Anda di halaman 1dari 19

Bencana Gempa Bumi, Tsunami dan

Likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pulau Sulawesi yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia bagian timur
merupakan pulau yang terbentuk dari konvergensi 3 lempeng tektonik yaitu Eurasia,
Indo-Australia, dan Filipina yang telah terjadi pada masa mesozoikum sampai saat
ini. Bentuk pulau Sulawesi yang menyerupai huruf “K” terbentuk melalui proses
subduksi geologi yang kompleks antara lain akresi, penghancuran, dan tumbukan
(Hamilton, dalam PuSGeN
2019). Berdasarkan proses tersebut Pulau Sulawesi dapat dibagi menjadi 4 kondisi geologi
utama :
1. Sulawesi bagian barat : Batuan sedimen tersier dan batuan magmatik sangat
dominan,
2. Sulawesi bagian tengah dan tenggara : mayoritas terdiri dari batuan metamorf
zaman
Cretaceous awal,
3. Sulawesi bagian timur : batuan sedimen masa mesozoikum dan paleozoikum
menjadi mandasan batuan ophiolitic nappe,
4. Banggai-Sula microcontinent terdiri dari batu dasar kontinental (Van Leeuwen
dan
Muhardjo, Thein et al., Maulana et al., dalam PuSGeN 2019).
Kota Palu adalah sebuah kota dan sekaligus Ibukota dari provinsi Sulawesi Tengah,
Indonesia. Palu merupakan kota yang terletak di Sulawesi Tengah, berbatasan dengan
Kabupaten Donggala di sebelah Barat dan Utara, Kabupaten Sigi di sebelah Selatan,
dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah Timur. Kota Palu merupakan kota lima dimensi
yang terdiri atas lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk. Koordinatnya adalah 0,35
– 1,20
LU dan 120 – 122,90 BT.
Berdasarkan 4 kondisi utama geologi tersebut Kota Palu terletak di Sulawesi bagian
tengah, dekat leher huruf “K” yang menghubungkan lengan Pulau Sulawesi bagian
utara dengan lengan bagian timur.
Gambar 1. Gambaran Geologi Pulau Sulawesi dan Kota Palu (Maulana et al.
dan
Watkinson dalam PuSGeN
2019)
Batuan dasar pada wilayah Kota Palu dan sekitarnya merupakan batuan dasar yang
terdiri dari batuan metamorf kompleks kemudian di lapisan atasnya sudah ada
pengaruh dari endapan sedimen vulkanik dan batuan hasil intrusi magmatik (Van
Leeuwen, Muhardjo, Watkinson dalam PuSGeN 2019).
Struktur geologis yang Kota Palu dan Donggala yang paling berpengaruh terhadap
aktivitas geologi disana adalah Sesar Palu-Koro (PKF) yang memiliki arah patahan
NNW-SSE dengan panjang patahan kurang lebih 300 Km membentang dari Teluk
Palu-Kota Palu ke zona Subduksi Parit Sulawesi Utara. Pemantauan PKF dengan
GPS menunjukan hasil bahwa sesar tersebut memiliki laju geser yang tinggi yaitu
sekitar 39 mm/tahun dan perpanjangan 11-14 mm/tahun (Socquet et al. dalam
PuSGeN 2019). PKF memiliki karakteristik kegempaan yang relatif rendah
berdasar analisis paleoseismik menunjukan bahwa tiga gempa besar (Magnitudo antara
6,8 - 8 Mw) terjadi pada kurun waktu 2000 tahun terakhir sehingga rata-rata periode
ulang 700 tahun (Bellier et al. dalam PuSGeN 2019). Kota Palu juga merupakan
zona endapan (lembah/cekungan) yang dipenuhi sedimen endapan mulai masa
kuarter. Endapan tersebut berkembang dari bentukan beberapa kipas aluvial akibat
transport sedimen dari lereng yang lebih tinggi di bagian barat dan timur menuju ke
lembah kota Palu dan aktivitas fluvial sungai Palu yang melintas tepat di bagian
tengah Kota Palu sehingga menimbulkan kesuburan tanah di Kota Palu dan
sekitarnya tergolong tanah yang subur. Penggunaan lahan di Kota Palu dan sekitarnya
didominasi lahan pertanian sawah dan kebun. Karena kondisi geografis dan agraris
yang mendukung Kota Palu merupakan kota besar di Pulau Sulawesi dengan populasi
penduduk tertinggi kedua (3 juta jiwa pada tahun 2019, menurut data BPS) setelah Kota
Makasar di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 29 September 2018 gempa berkekuatan 7,4
pada skala Richter telah melanda Palu di Sulawesi Tengah. Gempa ini bukanlah yang
pertama, tapi inilah yang terkuat. Di Kelurahan Petobo, tanah seketika berubah seperti
lumpur hisap. Sejumlah bangunan hancur akibat gempa bumi dan tsunami yang
menghantam.

Gambar 2. Patahan Palu-Koru yang melintasi Kota


Palu
(Sumber : www.bbc.com
)

Gempa disebabkan oleh lempengan bumi yang saling bertumbukan satu sama lain. Ini
terjadi secara konstan, namun kadang tumbukannya cukup besar dan relatif dekat dengan
area padat penduduk sehingga menimbulkan konsekuensi parah. Kejadian gempa
berlangsung saat Patahan Palu Koro yang melintasi Kota Palu, bergeser sekitar 10
kilometer di bawah permukaan tanah. Gempa bumi ini juga menyebabkan marine
landslide, tsunami dan likuifaski, untuk itu pada makala ini akan membahas
mengenai dampak gempa bumi terhadap kejadian-kejadian tersebut.
2. Rumusan
Masalah
Bagaimana dampak gempa bumi terhadap kejadian marine landslide, tsunami
dan likuifaksi.?
3. Tujuan
Mengetahui dampak gempa bumi di Palu terhadap pemicu terjadinya marine landslide,
tsunami dan likuifaksi.

II. PEMBAHASAN
● Gempa Bumi
Gempa bumi di Kota Palu, Sulawesi Tengah terjadi pada tanggal 8 September 2018
pada pukul 18.02 waktu setempat dengan kekuatan 7,5 Mw dengan episentrum 0,256
S dan
119,846 E. Berdasarkan penelitian oleh Priyobudi dan Ramdhan (2019) rupture gempa
ke arah 270o sepanjang 80 Km dari pusat gempang dengan kecepatan 4,5 km/s. Merujuk
pada data Apparent Source Time Functions (ASTF), energi yang ditimbulkan pada saat
gempa terjadi sebesar 1,45 x 1020 Nm yang dilepaskan dalam waktu 30 detik. Momen
seismik terbesar yang dilepaskan terjadi pada 0-15 detik dan menurun sebelum akhirnya
berhenti pada 30 detik. Slip maksimum sebesar 8 meter terjadi pada jarak 20 Km ke
selatan pusat gempa dan menurun menjadi sekitar 4 meter antara 40-80 Km ke selatan
episentrum atau mendekati kota Palu. Kecepatan rupture yang terjadi lebih besar dari
gelombang geser lokal sehingga dengan karakteristik tersebut gempa di Kota Palu dapat
dikategorikan supershear.

● Marine Landslide Pemicu tsunami


Terjadi longsor dibawah permukaan laut merupakan pemicu timbulnya tsunami di Palu.
Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan menggunakan survei batimetri
yang mencakup area terbatas seluas 0,78 km2 dimana ditemukan sekitar 3,2 juta
m3 masa menghilang pada areal tersebut. Hal ini menyebabkan penurunan maksimum
elevasi dasar laut sebesar 40 m yang menjadi potensi untuk timbulnya genangan
gelombang pertama tsunami.
Gambar 3. Submarine Landslide (Takagi, dkk
2019)
Selain survei batimetri terdapat penelitian yang dilakukan dengan mengkombinasikan
data seismik, model longsor bawah laut dan rekaman kejadian tsunami yang dilakukan
untuk memperbaiki lokasi sumber tsunami. Kombinasi data dan model ini menghasilkan
model yang mengidentifikasi lokasi terjadinya longsor bawah laut yang memicunya
tsunami. Hasil dari model tersebut menyatakan terdapat 2 lokasi longsor bawah laut
yang berada pada bagian utara teluk dan bagian selatan teluk seperti yang tersaji pada
gambar 4

Gambar 4 . Model Propagasi Tsunami dan Gerakan Massa (Kenji, 2020) Berdasarkan

model yang dikembangkan Kenji, dkk tahun 2020 tersebut perkiraan volume
longsor bawah laut di bagian utara sebesar 0,02 Km3 dan bagian selatan teluk sebesar
0,07
Km3. Jari jari longsor sebesar 0,8 Km, ketebalan maksimum 40 m dan kecepatan
horizontal maksimum 21 m/s untuk lokasi sisi utara dan jari jari longsor sebesar 2
Km, ketebalan
maksimum 15 m dan kecepatan horizontal maksimum 19 m/s. Longsor pada sisi utara
mulai terjadi 70 detik setelah gempa terjadi.

● Tsunami
Likuifaksi yang signifikan di sepanjang pantai kota Palu menghasilkan aliran sedimen
yang mencair penyebab tsunami, yaitu tsunami yang diinduksi oleh aliran gravitasi likuid.
Kurang dari 20% dari ketinggian tsunami terkait dengan proses tektonik, dan
sebagian besar disebabkan oleh pesisir dan tanah longsor bawah laut yang ditandai
dengan aliran gravitasi cair.
Hasil penelitian dari Takagi, dkk tahun 2019 yang berjudul Analysis of generation
and arrival time of landslide tsunami to Palu City due to the 2018 Sulawesi
earthquake menyatakan bahwa gelombang tsunami tiba ke tepi perairan Kota Palu
dalam 10 menit setelah gempa.

● Likuifaksi
Likuifasi juga merupakan kejadian yang terjadi di Palu pasca gempa bumi melanda.
Likuifaksi merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di daerah dengan kondisi
tanah yang jenuh air dan muka air tanah dangkal. Likuifaksi dapat terjadi jika material
lepas, sedimen jenuh air atau di dekat permukaan hilang kekuatannya akibat gempa
yang kuat. likuifaski yang terjadi di Palu tidak hanya terjadi di pedalaman tetapi juga
di sepanjang pantai.
Penyusunan zona potensi likuifaksi dapat dilakukan dengan menggunakan
nilai Liquefaction Potential Index (LPI), Liquefaction Severity Index (LSI) dan
Liquefaction Risk Index (LRI). Metoda yang umum dilakukan untuk menentukan
potensi likuifaksi adalah dengan menghitung kekuatan tanah menahan likuifaksi akibat
gempa (cyclic resistance ratio (CRR)) dan tegangan geser tanah akibat gempa (cyclic
stress ratio (CSR)). CRR dan CSR dihitung dari data yang diperoleh dengan melakukan
self penetration test (SPT) atau cone penetration test (CPT).
Semburan lumpur besar juga terjadi di Palu. Pemicu awal penyebab semburan lumpur
besar tersebut adalah gempa bumi yang kemudian menyebabkan likuifaksi dan di tambah
dengan kondisi litologi tanah yang gembur, kedalaman muka air tanah yang dangkal.
Penelitian yang dilakukan oleh Takashi, dkk (2020) dan Manson, dkk (2021) dilakukan
dengan metode survei lapang, wawancara dan survei Dynamic Cone Penetrometer
Test (DCPT) untuk mengetahui gambaran umum aliran longsor lumpur yang terjadi saat
bencana
gempa Palu terjadi. Hasil survei lapang menampilkan kenampakan munculnya genangan
air, aliran sugai kecil, dan luapan pasir yang dikenal dengan istilah sand boil. Tanda
tanda tersebut mencirikan terjadinya likuifaksi yang memicu longsoran lumpur.

Gambar 5 Kenampakan genangan air, aliran sungai kecil dan sand boil (Takashi,
dkk
2020)

● Analisis Tutupan Lahan Setelah Perisitiwa Gempa


Bencana alam yang terjadi di Kota Palu diawali dengan gempa dan disusul tsunami
dan likuifaksi yang menimbulkan kerugian dan korban yang tidak sedikit. Data terkait
korban dan kerusakan dapat dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2.

Tabel 1. Rekapitulasi data korban gempa bumi, tsunami dan


liquifaksi

Tabel 2. Rekapitulasi kerusakan bangunan akibat bencana tsunami dan


likuifaksi

Selain kerugian materiil dan korban nyawa, peristiwa juga membuat perubahan
tutupan lahan yang berpindah tidak pada posisi yang seharusnya. Untuk mengetahui
perubahan tutupan lahan akibat bencana ini digunakan teknologi penginderaan jauh
yang dapat
mengidentifikasi bagaimana pola, luasan, serta dampak dari perubahan tutupan
lahan tersebut dengan metode tertentu. Salah satu metode untuk mengidentifikasi
perubahan tutupan lahan tersebut adalah teknik OBIA (Object Based Image
Analysis) untuk mengidentifikasi tutupan lahan pra dan pasca bencana gempa dan
tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Definisi OBIA secara lebih spesifik yaitu proses menentukan objek menjadi beberapa
kelas dimana setiap objek dianggap sebagai satu unit individu (Maksum, 2016). Metode
OBIA dipilih karena pendekatan OBIA dinilai lebih unggul dari klasifikasi berbasis
piksel karena tidak hanya mempertimbangkan aspek spectral tetapi juga spasial. Objek
dibentuk melalui proses segmentasi yang merupakan proses pengelompokan piksel yang
berdekatan dengan kualitas yang sama (Wibowo, 2012). Data yang akan digunakan untuk
mendukung metode OBIA ini menggunakan data citra satelit LAPAN-A3 dengan resolusi
spasial 18 m dan citra Sentinel- 2 yang digunakan sebagai validasi. Hasil klasifikasi

Gambar 6. Hasil Klasifikasi Penutup Lahan pra dan pasca bencana menggunakan

OBIA Tabel 3. Perubahan tutupan lahan Pra dan Pasca Bencana


● Dampak Peristiwa Gempa Pada Sektor Ekonomi dan Sosial
Gempa Palu berdampak pada berbagai sektor, diantaranya sektor ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Muhammad Fauzi dan Musadun dalam jurnal berjudul “Dampak
Bencana Gempabumi Dan Tsunami Di Kawasan Pesisir Lere Kota Palu” melakukan
penelitian untuk mengetahui dampak bencana gempa bumi yang terjadi terhadap
sektor ekonomi, sosial, maupun lingkungan masyarakat dengan menggunakan
metode kualitatif, dengan pendekatan penelitian deskriptif, yaitu dengan
memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu fenomena yang sedang
terjadi berdasarkan acuan literatur yang relevan. Penilaian dampak bencana gempa
bumi terhadap ekonomi berupa kerusakan aset, kerugian bisnis dan hilangnya mata
pencaharian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan dampak kerugian
ekonomi pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Pesisir Lere Kota Palu yang
ditunjukkan terjadi kerusakan, seperti; kerusakan aset dengan subjek berupa
kerusakan rumah, bangunan komersial dan, infrastruktur kritis. Kerugian ekonomi
lainnya, yaitu kerugian bisnis dan hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir
yang berprofesi sebagai pedagang dan hilangnya mata pencaharian masyarakat
pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Peta persebaran area terdampak gempa bumi
terhadap sektor ekonomi di sebagian wilayah Kota Palu atau lebih tepatnya di
Kawasan Pesisir Lere dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Peta Dampak Gempa Palu terhadap Sektor Ekonomi


Penilaian dampak bencana terhadap sosial berupa kerusakan yang berakibat kepada
orang/manusia, gangguan layanan, kehilangan kekuatan, hilangnya pelayanan air.
Dampak kerusakan sosial pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Pesisir Lere Kota
Palu, antara lain kerusakan yang berakibat kepada orang seperti kematian dan cedera,
gangguan layanan makanan dan pasokan bahan bakar, gangguan layanan kesehatan
dan penyediaan kesejahteraan, gangguan layanan keuangan, gangguan layanan
perawatan dan medis, kehilangan kekuatan seperti banyak masyarakat yang
mengalami trauma dan hilangnya pelayanan air bersih yang berada di Pesisir Lere Kota
Palu. Peta persebaran area terdampak gempa bumi terhadap sektor ekonomi di Kawasan
Pesisir Lere dapat dilihat pada Gambar
8.

Gambar 8. Peta Dampak Gempa Palu terhadap Sektor Sosial

Kerusakan alam merupakan paramter penilaian dampak bencana gempa bumi terhadap
sektor lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan pasca bencana gempa bumi dan
tsunami di Pesisir Lere Kota Palu, antara lain kerusakan alam berupa pencemaran tanah,
pencemaran air, dan pencemaran udara yang berada di Pesisir Lere. Peta persebaran
area terdampak gempa bumi terhadap sektor ekonomi di Kawasan Pesisir Lere dapat
dilihat pada Gambar
8.
Gambar Peta Dampak Gempa Palu terhadap
Lingkungan

analisis/dampak selanjutnya terhadap kota palu →


Berdasarkan analisis kerawanan masing-masing bencana di Kota Palu, maka
dilakukan merger untuk mendapatkan peta seluruh kerawanan gempa, tsunami dan
likuifaksi.

Gambar 9. Merger analysis setiap


bencana
(sumber: ATR/BPN, Dinas Tata Ruang, Pusgen, Bdan Geologi dan
BNPB)

Dari hasil analisis dampak lanskap dan kerawanan yang ditimbulkan, Kota Palu
dibagi menjadi 3 tingkatan:
1. Daerah dengan kerawanan yang tinggi terhadap 3 bencana dengan luas total 446
hektar
2. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap 2 bencana memiliki
luas
3.364 hektar
3. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap 1 bencana, memiliki
luas
3.873 hektar.
4. Daerah yang tidak memiliki tingkat kerawanan atau bisa dikatakan aman dari 3
bencana, memiliki luas total 3.0262 hektar.

Kawasan yang aman ini harus menjadi fokus rencana pembangunan Kota Palu ke
depan. Perubahan tata guna lahan pascabencana diharapkan dapat mengurangi
dampak risiko bencana di masa depan. Pengambilan keputusan tentang pembangunan
daerah perencanaan di kota Palu harus memiliki analisis kebencanaan mengingat kota
tersebut merupakan kota yang sangat rawan bencana.
restrukturisasi di Kota Palu dibagi menja 3
zona:
1. Zona A adalah zona terdampak bencana gempa bumi
2. Zona B adalah Zona untuk daerah hutan mangrove
3. Zona C adalah Zona rentan likuifaksi

Zona A akan digunakan sebagai hutan konservasi yang mengelilingi sesar Palu Koro
dan daerah rawan gempa. Di zona ini akan ditanam pohon yang dapat menahan gerakan
tanah akibat getaran gempa. Pohon ini memiliki akar yang lebar, batang yang kuat, dan
tidak cepat tumbang. Tanaman yang cocok adalah trembesi, flamboyan, tulip afrika,
angsana dan mahoni.
Zona B adalah wilayah yang akan digunakan sebagai hutan mangrove, formasi Pes-
caprae
dan formasi baringtonia. Hutan Mangrove dapat digunakan sebagai penyangga
terhadap gelombang tsunami jika suatu hari terulang lagi. Selain itu hutan mangrove
juga dapat mengurangi erosi dan abrasi. Mangrove juga sebagai area bertelurnya biotik
laut.
Zona C adalah wilayah yang akan digunakan sebagai hutan koservasi, tanaman yang
cocok adalah trembesi, flamboyan, kayu Sengon, akasia, meranti, and mahoni. Tanaman-
tanaman tersebut berakar luas dan dalam serta memiliki kemampuan evapotranspirasi
yang tinggi, diharapkan mampu menyerap air tanah jenuh dan mengurangi pergerakan
tanah agar tidak bergeser.
III. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kejadian gempa bumi di Kota Palu menjadi pemicu terjadinya marine landslide,
tsunami dan likuifaksi. Kejadian likuifaksi semakin diperparah pada kondisi daerah
dengan kondisi tanah yang jenuh air dan muka air tanah dangkal. Likuifaksi terjadi
jika material lepas, sedimen jenuh air atau di dekat permukaan hilang kekuatannya
akibat gempa bumi yang kuat. Gempa bumi menyebabkan Marine Landslide
sehingga berpengaruh terhadap penurunan maksimum elevasi dasar laut di beberapa
areal teluk palu sehingga dan kemudian menjadi Tsunami. Peristiwa gempa bumi ini juga
menimbulkan dampak yang cukup masif terhadap sektor ekonomi, sosial dan lingkungan.

2. Saran
Perlu dilakukan pemetaan risiko terhadap bencana-bencana yang berpotensi timbul di
Kota Palu sebagai upaya untuk mitigasi bencana, juga perlu dilakukan pengembangan
dan penelitian terhadap sistem early warning gempa bumi dan tsunami sehingga
tidak menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian dikemudian hari.
DAFTAR
PUSTAKA

Darma, Y, B Sulistyantara, and Yonvitner. 2020.Analysis of Landscape Impact on


Post- Earthquake,Tsunami, and Liquefaction Disasters in Palu City,Central Sulawesi”.
Earth and Environmental Science 501, 012003.

Fauzi, Muhammad, dan Mussadun. Dampak Bencana Gempabumi Dan Tsunami Di


Kawasan
Pesisir Lere Kota Palu. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 17 (1).
Doi:
https://doi.org/10.14710/pwk.v17i1.299
67

Gege Hui, Sanzhong Li, Pemgcheng Huang, Yanhui Suo, Qian Wang, dan, Ian
D. Somerville. Linkage Between Reactivation Of The Sinistral Strike-Slip Faults
And 28
September 2018 Mw7.5 Palu Earthquake, Indonesia. Sciene Bulletin, 63,
1635-
1640.https://doi.org/10.1016/j.scib.2018.11.021

Gunawan, Endra, Sri Widiyantoro, Pepen Supendi, dan Takuya Nishimura. Identifying
The Most Explainable Fault Ruptured Of The 2018 Palu Donggala Earthquake In
Indonesia Using Coulomb Failure Stress And Geological Field Report. Geodesy and
Geodynamics, Vol. 11, 252-247.https://doi.org/10.1016/j.scib.2018.11.021

Hamdi, Ilham Syaebatul, Rika Hernawati. 2019. Identifikasi Tutupan Lahan Pra dan Pasca
Bencana Gempa dan Tsunami Menggunakan Citra Satelit LAPAN-A3 dan Sentinel
2(Studi Kasus: Kota Palu, Sulawesi Tengah). Seminar Nasional Penginderaan Jauh
ke-6 Tahun
2019.

Kiyota, T., Furuichi, H., Hidayat, R. F., Tada, N., & Nawir, H. (2020). Overview of
long- distance flow-slide caused by the 2018 Sulawesi earthquake, Indonesia.
Soils and Foundations, 60(3), 722–735. https://doi.org/10.1016/j.sandf.2020.03.015

Kusuma, W. B. (2020). Analisa Kuantitatif dan Kualitatif Potensi Likuifaksi.


Majalah
Ilmiah Swara Patra, 10(2), 5–16. https://doi.org/10.37525/sp/2020-2/251

Jalil, A., Fathani, T. F., Satyarno, I., & Wilopo, W. (2021). Liquefaction in Palu: the
cause of massive mudflows. Geoenvironmental Disasters, 8(1),
1–18.
https://doi.org/10.1186/s40677-021-00194-y

Marchettia, Dedalo et al. 2020. Possible Lithosphere-Atmosphere-Ionosphere


Coupling effects prior to the 2018 Mw = 7.5 Indonesia earthquake from seismic,
atmospheric and
ionospheric data. J. of Asian earth Sciences 188, 1367-
9120.
https://doi.org/10.1016/j.jseaes.2019.104097

Mason, H. B., Montgomery, J., Gallant, A. P., Hutabarat, D., Reed, A. N., Wartman,
J., Irsyam, M., Simatupang, P. T., Alatas, I. M., Prakoso, W. A., Djarwadi, D., Hanifa,
R., Rahardjo, P., Faizal, L., Harnanto, D. S., Kawanda, A., Himawan, A., & Yasin, W.
(2021). East Palu Valley flowslides induced by the 2018 MW 7.5 Palu-Donggala
earthquake.
Geomorphology, 373.
https://doi.org/10.1016/j.geomorph.2020.107482

Nakata, K., Katsumata, A., & Muhari, A. (2020). Submarine landslide source
models consistent with multiple tsunami records of the 2018 Palu tsunami, Sulawesi,
Indonesia.
Earth, Planets and Space, 72(1). https://doi.org/10.1186/s40623-020-01169-3

Pakoksung K., Suppasri A., Imamura F., Anthanasius C., Omang A., and Muhari
A.. Simulation of the Submarine Landslide Tsunami on 28 September 2018 in Palu
Bay, Sulawesi Island, Indonesia, Using a Two-Layer Model. Pure Appl. Geophys. 176
(2019),
3323–3350. Springer
Nature.

Priyobudi, & Ramdhan, M. (2019). Supershear rupture of the 28 September 2018


Palu earthquake inferred from Empirical Green’s Function analysis. Journal of
Physics: Conference Series, 1341(8). https://doi.org/10.1088/1742-6596/1341/8/082011

Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN). 2019. Investigasi Awal Longsor-Likuifaksi


Geotechnical Extreme Events Reconnaissance (GEER) Akibat Gempa Palu 28
September
2018. Bandung:Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman
Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
ISBN
: 978-602-5489-19-
8

Ramadhan Priadi, Angga Wijaya, dan Maria Annaluna Pasaribu, dan Riska Yulinda.
Analisis Karakteristik Gempa Donggala – Palu Berdasarkan Rupture Duration (T-dur )
dan Orientasi Sesar Aktif Menggunakan Metode HC-Plot. Jurnal Geofisika,17, 16-20.
Sassa, S., & Takagawa, T. (2019). Liquefied gravity flow-induced tsunami: first
evidence and comparison from the 2018 Indonesia Sulawesi earthquake and tsunami
disasters. Landslides, 16(1), 195–200. https://doi.org/10.1007/s10346-018-1114-x

Takagi, H., Pratama, M. B., Kurobe, S., Esteban, M., Aránguiz, R., & Ke, B.
(2019). Analysis of generation and arrival time of landslide tsunami to Palu City due
to the 2018
Sulawesi earthquake. Landslides, March, 983–991. https://doi.org/10.1007/s10346-
019-
01166-y

X. Song, Y. Zhang, X. Shan, Y. Liu, W. Gong, and C. Qu. Geodetic observations of


The
2018 Mw 7.5 Sulawesi earthquake and its implications for the kinematics of the Palu
fault, Geophys. Res. Lett. 46 (8) (2019) 4212-4220.

Anda mungkin juga menyukai