelum pasien sempat datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan.
Mortalitas pasien dalam 12 bulan pertama akibat henti jantung
mendadak setelah kejadian IMA berkisar 5−10%, di mana 50% pasien IMA
membutuhkan perawatan ulang di rumah sakit dalam rentang satu tahun
setelah serangan pertama.
Penyebab lain
1. Trauma
2. Vaskulitis
3. Penggunaan narkoba (kokain)
4. Anomali arteri coroner
5. Emboli arteri coroner
6. Diseksi aorta
Ruptur atau erosi plak itu akan menyebabkan paparan inti dan bahan matriks yang
memiliki sifat sangat trombogenik terhadap aliran sirkulasi darah. Terbentuknya
trombus akan menyumbat aliran darah pada pembuluh koroner secara parsial
maupun total, sehingga pasokan oksigen ke miokardium berkurang. Sindrom
iskemik tak stabil akan menyebabkan nekrosis miokardium, yaitu kerusakan
ireversibel otot jantung yang dapat mengganggu fungsi sistolik maupun diastolik,
dan meningkatkan risiko aritmia pada pasien.
a. Ruptur Plak
Ruptur dan erosi plak aterosklerotik merupakan bagian terpenting pada
patofisiologi IMA. Plak aterosklerotik sendiri terdiri dari inti sarat lipid dan
pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Ruptur umumnya terjadi pada
daerah tepi plak, maupun pada dinding plak paling rapuh akibat peran
makrofag yang menghasilkan enzim protease yang secara enzimatik
melemahkan dinding plak.
c. Vasospasme
Vasokonstriksi juga memiliki peran penting dalam patofisiologi IMA.
Disfungsi endotel dan agregasi platelet menyebabkan perubahan tonus
pembuluh darah koroner. Perubahan tonus ini menyebabkan spasme otot polos
pembuluh darah, di mana seringkali spasme tersebut berperan dalam
pembentukan trombus.
Gejala lain dapat menyertai nyeri dada, seperti mual, muntah, sesak nafas,
keringat dingin, cemas, hingga merasa lemas, Pada beberapa kasus, pasien
IMA tidak mengeluhkan adanya nyeri dada. Pasien lansia dan/atau komorbid
diabetes mellitus dapat menderita IMA tanpa disertai nyeri dada.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan pada pasien IMA adalah
penilaian awal circulation, airway, dan breathing dengan pengecekan dan
pemantauan tanda-tanda vital. Perlu diwaspadai kejadian takikardi, takipnea,
dan tanda-tanda syok kardiogenik. Selain takikardia, juga dapat terjadi
bradikardi bila terjadi gangguan pada jalur impuls listrik, seperti pada blok
nodus atrioventrikular, fibrilasi ventrikular, maupun takikardi ventricular.
Tekanan darah umumnya tinggi akibat respon saraf simpatis, tetapi bila
didapati hipotensi maka dicurigai terjadi infark ventrikel kanan. Trias infark
ventrikel kanan adalah hipotensi, peningkatan tekanan vena, dan lapangan
paru yang bersih. Laju pernapasan juga dapat meningkat, baik akibat respon
saraf simpatis maupun akibat komplikasi seperti gagal jantung akut.
Klasifikasi Killip
Klasifikasi Killip merupakan alat klinis dalam penilaian tanda gagal jantung
pada pasien infark miokard akut yang didapatkan dari pemeriksaan fisik.
Klasifikasi Killip juga dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas pasien.
Terdapat empat kelas dalam klasifikasi Killip, antara lain:
1. Killip kelas I: Tidak ditemukan ronkhi maupun bunyi jantung S3
2. Killip kelas II: Ronkhi pada setengah bawah lapangan paru, disertai bunyi
jantung S3
3. Killip kelas III: Ronkhi hingga setengah atas lapangan paru dan adanya
kejadian edema paru
4. Killip kelas III: Syok kardiogenik
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi IMA secara cepat adalah
elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan lain yang dapat mendukung diagnosis
adalah laboratorium enzim jantung, ekokardiografi, dan pencitraan seperti
rontgen toraks.
1. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan pertama yang perlu dilakukan
pada pasien dengan gejala mengarah ke IMA. Salah satu kriteria diagnosis
IMA adalah perubahan EKG yang baru, atau diduga baru bila hasil EKG
sebelumnya tidak ada. Perubahan EKG yang bisa ditemukan adalah:
a) Depresi atau elevasi segmen ST
b) Inversi gelombang T
c) Gelombang Q patologis
d) Left Bundle Branch Block(LBBB) baru
2. Laboratorium
Pemeriksaan biomarker enzim jantung yang direkomendasikan adalah
pemeriksaan troponin atau cardiac specific troponin (cTn). Troponin
merupakan protein yang didapati pada miokardium dan dilepaskan ke
dalam darah apabila terjadi nekrosis pada miokardium. Terdapat dua jenis
troponin, yaitu troponin T (cTnT) dan troponin I (cTnI).
Kedua jenis troponin ini meningkat 2 jam setelah infark terjadi, dan
mencapai puncak dalam 10–24 jam. Troponin T masih dapat dideteksi
setelah 5–14 hari infark terjadi, sedangkan troponin I setelah 5–10 hari.
Nilai satuan troponin biasanya dalam ng/Liter dan didefinisikan
mengalami peningkatan jika nilainya berada di atas persentil ke-99 upper
reference limit (URL).
3. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi sangat berguna untuk menilai struktur, fungsi
ejeksi, dan abnormalitas gerakan dinding jantung, serta komplikasi pada
katup jantung.
4. Pencitraan
Pemeriksaan rontgen toraks berguna untuk melihat kardiomegali dan
edema paru.sebagai komplikasi IMA pada gagal jantung. Pemeriksaan
pencitraan yang berperan untuk diagnosis dan karakteristik IMA, serta
untuk persiapan tata laksana yang lebih lanjut adalah coronary computed
tomography angiography (CCTA).
Pemeriksaan CCTA biasa dilakukan pada pasien dengan nyeri dada untuk
menyingkirkan IMA. Hasil pemeriksaan jantung non invasif yang positif
dapat mengurangi angka kejadian major adverse cardiac events (MACEs).
Selain itu tidak ada penundaan dalam rujukan ke sub spesialis jantung dan
tidak adanya penundaan pada tindakan revaskularisasi.
2. Oksigen
Suplementasi oksigen juga perlu diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen <94%, yaitu sebanyak 4 liter/menit.
3. Nitrogliserin
Penanganan angina dapat dilakukan dengan pemberian nitrogliserin bila
keadaan pasien memungkinkan, yaitu hemodinamik stabil, tidak ada
kecurigaan infark ventrikel kanan, dan tidak ada riwayat mengonsumsi
obat disfungsi ereksi seperti sildenafil.
4. Morfin
Bila nyeri tidak berkurang dengan nitrogliserin atau pada pasien yang tidak
memungkinkan dengan pemberian nitrogliserin, maka nyeri dapat diatasi
dengan pemberian analgesik opioid berupa morfin. Morfin diberikan
dengan dosis 2–4 mg, dan dapat diulangi 5–15 menit kemudian bila nyeri
tidak berkurang. Dosis maksimal adalah pemberian total 20 mg.
b. Terapi Reperfusi
Tujuan penanganan IMA adalah untuk mengembalikan perfusi arteria coroner
sesegera mungkin. Pada kasus NSTEMI, terapi reperfusi dapat ditunda sesuai
dengan stratifikasi risiko. Sedangkan pada kasus STEMI dengan onset ≤12
jam, terapi reperfusi secara mekanik atau farmakologis harus dilakukan
secepatnya.
Selain itu, pasien yang datang ke rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas terapi
reperfusi juga harus segera dirujuk ke fasilitas yang memadai, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Bila pasien didiagnosa IMA di rumah sakit yang memiliki fasilitas pPCI, maka
dilakukan pPCI dalam kurang dari 90 menit
2. Bila pasien datang ke rumah sakit tanpa pPCI, maka harus segera dirujuk ke
ke rumah sakit dengan fasilitas pPCI dalam waktu tempuh kurang dari 120
menit.
3. Bila rumah sakit dengan fasilitas pPCI membutuhkan waktu tempuh lebih dari
120 menit, maka lakukan terapi reperfusi segera dengan fibrinolisis dalam
waktu kurang dari 30 menit, lalu rujuk segera ke rumah sakit dengan fasilitas
pPCI
4. Setelah pemberian fibrinolisis dan rujukan ke fasilitas pPCI, bila terapi
fibrinolisis sebelumnya tidak berhasil, segera lanjutkan dengan tindakan pPCI.
Bila berhasil maka dilakukan angiografi
DAFTAR PUSTAKA
Alaour B, Liew F, Kaier TE. Cardiac Troponin - diagnostic problems and impact on
cardiovascular disease. Ann Med. 2018 Dec;50(8):655-665.
Anderson JL, Morrow DA. Acute myocardial infarction. New England Journal of Medicine.
2017 May 25;376(21):2053-64.
Barberi C, van den Hondel KE. The use of cardiac troponin T (cTnT) in the postmortem
diagnosis of acute myocardial infarction and sudden cardiac death: A systematic review.
Forensic Sci Int. 2018 Nov;292:27-38.
Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H, Caforio AL, Crea
F, Goudevenos JA, Halvorsen S, Hindricks G. 2017 ESC Guidelines for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task
Force for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal.
2018 Jan 7;39(2):119-77.
Levine GN, Bates ER, Bittl JA, Brindis RG, Fihn SD, Fleisher LA, Granger CB, Lange RA,
Mack MJ, Mauri L, Mehran R. 2016 ACC/AHA guideline focused update on duration of dual
antiplatelet therapy in patients with coronary artery disease: a report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines.
Journal of the American College of Cardiology. 2016 Sep 6;68(10):1082-115.
Nascimento BR, Brant LCC, Marino BCA, Passaglia LG, Ribeiro ALP. Implementing
myocardial infarction systems of care in low/middle-income countries. Heart. 2019
Jan;105(1):20-26.
Reed GW, Rossi JE, Cannon CP. Acute myocardial infarction. The Lancet. 2017 Jan
14;389(10065):197-210.