I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang meliputi
bagian timur Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini memiliki ibu kota di Kota Kupang dan
memiliki 22 kabupaten/kota. Secara geografis, wilayah NTT terletak di antara BB 118° and
125°, BS 118° and 125°, dan BT 8° and 12°.
Gambar 1. Posisi geografis Nusa Tenggara Timur di Indonesia (Kuswanto, dkk., 2019)
Tahun 2020, penduduk provinsi ini berjumlah 5.325.566 jiwa, dengan kepadatan 111
jiwa/km2. Penduduk terbanyak berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (8,58 persen),
sedangkan Penduduk paling sedikit berada di Kabupaten Sumba Tengah (1,33 persen). Mata
pencaharian mayoritas masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah di bidang pertanian.
NTT termasuk daerah rawan bencana alam seperti gunung meletus, kekeringan, banjir,
longsor, puting beliung, abrasi pantai, dan gelombang pasang. Hal itu tak lepas dari letak
geografisnya yang berada dalam Ring of The Fire atau di atas lingkaran gunung api. Nusa
Tenggara Timur terdiri dari beberapa pulau yang didominasi oleh dataran tinggi dengan
kondisi iklim yang sangat kering. Keringnya iklim ini dikarenakan oleh posisi geografisnya
yang relatif berdekatan dengan Australia yang sebagian besar beriklim gurun. Walaupun
propinsi ini merupakan propinsi kepulauan, kelembaban udara di daerah ini relatif rendah,
terutama pada bulan-bulan ketika angin bertiup dari daratan Australia. Sehingga.
Nusa Tenggara Timur memiliki periode basah yang sangat singkat, dimana dalam
setahun musim hujan berlangsung selama 5 bulan (November – Maret), dan musim kemarau
berlangsung selama 7 bulan (April – Oktober) (Faqih, dkk, 2015). Rata-rata jumlah hari hujan
berkisar antara 44 hingga 61 hari per tahun, dan suhu maksimum rata-rata adalah 33,2 Celcius.
Keragaman iklim pada wilayah NTT erat kaitannya dengan pola monsoonal (musiman) yang
dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan, yaitu pada
Januari atau Februari).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, pada 2017, sebanyak
11 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) dilanda musim kemarau parah. Situasi ini
berdampak pada 640.048 penduduk di 127.940 rumah tangga, dan diklaim sebagai kondisi
kekeringan terparah dalam 5 tahun terakhir. Karakteristik kekeringan berbeda antar daerah
tergantung pada situasi meteorologi dan hidrologi setempat. Keparahan kekeringan diukur
tidak hanya dari durasi dan besarnya, tetapi juga dari dampak yang ditimbulkan. Hal ini
membuat tingkat keparahan kekeringan lebih sulit untuk diidentifikasi dan diukur (Wilhite et
al., 2000). Salah satu bagian dari strategi kekeringan adalah pemetaan yang berisi informasi
daerah potensial dilanda kekeringan sehingga dapat memprediksi kekeringan dan
memberikan peringatan dini terkait kekeringan.
Pemetaan risiko kekeringan ini difokuskan untuk NTT karena berdasarkan penjelasan
sebelumnya, kabupaten-kabupaten di NTT masuk dalam prioritas pertama terkait dampak
kekeringan yang dialami. Pemetaan risiko kekeringan ini bermanfaat dalam memberikan
kualitas data yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengarahkan tindakan
masyarakat untuk mengurangi risiko terjadinya kekeringan di suatu daerah. Selain itu,
pemetaan risiko juga menyajikan bagaimana risiko dapat dikomunikasikan dengan cara yang
mudah dipahami (Neil, 2012).
Penginderaan jauh dapat menyediakan informasi spasial yang dapat menjangkau
wilayah yang luas dan informasi multi-temporal yang dapat dimanfaatkan untuk
mengantisipasi kekeringan (Surmaini, 2016). Data penginderaan jauh dapat berupa citra
maupun non-citra. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud
aslinya atau paling tidak berupa gambaran planimetriknya, sehingga citra merupakan keluaran
suatu sistem perekaman data bersifat optik, analog, dan digital. Data non-citra dapat berupa
grafik, diagram, dan numerik (Purwadhi, 2001).
I.2. Tujuan
Memetakan Bencana Kekeringan Akibat Pengaruh Iklim Global di NTT dan
Dampaknya Terhadap Masyarakat.
1. Kekeringan bidang meteorologi didefinisikan sebagai defisit curah hujan atas wilayah
untuk jangka waktu tertentu. Curah hujan umumnya digunakan untuk analisis
kekeringan meteorologi. Mengingat kekeringan sebagai defisit curah hujan terkait
dengan nilai rata rata, beberapa penelitian telah menganalisis kekeringan
menggunakan data curah hujan bulanan. Pendekatan lain menganalisis durasi dan
intensitas kekeringan dalam kaitannya dengan curah hujan kumulatif.
2. Kekeringan bidang hidrologi berhubungan dengan periode dimana aliran permukaan
dan aliran bawah permukaan tidak memadai untuk diberikan kepada penggunaan air
dari suatu sistem manajemen sumber daya air. Data debit sungai telah banyak
diterapkan untuk menganalisis kekeringan hidrologi. Hasil analisis regresi
mengindikasikan faktor geologi merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi kekeringan hidrologi.
3. Kekeringan bidang pertanian biasanya mengacu pada periode dengan penurunan
kelembaban tanah dan gagal panen akibat penurunan sumber daya air permukaan.
Sebuah penurunan kelembaban tanah tergantung pada beberapa faktor yang
mempengaruhi kekeringan meteorologi dan hidrologi serta perbedaan antara
evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial. Kebutuhan air tanaman
tergantung pada kondisi cuaca yang berlaku, karakteristik biologis dari tanaman
tertentu dan tahap pertumbuhan, dan sifat fisik serta biologis tanah. Beberapa indeks
kekeringan, berdasarkan kombinasi curah hujan, suhu, dan kelembaban tanah, telah
diturunkan untuk mempelajari kekeringan pertanian.
4. Kekeringan bidang sosial-ekonomi dikaitkan dengan kegagalan sistem sumber daya
air untuk memenuhi kebutuhan air dan mengaitkan antar pasokan permintaan (air
sebagai barang ekonomi) terjadi ketika permintaan untuk barang ekonomi melebihi
pasokan yang tersedia sebagai akibat dari kekurangan penyediaan air.
Pengelolaan kekeringan yang tepat memerlukan pengetahuan tentang frekuensi curah hujan
yang diharapkan dalam jumlah rendah di daerah tertentu dan dalam berbagai kondisi periode
ulang. Pendekatan probabilistik biasanya digunakan untuk memperkirakan periode ulang rata-
rata kekeringan.
Pada penelitian Kuswanto dkk (2021), analisis kekeringan dilakukan dengan
menggunakan Regional Frequency Analysis (RFA). Salah satu keunggulan RFA adalah
kemampuannya untuk menghasilkan perkiraan periode ulang kekeringan yang kemudian
dapat digunakan untuk pemetaan risiko kekeringan. Selanjutnya, konsep regionalisasi dalam
RFA memungkinkan penggunaan data dari stasiun lain di suatu wilayah untuk
memperkirakan kejadian kuantil untuk setiap stasiun di wilayah homogen itu. RFA telah
diterapkan secara luas untuk memperkirakan periode ulang berbagai variabel yang
berhubungan dengan cuaca. Identifikasi wilayah homogen dilakukan dengan menggunakan
analisis klaster, berdasarkan garis lintang, garis bujur, ketinggian tempat, dan curah hujan
rata-rata harian yang tercatat di setiap stasiun. Lima distribusi berbeda yang umum digunakan
dalam RFA adalah generalized extreme value (GEV), generalized logistic (GLO), Pearson
tipe III (PE3), generalized Pareto (GPA), dan generalized normal (GNO). Distribusi ini dapat
memperkirakan kuantil bawah dan atas curah hujan.
Kekeringan juga dapat ditinjau dengan menggunakan metode Standardized
Precipitation Index (SPI), metode ini merupakan model untuk mengukur kekurangan curah
hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Kekeringan yang digunakan
pada metode SPI adalah kekeringan meteorologis yang merupakan besaran curah hujan yang
terjadi di bawah kondisi normal pada suatu musim (Utami, dkk 2013). Tujuan
dikembangkannya metode ini adalah untuk mengetahui dan memonitoring kekeringan
(Muliawan et al, 2013). Metode SPI banyak digunakan dalam menganalisis kekeringan.
Menurut Bordi et al (2009) metode SPI banyak digunakan karena dapat memberikan
perbandingan yang handal dan relatif mudah digunakan pada kondisi iklim dan tempat yang
berbeda. Bokal (2011) menambahkan bahwa metode SPI memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari metode SPI adalah sederhana dengan input hujan serta mampu menjelaskan
kekeringan menggunakan skala waktu dan dapat mengidentifikasi kering dan basah dengan
cara yang sama. Sedangkan kelemahan SPI adalah menggunakan seri waktu variabel hujan
yang cukup panjang dan handal dan hanya dapat menjelaskan kekeringan meteorologi. Untuk
penghitungan nilai SPI berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan sebagai fungsi
frekuensi atau peluang kejadian, adalah sebagai berikut (McKee et al 2005; Edwards and
McKee, 1997):
Nilai a dan b diestimasi untuk setiap stasiun hujan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Dimana g(x) adalah fungsi dari sebaran gamma, x adalah jumlah curah hujan (mm/bulan),
Ã(á) adalah fungsi gamma, e adalah eksponensial, a adalah parameter shape (a > 0), b adalah
parameter skala (b > 0), n jumlah data hujan yang di observasi dan x adalah rata-rata curah
hujan. Parameter yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengetahui kemungkinan
komulatif selama rentang waktu penelitian. Kemungkinan komulatif G(x) dihitung dengan
menggunakan persamaan:
Fungsi gamma tidak terdefinisi bila x = 0 dan distribusi curah hujan bisa berisi angka nol,
maka kemungkinan komulatif dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Dimana q kemungkinan kejadian tanpa hujan. Jika m adalah jumlah bulan tanpa kejadian
hujan selama rentang waktu penelitian, maka q dapat diestimasi dengan m/n. kemungkinan
komulatif H(x) kemudian ditransformasikan ke standar normal acak variabel Z dengan rata-
rata nol dan varian satu, yang didefinisikan sebagai nilai SPI.
dimana:
Nilai dalam SPI menunjukkan kondisi yang dibandingkan dengan curah hujan rata-rata.
Apabila nilai SPI positif berarti menunjukkan lebih besar dari curah hujan rata-rata. Apabila
nilai SPI negatif maka menunjukkan kurang dari hujan ratarata. Kategori kekeringan
berdasarkan nilai SPI menurut McKee, et al (1993) disajikan pada Tabel 1.
I.5. Metodelogi
Analisis kekeringan di Provinsi NTT dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode. Metode yang dapat digunakan untuk penelitian kekeringan di Provinsi NTT dalam
makalah ini, antara lain:
I.5.1. Metode SPI (Standardized Precipitation Index) dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu:
I.5.1.1. Penentuan SPI dari data yang bersumber dari stasiun pengamatan (dilihat dr situs
BMKG ) pada tahun 1999 sampai 2015 :
• mengagregatkan data curah hujan harian menjadi data curah hujan bulanan.
• mengkonversi data curah hujan bulanan menjadi nilai SPI sehingga didapatkan nilai
SPI pada masing-masing stasiun pengamatan.
• analisis statistika deskriptif untuk mengetahui karakteristik SPI untuk masing-
masing stasiun pengamatan.
I.5.1.2. Penentuan SPI dari data yang bersumber dari data satelit yaitu dengan
menggunakan data hujan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dan/atau
MERRA-2 (Modern-era retrospective analysis for research and applications).
Pengambilan data SPI dilakukan 3 bulanan menggunakan data yang diambil dari Juli
2002 sampai August 2018, memberikan perbandingan curah hujan selama periode 3
bulanan tertentu dengan total curah hujan dari periode 3 bulan yang sama untuk semua
tahun yang telah ada data historinya/ database. SPI 3 bulanan dapat mencerminkan
kondisi kelembapan jangka pendek dan menengah serta mencerminkan estimasi curah
hujan pada suatu musim.
I.5.2. Metode Return Periode
Menurut Haan (2002) dalam Inas, R. 2017, return period atau periode ulang adalah
rerata selang waktu terjadinya suatu kejadian dengan suatu besaran tertentu atau lebih besar.
Return period dapat dirancang untuk waktu 5, 25, dan 50 tahun atau yang lainnya (biasanya
kelipatan berjenjang). Return period dibangun dengan menentukan jenis sebaran yang cocok
dengan data yang digunakan. Pemilihan sebaran tersebut dilakukan dengan Chi-square (x2)
test pada taraf uji 5%. Uji x2 untuk mengukur perbedaan relatif antara frekuensi hasil
pengamatan dengan frekuensi yang diharapkan dari sebuah distribusi teoritis,jika sampel
berasal dari distribusi teoritis yang diujikan. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut:
H : data mengikuti sebaran (distribusi) teoritis yang diuji
H0 : data tidak mengikuti sebaran (distribusi) teoritis yang diuji
Adapun proses perhitungan untuk uji dilakukan dengan langkah berikut:
a. Menghitung Jumlah Kelas (K)
- Pemetaan indeks kekeringan dari penghitungan SPI yang bersumber dari data satelit
TRMM dan MERRA-2 sebagai berikut (Kuswanto, 2019):
Gambar 5a Gambar 5b
Gambar. 5a dan 5b Pemetaan daerah kekeringan Provinsi NTT berdasarkan nilai SPI dari
data (Gambar 5a). TRMM dan (Gambar 5b). MERRA-2
Berdasarkan hasil pemetaan indeks kekeringan dapat dilihat bahwa potensi
kekeringan terjadi di beberapa daerah di NTT.
II.3. Hasil Pemetaan Metode RFA
Berdasarkan analisis klaster, perhitungan L- momen, pengukuran ketidaksesuaaian,
dan uji heterogenitas yang dilakukan dari data yang diperoleh dari sembilan stasiun hujan di
Provinsi NTT, terdapat limas klaster. Dengan menggunakan homogenitas di antara stasiun-
stasiun dalam klaster, dapat disimpulkan bahwa satu stasiun hujan mewakili wilayah di mana
stasiun itu berada. Wilayah yang berada pada Stasiun Hujan Komodo tergolong dalam klaster
1, Stasiun Frans tergolong dalam klaster 2, Klaster 3 terdiri dari wilayah Stasiun Hujan
Fransiskus Xaverius, Stasiun Hujan Mali, dan Gewayantana, Klaster 4 terdiri dari wilayah
Stasiun Hujan Umbu dan Stasiun Hujan Tandanu, sedangkan Klaster 5 terdiri dari Stasiun
Hujan Kupang dan Stasiun Hujan Eltari. Pembagian lima klaster dapat dilihat pada Gambar
6.
Gambar 6. Pembagian Klaster Untuk Stasiun Hujan Berdasarkan Analisis dan Perhitungan
dalam Metode RFA
Distribusi yang sesuai yang dapat digunakan berdasarkan perhitungam untuk
identifikasi distribusi regional setiap klaster adalah PE3. Estimasi periode ulang tercepat
untuk kondisi kekeringan adalah sebesar 40% dari curah hujan normal. Sementara
perbandingan periode ulang untuk beberapa kondisi kekeringan ekstrem menunjukkan
periode ulang kurang dari lima tahun, kekeringan ekstrem dapat terjadi ketika curah hujan
kurang dari 20% dari kondisi normal. Semakin kecil presentase rata-rata curah hujan dan
periode pengulangan, maka semakin berpotensi wilayah tersebut mengalami kekeringan.
Berdasarkan identifikasi distribusi regional dan penghitungan periode ulang Klaster 3 yaitu
wilayah Stasiun Hujan Fransiskus Xaverius, Stasiun Hujan Mali, dan Gewayantana dan
Klaster 5 yang terdiri dari wilayah Stasiun Hujan Kupang dan Stasiun Hujan Eltari berpotensi
mengalami kekeringan ekstrem sebesar 20% dari curah hujan normal kurang dari empat tahun
setelah kejadian sebelumnya. Perhitungan potensi kekeringan berdasarkan klaster dapat
dilihat pada Tabel 3.
c. Peta durasi kekeringan dan magnitude (SPI) return period (50 tahunan)
Hasil pemetaan berdasarkan prediksi return period 5, 25, dan 50 tahun memberikan
hasil bahwa Stasiun Meteorologi Gewayantana merupakan stasiun dengan nilai tertinggi
durasi dan magnitude untuk masing-masing return period. Sedangkan Stasiun Meteorologi
Komodo dan Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega cenderung memiliki nilai durasi dan
magnitude terendah jika dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya.
III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Makala ini mengkaji beberapa metode untuk melakukan pemeteaan kekeringan
diantaranya : Motode SPI menggunakan data stasiun hujan, SPI menggunakan data citra
satelit dan Metode RFA diperoleh hasil:
• Berdasarkan pemetaan kekeringan menggunakan metode SPI dengan menggunakan 7
stasiun hujan pada tahaun 1999- 2015 diperoleh hasil pemetaan berdasarkan prediksi
return period 5, 25, dan 50 tahun memberikan hasil bahwa Stasiun Meteorologi
Gewayantana (bagian timur Provinsi NTT) merupakan stasiun dengan nilai tertinggi
durasi dan magnitude untuk masing-masing return period. Sedangkan Stasiun
Meteorologi Komodo dan Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega (dua stasiun yang
mewakili bagian barat Provinsi NTT) cenderung memiliki nilai durasi dan magnitude
terendah jika dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya.
• Berdasarkan pemetaan kekeringan metode SPI menggunakan data satelit TRMM dan
MERRA-2 tahun 2002 sampai dengan 2017 dihasilkan bahwa wilayah NTT memiliki
potensi kekeringan yang tinggi dan tersebar tidak merata.
• Berdasarkan pemetaan kekeringan metode analisis RFA dari tahun 2005 hingga 2017
menggunakan pengambilan data curah hujan dari 9 stasiun hujan diperoleh hasil 5
klaster, dimana klaster 3 yang terletak di bagian timur NTT (wilayah Stasiun Hujan
Fransiskus Xaverius, Stasiun Hujan Mali, dan Gewayantana) dan klaster 5 (wilayah
Stasiun Hujan Stasiun Hujan Kupang dan Stasiun Hujan Eltari) berpotensi mengalami
kekeringan ekstrem.
Berdasarkan distribusi spasial/peta kekeringan dari metode SPI dan RFA ditemukan
pola distribusi bahwa wilayah NTT bagian timur memiliki potensi tinggi mengalami
kekeringan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang kekeringan, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi kekeringan di NTT adalah: musim hujan yang pendek, evapotranspirasi,
bentuk DAS yang kecil, pengarah perubahan tutupan lahan menyebabkan ketersediaan air
menjadi sedikit, pengaruh El-Nino dan Angin Muson Timur. Kekeringan juga merupakan
peristiwa iklim yang sangat mempengaruhi ekosistem, mata pencaharian, dan perkembangan
sosial ekonomi suatu wilayah. Dampak kekeringan terhadap mata pencaharian banyak
mendapat perhatian karena banyak berdampak pada sektor lain, termasuk aspek sosial
ekonomi.
III.2. Saran
Untuk mengatasi kekeringan di NTT perlu dilakukan sebuah kebijakan dan terobosan
untuk membangun sumur resapan dan waduk sehingga runoff tidak cepat mengalir ke laut,
karena provinsi NTT merupakan provinsi yang memiliki banyak pulau-pulau kecil. Begitu
juga terkait dengan keakuratan hasil prakiraan cuaca dari pemerintah (BMKG) perlu di
tingkatkan agar para petani di NTT dapat menerapkan strategi pertanian yang akurat untuk
meminimalisir kerugian akibat gagal panen.
DAFTAR PUSTAKA
Faqih, A., D.J Jadmiko & A.S Geru. 2015. Keragaman dan Perubahan Iklim Nusa Tenggara
Timur. UNDP-SPARC Project. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Inas, Rosyida, 2017. Tugas Akhir : Pemetaan Risiko Kekeringan Di Nusa Tenggara Timur
Berdasarkan Prediksi Return Period. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Indarto dan Arif Faisol. 2012. Konsep Dasar Analisis Spasial. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Kuswanto, Heri, and Achmad Naufal. 2019. Evaluation of performance of drought prediction
in Indonesia based on TRMM and MERRA-2 using machine learning methods.
MethodsX 6. 1238–1251. https://doi.org/10.1016/j.mex.2019.05.029.
Kuswanto, Heri , Anggi Wahyu Puspa , Imam Safawi Ahmad , and Fausania Hibatullah.
Drought Analysis In East Nusa Tenggara ( Indonesia) Using Regional Frequency
Analysis. Scientific World Journal Volume. 2021. https://doi.org/10.1155/2021/6626102
Kuswanto, H., Hibatullah, F., & Soedjono, E. S. (2019). Perception of weather and seasonal
drought forecasts and its impact on livelihood in East Nusa Tenggara, Indonesia. Heliyon,
5(8), e02360. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e02360
Markus, J.E.R., R. Natonis., I.W Nampa., A. McWilliam., I.W Mudita., N. Stacey & W.
Bunga. 2016. Black Rock Bounty (Womens Experiences of Artisanal Manganese Mining
in West Timor). Presentation in the International Conference of Artisanal Mining For
Development In Eastern Indonesia. Jakarta.
Mella, W.I.I., Y. Seran Mau., J. Suek., N.P.L.B Riwu Kaho., C. Kolo & J.E.R Markus. 2015.
Baseline Survey - Green Skills Initiative Youth Economic Empowerment (YEE) Project.
PLAN International. Kupang.
Mishra, Ashok K, and Vijay P Singh, (2010), A Review of Drought Concepts, Journal of
Hydrology 391 (1-2): 202-216.
Niemeyer, Stefan, (2008), New Drought Indices, Institute for Environment and Sustainability,
Italy.
Parwata, I. G. M. A., Indradewa, D., Yudono, P., Kertonegoro, B. D., & Kusmarwiyah, R.
(2014). Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
terhadap Cekaman Kekeringan di Lahan Pasir Pantai pada Tahun Pertama Siklus
Produksi. Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy), 42(1).