Disusun Oleh:
Daftar Isi 2
I. Pendahuluan 3
II. Pembahasan 5
2.1 Model Monitoring dan Konten Negatif Menggunakan Sistem TRUST+ Positif 5
2.1.1 Model Perlindungan Dan Arsitektur TRUST+ Positif 5
2.1.2 Sistem Pencarian dan Pengaduan TRUST+ Positif 8
2.2 Proxy Server 8
2.3 Squid 9
2.4 Web Proxy 9
2.5 SquidGuard 10
2.6 Implikasi Penerapan Model TRUST+ 14
I. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, pemblokiran dan penapisan situs-situs internet bermuatan
negatif atau yang dianggap melanggar hukum (illegal content) mengalami peningkatan.
Tahun 2016 saja, Kemenkominfo sudah memblokir 773.097 situs bermuatan negatif yang
sebagian besar berisi materi pornografi, lebih besar ketimbang tahun 2015 di mana sebanyak
766.394 situs diblokir Pemerintah.1 Sementara itu, di paruh pertama 2017 Kemenkominfo
memblokir 6.000 situs internet atau akun media sosial yang diduga menyebarkan ujaran
kebencian, fitnah dan hoax (kabar bohong) saja.2 Tindakan pemblokiran terhadap sejumlah
platform atau situs internet, telah menuai sejumlah polemik di publik. Tindakan-tindakan
tersebut seringkali dinilai tidak proporsional. Mengapa tidak proporsional? Sebab yang
diblokir langsung pada akses ke platformnya, tidak secara selektif terhadap situs-situs yang
memiliki muatan konten yang dinilai ilegal menurut hukum Indonesia. Padahal sebagai
negara pihak dari Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), seharusnya
dalam melakukan setiap pembatasan terhadap konten internet, pemerintah Indonesia harus
tunduk pada prinsip-prinsip pembatasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 (3) ICCPR,
maupun Pasal 28J UUD 1945. Dalam banyak kasus, memang pembatasan dan sensor konten
internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan hukum,
namun aturannya terlalu luas dan ambigu, sehingga bertentangan dengan prinsip
prediktabilitas dan keterbukaan. Situasi seperti ini juga dialami Indonesia, yang tidak
memiliki prosedur yang jelas dan tetap untuk melakukan pemblokiran konten internet.
Setidaknya terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang materinya mengatur mengenai
konten internet: (i) UU No. 19/2016 tentang Perubahan UU No. 11/2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE), yang memberikan wewenang bagi pemerintah untuk
memutus akses konten; (ii) UU No. 44/2008 tentang Pornografi, yang memberikan
wewenang bagi pemerintah (termasuk pemerintah daerah) untuk melakukan pemblokiran
konten pornografi di internet; dan (iii) UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta, yang memberikan
otoritas bagi pemerintah untuk memblokir laman yang melanggar hak cipta. Masalahnya,
ketentuan UU ITE dan UU Pornografi tidak mengatur lebih jauh mengenai prosedur
dilakukannya pemblokiran, termasuk mekanisme komplain dan pemulihannya. Ketentuan
Pasal 40B UU ITE, memberikan mandat kepada pemerintah untuk menyusun Peraturan
Pemerintah, guna mengatur secara detail prosedur dilakukannya penapisan dan pemblokiran.
Sementara UU Hak Cipta menyebutkan, setiap pemblokiran/penapisan konten internet yang
akan dilakukan oleh Kemkominfo, prosedurnya harus melalui penetapan pengadilan (kalau
pun dilakukan sebelum adanya penetapan, maksimal empat belas hari setelah dilakukan
pemblokiran, harus ada penetapan dari pengadilan). Dalam pelaksanaannya, berbekal pada
database Trust+ Positif yang dikelolanya, Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo) memberikan instruksi kepada setiap penyedia jasa layanan internet untuk
memblokir situs-situs yang dimasukan dalam daftar hitam Trust +. Metode tersebut
baru-baru ini dikembangkan oleh Kominfo dengan pengadaan sebuah alat baru untuk
mengais konten-konten yang menurut mereka masuk kategori negatif atau melanggar hukum
(mesin AIS), untuk kemudian diproses dan dilakukan pemblokiran. Pola dan metode
pemblokiran seperti ini, selain dipertanyakan legitimasinya, juga seringkali berakibat pada
adanya tindakan over blocking atau blokir salah sasaran.
II. PEMBAHASAN
2.1 Model Monitoring dan Konten Negatif Menggunakan Sistem TRUST+ Positif
TRUST+ Positif (Terpercaya, Referensi Utama, Sehat, Teramankan) bertujuan
memberikan akses internet yang aman dan sehat dengan perlindungan berdasarkan
daftar informasi sehat dan terpercaya (TRUST+ List) sehingga memberikan
perlindungan pada masyarakat terhadap nilai-nilai etika, moral dan kaedah-kaedah yang
tidak sesuai dengan citra Bangsa Indonesia; dan melakukan penghematan terhadap
pemborosan penggunaan akses internet (internet utilization) di Indonesia
(http://trustpositif.depkominfo.go.id/).
2.1.1 Model Perlindungan Dan Arsitektur TRUST + Positif
Sistem TRUST+ Positif menerapkan mekanisme kerja adanya server pusat yang
akan menjadi acuan dan rujukan kepada seluruh layanan akses informasi publik
(fasilitas bersama), serta menerima informasi-informasi dari fasilitas akses informasi
publik untuk menjadi alat analisa dan profiling penggunaan internet di Indonesia.
Dari segi arsitektur server TRUST+ Positif pusat bukan merupakan “Single
Gateway” ataupun “Traffic Relay” untuk koneksi internet seluruh Indonesia dan
Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak mengakomodir trafik internet bagi
seluruh ISP ataupun Organisasi pengguna TRUST+ Positif yang ada di Indonesia.
Masing-masing pengguna akan menyediakan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan
yang ada pada zona masing-masing, di mana TRUST+ Positif Pusat akan berfungsi
sebagai referensi atau rujukan database URL internet sehat.
Untuk meringankan beban koneksi antara server pusat (TRUST+ Center) dengan
pusat layanan akses informasi publik, maka daftar informasi terpercaya dan positif
(TRUST+ List) ditempatkan secara distribusi dan merata di seluruh server layanan
akses informasi publik, seperti ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gambar 1. Arsitektur TRUST + Positif
TRUST+ Positif pada implementasinya memanfaatkan penggabungan antara 2
aplikasi, yaitu Proxy/Caching System dipadu dengan Content Filtering System.
Adapun aplikasi yang dipakai adalah : Squid-Cache sebagai Proxy/Caching System,
dan SquidGuard sebagai Content Filtering System. Seperti disebutkan dalam
http://trustpositif.depkominfo.go.id , paket aplikasi tersebut adalah tidak wajib untuk
diimplementasikan jika hanya ingin memanfaatkan daftar URL dari database TRUST+
Positif, tanpa merubah konfigurasi ataupun sistem yang telah digunakan dengan
menggunakan aplikasi lain yang mungkin sudah digunakan. Walaupun tetap
dianjurkan untuk menggunakan paket aplikasi tersebut, dengan tujuan
memaksimalkan performa.
Jenis database yang ada bukanlah semata-mata hanya berisi
Domain/URL/Keyword yang akan di filter atau di block, tetapi merupakan jenis
database secara umum, yang penggunaannya nanti bisa diarahkan kepada daftar yang
dipercaya (daftar putih/terpercaya) ataupun daftar yang disaring (daftar
hitam/tersaring).
Adapun jenis database yang dipakai dalam sistem TRUST+ Positif adalah
sebagai berikut:
1. Daftar Domain
2.3 Squid
Squid adalah sebuah daemon yang digunakan sebagai proxy server dan web
cache. Squid memiliki banyak jenis penggunaan, mulai dari mempercepat server web
dengan melakukan caching permintaan yang berulang- ulang, caching DNS, caching
situs web, dan caching pencarian komputer di dalam jaringan untuk sekelompok
komputer yang menggunakan sumber daya jaringan yang sama, hingga pada membantu
keamanan dengan cara melakukan penyaringan (filter) lalu lintas. Meskipun seringnya
digunakan untuk protokol HTTP dan FTP, Squid juga menawarkan dukungan terbatas
untuk beberapa protokol lainnya termasuk Transport Layer Security (TLS), Secure
Socket Layer(SSL), Internet Gopher, dan HTTPS. Versi Squid 3.1 mencakup dukungan
protokol IPv6 dan Internet Content Adaptation Protocol (ICAP).
Squid pada awalnya dikembangkan oleh Duane Wessels sebagai "Harvest object
cache", yang merupakan bagian dari proyek Harvest yang dikembangkan di University
of Colorado at Boulder. Pekerjaan selanjutnya dilakukan hingga selesai di University of
California, San Diego dan didanai melalui National Science Foundation. Squid kini
hampir secara eksklusif dikembangkan dengan cara usaha sukarela.
Squid umumnya didesain untuk berjalan di atas sistem operasi mirip UNIX,
meski Squid juga bisa berjalan di atas sistem operasi Windows. Karena dirilis di bawah
lisensiGNU General Public License, maka Squid merupakan perangkat lunak bebas.
2.5 SquidGuard
SquidGuard adalah kombinasi filter, redirector dan access controller plugin
untuk Squid. SquidGuard bersifat : free (GPLv2), sangat fleksibel, sangat cepat, mudah
di instal, portabel. SquidGuard dapat digunakan untuk :
● membatasi akses web untuk beberapa pengguna sehingga hanya dapat
mengakses web yang masuk dalam daftar diterima/web server yang terkenal
dan/atau URL saja.
● memblokir akses ke beberapa server web yang terdaftar atau masuk dalam
daftar hitam dan/atau URL untuk beberapa pengguna.
● memblokir akses ke URL yang cocok dengan suatu daftar ekspresi reguler
atau kata-kata untuk beberapa pengguna.
● menegakkan penggunaan domain names/melarang penggunaan alamat IP
dalam URL.
● mengalihkan URL yang diblokir ke halaman lain
● mengarahkan pengguna yang belum terdaftar ke formulir pendaftaran
pengguna proxy server.
● pengalihan link download popule ke link lokal dalam negeri.
● pengalihan gambar banner ke file GIF kosong.
● memiliki aturan akses yang berbeda berdasarkan waktu hari, hari minggu,
tanggal, dan lain-lain.
● memiliki aturan yang berbeda untuk kelompok pengguna yang berbeda.
· host (host.foo.bar.com)
(redirect "302:new_url")
diaktifkan oleh :
· URL redirection
· grup pengguna
Suatu konten menjadi layak untuk dibatasi dan diblokir apabila konten tersebut
dianggap menimbulkan keresahan sosial karena berpotensi berbenturan dengan nilai atau
norma sosial, norma agama dan moralitas publik. Salah satunya terkait pornografi,
pornografi anak, dan tindak pidana lainnya dalam bentuk offline kemudian bermigrasi ke
medium internet. Berdasarkan penelitian yang dilakukan OONI, pemblokiran dengan
alasan pornografi di Indonesia mencapai 27,2% dari website yang diblokir di Indonesia.
Di Indonesia, Isu LGBT merupakan salah satu konten yang saling silang sebagai
pornografi dan juga ancaman terhadap keamanan nasional. Dalam konteks sosial di
Indonesia, keberadaan kelompok LGBT memang masih dilematis bahkan cenderung
melakukan tindakan-tindakan yang diskriminatif. Hal ini juga berpengaruh dalam
persebaran informasi terkait LGBT. Hal ini juga tertera dalam UU Pornografi bahwa
hubungan sesama jenis merupakan bagian dari pornografi sehingga perlu dibatasi. Dalam
praktiknya memang muncul sejumlah perdebatan dalam mengklasifikasikan LGBT
sebagai bagian dari pornografi. Misalnya kasus pemblokiran situs Voice.org yang
merupakan situs dengan informasi hak-hak atas kelompok LGBT diblokir dengan alasan
pornografi. Situs itu sendiri sama sekali tidak memuat unsur pornografi, melainkan
informasi atas hak-hak kelompok LGBT. Sehingga diperlukan adanya diskusi dan
argumentasi kuat untuk meyakinkan kelompok lain termasuk institusi negara lain untuk
memberikan penerangan atas isu tersebut.
Adapun terminologi yang digunakan dari beberapa regulasi tersebut beragam mulai
dari ‘mengancam kepentingan dan keamanan negara’, ‘ketertiban umum’, ‘merusak
hubungan internasional’, hingga ‘mengancam keamanan nasional meliputi ideologi
tertentu’. Terminologi yang serupa tersebut dapat ditemukan di beberapa regulasi yang
berbeda spesialisasi. Sehingga pekerjaan bersama yang harus dilakukan dalam
implementasinya adalah penafsiran dari terminologi tersebut. Dari beberapa pelaporan
yang masuk ke Kementerian Kominfo dapat terlihat pola yang membangun konsep
‘ancaman keamanan negara’ sebagai konten dilarang. Selama ini, Kementerian Kominfo
telah melakukan pemblokiran terhadap situs yang dianggap ekstrimis dan radikal.
Konsep ekstremisme dan radikal tersebut dianggap sebagai benih awal dalam
meningkatkan gerakan terorisme di Indonesia. Selain situs, Kominfo juga pernah
melakukan pemblokiran terhadap platform media komunikasi Telegram yang diduga
sebagai medium komunikasi teroris. Pada awal tahun 2017, Kominfo memblokir
mengenai 11 Situs yang beraliran radikal karena melakukan penghinaan simbol negara.
Selain itu konten yang memuat ujaran kebencian, fitnah, provokasi juga diidentifikasikan
sebagai lingkup mengancam keamanan negara khususnya pemupukan buah terorisme.
Studi kasus pemblokiran Telegram menjadi contoh menarik dalam tata kelola
konten internet. Pertama, pemblokiran ini kembali menambah acaknya pola terkait
konsep konten internet beserta ruang lingkupnya. Pasalnya platform atau aplikasi pesan
(chatting) ternyata juga masuk dalam ruang lingkup konten internet. Kedua, channel
terorisme dalam Telegram digadang pemerintah sebagai media komunikasi teroris
bukanlah satu-satunya konten yang diproduksi atau beredar melalui Telegram. Bahwa
benar adanya forum diskusi grup radikal di Telegram yang terbukti mempengaruhi
pemahaman radikal bagi penggunanya seperti Manjanik, Ghuroba, UKK, dan Khilafah
Islamiyah, tetapi hal ini bukan berarti bahwa produk konten radikalisme dan terorisme
menjadi barang utama dalam pemanfaatan Telegram, karena saluran atau forum diskusi
lain yang memiliki tema positif juga menggunakan medium Telegram sebagai alat
penyebarannya.
Pada praktiknya pihak yang melakukan pemblokiran atau menurunkan konten juga
perlu diatur sebagai mekanisme internal para penyedia jasa konten atau platform media
sharing seperti Youtube atau SoundCloud. Terutama dalam ruang lingkup karya yang
belum mendapatkan hak cipta secara administratif melalui UU Hak Cipta. Berikutnya,
informasi atau konten yang mengancam reputasi seseorang dan terindikasi menyebarkan
data pribadi seseorang, juga merupakan salah satu lingkup pemblokiran. Beberapa
regulasi di Indonesia dapat dijadikan jaminan perlindungan sehingga menjustifikasi
tindakan pemblokiran atas konten yang melanggar ketentuan tersebut, sebagaimana yang
tercantum dalam KUHP UU ITE, dan UU KIP. Dalam konteks global, pencemaran nama
baik dan hak lainnya yang berkaitan dengan perlindungan reputasi merupakan ranah
peradilan pidana, perdata atau keduanya. Sehingga perintah pemblokiran materi yang
melanggar merupakan bagian dari proses peradilan yang bertanggung jawab.
Proses tindak lanjut pelaporan hingga masuknya suatu alamat situs ke dalam daftar
TRUST Positif+ pada praktiknya menjadi ruang abu-abu. Pasca diberhentikannya tim
panel khusus Forum Penanganan Situs Bermuatan Negatif (FPSIBN) untuk menyaring
masalah pemblokiran konten negatif, maka proses pengelolaan laporan sebagai
mekanisme penilaian terhadap konten menjadi kurang transparan. Lantaran kriteria
terkait definisi konten yang ditapis atau diblokir dan yang diizinkan beredar juga tidak
tergambar dengan utuh.
Bahkan pada praktiknya, memberikan kewenangan pemblokiran kepada pihak
penyedia jasa internet bukan langkah ideal karena potensial melakukan pembatasan akses
berdasarkan persaingan bisnis. Hal ini nampak pada praktik pemblokiran yang dilakukan
grup Telkom sebagai penyedia jasa internet yang memblokir akses Netflix di jaringan
mereka. Salah satu alasannya karena layanan video on demand membebani jaringan
mereka.
Salah satu mandat dari prinsip pembatasan hak ICCPR pasal 19(3), PBB
mencanangkan pemblokiran atau penapisan yang sah harus menyediakan mekanisme
perlindungan untuk menghadapi apabila ada penyalahgunaan termasuk
kemungkinan.komplain dan pemulihan atas pemblokiran/penapisan konten yang
disalahgunakan.
Secara rinci praktiknya tidak jelas bagaimana proses penilaian ulang yang
dilakukan Kominfo untuk mengeluarkan dari daftar. Selain itu praktik normalisasi yang
demikian sebenarnya belum menyediakan ruang pemulihan yang utuh. Pasalnya setiap
pemblokiran jelas berimplikasi kepada kerugian-kerugian termasuk kerugian ekonomi
bagi penyedia konten atau penyedia jasa layanan. Namun hal ini belum diatur dan terjadi
di Indonesia kecuali pemblokiran konten terkait Hak Kekayaan Intelektual yang diatur
dalam UU Hak Cipta.
Hoax merupakan kepalsuan yang sengaja dibuat untuk menyaru sebagai kebenaran
(MacDougall, Courtis D). Berita hoax tidak hanya berupa tulisan, namun dapat pula
berupa gambar maupun video. Berdasarkan survei MASTEL 2017, beberapa klasifikasi
hoax sebagai:
Hoax di era digital mudah menyebar. Beberapa platform yang dapat menyebarkan
berita hoax antara lain:
a. Media sosial
b. Aplikasi chat
c. Situs web
d. Televisi
e. Media cetak
f. Email
g. Radio
Dengan banyaknya berita hoax, menurut survei MASTEL 2017, terdapat beberapa
topik yang paling banyak disebarkan, yakni:
a. Sosial politik
b. SARA
c. Kesehatan
d. Makanan dan minuman
e. Penipuan keuangan
f. IPTEK
g. Berita duta
h. Candaan
i. Bencana alam
j. Lalu lintas
Dalam menangani berita hoax maupun konten negatif di internet, pemerintah telah
membuat beberapa dasar hukum untuk menangani hal tersebut, beberapa contoh
diantaranya adalah:
1. Amanat pasal 40 ayat (2) UU no. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU
nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
“Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai
akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang
mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
2. Amanat pasal 40 ayat (2a) UU no. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU
nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
3. Amanat pasal 40 ayat (2b) UU no. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU
nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
2. Cek situs
Walaupun tampilan dari portal website terlihat resmi bisa jadi itu hanya
sebatas situs web saja tetapi tidak memiliki kantor dan alamat yang jelas,
sehingga bisa jadi instansi maupun organisasi tersebut adalah fiktif. Untuk
menghindari seperti ini bisa dilihat pada menu kontak ataupun about us kemudian
cek alamat dengan sumber lain seperti google maps.
Informasi yang didapat biasanya bisa juga dalam bentuk pesan berita.
Informasi jenis ini bisa dicek apakah sumber media bersumber dari media
jurnalistik yang kredibel atau bukan. Jika informasi berita tersebut benar biasanya
akan ada informasi yang sama yang dipublikasikan oleh media yang lain.