Anda di halaman 1dari 27

Pemetaan Bencana Kekeringan Akibat Pengaruh Iklim Global di NTT

Serta Dampaknya Terhadap Masyarakat

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang meliputi
bagian timur Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini memiliki ibu kota di Kota Kupang dan
memiliki 22 kabupaten/kota. Secara geografis, wilayah NTT terletak di antara BB 118° and
125°, BS 118° and 125°, dan BT 8° and 12°.

Gambar 1. Posisi geografis Nusa Tenggara Timur di Indonesia (Kuswanto, dkk., 2019)
Tahun 2020, penduduk provinsi ini berjumlah 5.325.566 jiwa, dengan kepadatan 111
jiwa/km2. Penduduk terbanyak berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (8,58 persen),
sedangkan Penduduk paling sedikit berada di Kabupaten Sumba Tengah (1,33 persen). Mata
pencaharian mayoritas masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah di bidang pertanian.
NTT termasuk daerah rawan bencana alam seperti gunung meletus, kekeringan, banjir,
longsor, puting beliung, abrasi pantai, dan gelombang pasang. Hal itu tak lepas dari letak
geografisnya yang berada dalam Ring of The Fire atau di atas lingkaran gunung api. Nusa
Tenggara Timur terdiri dari beberapa pulau yang didominasi oleh dataran tinggi dengan
kondisi iklim yang sangat kering. Keringnya iklim ini dikarenakan oleh posisi geografisnya
yang relatif berdekatan dengan Australia yang sebagian besar beriklim gurun. Walaupun
propinsi ini merupakan propinsi kepulauan, kelembaban udara di daerah ini relatif rendah,
terutama pada bulan-bulan ketika angin bertiup dari daratan Australia. Sehingga.
Nusa Tenggara Timur memiliki periode basah yang sangat singkat, dimana dalam
setahun musim hujan berlangsung selama 5 bulan (November – Maret), dan musim kemarau
berlangsung selama 7 bulan (April – Oktober) (Faqih, dkk, 2015). Rata-rata jumlah hari hujan
berkisar antara 44 hingga 61 hari per tahun, dan suhu maksimum rata-rata adalah 33,2 Celcius.
Keragaman iklim pada wilayah NTT erat kaitannya dengan pola monsoonal (musiman) yang
dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan, yaitu pada
Januari atau Februari).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, pada 2017, sebanyak
11 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) dilanda musim kemarau parah. Situasi ini
berdampak pada 640.048 penduduk di 127.940 rumah tangga, dan diklaim sebagai kondisi
kekeringan terparah dalam 5 tahun terakhir. Karakteristik kekeringan berbeda antar daerah
tergantung pada situasi meteorologi dan hidrologi setempat. Keparahan kekeringan diukur
tidak hanya dari durasi dan besarnya, tetapi juga dari dampak yang ditimbulkan. Hal ini
membuat tingkat keparahan kekeringan lebih sulit untuk diidentifikasi dan diukur (Wilhite et
al., 2000). Salah satu bagian dari strategi kekeringan adalah pemetaan yang berisi informasi
daerah potensial dilanda kekeringan sehingga dapat memprediksi kekeringan dan
memberikan peringatan dini terkait kekeringan.
Pemetaan risiko kekeringan ini difokuskan untuk NTT karena berdasarkan penjelasan
sebelumnya, kabupaten-kabupaten di NTT masuk dalam prioritas pertama terkait dampak
kekeringan yang dialami. Pemetaan risiko kekeringan ini bermanfaat dalam memberikan
kualitas data yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengarahkan tindakan
masyarakat untuk mengurangi risiko terjadinya kekeringan di suatu daerah. Selain itu,
pemetaan risiko juga menyajikan bagaimana risiko dapat dikomunikasikan dengan cara yang
mudah dipahami (Neil, 2012).
Penginderaan jauh dapat menyediakan informasi spasial yang dapat menjangkau
wilayah yang luas dan informasi multi-temporal yang dapat dimanfaatkan untuk
mengantisipasi kekeringan (Surmaini, 2016). Data penginderaan jauh dapat berupa citra
maupun non-citra. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud
aslinya atau paling tidak berupa gambaran planimetriknya, sehingga citra merupakan keluaran
suatu sistem perekaman data bersifat optik, analog, dan digital. Data non-citra dapat berupa
grafik, diagram, dan numerik (Purwadhi, 2001).

I.2. Tujuan
Memetakan Bencana Kekeringan Akibat Pengaruh Iklim Global di NTT dan
Dampaknya Terhadap Masyarakat.

I.3. Batasan Masalah


Fokus pada makala ini hanya pada kejadian di Provinsi NTT.
I.4. Tinjauan Pustaka
Musim hujan dan musim kemarau di Nusa Tenggara Timur (NTT) terjadi berdasarkan
monsun yang berlangsung periodik, yakni monsun Asia (Desember-Januari-Februari) dan
monsum Australia (Juni-Juli-Agustus) dimana monsum tercipta karena perbedaan tekanan
udara wilayah utara-selatan. Pola monsun menyebabkan anggapan Provinsi NTT merupakan
daerah kering karena durasi musim hujan yang singkat. Berdasarkan analisis SIG terhadap
data WorldCLim yang diambil dalam Jurnal Riwu Kaho, 2014 menggambarkan distribusi
hujan di Provinsi NTT (Gambar 2.)

Gambar 2. Total Hujan Tahunan dan sebarannya di Provinsi NTT


Hasil analisis data WorldClim merupakan interpolasi data hujan selama 40 tahun
(tahun 1970 s/d tahun 2000), berdasarkan hasilnya selama periode tersebut hujan tahunan di
NTT yang bernilai < 1000 mm/tahun sebaran secara spasial seluas 121.037,5 ha (2,61%)
terutama terletak pada sebagian daerah pesisir bagian utara Kabupaten Sumba Timur. Kelas
yang paling dominan adalah hujan tahunan 1250-1500 mm/tahun dengan cakupan (43,84%)
dan curah hujan >1750mm/tahun seluas 20,16% dari wilayah NTT.
Selain faktor hujan sebagai input sumber air, daerah aliran sungai (DAS) merupakan
processor dari hujan yang sampai ke bumi sehingga akan sangat menentukan output dalam
bentuk kuantitas, kualitas dan kontinuitas ketersediaan air. Provinsi NTT yang berbentuk
gugusan kepulauan mempengaruhi ukuran DAS yang relatif kecil. Berdasarkan data Badan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina (2014) Provinsi NTT memiliki 1.122
DAS dan hanya 4 DAS yang memiliki ukuran paling besar yakni DAS Benain dan Noelmina
di pulau Timor Barat, DAS Kambaniru di pulau Sumba dan DAS Aesesa di pulau Flores.
Mengacu pada Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS (Dirjen BPDAS-PS, 2013), maka ke
empat DAS tersebut digolongkan sebagai DAS berukuran sedang. Dikarenakan bentuk
penampang DAS yang berukuran kecil dimana DAS berfungsi sebagai pemroses input
presipitasi maka ketersediaan dan kontinuitas air menjadi penghambat jika tidak dilakukan
konservasi tanah menyebabkan air akan hilang karena diperlukan menahan air selama
mungkin di permukaan maupun air tanah yang merupakan aliran dasar saat musim kemarau.
Pemetaan merupakan wujud representasi dari realitas permukaan bumi baik yang
bersifat kenampakan/fenomena alam yang sederhana maupun kompleks. Dalam
perkembangannya ilmu Sistem Informasi Geografis mengenal istilah analisis spasial yang
akan membantu mewujudkan representasi fenomena di permukaan bumi yang kompleks
menjadi wujud peta yang akan memudahkan dalam memahami, mendeskripsikan, dan
memprediksi bagaimana fenomena atau realitas berjalan pada dunia nyata (Indarto dan Arif
Faisol, 2012). Menurut McCoy dan Johnston, 2001 ada dua jenis model dalam kerangka
analisis spasial, yaitu :
1. Model Berbasis Representasi : pada dasarnya mendeskripsikan objek-objek di
permukaan bumi (bangunan, hutan, sungai, dll) melalui bentuk data spasial baik vektor
maupun piksel. Data spasial tersebut kemudian memiliki nilai atau variabel yang biasa
disebut atribut data spasial. Model representatif berfungsi untuk mengetahui hubungan
spasial antara objek satu dengan lainnya dipermukaan bumi yang biasanya dapat
diketahui dengan cara menumpangsusunkan beberapa data spasial menjadi satu data
spasial. Model ini juga dapat disebut model deskriptif
2. Model Proses : digunakan untuk menggambarkan interaksi antar objek yang telah
diproses melalui model representatif. wujud interaksi tersebut dimodelkan
menggunakan berbagai macam alat/tools analisis spasial yang isinya berbagai
algortima/fungsi/operasi dalam bentuk bahasa pemrograman. Model ini kerap
digunakan dalam memprediksi apa yang akan terjadi sebagai akibat suatu fenomena
atau kejadian alam/non alam tertentu.
Raharjo dan Dwi, tahun 2010 mendefinisikan kekeringan secara umum sebagai
pengurangan persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di
bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu tertentu Sedangkan menurut
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan
kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup,
pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan (Inas R., 2017). Kekeringan adalah salah satu
bencana yang ditandai dengan keadaan kurangnya pasokan air pada suatu wilayah dalam
jangka waktu berkepanjangan (berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kekurangan pasokan air
dalam waktu yang lama akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan, pertanian, kegiatan
ekonomi dan lingkungan. Parwata et al ( 2014 ) mendefinisikan kekeringan sebagai hubungan
antara ketersediaan air yang berada dibawah minimal kebutuhan air untuk hidup, lingkungan
serta ekonomi.
Wilhite (2010) menyatakan bahwa kekeringan berbeda dari bencana alam lainnya
pada 4 (empat) hal, yaitu:
1. Karena kekeringan merayap, berakumulasi secara lambat, maka awal dan akhir
terjadinya sulit ditentukan.
2. Tiadanya definisi yang tepat dan berlaku umum membuat kerancuan apakah telah
terjadi kekeringan, dan jika terjadi bagaimana tingkat kekeringannya. Walaupun
banyak terdapat definisi tetapi tidak ada yang dapat sekaligus memberikan arti yang
tepat untuk para ilmuwan, pengambil keputusan, dan masyarakat luas. Contohnya,
batas untuk menyatakan kekeringan pada umumnya tidak terkait langsung dengan
dampak spesifik pada sektor ekonomi.
3. Dampak kekeringan adalah non-struktural, tidak seperti banjir, tanah longsor, dan
badai yang menimbulkan kerusakan struktur secara nyata. Dampaknya menyebar lebih
luas, tidak terlokalisir seperti bencana alam lainnya.
4. Terdapat berbagai jenis kekeringan, dengan parameter yang berbeda, antara lain
kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi.

Kekeringan umumnya dikelompokkan dalam empat kategori bidang yang meliputi


(Mishra dkk, 2010):

1. Kekeringan bidang meteorologi didefinisikan sebagai defisit curah hujan atas wilayah
untuk jangka waktu tertentu. Curah hujan umumnya digunakan untuk analisis
kekeringan meteorologi. Mengingat kekeringan sebagai defisit curah hujan terkait
dengan nilai rata rata, beberapa penelitian telah menganalisis kekeringan
menggunakan data curah hujan bulanan. Pendekatan lain menganalisis durasi dan
intensitas kekeringan dalam kaitannya dengan curah hujan kumulatif.
2. Kekeringan bidang hidrologi berhubungan dengan periode dimana aliran permukaan
dan aliran bawah permukaan tidak memadai untuk diberikan kepada penggunaan air
dari suatu sistem manajemen sumber daya air. Data debit sungai telah banyak
diterapkan untuk menganalisis kekeringan hidrologi. Hasil analisis regresi
mengindikasikan faktor geologi merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi kekeringan hidrologi.
3. Kekeringan bidang pertanian biasanya mengacu pada periode dengan penurunan
kelembaban tanah dan gagal panen akibat penurunan sumber daya air permukaan.
Sebuah penurunan kelembaban tanah tergantung pada beberapa faktor yang
mempengaruhi kekeringan meteorologi dan hidrologi serta perbedaan antara
evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial. Kebutuhan air tanaman
tergantung pada kondisi cuaca yang berlaku, karakteristik biologis dari tanaman
tertentu dan tahap pertumbuhan, dan sifat fisik serta biologis tanah. Beberapa indeks
kekeringan, berdasarkan kombinasi curah hujan, suhu, dan kelembaban tanah, telah
diturunkan untuk mempelajari kekeringan pertanian.
4. Kekeringan bidang sosial-ekonomi dikaitkan dengan kegagalan sistem sumber daya
air untuk memenuhi kebutuhan air dan mengaitkan antar pasokan permintaan (air
sebagai barang ekonomi) terjadi ketika permintaan untuk barang ekonomi melebihi
pasokan yang tersedia sebagai akibat dari kekurangan penyediaan air.

Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau,


dan mengevaluasi kejadian kekeringan. Kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang
membuat tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia.
Demikian pula tidak ada sebuah indeks kekeringan yang berlaku universal (Niemeyer, 2008).

Pengelolaan kekeringan yang tepat memerlukan pengetahuan tentang frekuensi curah hujan
yang diharapkan dalam jumlah rendah di daerah tertentu dan dalam berbagai kondisi periode
ulang. Pendekatan probabilistik biasanya digunakan untuk memperkirakan periode ulang rata-
rata kekeringan.
Pada penelitian Kuswanto dkk (2021), analisis kekeringan dilakukan dengan
menggunakan Regional Frequency Analysis (RFA). Salah satu keunggulan RFA adalah
kemampuannya untuk menghasilkan perkiraan periode ulang kekeringan yang kemudian
dapat digunakan untuk pemetaan risiko kekeringan. Selanjutnya, konsep regionalisasi dalam
RFA memungkinkan penggunaan data dari stasiun lain di suatu wilayah untuk
memperkirakan kejadian kuantil untuk setiap stasiun di wilayah homogen itu. RFA telah
diterapkan secara luas untuk memperkirakan periode ulang berbagai variabel yang
berhubungan dengan cuaca. Identifikasi wilayah homogen dilakukan dengan menggunakan
analisis klaster, berdasarkan garis lintang, garis bujur, ketinggian tempat, dan curah hujan
rata-rata harian yang tercatat di setiap stasiun. Lima distribusi berbeda yang umum digunakan
dalam RFA adalah generalized extreme value (GEV), generalized logistic (GLO), Pearson
tipe III (PE3), generalized Pareto (GPA), dan generalized normal (GNO). Distribusi ini dapat
memperkirakan kuantil bawah dan atas curah hujan.
Kekeringan juga dapat ditinjau dengan menggunakan metode Standardized
Precipitation Index (SPI), metode ini merupakan model untuk mengukur kekurangan curah
hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Kekeringan yang digunakan
pada metode SPI adalah kekeringan meteorologis yang merupakan besaran curah hujan yang
terjadi di bawah kondisi normal pada suatu musim (Utami, dkk 2013). Tujuan
dikembangkannya metode ini adalah untuk mengetahui dan memonitoring kekeringan
(Muliawan et al, 2013). Metode SPI banyak digunakan dalam menganalisis kekeringan.
Menurut Bordi et al (2009) metode SPI banyak digunakan karena dapat memberikan
perbandingan yang handal dan relatif mudah digunakan pada kondisi iklim dan tempat yang
berbeda. Bokal (2011) menambahkan bahwa metode SPI memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari metode SPI adalah sederhana dengan input hujan serta mampu menjelaskan
kekeringan menggunakan skala waktu dan dapat mengidentifikasi kering dan basah dengan
cara yang sama. Sedangkan kelemahan SPI adalah menggunakan seri waktu variabel hujan
yang cukup panjang dan handal dan hanya dapat menjelaskan kekeringan meteorologi. Untuk
penghitungan nilai SPI berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan sebagai fungsi
frekuensi atau peluang kejadian, adalah sebagai berikut (McKee et al 2005; Edwards and
McKee, 1997):

Nilai a dan b diestimasi untuk setiap stasiun hujan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Dimana g(x) adalah fungsi dari sebaran gamma, x adalah jumlah curah hujan (mm/bulan),
Ã(á) adalah fungsi gamma, e adalah eksponensial, a adalah parameter shape (a > 0), b adalah
parameter skala (b > 0), n jumlah data hujan yang di observasi dan x adalah rata-rata curah
hujan. Parameter yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengetahui kemungkinan
komulatif selama rentang waktu penelitian. Kemungkinan komulatif G(x) dihitung dengan
menggunakan persamaan:

Dimana t = x / b, fungsi gamma dapat ditulis secara lengkap dengan:

Fungsi gamma tidak terdefinisi bila x = 0 dan distribusi curah hujan bisa berisi angka nol,
maka kemungkinan komulatif dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Dimana q kemungkinan kejadian tanpa hujan. Jika m adalah jumlah bulan tanpa kejadian
hujan selama rentang waktu penelitian, maka q dapat diestimasi dengan m/n. kemungkinan
komulatif H(x) kemudian ditransformasikan ke standar normal acak variabel Z dengan rata-
rata nol dan varian satu, yang didefinisikan sebagai nilai SPI.
dimana:

Nilai dalam SPI menunjukkan kondisi yang dibandingkan dengan curah hujan rata-rata.
Apabila nilai SPI positif berarti menunjukkan lebih besar dari curah hujan rata-rata. Apabila
nilai SPI negatif maka menunjukkan kurang dari hujan ratarata. Kategori kekeringan
berdasarkan nilai SPI menurut McKee, et al (1993) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Kekeringan

Prakiraan kekeringan musiman merupakan komponen penting dari sistem prediksi


kekeringan awal yang dapat memberikan peringatan lanjutan dan mengurang dampak
kekeringan (Pozzi dkk., 2013). Adopsi prakiraan musim sebagai teknologi pertanian
dipengaruhi oleh persepsi petani tentang prakiraan, seperti yang didokumentasikan oleh
Negatu dan Parikh (1999). Produk prakiraan lain yang telah dikembangkan dengan baik di
sektor pertanian untuk mendukung pengelolaan kekeringan adalah peramalan tanaman (Basso
dan Liu, 2018; Martins et al., 2018) dan prakiraan iklim musiman untuk produsen pertanian
(Klemm dan McPherson, 2017).
Hasil penelitian Shiferaw dkk. (2014) menunjukkan bahwa teknologi yang
menjanjikan, termasuk prakiraan iklim dan sistem peringatan dini, sangat penting untuk
manajemen risiko kekeringan yang efektif di Afrika Selatan untuk melindungi mata
pencaharian. Sejalan dengan ini,Taylor dkk. (2018) menunjukkan pentingnya prakiraan dan
sistem peringatan yang efektif serta mengkomunikasikan informasi prakiraan cuaca untuk
dukungan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan. Mempertimbangkan dampak
penting prakiraan cuaca dan kekeringan musiman terhadap penghidupan.

I.5. Metodelogi
Analisis kekeringan di Provinsi NTT dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode. Metode yang dapat digunakan untuk penelitian kekeringan di Provinsi NTT dalam
makalah ini, antara lain:
I.5.1. Metode SPI (Standardized Precipitation Index) dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu:
I.5.1.1. Penentuan SPI dari data yang bersumber dari stasiun pengamatan (dilihat dr situs
BMKG ) pada tahun 1999 sampai 2015 :
• mengagregatkan data curah hujan harian menjadi data curah hujan bulanan.
• mengkonversi data curah hujan bulanan menjadi nilai SPI sehingga didapatkan nilai
SPI pada masing-masing stasiun pengamatan.
• analisis statistika deskriptif untuk mengetahui karakteristik SPI untuk masing-
masing stasiun pengamatan.
I.5.1.2. Penentuan SPI dari data yang bersumber dari data satelit yaitu dengan
menggunakan data hujan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dan/atau
MERRA-2 (Modern-era retrospective analysis for research and applications).
Pengambilan data SPI dilakukan 3 bulanan menggunakan data yang diambil dari Juli
2002 sampai August 2018, memberikan perbandingan curah hujan selama periode 3
bulanan tertentu dengan total curah hujan dari periode 3 bulan yang sama untuk semua
tahun yang telah ada data historinya/ database. SPI 3 bulanan dapat mencerminkan
kondisi kelembapan jangka pendek dan menengah serta mencerminkan estimasi curah
hujan pada suatu musim.
I.5.2. Metode Return Periode
Menurut Haan (2002) dalam Inas, R. 2017, return period atau periode ulang adalah
rerata selang waktu terjadinya suatu kejadian dengan suatu besaran tertentu atau lebih besar.
Return period dapat dirancang untuk waktu 5, 25, dan 50 tahun atau yang lainnya (biasanya
kelipatan berjenjang). Return period dibangun dengan menentukan jenis sebaran yang cocok
dengan data yang digunakan. Pemilihan sebaran tersebut dilakukan dengan Chi-square (x2)
test pada taraf uji 5%. Uji x2 untuk mengukur perbedaan relatif antara frekuensi hasil
pengamatan dengan frekuensi yang diharapkan dari sebuah distribusi teoritis,jika sampel
berasal dari distribusi teoritis yang diujikan. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut:
H : data mengikuti sebaran (distribusi) teoritis yang diuji
H0 : data tidak mengikuti sebaran (distribusi) teoritis yang diuji
Adapun proses perhitungan untuk uji dilakukan dengan langkah berikut:
a. Menghitung Jumlah Kelas (K)

K adalah jumlah kelas


n adalah jumlah data
b. Menghirung Derajat Bebas (DK)

DK adalah derajat bebas


K adalah jumlah kelas
P adalah jumlah parameter
c. Mendapatkan nilai Chi-square (x2) tabel berdasarkan derajat bebas (DK) dan taraf
signifikansi (5%)
d. Menghitung frekuensi diharapkan (Ei)

Ei adalah Frekuensi yang diharapkan


n adalah jumlah data
K adalah jumlah kelas
e. Menghitung x2 yaitu besarnya perbedaan antara frekuensi hasil pengamatan dengan
frekuensi yang diharapkan dari distribusi teoritis dinyatakan yang ditentukan dengan
persamaan berikut.

K adalah jumlah kelas


Ei adalah frekuensi yang diharapkan
Oi adalah frekuensi hasil pengamatan
f. Membandingkan x2 tabel dengan x2 hasil perhitungan. Jika x2 lebih kecil daripada x2
tabel maka gagal tolak H0 yang berarti data mengikuti sebaran (distribusi) teoritis
yang diuji.
Kemudian rumus untuk mendapatkan return period (T) adalah
sebagai berikut:
P adalah Probabiliti kejadian ekstrem
Sedangkan untuk menghitung magnitude didapatkan berdasarkan jenis
distrisbusi frekuensi. Jenis distrubusi frekuensi yang banyak digunakan yakni
distribusi Gamma, Distribusi Log-Normal 3 Parameter, dan Distribusi Log Pearson
Type III.
I.5.3. Metode Regional Frequency Analysis (RFA)
Metode RFA digunakan untuk mengolah data curah hujan harian dari sembilan stasiun
(Stasiun Komodo, Stasiun Frans Sales Lega, Stasiun Fransiskus Xaverius, Stasiun
Gweyantana, Stasiun Mali, Stasiun Umbu Medang Kumba, Stasiun Tardamu, Satsiun Kupang
, dan Stasiun El Tari) pengukuran curah hujan di Provinsi NTT dari periode 2015 hingga 2017.
Metode RFA dapat mengklasifikasikan daerah dengan memberikan jumlah stasiun yang
seimbang dalam klasternya. Dengan menggunakan homogenitas di antara stasiun-stasiun
dalam klaster, dapat disimpulkan bahwa satu stasiun hujan mewakili wilayah di mana stasiun
itu berada. Langkah-langkah yang dilakukan dengan metode RFA, antara lain:
a. Melakukan analisis klister
b. Menghitung momen - L untuk untuk meringkas distribusi teoritis sampel yang diamati
dari variabel acak (X).
c. Melakukan pengukran ketidaksesuaian untuk mengidentifikasi situs yang berbeda dari
keseluruhan klaster.
d. Melakukan pengukuran heterogenitas untuk membandingkan homogenitas antar situs
di wilayah (stasiun pengukur) untuk mengetahui apakah wilayah tersebut cukup
homogen.
e. Identifikasi distribusi regional
f. Menghitung periode ulang
I.5.4. Metode Kajian Pustaka atau Studi Kepustakaan
Metode yang digunakan berupa kajian pustaka atau studi kepustakaan yakni berisi
teori-teori yang relevan dengan masalah-masalah penelitian. Pada bagian ini dilakukan
pengkajian mengenai konsep dan teori yang digunakan berdasarkan literatur yang tersedia,
terutama dari artikel-artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah. Kajian
pustaka berfungsi untuk membangun konsep atau teori yang menjadi dasar studi dalam
penelitian (Sujarweni, 2014). Kajian pustaka atau studi pustaka merupakan kegiatan yang
diwajibkan dalam penelitian,khususnya penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah
mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis (Sukari, 2013).
I.5.5. Metode Wawancara
Metodologi dalam mengkaji persepsi prakiraan cuaca dan kekeringan musiman dan
dampaknya terhadap masyarakat ini terdiri dari deskripsi wilayah studi, pengumpulan data,
dan analisis data. Pengkajian ini termasuk eksperimen pada subyek manusia.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN


II.1. Faktor-faktor Pendukung Kekeringan
Kekeringan di NTT sangat dipengaruhi oleh fenomena global El-Nino, sehingga
memperparah kerentanan masyarakat. Setiawan dkk. (2017)membahas karakteristik spatio-
temporal kekeringan Indonesia terkait El Nino dan prediktabilitas menggunakan ansambel
multi-model. Mereka menemukan bahwa kekeringan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh El-
Nino, dan tingkat keparahannya diprediksi lebih tinggi di fitur tersebut. Temuan ini konsisten
dengan Karya Kuswanto dkk. (2018)yang menemukan bahwa besaran dan durasi kekeringan
di Nusa Tenggara Timur, Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Kekeringan di Nusa Tenggara Timur juga di pengaruhi oleh letak geografisnya yang
terletak di dekat Australia sehingga Angin Muson Timur semakin memperparah kekeringan
di NTT. Angin Muson Timur merupakan angin yang bertiup mulai bulan April sampai
Oktober. Angin tersebut bersifat kering, karena membawa masa udara kering, dampaknya
terjadi musim kemarau.
II.2. Hasil Pemetaan Metode SPI
Penghitungan SPI berdasarkan data curah hujan di sembilan stasiun pengamatan:
Untuk melakukan penghitungan nilai SPI, perlu dicari data curah hujan dari sembilan stasiun
pengamatan pada tahun 1999-2015. Data curah hujan ini juga sebagai informasi awal untuk
mengetahui karakteristik dan pola curah hujan di NTT (Rosyida, 2017).
Tabel 2. Nilai rata-rata, Standar Deviasi dan kisaran tinggi Curah hujan di sembilan stasiun
pengamatan tahun 199-2015
Pada tabel 2. menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan harian selama 17 tahun di
sembilan stasiun pengamatan memiliki nilai yang hampir sama, kecuali Stasiun Meteorologi
Frans Sales Lega memiliki rata-rata curah hujan harian tertinggi, yakni sebesar 9,859
mm/hari.
Pola curah hujan di sembilan stasiun pengamatan dapat diidentifikasi dengan
menggunakan diagram batang yang didapatkan dari nilai rata-rata per bulan curah hujan
harian di masing-masing stasiun pengamatan pada tahun 1999 sampai 2015. Sembilan stasiun
pengamatan di NTT menunjukan pola curah hujan monsun, dimana memiliki 4
pengelompokkan zona musim, yaitu musim hujan, transisi musim hujan ke musim kemarau,
musim kemarau, dan transisi musim kemarau ke musim hujan. Pada bulan Juni, Juli, Agustus,
September, dan Oktober memiliki curah hujan yang rendah dibandingkan dengan bulan-bulan
yang lain. Hal tersebut dikarenakan pada bulan Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober
terjadi musim kemarau, sedangkan pada bulan November terjadi transisi musim kemarau ke
musim hujan. Sebagai contoh dapat dilihat diagram batang di Stasiun Meteorologi Komodo
pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram batang curah hujan di Stasiun Meteorologi Komodo


Pola curah hujan di Stasiun Meteorologi Komodo (Kabupaten Manggarai dan
sekitarnya) yang terbentuk dari rata-rata curah hujan harian dari bulan Januari 1999 hingga
bulan Desember 2015 membentuk pola monsun. Puncak musim hujan pada Stasiun
Meteorologi Komodo terjadi pada bulan Januari dengan rata-rata curah hujan sebesar 7,56
mm/hari.
Lalu dari data curah hujan, dilakukan penghitungan untuk mendapatkan nilai SPI dari
Stasiun Pengamatan. Didapat data sebagai berikut :

(Gambar. 4a) (Gambar. 4b)

(Gambar. 4c) (Gambar. 4d)

(Gambar. 4e) (Gambar. 4f)

(Gambar. 4g) (Gambar. 4h)


(Gambar. 4i)
Nilai SPI bulanan (Gambar. 4a)Stasiun Meteorologi Fransiskus Xaverus Seda,
(Gambar. 4b) Stasiun Meteorologi Gewayantana, (Gambar. 4c) Stasiun Meteorologi Mali,
(Gambar. 4d) Stasiun Meteorologi Umbu Mehang Kunda, (Gambar. 4e) Stasiun Klimatologi
Lasiana, (Gambar. 4f) Stasiun Meteorologi Eltari, (Gambar. 4g) Stasiun Meteorologi
Tardamu, (Gambar. 4h)Stasiun Meteorologi komodo, (Gambar. 4i)Stasiun Meteorologi Frans
Sales Lega.
Analisis puncak kekeringan memperlihatkan bahwa puncak kekeringan terbesar
terjadi di Stasiun Meteorologi Sales Lega (-2,92) pada Oktober 2006 dan yang terkecil terjadi
di Stasiun Meteorologi Tardamu (-2,22) pada Januari 2005. Stasiun Meteorologi Fransiskus
dan Stasiun Meteorologi Mali tidak mengalami kejadian kekeringan dikarenakan tidak ada
nilai SPI yang lebih kecil dari -1, sementara 7 stasiun lainnya terkategori mengalami
kekeringan.

- Pemetaan indeks kekeringan dari penghitungan SPI yang bersumber dari data satelit
TRMM dan MERRA-2 sebagai berikut (Kuswanto, 2019):

Gambar 5a Gambar 5b
Gambar. 5a dan 5b Pemetaan daerah kekeringan Provinsi NTT berdasarkan nilai SPI dari
data (Gambar 5a). TRMM dan (Gambar 5b). MERRA-2
Berdasarkan hasil pemetaan indeks kekeringan dapat dilihat bahwa potensi
kekeringan terjadi di beberapa daerah di NTT.
II.3. Hasil Pemetaan Metode RFA
Berdasarkan analisis klaster, perhitungan L- momen, pengukuran ketidaksesuaaian,
dan uji heterogenitas yang dilakukan dari data yang diperoleh dari sembilan stasiun hujan di
Provinsi NTT, terdapat limas klaster. Dengan menggunakan homogenitas di antara stasiun-
stasiun dalam klaster, dapat disimpulkan bahwa satu stasiun hujan mewakili wilayah di mana
stasiun itu berada. Wilayah yang berada pada Stasiun Hujan Komodo tergolong dalam klaster
1, Stasiun Frans tergolong dalam klaster 2, Klaster 3 terdiri dari wilayah Stasiun Hujan
Fransiskus Xaverius, Stasiun Hujan Mali, dan Gewayantana, Klaster 4 terdiri dari wilayah
Stasiun Hujan Umbu dan Stasiun Hujan Tandanu, sedangkan Klaster 5 terdiri dari Stasiun
Hujan Kupang dan Stasiun Hujan Eltari. Pembagian lima klaster dapat dilihat pada Gambar
6.

Gambar 6. Pembagian Klaster Untuk Stasiun Hujan Berdasarkan Analisis dan Perhitungan
dalam Metode RFA
Distribusi yang sesuai yang dapat digunakan berdasarkan perhitungam untuk
identifikasi distribusi regional setiap klaster adalah PE3. Estimasi periode ulang tercepat
untuk kondisi kekeringan adalah sebesar 40% dari curah hujan normal. Sementara
perbandingan periode ulang untuk beberapa kondisi kekeringan ekstrem menunjukkan
periode ulang kurang dari lima tahun, kekeringan ekstrem dapat terjadi ketika curah hujan
kurang dari 20% dari kondisi normal. Semakin kecil presentase rata-rata curah hujan dan
periode pengulangan, maka semakin berpotensi wilayah tersebut mengalami kekeringan.
Berdasarkan identifikasi distribusi regional dan penghitungan periode ulang Klaster 3 yaitu
wilayah Stasiun Hujan Fransiskus Xaverius, Stasiun Hujan Mali, dan Gewayantana dan
Klaster 5 yang terdiri dari wilayah Stasiun Hujan Kupang dan Stasiun Hujan Eltari berpotensi
mengalami kekeringan ekstrem sebesar 20% dari curah hujan normal kurang dari empat tahun
setelah kejadian sebelumnya. Perhitungan potensi kekeringan berdasarkan klaster dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perhitungan Potensi Kekeringan dalam Metode RFA

II.4. Hasil Pemetaan Metode Return Periode


Hasil lengkap durasi kekeringan (bulan) dan magnitude kekeringan (SPI) berdasarkan
metode return period 5, 25, dan 50 tahun berdasarkan data curah hujan dari tahun 1999-2015
pada 7 stasiun pengamatan hujan di NTT ditunjukan sebagai berikut :
Tabel 4 Durasi Kekeringan
Gambar 7. Grafik Time Scale-Duration-Frequency (TDF)
Pada Tabel 4 Gambar 7 menunjukkan bahwa Stasiun Meteorologi Komodo memiliki
durasi kekeringan tercepat untuk ketiga return period. Sedangkan untuk Stasiun Meteorologi
Umbu, Lasiana, dan Tardamu memiliki durasi kekeringan yang sama yakni 3 bulan untuk
return period 5 tahun, namun untuk return period 25 dan 50 tahun, ketiga stasiun tersebut
relatif memiliki durasi kekeringan yang hampir sama. Stasiun Meteorologi Gewayantana dan
Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega merupakan stasiun yang memiliki durasi kekeringan
yang cukup berbeda dengan stasiun lainnya. Stasiun Meteorologi Gewayantana mempunyai
nilai durasi kekeringan yang terlama, yakni mencapai 17 bulan untuk return period 25 tahun
dan 30 bulan durasi kekeringan untuk return period 50 tahun.
Tabel 5. Durasi Kekeringan
Gambar 8 Grafik Time Scale-Duration-Frequency (TDF)
Pada Tabel 5 dan Gambar 8. diatas terlihat bahwa pada return period yang sama,
lamanya kekeringan yang terjadi di tujuh stasiun pengamatan memiliki nilai magnitude yang
cukup bervariasi. Secara umum, semakin lama return period maka semakin besar nilai
magnitude. Sebagai contoh yaitu pada return period 25 tahun, setiap periode 25 tahunan besar
kekuatan kekeringan yang dirancang dapat terjadi di Stasiun Meteorologi Komodo adalah 4
yang merupakan magnitude terkecil, sedangkan di Stasiun Meteorologi Gewayantana
mencapai nilai 9 yakni merupakan magnitude terbesar.
Durasi dan magnitude (kekuatan) kekeringan yang dirancang untuk return period 5, 25, dan
50 tahun untuk beberapa stasiun di Nusa Tenggara Timur (NTT) dapat digunakan untuk
pemetaan. Berikut ini merupakan pemetaan untuk durasi dan magnitude dari masing-masing
return period.
a. Peta durasi kekeringan dan magnitude (SPI) return period (5 tahunan)
b. Peta durasi kekeringan dan magnitude (SPI) return period (25 tahunan)

c. Peta durasi kekeringan dan magnitude (SPI) return period (50 tahunan)
Hasil pemetaan berdasarkan prediksi return period 5, 25, dan 50 tahun memberikan
hasil bahwa Stasiun Meteorologi Gewayantana merupakan stasiun dengan nilai tertinggi
durasi dan magnitude untuk masing-masing return period. Sedangkan Stasiun Meteorologi
Komodo dan Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega cenderung memiliki nilai durasi dan
magnitude terendah jika dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya.

II.5. Hasil Metode Kajian Pustaka atau Studi Kepustakaan


Menurut Faqih, dkk (2015) dalam beberapa tahun kebelakang secara pintas dirasakan
perubahan perilaku iklim yang tidak menentu di sebagian besar NTT. Dampak yang dirasakan
berupa penyimpangan pola hujan normal. Awal musim hujan mundur, sering terjadi periode
kekeringan (dry spell) atau jeda hujan (season break), curah hujan tinggi, namun periode
musim hujan semakin pendek, terjadi hujan cukup tinggi pada musim kemarau. Implikasi
perubahan iklim yang terjadi terhadap pola penghidupan masyarakat NTT salah satunya
terekam pada kejadian tahun 2014 masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Sumba Timur
terpaksa memakan uwi/gadung (Dioscorea hispida) atau dikenal dengan sebagai ubi hutan
yang beracun akibat dari kemarau yang berkepanjangan. Mella, et al (2015) dalam kajiannya
pada 500 responden berusia muda (15 – 29 tahun) di Kabupaten TTS dan TTU
memperlihatkan bahwa terdapat kebingungan yang luar biasa dari masyarakat petani
tradisional terhadap makin dinamisnya cuaca yang makin meninggalkan pola dinamika iklim
sehingga berimplikasi terhadap makin tidak menariknya sektor pertanian bagi para
pemuda/pemudi yang dipandang pertanian sebagai sektor usaha yang rentan kegagalan.
Markus, et al (2016) yang meneliti mengenai fenomena penambangan mangan berskala kecil
oleh masyarakat di Timor Barat menemukan fakta bahwa masyarakat semakin meninggalkan
pertanian dan beralih untuk menambang mangan demi memperoleh income dalam waktu yang
singkat untuk dapat membeli kebutuhan pangan sebagai akibat kegagalan penanaman hingga
panen sebagai dampak negatif perubahan iklim yang semakin nyata terjadi.

II.6. Hasil Metode Wawancara


Mayoritas penduduk di NTT bekerja sebagai petani, sehingga kekurangan air yang
disebabkan oleh kekeringan telah berdampak signifikan terhadap mata pencaharian dan
menimbulkan kesulitan dalam pertanian serta akses ke air bersih yang menyebabkan gagal
panen, kekurangan pangan dan penurunan pendapatan. Para petani menanggapi pengurangan
pendapatan dengan mengurangi pengeluaran makanan mereka. Untuk mendukung
pengelolaan mata pencaharian di NTT, pemerintah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan prakiraan cuaca dan kekeringan musiman terkini.
Informasi perkiraan tersedia online di www. bmkg.go.id.
Akan tetapi hasil dari survei sangat mengejutkan bahwa 82,2% rumah tangga Di NTT
tidak menggunakan prakiraan cuaca dan musim untuk mendukung kehidupan sehari-hari
mereka terutama yang berhubungan dengan pengelolaan mata pencaharian. Survei tersebut
mengungkapkan bahwa kurang akuratnya prakiraan yang dihasilkan oleh pemerintah (dalam
hal ini BMKG) menjadi alasan utama mengapa mereka tidak menggunakan prakiraan
tersebut. Informasi prakiraan cuaca dan musim merupakan kebutuhan penting bagi sektor
pertanian, namun survei menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil rumah tangga yang
bekerja di sektor pertanian yang menggunakan prakiraan tersebut. Mayaoritas rumah tangga
yang bercocok tanam dan memiliki ternak juga tidak menggunakan ramalan. Penting untuk
mengetahui perubahan musim terhadap tanaman, sehingga para petani harus mengubah
praktik pertanian mereka apabila musim sudah berganti agar meminimalisir kerugian akibat
gagal panen.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan prakiraan cuaca dan musim tidak
memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap kehilangan hasil panen, namun bukan
berarti penggunaan prakiraan tidak penting. Dampak tidak langsung dalam hal ini berarti
bahwa untuk mengurangi kehilangan hasil panen, petani tidak cukup hanya menggunakan
informasi prakiraan. Tindakan lebih lanjut yang dilakukan petani setelah mendapatkan
informasi prakiraan lebih penting untuk meminimalkan dampak negatif kekeringan.

III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Makala ini mengkaji beberapa metode untuk melakukan pemeteaan kekeringan
diantaranya : Motode SPI menggunakan data stasiun hujan, SPI menggunakan data citra
satelit dan Metode RFA diperoleh hasil:
• Berdasarkan pemetaan kekeringan menggunakan metode SPI dengan menggunakan 7
stasiun hujan pada tahaun 1999- 2015 diperoleh hasil pemetaan berdasarkan prediksi
return period 5, 25, dan 50 tahun memberikan hasil bahwa Stasiun Meteorologi
Gewayantana (bagian timur Provinsi NTT) merupakan stasiun dengan nilai tertinggi
durasi dan magnitude untuk masing-masing return period. Sedangkan Stasiun
Meteorologi Komodo dan Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega (dua stasiun yang
mewakili bagian barat Provinsi NTT) cenderung memiliki nilai durasi dan magnitude
terendah jika dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya.
• Berdasarkan pemetaan kekeringan metode SPI menggunakan data satelit TRMM dan
MERRA-2 tahun 2002 sampai dengan 2017 dihasilkan bahwa wilayah NTT memiliki
potensi kekeringan yang tinggi dan tersebar tidak merata.
• Berdasarkan pemetaan kekeringan metode analisis RFA dari tahun 2005 hingga 2017
menggunakan pengambilan data curah hujan dari 9 stasiun hujan diperoleh hasil 5
klaster, dimana klaster 3 yang terletak di bagian timur NTT (wilayah Stasiun Hujan
Fransiskus Xaverius, Stasiun Hujan Mali, dan Gewayantana) dan klaster 5 (wilayah
Stasiun Hujan Stasiun Hujan Kupang dan Stasiun Hujan Eltari) berpotensi mengalami
kekeringan ekstrem.
Berdasarkan distribusi spasial/peta kekeringan dari metode SPI dan RFA ditemukan
pola distribusi bahwa wilayah NTT bagian timur memiliki potensi tinggi mengalami
kekeringan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang kekeringan, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi kekeringan di NTT adalah: musim hujan yang pendek, evapotranspirasi,
bentuk DAS yang kecil, pengarah perubahan tutupan lahan menyebabkan ketersediaan air
menjadi sedikit, pengaruh El-Nino dan Angin Muson Timur. Kekeringan juga merupakan
peristiwa iklim yang sangat mempengaruhi ekosistem, mata pencaharian, dan perkembangan
sosial ekonomi suatu wilayah. Dampak kekeringan terhadap mata pencaharian banyak
mendapat perhatian karena banyak berdampak pada sektor lain, termasuk aspek sosial
ekonomi.

III.2. Saran
Untuk mengatasi kekeringan di NTT perlu dilakukan sebuah kebijakan dan terobosan
untuk membangun sumur resapan dan waduk sehingga runoff tidak cepat mengalir ke laut,
karena provinsi NTT merupakan provinsi yang memiliki banyak pulau-pulau kecil. Begitu
juga terkait dengan keakuratan hasil prakiraan cuaca dari pemerintah (BMKG) perlu di
tingkatkan agar para petani di NTT dapat menerapkan strategi pertanian yang akurat untuk
meminimalisir kerugian akibat gagal panen.
DAFTAR PUSTAKA

Faqih, A., D.J Jadmiko & A.S Geru. 2015. Keragaman dan Perubahan Iklim Nusa Tenggara
Timur. UNDP-SPARC Project. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Inas, Rosyida, 2017. Tugas Akhir : Pemetaan Risiko Kekeringan Di Nusa Tenggara Timur
Berdasarkan Prediksi Return Period. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Indarto dan Arif Faisol. 2012. Konsep Dasar Analisis Spasial. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Kuswanto, Heri, and Achmad Naufal. 2019. Evaluation of performance of drought prediction
in Indonesia based on TRMM and MERRA-2 using machine learning methods.
MethodsX 6. 1238–1251. https://doi.org/10.1016/j.mex.2019.05.029.

Kuswanto, Heri , Anggi Wahyu Puspa , Imam Safawi Ahmad , and Fausania Hibatullah.
Drought Analysis In East Nusa Tenggara ( Indonesia) Using Regional Frequency
Analysis. Scientific World Journal Volume. 2021. https://doi.org/10.1155/2021/6626102

Kuswanto, H., Hibatullah, F., & Soedjono, E. S. (2019). Perception of weather and seasonal
drought forecasts and its impact on livelihood in East Nusa Tenggara, Indonesia. Heliyon,
5(8), e02360. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e02360

Markus, J.E.R., R. Natonis., I.W Nampa., A. McWilliam., I.W Mudita., N. Stacey & W.
Bunga. 2016. Black Rock Bounty (Womens Experiences of Artisanal Manganese Mining
in West Timor). Presentation in the International Conference of Artisanal Mining For
Development In Eastern Indonesia. Jakarta.
Mella, W.I.I., Y. Seran Mau., J. Suek., N.P.L.B Riwu Kaho., C. Kolo & J.E.R Markus. 2015.
Baseline Survey - Green Skills Initiative Youth Economic Empowerment (YEE) Project.
PLAN International. Kupang.
Mishra, Ashok K, and Vijay P Singh, (2010), A Review of Drought Concepts, Journal of
Hydrology 391 (1-2): 202-216.

Niemeyer, Stefan, (2008), New Drought Indices, Institute for Environment and Sustainability,
Italy.

Parwata, I. G. M. A., Indradewa, D., Yudono, P., Kertonegoro, B. D., & Kusmarwiyah, R.
(2014). Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
terhadap Cekaman Kekeringan di Lahan Pasir Pantai pada Tahun Pertama Siklus
Produksi. Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy), 42(1).

Purwadhi, Sri H 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: Gramedia


Sukardi. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarata : PT
Bumi Aksara
V.Wiratna Sujarweni. 2014. Metodeologi Penelitian.Yogyakarta : Pustaka Baru Press

Wilhite, D A, (2010), Quantification of Agricultural Drought for Effective Drought


Mitigation, in Agricultural Drought Indices, Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June,
2010, Murcia, Spain, WMO, Geneva.

Anda mungkin juga menyukai