Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH TUTORIAL

ASUHAN KEPERAWATAN TUBERKULOSIS


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

2011114356 ANGELINA VICTORIA 2011113562 PINGKAN DENI


SIPAHUTAR PRAMUDITA

2011113561 BUNGA APRILIA 2011113514 PUTRI SEPTI YANTI


NADILA
2011113511 DIVA FEBRINA WILYA
2011113527 RAHMAD TINA AULIA
2011114359 ELLA BIISNILLA
2011113510 SALMA NABILLA
2011113520 INDAH OKTARINA
2011113555 SASKIA KHAIRUNNISA
2011116723 KHAIRATUL HUSNIA
2011113516 SRI AGUSTINA
2011113475 MEIJILIA RILASARI
2011114361 SULISTYAWATI
2011125083 NABIELA ASWATY
2011113465 VELGA LEONITA
2011113557 NABILA PUTRI
2011114587 VIVI MAISANTRI
2011113523 NURMISBAH SUDURI

DOSEN PEMBIMBING:
Ns. Yulia Rizka, M.Kep
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis
berhasil menyelesaikan Makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan
Tuberkulosis” ini tepat pada waktunya.
Adapun maksud dan tujuan penulis dalam membuat makalah ini adalah
untuk melengkapi nilai pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I
program A 2020 2.
Harapan dari penulis semoga makalah dapat bermanfaat bagi pembaca
semuanya,terutama dalam peningkatan pemahaman terhadap mata
Keperawatan Medikal Bedah I. Adapun, penyusunan makalah ini kiranya
masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami menghaturkan permohonan
maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Kami pun berharap
pembaca makalah ini dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada kami agar di kemudian hari kami bisa membuat makalah
yang lebih sempurna lagi.

Pekanbaru, 3 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ................................................................................................... 3
B. Tujuan ................................................................................................................. 4
C. Rumusan Masalah .............................................................................................. 4
D.Manfaat................................................................................................................ 4
SEVEN JUMP..................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 11
A. Definisi .................................................................................................................. 13
B. Tanda dan Gejala................................................................................................... 13
C. Pengobatan ............................................................................................................ 14
D. Cara Penularan ...................................................................................................... 17
E. Orang yang Berpotensi Terkena............................................................................ 18
F. Pencegahan ............................................................................................................ 20
G. Etiologi .................................................................................................................. 24
H. Patofisiologi dan WOC ......................................................................................... 24
I. Klasifikasi ............................................................................................................. 27
J. Pemeriksaan Diagnosa .......................................................................................... 31
K. Komplikasi ............................................................................................................ 35
L. Guedeline Nasional dan Internasional .................................................................. 36
M. Riwayat Penyakit .................................................................................................. 38
N. Asuhan Keperawatan Pasien TB Paru................................................................... 42
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 57
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 57
B. Saran ................................................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 58

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang di
sebabkan oleh infeksi menular oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
Sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya
hingga kematian (Kemenkes RI, 2015)
Penyakit TBC lebih banyak menyerang orang yang lemah
kekebalan tubuhnya, lanjut usia, dan pasien yang pernah terserang TBC
pada masa kanakkanaknya. Penyebab penyakit TBC adalah infeksi yang
diakibatkan dari kuman Mycobaterium tuberkulosis yang sangat mudah
menular melalui udara dengan sarana cairan yang keluar saat penderita
bersin dan batuk, yang terhirup oleh orang sekitarnya. Sebagian besar
kuman tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya (Depkes RI, 2009).
TB adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh dunia.
Pada tahun 2017, 10 juta orang jatuh sakit dengan TB (WHO,2018).
Berdasarkan Global TB Report WHO 2020, Indonesia merupakan negara
dengan beban Tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia. Diestimasikan
terdapat 845.000 kasus TBC baru setiap tahunnya dengan angka kematian
mencapai 98.000 kasus atau setara dengan 11 kematian/jam. Penularan dan
perkembangan penyakit TBC semakin meluas karena dipengaruhi oleh
faktor sosial seperti kemiskinan, urbanisasi, pola hidup yang kurang aktif,
penggunaan tembakau, dan alkohol (WHO, 2020).
TBC di Indonesia merupakan salah satu jenis penyakit penyebab
kematian nomor empat setelah penyakit stroke, diabetes dan hipertensi.
Kasus penyakit TBC di Indonesia masih terbilang tinggi yakni mencapai

3
sekitar 450 ribu kasus setiap tahun dan kasus kematian akibat TBC sekitar
65 ribu orang (Kemenkes RI, 2017)

B. Tujuan
Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang
penyakit Tuberkulosis dan Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan
keperawatan pada klien yang menderita Tuberkulosis.

C. Rumusan masalah
1. Apa saja tanda dan gejala Tuberkulosis?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada Tuberkulosis?
3. Bagaimana pengobatan Tuberkulosis?
4. Bagaimana cara penularan Tuberkulosis?
5. Siapa saja orang yang berpotensi terkena Tuberkulosis?
6. Bagaimana pencegahan Tuberkulosis?
7. Apa etiologi dari Tuberkulosis?
8. Bagaimana patofisiologi dari Tuberkulosis?
9. Apa saja klasifikasi Tuberkulosis?
10. Bagaimana pemeriksaan diagnostic (penujang dan labor)
Tuberkulosis?
11. Apa saja komplikasi dari Tuberkulosis
12. Apa saja Guideline Nasional dan Guideline Internasional
Tuberkulosis?
D. Manfaat
1. Untuk mengetahui tanda dan gejala Tuberkulosis
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Tuberkulosis
3. Untuk mengetahui pengobatan Tuberkulosis
4. Untuk mengetahui cara penularan Tuberkulosis
5. Untuk mengetahui Siapa saja orang yang berpotensi terkena
Tuberkulosis
6. Untuk mengetahui cara pencegahan Tuberkulosis
7. Untuk mengetahui etiologi dari Tuberkulosis

4
8. Untuk mengetahui patofisiologi dari Tuberkulosis
9. Untuk mengetahui klasifikasi Tuberkulosis
10. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic (penujang dan labor)
Tuberkulosis
11. Untuk mengetahui komplikasi dari Tuberkulosis
12. Untuk mengetahui Guideline Nasional dan Guideline Internasional
Tuberkulosis

SKENARIO
Batuk Tak Kunjung Reda
Ibu H berusia 26 tahun sedang menunggui suaminya dirawat
diruang isolasi rujukan dari Puskesmas B untuk di lakukan pemeriksaan
dan perawatan lanjutan. Keluhan yang terjadi adalah sudah hampir 1 bulan
batuk tidak kunjung sembuh, baatuk berdahak dan kadang-kadang
hemaptoe di sertai perasaan mual dan muntah tidak nafsu makan. Hamper
setiap malam temperatur tubuh meningkat di atas 38 . 1 hari sebelum
masuk rumah sakit suami ibu H mengalami tachipnoe dan merasa tidak
bertenaga serta diaphoresis. Kondisi suami ibu H saat ini terbaring di
tempat tidur dengan tubuhnya yang lemah dan kurus. Berat badan 45 kg
dengan tinggi badan 172 cm. Dokter menyarankan untuk dilakukan
pemeriksaan basil tahan asam (BTA) karena berdasarkan hasil
pemeriksaan thoraxphoto terdapat infiltrate diseluruh lapang paru. Dokter
juga memberikan obat OAT dan menyarankan untuk tidak putus obat.

SEVEN JUMP
A. Step 1
1. Isolasi
a. Yaitu upaya untuk menjauhkan orang yang terinfeksi dari orang
yang sehat guna menghentikan penyebaran virus
b. Tindakan memisahkan diri

5
2. Hemaptoe
Batuk berdarah atau sputum yang berdarah berasal dari saluran nafas
dibawah pita suara
3. Tachiptoe
Kondisi seseorang bernafas secara cepat dan dangkal
4. Diaphoresis
Keluarnya keringat secara mendadak meskipun tidak melakukan
aktivitas atau biasa di sebut keringat dingin
5. Thoraxphoto
a. Foto dada yang menunjukan jantung, paru-paru, saluran
pernapasan, pembuluh darah, dan nodus limfa.
b. Bisa juga menjukan tulang belakang dan dada, termasuk tulang
rusuk, tulang selangka, dan baidgian atas tulang belakang
6. Infiltrat
Kabut keputihan tipis pada paru yang terlihat melalui foto rontgen
dada akibat adanya dahak atau mucus
7. Obat OAT
Obat kombinasi yang diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk
mengobati penderitta tuberculosis dan bertujuan untuk mencegah lebih
lanjut kuman TBC
8. Pemeriksaan BTA
Prosedur untuk mendeteksi bakteri penyebab penyakit tuberkolosis
9. Pemeriksaan
Serangkaian kegiatan menghimpun dan engolah data, keterangan, atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
10. Temperature
Besaran fisika yang menyatakan derajat panas suatu zat

B. Step 2
1. Gejala apa saja yang di rasakan suami ibu H?
2. Apa saja kriteria pasien yang dirawat di ruang isolasi rujukan

6
3. Apa sebenarnya yang dialami oleh suami ibu H?
4. Apa yang terjadi pada suami ibu h jika teroutus mengonsumsi obat
OAT tersebut?
5. Apa yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan pemeriksaan BTA?
6. Bagaimana teknik pemeriksaan BTA?
7. Apa efek samping yang ditimbulkan setelah diberikan obat OAT?
8. Bagaimana cara kerja obat OAT?

C. Step 3
1. Gejala apa saja yang di rasakan suami ibu H?
Batuk tak kunjung reda selama 1 bulan,batuk berdahak, kadang-
kadang hemaptoe, perasaan mual muntah,tidak nafsu makan,dan
beberapa gejala lainnya
2. Apa saja kriteria pasien yang dirawat di ruang isolasi rujukan?
a. SARS, MERS, COVID-19
b. Difteri
c. Kolera
d. Tuberkulosis
e. Infeksi organisme yang resisten terhadap beragam obat (multi-
drug resistant organisms/MDRO)
f. Cacar air
g. HIV/AIDS
3. Apa yang terjadi pada suami ibu h jika terputus mengonsumsi obat
OAT tersebut?
Pengobatan TB tidak boleh dihentikan sendiri oleh pasien apapun
alasannya. Jika mengalami efek samping, sebaiknya segera kontrol ke
dokter agar diberikan penanganan pada efek samping yang terjadi. Jika
pengobatan TB dihentikan sendiri maka akan menjadi kasus TB putus
berobat. Dalam kasus ini, ada beberapa kemungkinan yaitu:

7
a. Pengobatan OAT dihentikan dan bisa dinyatakan selesai
pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis dan
laboratoris pasien
b. Melanjutkan pengobatan OAT hingga selesai
c. Mengulang pengobatan OAT dari awal dengan jangka
pengobatan lebih lama dan obat yang digunakan lebih kuat

4. Apa yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan pemeriksaan BTA?


Pasien yang akan menjalani pengambilan sampel dahak,tidak boleh
makan atau minum terlebih dahulu pada pagi hari setelah bangun
tidur.Setelah bangun tidur,pasien diharuskan menggosok giginya
sebelum melakukan pengambilan sampel dahak.Perlu diingat bahwa
pada saat menggosok giginya,pasien tidak boleh menggunakan obat
kumur antiseptik.
5. Bagaimana teknik pemeriksaan BTA?
Teknik pemeriksaan bakteri tahan asam atau BTA adalah
mengumpulkan sputum atau dahak pasien yang diduga terinfeksi
kuman Mycobacterium tuberculosis. Untuk mengeluarkan dahak,
terlebih dahulu pasien menghirup napas dalam-dalam dan menahannya
selama sekitar lima detik. Setelah ditahan, napas kemudian dikeluarkan
secara perlahan. Ulangi langkah menghirup napas, kemudian batukan
dengan keras hingga dahak naik ke mulut
6. Apa efek samping yang ditimbulkan setelah diberikan obat OAT?
Efek samping yang umumnya terjadi akibat
penggunaan OAT diantaranya adalah rasa mual, muntah, warna air
kencing yang berubah menjadi kemerahan, timbul ruam pada kulit, dan
lain-lain
7. Bagaimana cara kerja obat OAT?
Obat oat merupakan obat anti TBC. Cara kerja obat TBC ini adalah
dengan membunuh bakteri yang sedang membelah diri, yaitu dengan
menghambat proses pembuatan protein bakter

8
D. Step 4

Suami ibu H mengalami Tachipnoe dan Diaphoresis

Dirawat di rumah sakit

Asuhan keperawatan
pada pasien TB Paru

Pengkajian

Pemeriksaan dan perawatan lanjutan Pemeriksaan fisik

 Suhu 38
 Berat badan 48 kg
Pemeriksaan diagnostik  Tinggi badan 172 cm

Pemeriksaan penunjang

(pemeriksaan thoraxphoto)

Pemeriksaan laboratorium

(pemeriksaan BTA)

Diagnosa keperawatan
Edukasi supaya tidak
putus obat
Intervensi Keperawatan

Pemberian obat OAT


Implementasi keperawatan

Evaluasi
9
E. Step 5
1. Apa yang di maksud dengan Tuberkulosis?
2. Apa saja tanda dan gejala Tuberkulosis?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada Tuberkulosis?
4. Bagaimana pengobatan Tuberkulosis?
5. Bagaimana cara penularan Tuberkulosis?
6. Siapa saja orang yang berpotensi terkena Tuberkulosis?
7. Bagaimana pencegahan Tuberkulosis?
8. Apa etiologi dari Tuberkulosis?
9. Bagaimana patofisiologi dari Tuberkulosis?
10. Apa saja klasifikasi Tuberkulosis?
11. Bagaimana pemeriksaan diagnostic (penujang dan labor)
Tuberkulosis?
12. Apa saja komplikasi dari Tuberkulosis?
13. Apa saja Guideline Nasional dan Guideline Internasional
Tuberkulosis?

F. Step 6 (mandiri)
G. Step 7 (pembahasan Step 5)

10
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kuman Mycrobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus.
TBC paru tergolong penyakit air borne infection, yang masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru. Kemudian kuman
menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, melalui bronkus atau penyebaran langsung ke bagian tubuh
lainnya (Widyanto & Triwibowo, 2013).
Tuberkulosis paru adalah penyakit tropis infeksi yang menyerang paru-
paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis. Seorang penderita
tuberkulosis paru pada saat berbicara, batuk dan bersin dapat menularkan percikan
dahak yang mengandung Mycobacterium tuberkulosis. Orang-orang di sekeliling
pasien TB tersebut orang dapat terpapar dengan cara menghirup percik renik yang
mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas,
brunchus hingga alveoli (Kemenkes, 2017).
Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
basil mikrobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone
infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer
dari ghon. (Andra S.F & Yessie M.P, 2013). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit
infeksi yang menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang
menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosi jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular
dari penderita kepada orang lain (Manurung, 2013).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Sumber penularan yaitu pasien TB
BTA (bakteri tahan asam) positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya.
TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB meskipun dengan tingkat penularan yang kecil (Kemenkes RI, 2015).
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis (TBC), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh

11
lainnya. Penularan dapat terjadi ketika pasien TB batuk atau bersin, kuman
tersebar ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Infeksi akan
terjadi ketika orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak
infeksius tersebut (Kemenkes RI, 2014).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri micro tuberculosis yang dapat menular melalui percikan dahak.
Tuberkulosis (TB) bukan penyakit keturunan atau kutukan dan dapat
disembuhkan dengan pengobatan teratur, diawasi oleh Pengawasan Minum Obat
(PMO). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB. Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi bisa juga organ
tubuh lainnya. (Kemenkes, 2018).
Mycobacterium tuberculosis merupakan basil tahan asam berukuran 0,5-3
μm. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui droplet udara yang disebut
sebagai droplet nuclei (percikan dahak) yang dihasilkan oleh penderita TB paru
ataupun TB laring pada saat batuk, bersin, berbicara, ataupun menyanyi. Droplet
ini akan tetap berada di udara selama beberapa menit sampai jam setelah proses
ekspektorasi (Amanda, 2018). Basil Mycobacterium tuberculois mempunyai
ukuran cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dan bentuk dari basil ini
yaitu batang, tipis, lurus atau agak bengkok, bergranul, tidak mempunyai selubung
tetapi kuman ini mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipoid
(terutama asam mikolat). Sifat dari basil ini agak istimewa, karena dapat bertahan
terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol sehingga sering disebut
dengan basil tahan asam (BTA). Selain itu basil ini juga tahan terhadap suasana
kering dan dingin. Basil ini dapat bertahan pada kondisi rumah atau lingkungan
yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan namun basil ini tidak tahan
atau dapat mati apabila terkena sinar, matahari atau aliran udara
(Widoyono,2011). Kelompok bakteri mycobacterium selain Mycobakterium
tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai
MOTT (Mycobakterium Other Than Tuberkulosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC (Kemenkes RI, 2018).

12
B. Tanda dan Gejala
Ada beberapa gejala yang umum diderita oleh penderita tuberculosis, di
antaranya (Ayustawi, 2013):
Gejala sitematik/umum :
 Batuk, biasanya kronis dan berdahak. Pada anak, dahak sulit
dikeluarkan. Pada sebagian orang dapat terjadi batuk berdarah.
 Penurunan berat badan. Gejala ini hampir sering ditemui pada
penderita tuberculosis. Anak dengan tuberculosis terkadang hanya
mengalami penurunan berat badan tanpa adanya batuk.
 Keringat malam.
 Demam, biasanya penderita akan mengalami demam ringan dan
sering tidak diketahui sebabnya.
 Lemah dan lesu.
Gejala khusus :
 Tergantung organ tubuh mana yang terkena bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus.
 Kalau ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru, dapat
dirasakan dengan keluhan sakit dada.
 Bila mengenai tulang maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan
nanah.
Apabila seseorang terserang penyakit TBC, penyakit ini bisa berkembang
menjadi:
a. Tuberkulosis laten
Tuberkulosis laten berarti anda terserang bakteri Mycobacterium
tuberkulosis, tetapi status penyakit ini tidak aktif. Hal ini
disebabkan karena kekebalan tubuh penderita mencegah keluarnya
gejala gejala TBC. Bila kekebalan tubuh penderita melemah,
kondisi ini bisa menjadi aktif.
b. Tuberkulosis aktif

13
Ini berarti kuman TBC berkembang biak tidak terkendali,
menyebabkan kebalan badan tidak bisa melindungi lagi, dan gejala
gejala TBC muncul (Ayustawi, 2013)
Gejala penyakit TBC yang aktif:
• Batuk dengan dahak yang kental dan kekuningan, kadang disertai
dengan bercak berdarah.
• Perasaan lelah dan turunnya berat badan.
• Keringat dingin pada malam hari dan demam.
• Detak jantung menjadi lebih cepat dari biasanya.
• Adanya penbengkakan kelenjar getah bening.
• Sesak nafas dan sakit dada.
(Ayustawati, 2013)

C. Pengobatan
Pengobatan penderita tuberkulosis paru menggunakan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dengan metode Directly Observed Treatment
Shortcourse atau dikenal strategi DOTS (Kunoli, 2013). Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
tuberkulosis. Pengobatan tuberkulosis merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri tuberkulosis
(Kemenkes RI, 2014).
Tujuan pengobatan pada penderita tuberkulosis paru selain untuk
menyembuhkan/mengobati penderita juga mencegah kematian , mencegah
kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai
penularan (Wahid Abd, 2013).
Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu :
a. Tahap Intensif (2-3 bulan) Pada tahap intensif (awal) penderita
mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan untuk semua OAT, terutama rifampisin. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA positif menjadi

14
BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan
ketat dalam tahan intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
b. Tahap lanjutan (4-7 bulan) Pada tahap lanjutan penderita mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Panduan obat yang
digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomen dari WHO adalah Rifampisin,
INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedangkan jenis obat
tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin +
Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH

3 Obat Anti TBC yaitu :


1. Obat bacterisidal : Isoniasid (INH), rifampisin, pirasinamid
2. Obat dengan kemampuan sterilisasi : rifampisin, pirasinamid
(PZA)
3. Obat dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin,
isoniasid (INH), etambutol, dan streptomisin.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam


pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB
(KemenKes RI, 2014). Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip,
diantaranya adalah:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang tepat mengandung minimal 4 macam
obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat 17
3) Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO)

15
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) bukanlah obat tunggal, melainkan
kombinasi antara beberapa jenis, yaitu isoniazid, rimfampisin,
pirasinamid, dan etambutol pada tahap intensif; dan isoniazid, rifampisin
pada tahap lanjutan. Pada kasus tertentu, ditambahkan suntikan
streptomisin (Laban 2012).
Penderita dengan tuberkulosis pada dahulu hanya memakai satu
macam obat saja. Dengan hanya digunakannya satu macam obat itu,
banyak terjadi resistensi karena sebagian besar bakteri penyebab
tuberkulosis bisa dimatikan, tetapi sebagian kecil bakteri tidak dapat
dimatikan. Bagian kecil ini dapat berkembang biak dengan cepat. Maka
dari itu, untuk mencegah terjadinya resistensi ini, pengobatan tuberkulosis
dilakukan dengan memakai panduan obat, sedikitnya diberikan dua macam
obat yang bersifat bakterisid, yaitu obat primer dan obat sekunder (Setiati,
2014).
Meurut Setiati (2014), dibawah ini merupakan pengobatan
tuberkulosis paru menggunaakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
1) Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC paru BTA
(+), BTA (-) 18
2) Kategori II (2 HRZES/1 HRZE/H3R3E3) untuk pasien
ulangan pengobatan kategorinya I-nya gagal atau pasien
yang kambuh.
3) Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan
BTA (-), Ro (+)
4) Kategori IV (RHZES + obat lini) untuk pasien dengan
tuberkulosis kronik
5) Kategori IV (OAT lini 2 atau H seumur hidup) untuk pasien
MDR TB

Cara Pengobatan Terdiri dari 2 Fase :

16
a. Fase initial/fase intensif (2 bulan) : Fase ini membunuh kuman dengan
cepat, dalam waktu 2 minggu pasien infeksius menjadi tidak infeksi
dan gejala klinis membaik BTA positif akan menjadi negatif dalam
waktu 2 bulan. Pengobatan diberikan setiap hari dengan rekomendasi
oleh WHO menggunakan KDT (kombinasi dosis tetap) untuk
mengurangi terjadinya resistensi. Kombinasi obat yang diberikan ialah
isoniasid, rifampisin, pirasinamid, etambutol/streptomisin. Pengobatan
fase intensif berakhir bila pasien merespon terapi dengan baik dengan
melakukan pemantauan berat badan dan efek samping obat.
b. Fase Lanjutan (4-6 bulan) : Fase ini membunuh kuman persisten dan
mencegah relaps. Ada 2 macam obat yang diberikan setiap hari pada
fase ini, yakni isoniasid dan rifampisin. Pada pengobatan ini (fase I
dan II) membutuhkan pengawas minum obat (PMO).

D. Cara Penularan
Saat batuk atau bersin,penderita TBC dapat menyebarkan kuman
yangterdapat dalam dahak ke udara. Dalam sekali batuk, penderitaTBC
dapatmengeluarkan sekitar 3000 percikan dahak. Bakteri TB yang berada
diudara bisa bertahan berjam-jam ,terutama jika ruangan gelap dan
lembab,sebelum akhirnya terhirup oleh orang lain. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahakberada dalam waktu yang
lama.
Orang-orang yang berisiko tinggi terkena penularanTBC adalah
mereka yang sering bertemu atau berdiam ditempat yang sama dengan
penderita TBC ,seperti keluarga, teman sekantor, atau teman sekelas.
Meski demikian,pada dasarnya penularanTBC tidak semudah yang
dibayangkan. Tidak semua orang yang menghirup udara yang
mengandung bakteri TB akan langsung menderitaTBC. Pada kebanyakan
kasus,bakteri yang terhirup ini akan berdiam diparu paru tanpa
menimbulkan penyakit atau menginfeksi orang lain.Bakteri tetap ada
didalam tubuh sambil menunggu saat yang tepat untuk menginfeksi,yaitu
ketika daya tahan tubuh sedang lemah.

17
Menurut Kemenkes RI, 2014 cara penularan penyakit Tuberkulosis
adalah
a. Sumber penularan adalah pasien TBC BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TBC
dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam
dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga
sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TBC dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif
adalah 65%, pasien TBC BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur negatif dan foto toraks
positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dahak (
Kemenkes RI, 2014 dalam Pratiwi dan Fitriani, 2020).

E. Orang yang Berpotensi Terkena Tuberkulosis Paru


Menurut WHO, kaum perempuan lebih rentan terhadap kematian
akibat serangan TB Paru dibandingkan akibat proses kehamilan dan
persalinan. Pada laki-laki panyakit ini lebih tinggi karena rokok dan
minuman alcohol dapat menurunkan system pertahanan tubuh. Sehingga
wajar jika perokok dan peminum beralkohol sering disebut sebagai agen
dari penyakit tuberculosis paru (Naga,2012).
Orang yang berpotensi terkena TB paru, terdapat beberapa faktor:
1. Umur
Usia lebih 45thn memiliki prevalensi mengidap TB lebih tinggi dari
pada usia lainnya
2. Jenis kelamin

18
Pada tahun 2003 WHO melaporkan bahwa lebih banyak laki-laki dari
pada perempuan yang di diagnosis TB
3. Status gizi
Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan
respon imun tubuh terhadap penyakit tb, dibanding masyarakat yang
memiliki status gizi baik
4. Pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan diantaranya mengenai
rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan tentang
penyakit TB paru
5. Pekerjaan
Penyakit TB paru lebih banyak terjadi pada penduduk yang tidak
bekerja
6. Merokok
Yang berisiko adalah yang mengonsumsi lebih dari 20 thn dan jumlah
yang dikonsumsi lebih dari 10 batang
7. Hunian yang padat
Luas bangunan yang tidak seimbang dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen,dan bila ada anggota
keluarga yang terkena penyakit infeksi maka akan mudah tertular
kepada yang lain
8. Pencahayaan hunian
Pencahayaan yang kurang menyebabkan perkembangan TB paru
meningkat karena cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang
dapat membunuh kuman TB paru
Semua orang yang berada di ruangan yang sama dengan orang yang
batuk dan menghirup udara yang sama, berisiko menghirup kuman
tuberkulosis. Risikonya paling tinggi bagi mereka yang berada paling
dekat dengan orang yang batuk (Crofton, 2002). Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
terinfeksi TB dan menjadi sakit TB. HIV mengakibatkan kerusakan yang
luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga jika terjadi infeksi penyerta

19
(opportunistic tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat
bagi yang), seperti tuberkulosis maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula
(Kemenkes,2014).
Risiko tinggi yang tertular virus Tuberkulosis menurut Smeltzer &
Bare (2016), yaitu:
1) Mereka yang terlalu dekat kontak dengan pasien Tuberkulosis Paru
yang mempunyai Tuberkulosis Paru aktif.
2) Individu immunnosupresif (lansia, pasien dengan kanker, mereka
yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang terkontaminasi
HIV.
3) Menggunakan obat-obatan IV dan alkhoholik.
4) Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma,
tahanan, etnik dan juga ras minoritas, terutama pada anak-anak di
bawah usia 15 tahun dan dewasa muda sekitar usia 15 sampai 44
tahun).
5) Gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (diabetes, gagal ginjal
kronis, silikosis, dan penyimpanan gizi)
6) Individu yang tinggal di daerah perumahan yang kumuh atau sub
standar.
7) Pekerjaan (tenaga kerja kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas
yang mempunyai resiko tinggi).

F. Pencegahan
Francis (2011) menyatakan pencegahan penyakit tuberkulosis
dapat dilakukan dengan cara penyediaan nutrisi yang baik, sanitasi yang
adekuat, perumahan yang tidak terlalu padat dan udara yang segar
merupakan tindakan yang efektif dalam pencegahan TBC.
pencegahan TBC:

20
a. Pencegahan Primer
 Menyediakan sarana prasarana kesehatan, pemekriksaan bagi
penderita, orang yang kontak.
 Memakai masker saat berada ditempat ramai dan saat
berinteraksi dengan penderita TBC serta sering mencuci
tangan.
 Berikan penyuluhan tentang penyakit TB
 Menghindari kondisi social yang mempertinggi resiko
terjadinya infeksi( mis: kepadatan hunian).
 Mengatur ventilasi ruangan , membuka gorden atau jendela .
pencahayaan yg kurang dapat melembabkan ruangan dan
menjadi tempat yg baik untuk berkembang biak bagi bakteri
pathogen. Bakteri akan mati karena cahaya.
 Memisahkan alat makan dan minum dengan penderita.
b. Sekunder
 Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan
terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH
sebagai pencegahan
 Isolasi bagi pasien penderita berat di rumah sakit
 Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB
paru.
 Pemeriksaan foto rontgen pada orang orang yang positif TB
c. Tersier
 Mencegah bahaya penyakit paru kronis bagi para pekerja
tambang, pekerja semen, dan sebagainya karena menghirup
udara yang tercemar
 Rehabilitas

Banyak hal yang bisa dilakukan mencegah terjangkitnya


tuberkulosis paru. Pencegahan-pencegahan berikut dapat dilakukan oleh
penderita, masyarakat, maupun petugas kesehatan (Naga Sholeh, 2014).

21
a. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan
menutup mulut saat batuk, dan membuang dahak tidak
disembarang tempat.
b. Bagi masyarakat, pencegahan penuralan dapat dilakukan dengan
meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan
vaksinasi BCG.
c. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan
memberikan penyuluhan tentang penyakit tuberkulosis, yang
meliputi gejala, bahaya, dan akibat yang ditimbulkannya terhadap
kehidupan masyarakat pada umumnya.
d. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan
pemeriksaan terhadap orang-orang yang terinfeksi, atau dengan
memberikan pengobatan khusus pada penderita tuberkulosis paru.
Pengobatan dengan cara menginap di rumah sakit hanya dilakukan
bagi penderita dengan katagori berat dan memerlukan
pengembangan program pengobatannya, sehingga tidak
dikehendaki pengobatan jalan.
e. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan
desinfeksi, seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat,
perhatian khusus terhadap muntahan atau ludah anggota keluarga
yang terjangkit penyakit ini (piring, tempat tidur, pakaian), dan
menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
f. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak
langsung dengan penderita seperti keluarga, perawat, dokter,
petugas kesehatan, dan orang lain yang terindikasi, dengan vaksin
BCG dan tindan lanjut bagi yang positif tertular.
g. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu
dilakukan Tes Tuberculin bagi seluruh anggota keluarga. Apabila
cara ini menunjukan hasil negatif, perlu diulang pemeriksaantiap 3
bulan dan perlu penyelidikan intensif.
h. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan tuberkulosis aktif
perlu pengobatan yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah

22
ditetapkan oleh dokter untuk diminum dengan tekun dan teratur,
selama 6-12 bulan. Perlu diwaspadai adanya kebal terhadap obat-
obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

Menurut Mariadi (2017), pencegahan TBC dapat dilakukan dengan cara:


a. Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang
tepat. Sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita.
b. Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan
alat rontgen agar dapat melakukan diagnosis dini terhadap
penderita, kontak dan tersangka. Sediakan juga fasilitas pengobatan
terhadap penderita dengan resiko tinggi terinfeksi, sediakan tempat
tidur bagi mereka yang perlu mendapatkan peraawatan..
c. Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara penularan dan
pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosis dini.
d. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi
resiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
e. Program pemberantasan TB harusa ada diseluruh fasilitas
kesehatan dan di fasilitas dimana penderita HIV/ penderita
imunosupresi lainnya ditangani ( seperti di RS, tempat rehabilitasi,
panti asuhan, pemakai napza)
f. Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil
yang cukup efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten
menjadi TB klinis
g. Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan
diluar institusi untuk penderita yang mendapatkan pengobatan
dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan juga fasilitas
pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.
h. Terhadap mereka yang diketahui terkena infeksi HIV segera
dilakukan tes mautoux menggunakan PPD kekuatan sedang. ika
tes mautoux positif (indurasi ±5mm) maka segera sediakan atau
berikan obat profilaktik dengan catatan bahwayang bersangkutan
tidak menderita TB aktif. Sebaliknya terhadap semua penderita TB

23
aktif harus dilakukan pemeriksaan dan dilakukan konseling jika
fasilitas untuk itu tersedia.
i. Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB
Bovinum dengan cara menyembllih sapi-sapi yang tes
tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi sebelum dikonsumsi.

G. Etiologi
Tuberculosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia, dan yang
paling sering terkena adalah organ paru (Abd. Wahid, 2013). Proses terjadi
infeksi oleh Mycobacterium. tuberculosis biasanya secara inhalasi,
sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering
dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui
inhalasi basil yang mengandung droplet. Nuclei, khususnya yang didapat
dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung basil tahan asam (BTA) (Amin & Bahar, 2007)
Satu satunya yang diketahui menyebabkan tuberkulosis adalah
infeksi mycobacterium tuberculosis, dan ini dapat terjadi dengan
menghirup droplet yang ditularkan di udara yang mengandung nukleus
organisme atau menghirup nukleus kering yang di pindahkan melalui
aliran udara. Ini dapat terjadi di tempat belanja ketika penjamu berjalan
melewati anda dan batuk atau bersin. Berbicara, tertawa, atau menyanyi
dapat mengeluarkan droplet yang terinfeksi ke udara. Tidak setiap orang
akan terkena Tb, karena organisme nukleus harus sampai ke bagian jalan
napas yang berlebih untuk dapat tersangkut di dalam alveoli tempat
nukleus tersebut berkembang biak (Hurst, 2015).

H. Patofisiologi dan WOC


Tempat masuk kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan
infeksi terjadi melalui udara, (air bone), yaitu melalui inhalasi droplet yang

24
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang terinfeksi. Basil tuberkel
yang mencapai alveolus dan diinhalasi biasanya terdiri atas satu sampai
tiga gumpalan. Basil yang lebih besar cenderung bertahan di saluran
hidung dan cabang besar bronkus, sehingga tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruang alveolus, kuman akan mulai mengakibatkan
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak memfagosit bakteri di
tempat ini, namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari
pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada
sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus
difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui
getah bening menuju getah bening regional. Makrofag yang mengadakan
infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu, sehingga
membentuk sel tuberkel epitoloit yang 11 dikelilingi oleh foist. Reaksi ini
biasanya membutuhkan waktu 10-20 jam (Ardiansyah, 2012 dalam Erlina,
2020)).
Setelah seseorang menghirup Mycobakterium Tuberkolosis,
kemudiam masuk melalui mukosiliar saluran pernafasan, akhirnya basil
TBC sampai ke alveoli (paru), kuman mengalami multiplikasi di dalam
paru-paru disebut dengan Focus Ghon, melalui kelenjar limfe basil
mencapai kelenjar limfe hilus. Focus Ghon dan limfe denopati hilus
membentuk Kompleks Primer. Melalui kompleks Primer inilah basil dapat
menyebar melalui pembuluh darah samapi keseluruh tubuh.
Perjalanan penyakit selanjutnya ditentukan oleh banyaknya basil
TBC dan kemampuan daya tahan tubuh seseorang, kebanyakan respon
imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, namun sebagian
kecil basil TBC menjadi kuman Dorman. Kemudian kuman tersebut
menyebar kejaringan sekitar, penyebaran secara Bronchogen keparu-paru
sebelahnya, penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain
seperti; tulang, ginjal, otak (Ardiansyah, 2012)

25
 Pathway/WOC TB Paru

Droplet nucler/dahak yang mengandung


basil TBC (Mycobacterium Tuberculosis)

Faktor dari luar: Faktor dari dalam:


Batuk,bersin
• faktor toksik (alkohol, • Usia muda /
rokok) bayi
Dihirup masuk paru-paru
• Sosial ekonomi rendah • gizi buruk
• Terpapar penderita • lanjut usia
TBC Mycobacterium
• Lingkungan buruk menetap/dormant

Imunitas tubuh
Resiko tinggi
Kurang informasi menurun
penyebaran kuman

Membentuk sarang TB
Kurang pengetahuan
Pneumonia kecil/sarang primer

Broncus Pleura Infiltrasi setengah


bagian paru

Iritasi Menyebabkan
infiltrasi pleura
Sesak nafas
Peradangan pada bronkus
Terjadi gesekan
inspirasi dan eksperasi Distres pernafasan
Malais Batuk Pembuluh
e darah pecah

Anoreksi Sekret Resiko kerusakan


kental pertukaran gas
Batukdarah

Nyeri dada

BB Menurun
Bersihan jalan nafas
tidak efektif

Nutrisi kurang
dari kebutuhan Skema 2.1 Pathway TB Paru (Sumber: Amin & Hardhi, 2016).
26
I. Klasifikasi
Klasifikasi TB paru dibedakan menjadi 3, yaitu:
1) pembagian secara patologis, terdiri dari TB primer dan TB
sekunder
2) pembagian secara aktivitas radiologis: TB paru aktif, non aktif dan
bentuk aktif yang mulai menyembuh (quiescent)
3) pembagian secara radiologis (luas lesi)
Terdiri dari:
 TB minimal : terdapat sebagian kecil infiltrat nonaktivitas pada
satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi 1
lobus paru
 Moderatly advanced tuberculosis : ada kavitas dengan diameter
tidak lebih dari 4 cm
 Far advanced tuberculosis : terdapat infiltrat dan kavitas yang
melebihi moderatly advanced tuberculosis

Klasifikasi TBC berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian


Tuberkulosis tahun 2014 (Pratiwi dan Fitriani, 2020) adalah sebagai
berikut:
1. Klasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi:
a. Tuberkulosis Paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim
paru atau trakeobrankial. TB milier diklasifiksikan sebagai TB
paru karena terdapat lesi diparu. Pasien yang mengalami TB
paru dan ekstra paru haus diklasifikasikan sebagai kasus TB
paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ diluar
parenkim paru seperti pleura, abdomen, genitourinaria, kulit,
sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat
ditegakan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

27
a. Pasien baru TB Adalah pasien yang belum pernah
mendapatkan pengobatan sebelumnya atau sudah pernah
menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB. Adalah pasien yang
sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih
(≥dari 28 hari). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan
berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
 Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah
dinyatakan sembuh dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis
( baik karena kambuh atau reinfeksi).
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah
pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal
pada pengobatan terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat ( lost
to follow-up ): adalah pasien yang pernah diobati dan
dinyatakan lost to follow up ( klasifikasi ini sebelumnya
disebut sebagai pengobatan pasien setelah putus
berobat/ default).
 Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui. c.
Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.
Pengelompokan pasien berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB MR) : resistant terhadap lebih dari 1 jenis
OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.

28
c. Multi drug resistan (TB XDR) : resistant terhadap Isoniazid (H)
dan rifampisin secara bersamaan.
d. Extensive drug resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang
sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan ( Kanamisin, Kapreomisin,dan Amikasin ).
e. Resistan Rifampisin ( TB PR ) : resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain .
4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV.
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV):
adalah pasien TB dengan :
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mendapatkan ART.
 Hasil tes HIV positif pada saat didiagnosis TB. Apabila
pada pemeriksaan selanjutnya tes HIV menjadi positif,
pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai
pasien TB dengan HIV positif.
b. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB
tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat didiagnosa TB
ditetapkan. Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat
diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien hasrus disesuaikan
kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes terakhir (
Kemenkes RI, 2014).
c. Klasifikasi berdasarkan keparahannya

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas (Alfinri,


2018):
1. Tuberkulosis paru BTA (+)
a. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberculosis aktif.
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif.

29
2. Tuberkulosis paru BTA (-)
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberculosis
aktif.

Berikut klasifikasi TB menurut Depkes RI, 2011 sebagai berikut:


1. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu
pada TB paru.
a. Tuberkulosis paru Basil Tahan Asam (BTA) positif
(1) Sekurang-kurangnya spesimen dahak Sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS) 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya positif.
(2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan
menunjukkan gambaran tuberkulosis pada foto toraks
penderita.
(3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA dan biakan kuman
TB positif.
(4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan yang dilakukan
sebelumnya negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi
definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik
Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi:
(1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. (
(2) Foto thorak abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
(3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
(4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
2. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
a. Tuberculosis (TB) BTA negatif foto toraks positif dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan

30
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. Tuberculosis (TB) ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu:
(1) Tuberculosis ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar
limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
(2) Tuberculosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier,
perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
Tuberculosis tulang belakang, Tuberculosis usus,
Tuberculosis saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
 Bila seorang pasien Tuberculosis ekstra paru juga
mempunyai Tuberculosis paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat
sebagai pasien Tuberculosis paru.
 Bila seorang pasien dengan Tuberculosis ekstra paru
pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
Tuberculosis ekstra paru pada organ yang
penyakitnya paling berat.

J. Pemeriksaan Diagnostik Tuberkulosis Paru (Penunjang dan Labor)


1) Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Halim, 2017) ada beberapa pemeriksaan
penunjang yang harus dilakukan untuk mengecek apakah seseorang
itu terkena bakteri tuberkulosis.
Tes tuberkulin (Montoux) yaitu tes ini bertujuan untuk
memeriksa kemampuan reaksi hipersensitive tipe lambat, yang
dianggap mencerminkan potensi sistem imun seseorang. Pada
seseorang yang belum pernah terkena basil TB, sistem imun belum
terangsang untuk melawan basil TB. Pada anak uji tuberkulin
merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk

31
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi mycobacterium tuberculosis
dan sering digunakan dalam “screening tbc”. Efektifitas dalam
menemukan infeksi tbc dengan uji tuberkulin adalah lebih dari
90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita tbc
aktif uji tuberkulin positif 100% umur 1-2 tahun 92%, 2- 4 tahun
78%, 4-6 tahun 75%, dan umur 6-12 tahun 51%. Dari presentase
tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji
tuberkulin semakin kurang spesifik (Halim, 2017).
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai
sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan
uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri
bagian depan, disuntikkan intracutan (kedalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
a. Pembengkakan (indurasi) :
1. Pembekakan (indurasi): 0-4 mm, uji mantoux
negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi
mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (indurasi) : 5-9 mm, uji mantoux
meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik,
reaksi silang dengan mycobacterium atypikal atau
pasca vaksinasi BCG
3. Pembengkakan (indurasi) : >= 10 mm, uji mantoux
positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
mycobacterium tuberculosis,
b. Foto rontgen paru. Pada stadium pemula, TB akan lolos
dalam pemeriksaan jasmani, akan tetapi dengan
pemeriksaan foto paru semua basil-basil yang ada dalam
paru pasti akan terlihat dengan jelas,
c. Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum, yaitu teknik
pemeriksaan sputum sekarang bermacam-macam, tetapi
meskipun bermacam-macam pemeriksaannya hanya tes

32
sputum yang hanya ampuh untuk melihat apakah ada basil
TB di dalam paru-paru. Selain sputum, spesimen lain yang
harus diperiksa adalah sekret bronkus. Nilai tertinggi dalam
pemeriksaan sputum adalah hasil pembenihan yang positif.
Oleh sebab itu, diambil praktiknya sekali sputum BTA (+)
sudah dianggap untuk menentukan diagnosa tuberculosis
(Halim, 2017).
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada pasien Tb
paru yaitu:
2) Pemeriksaan laboratorium
a. Kultur
Pemeriksaan kultur bertujuan untuk
mengidentifikasikan suatu mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi klinis pada sistem pernapasan. Bahan
yang digunakan dalam pemeriksaan kultur yaitu sputum
dan apus tenggorok. Bahan pemeriksaan sputum dapat
mengidentifikasi berbagai penyakit seperti Tb paru,
pneumonia, bronkitis kronis dan bronkiektasis (Manurung,
2008).
b. Pemeriksaan sputum
Sputum adalah suatu bahan yang diekskresikan dari
traktus trakeobronkial dan dapat dikeluarkan dengan cara
membatukkan (Sutedjo, 2008). Pemeriksaan sputum
digunakan untuk mengidentifikasi suatu organisme
patogenik dan menentukan adanya sel-sel maligna di dalam
sputum. Jenis-jenis pemeriksaan sputum yang dilakukan
yaitu kultur sputum, sensitivitas dan Basil Tahan Asam
(BTA). Pemeriksaan sputum BTA adalah pemeriksaan
yang khusus dilakukan untuk mengetahui adanya
Mycobacterium tuberculosis. Diagnosa Tb paru secara pasti
dapat ditegakkan apabila di dalam biakan terdapat
Mycobacterium tuberculosis (Manurung, 2008).

33
Pemeriksaan sputum mudah dan murah untuk
dilakukan, tetapi kadang-kadang susah untuk memperoleh
sputum khususnya pada pasien yang tidak mampu batuk
atau batuk yang nonproduktif. Sebelum dilakukan
pemeriksaan sputum, pasien sangat dianjurkan untuk
minum air putih sebanyak 2 liter dan dianjurkan untuk
latihan batuk efektif. Untuk memudahkan proses
pengeluarkan sputum dapat dilakukan dengan memberikan
obat-obat mukolitik ekspektoran atau inhalasi larutan garam
hipertonik selama 20-30 menit. Apabila masih sulit, sputum
dapat diperoleh dengan bronkoskopi diambil dengan
broncho alveolar lavage (BAL) (Sudoyo, 2010).
Pemeriksaan sputum BTA dilakukan selama tiga
kali berturut-turut dan biakan atau kultur BTA dilakukan
selama 4- 8 minggu. Kriteria dari sputum BTA positif yaitu
sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA yang
terdapat dalam satu sedian (Manurung, 2008). Waktu
terbaik untuk mendapatkan sputum yaitu pada pagi hari
setelah bangun tidur, sesudah kumur dan setelah gosok gigi.
Hal ini dilakukan agar sputum tidak bercampur dengan
ludah (Sutedjo, 2008).

3) Pemeriksaan radiologi dada


Pemeriksaan radiologis atau rontgen dada bertujuan untuk
mendeteksi adanya penyakit paru seperti tuberkulosis, pneumonia,
abses paru, atelektasis, pneumotoraks, dll. Dengan pemeriksaan
rontgen dada dapat dengan mudah menentukan terapi yang
diperlukan oleh pasien dan dapat mengevaluasi dari efektifitas
pengobatan. Pemeriksaan radiologis dada atau rotgen dada pada
pasien Tb paru bertujuan untuk memberikan gambaran
karakteristik untuk Tb paru yaitu adanya lesi terutama di bagian
atas paru, bayangan yang berwarna atau terdapat bercak, adanya

34
kavitas tungga atau multipel, terdapat klasifikasi, adanya lesi
bilateral khususnya di bagian atas paru, adanya bayangan abnormal
yang menetap pada foto toraks. Lesi yang terdapat pada orang
dewasa yaitu di segmen apikal dan posterior lobus atas serta
segemen apikal lobus bawah (Manurung, 2008)

K. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penyakit TB paru, menurut (Puspasari,
2019) antara lain:
1. Nyeri tulang belakang. Nyeri punggung dan kekakuan adalah
komplikasi tuberculosis yang umum.
2. Kerusakan sendi. Atritis tuberculosis biasanya menyerang pinggul
dan lutut.
3. Infeksi pada meningen (meningitis). Hal tersebut dapat
menyebabkan sakit kepala yang berlangsung lama atau intermiten
yang terjadi selam berminggu-minggu.
4. Masalah hati atau ginjal. Hati dan ginjal memiliki fungsi membantu
menyaring limbah dan kotoran dari aliran darah. Apabila terkena
tuberkulosis maka hati dan ginjal akan terganggu.
5. Gangguan jantung. Hal tersebut bisa jarang terjadi, tuberculosis
dapat menginfeksi jaringan yang mengelilingi jantung,
menyebabkan pembengkakan dan tumpukan cairan yang dapat
mengganggu kemampuan jantung untuk memompa secara efektif.

Komplikasi dari TBC adalah :


a. Pleuritis Tuberkulosa
b. Efusi Pleura (cairan yang keluar ke dalam rongga pleura)
c. Tuberkulosa Milier
d. Meningitis Tuberkulosa (AP Zainita, 2019)

Adriansyah (2012) membagi komplikasi penyakit TBC itu dalam 2


kategori yaitu :

35
a. Komplikasi Dini
1. Pleuritis
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Laringitis
5. TB usus

b. Komplikasi lanjut
1. Obstruksi jalan napas
2. Kor pulmonale
3. Amiloidosis
4. Karsinoma paru
5. Sindrom gagal napas

L. Guedeline Nasional dan Internasional


1. Guideline nasional (program pemerintah) Tb paru
Berdasarkan Global TB Report WHO 2020, Indonesia merupakan
negara dengan beban Tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia.
Diestimasikan terdapat 845.000 kasus TBC baru setiap tahunnya dengan
angka kematian mencapai 98.000 kasus atau setara dengan 11
kematian/jam. Penularan dan perkembangan penyakit TBC semakin
meluas karena dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kemiskinan,
urbanisasi, pola hidup yang kurang aktif, penggunaan tembakau, dan
alkohol (WHO, 2020).
Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden nomor
67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis yang bertujuan
sebagai acuan bagi Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, serta Pemangku Kepentingan
lainnya dalam melaksanakan Penanggulangan TBC.
Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis ini mengatur mengenai:
a) Target dan strategi nasional Eliminasi TBC;

36
b) Pelaksanaan strategi nasional Eliminasi TBC;
c) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
d) Koordinasi percepatan Penanggulangan TBC;
e) Peran serta masyarakat;
f) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan
g) Pendanaan

2. Guideline international
 Program nasional pengendalian TB menerapkan strategi DOTS
(directly observed treatment short-course chemotherapy) sesuai
dengan rekomendasi WHO karena DOTS saat ini merupakan
strategi yang cost effective, dan hal ini sudah terbukti dalam
program nasional maupun di beberapa negara lainnya. Penerapan
yang efektif kelima strategi DOTS akan dapat mengurangi
penularan TB, mengurangi risiko terjadinya multy drug resistance
(MDR), mengurangi risiko gagal pengobatan, kambuh (relaps) TB
dan kematian akibat TB.
 DOTS merupakan stategi untuk pengendalian TB paru yang
bertujuan untuk memutuskan penularan penyakit TB paru sehingga
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB di
masyarakat. Ada lima komponen dalam strategi DOTS, yaitu:
(Inayah & Wahyono, 2019)
(1) Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program
TB nasional.
(2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
(3) Pengobatan TB dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat
(PMO).
(4) Kesinambungan persediaan OAT.
(5) Pencatatan dan pelaporan menggunakan buku untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi program
penanggulangan TB paru.

37
M. Riwayat Penyakit Tuberkulosis Paru
1) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Tuberkulosis dijuluki the great imitator, suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang
juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada
sejumlah pasien yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan
bahkan kadang-kadang asimptomatik (Muttaqin, 2008)
Keluhan yang sering menyebabkan pasien dengan TB paru
meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi
dua golongan, yaitu (Muttaqin, 2008):
(1) Keluhan Respiratori, meliputi :
a. Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan
merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah
keluhan batuk bersifat nonproduktif/produktif atau
sputum bercampur darah (Muttaqin, 2008)
b. Batuk Darah
Keluhan batuk darah pada klien dengan TB
paru selalu menjadi alasan utama klien untuk
meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan
rasa takut klien pada darah yang keluar dari jalan
napas. Perawat harus menanyakan seberapa banyak
darah yang keluar atau hanya berupa blood streak,
berupa garis, atau bercak-bercak darah (Muttaqin,
2008).
c. Sesak Napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan
parenkim paru sudah luas atau karena hal-hal yang

38
menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks,
anemia, dan lain-lain (Muttaqin, 2008)
d. Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri
ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan
di pleura terkena TB (Muttaqin, 2008).
(2) Keluhan Sistemis, meliputi:
a. Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya
timbul pada sore atau malam hari mirip demam
influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan masa bebas
serangan semakin pendek (Muttaqin, 2008).
b. Keluhan Sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat
malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan
malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat
bersifat gradual muncul dalam beberapa minggu
bulan. Akan tetapi penanmpilan akut dengan batuk,
panas, dan sesak napas walaupun jarang dapat juga
timbul menyerupai gejala pneumonia (Muttaqin,
2008).
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini dialkukan untuk mendukung keluhan
utama. Pengkajian yang ringkas dengan PQRST dapat
memudahkan perawat untuk melengkapi data pengkajian.
Apabila, keluhan utama klien adalah sesak napas, maka
perawat perlu mengarahkan atau menegaskan pertanyaan
untuk membedakan antara sesak napas yang disebabkan
oleh gangguan pada sistem pernapasan dan kardiovaskular.
Sesak napas yang ditimbulkan oleh TB paru, biasanya akan
ditemukan gejala jika tingkat kerusakan parenkim paru

39
sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertainya
seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.
Pengkajian ringkas dengan menggunakan PQRST yaitu,
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang
apabila istirahat. Quality of Pain: seperti apa rasa sesak
napas yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah rasa
sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan
pernapasan. Region: dimana rasa berat dalam melakukan
pernapasan. Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala sesak sesuai
klasifikasi sesak napas dan klien menerangkan seberapa
jauh sesak napas memengaruhi aktivitas sehari-hari. Time:
berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari, sifat
mula timbulnya (onset), tentukan apakah gejala timbul
mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah
gejala timbul secara terus menerus atau hilang timbul
(intermitten), apa yang sedang dilakukan klien pada saat
gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala
tersebut pertama kali muncul, dan apakah pasien pernah
menderita penyakit yang sama sebelumnya (Muttaqin,
2008).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Menurut (Muttaqin, 2008) pengkajian yang
mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada
masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah
bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru
seperti diabetes melitus. Tanyakan mengenai obat-obat
yang biasa diminum oleh klien pada masa yang lalu yang
masih relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan

40
antitusif. Catat adanya efek samping yang terjadi dimasa
lalu. Adanya alergi obat juga harus ditanyakan serta reaksi
alergi yang timbul. Sering kali klien mengacaukan suatu
alergi dengan efek samping obat. Kaji lebih dalam tentang
seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam
bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit
serta adanya anoreksia dan mual yang disebabkan karena
meminum OAT (Muttaqin, 2008).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Menurut (Muttaqin, 2008) secara patologi TB paru
tidak diturunkan, tetapi perawat menanykan apakah
penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya
sebagai faktor predisposisi penularan didalam rumah.
e. Riwayat Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian psikologis pasien meliputi beberapa
dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
presepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif dan
perilaku pasien. Perawat mengumpulkan data hasil
pemeriksaan awal pasien tentang kapasitas fisik dan
intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan
tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spritual yang
seksama. Pada kondisi klinis, pasien dengan Tuberkulosis
sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai dengan
keluhan yang dialaminya. Perawat juga perlu menanyakan
kondisi pemukiman pasien bertempat tinggal. Hal ini
penting, mengngat TB paru sangat rentan dialami oleh
mereka yang bertempat tinggal dipemukiman padat dan
kumuh karena populasi bakteri TB paru lebih mudah hidup
ditempat kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan sinar
matahari yang kurang. TB paru merupakan penyakit yang
pada umumnya menyerang masyarakat miskin karena tidak

41
sanggup meningkatkan daya tahan tubuh nonspesifik dan
mengonsumsi makanan yang kurang bergizi, dan juga tidak
mampu untuk membeli obat, ditambah lagi kemiskinan
membuat pasien diharuskan bekerja bekerja secara fisik
sehingga mempersulit penyembuhan penyakitnya. Pasien
TB kebanyakan berpendidikan rendah, akibatnya mereka
sering kali tidak menyadari bahwa penyembuhan penyakit
dan kesehatan merupakan hal yang penting. Padahal, taraf
hidup yang baik amat dibutuhkan untuk penjagaan
kesehatan pada umumnya dan dalam menghadapi infeksi
pada khususnya (Muttaqin, 2008).

2) Infeksi Primer
Infeksi primer merupakan saat orang pertama kali terpapar
dengan kuman tuberkulosis. Masa inkubasi untuk penyakit ini
sekitar 6 bulan. Droplet yang terhirup sangat kecil ukuranya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan
cara pembelahan diri diparu yang menyebabkan peradangan di
dalam paru. Saluran limfe akan mambawa kuman TB ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks
primer. Waktu antara terjadinnya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah hsekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh
(imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut
dapat menghentikan perkembangan kuman TB, meskipun
demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister atau dormant (tidur). Jika daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, dalam beberapa bulan orang
tersebut akan menjadi penderita TB.

42
3) Post Primary Tuberculosis
Tuberkulosisi pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa
bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya
tahan tubuh menurun akibat infeksi HIV atau status gizi yang
buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kapitas atau efusi pleura. Infeksi
HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity), sehingga bila terjadi infeksi
opportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB
akan meningkat, dengan demikian penularan TB dimasyarakat
akan meningkat pula.

N. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tuberkulosis Paru


1. Pengkajian
Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan TB paru
(Irman Somantri, p.68 2009).
a. Data Pasien
Penyakit TB paru dapat menyerang manusia mulai dari usia
anak sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama
antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak
ditemukan pada pasien yang tinggal didaerah dengan tingkat
kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari kedalam
rumah sangat minim. TB paru pada anak dapat terjadi pada usia
berapapun, namun usia paling umum adalah antara 1-4 tahun.
Anak-anak lebih sering mengalami TB diluar paru-paru
(extrapulmonary) disbanding TB paru dengan perbandingan 3:1.
TB diluar paru-paru adalah TB berat yang terutama ditemukan
pada usia <3 tahun. Angka kejadian (pravelensi) TB paru pada usia
5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah usia remaja

43
dimana TB paru menyerupai kasus pada pasien dewasa (sering
disertai lubang/kavitas pada paru-paru).
b. Riwayat Kesehatan
Keluhan yang sering muncul antara lain:
a) Demam: subfebris, febris (40-41oC) hilang timbul.
b) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini
terjadi untuk membuang/mengeluarkan produksi radang
yang dimulai dari batuk kering sampai dengan batuk
purulent (menghasilkan sputum).
c) Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang
sampai setengah paru-paru.
d) Keringat malam.
e) Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila
infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
f) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot,
keringat malam.
g) Sianosis, sesak nafas, kolaps: merupakan gejala atelektasis.
Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan
jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada
sisi yang sakit nampak bayangan hitam dan diagfragma
menonjol keatas.
h) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena
biasanya penyakit ini muncul bukan karena sebagai
penyakit keturunan tetapi merupakan penyakit infeksi
menular.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
a) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh
b) Pernah berobat tetapi tidak sembuh
c) Pernah berobat tetapi tidak teratur
d) Riwayat kontak dengan penderita TB paru

44
e) Daya tahan tubuh yang menurun
f) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur
g) Riwayat putus OAT.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang menderita TB
paru. Biasanya ada keluarga yang menderita penyakit keturunan
seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan lainnya.
e. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
a) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan
sakitnya
b) Jenis, warna, dan dosis obat yang diminum.
c) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan
dengan penyakitnya
d) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
f. Riwayat Sosial Ekonomi
a) Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu, dan tempat bekerja,
jumlah penghasilan.
b) Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat
berkomunikasi dengan bebas, menarik diri, biasanya pada
keluarga yang kurang mampu, masalah berhubungan dengan
kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan
biaya yang banyak, masalah tentang masa depan/pekerjaan
pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.
g. Faktor pendukung
a) Riwayat lingkungan.
b) Pola hidup: nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola
istirahat dan tidur, kebersihan diri.
c) Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang
penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
h. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: biasanya KU sedang atau buruk
a. TD : Normal ( kadang rendah karena kurang istirahat)

45
b. Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat
c. Pernafasan : biasanya nafas pasien meningkat (normal : 16-
20x/i)
d. Suhu : Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam hari.
Suhu mungkin tinggi atau tidak teratur. Seiring kali tidak
ada demam
a) Kepala
Inspeksi : Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak
meringis, konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik, hidung tidak
sianosis, mukosa bibir kering, biasanya adanya pergeseran
trakea.
b) Thorak
Inpeksi : Kadang terlihat retraksi interkosta dan tarikan dinding
dada, biasanya pasien kesulitan saat inspirasi
Palpasi : Fremitus paru yang terinfeksi biasanya lemah Perkusi
: Biasanya saat diperkusi terdapat suara pekak
Auskultasi : Biasanya terdapat bronki
c) Abdomen
Inspeksi : biasanya tampak simetris
Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : biasanya terdapat suara tympani
Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar
d) Ekremitas atas
Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak
ada edema
e) Ekremitas bawah
Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak
ada edema
i. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kultur sputum: Mikobakterium TB positif pada tahap akhir
penyakit.

46
b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15
mm terjadi 48-72 jam).
c. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas; pada tahap
dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas
tidak jelas; pada kavitas bayangan, berupa cincin; pada
klasifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi.
d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan
paru karena TB paru.
e. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
f. Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital
menurut
j. Pola Kebiasaan Sehari-hari
a) Pola aktivitas dan istirahat
Subyektif: rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. Sesak
(nafas pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada
malam hari. Obyektif: Takikardia, takipnea/dispnea saat
kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai
setengah paru), demam subfebris (40-41oC) hilang timbul.
b) Pola Nutrisi
Subyektif: anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat
badan. Obyektif: turgor kulit jelek, kulit kering/berisik,
kehilangan lemak sub kutan.
c) Respirasi
Subyektif: batuk produktif/non produktif sesak nafas, sakit dada
Obyektif: mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum
hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah,
pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah,
kasar didaerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis
parenkim paru dan pleural), sesak nafas, pengembangan
pernafasan tidak simetris (effusi pleura), perkusi pekak dan

47
penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran
bronkogenik).
d) Rasa nyaman/nyeri
Subyektif: nyeri dada meningkat karena batuk berulang
Obyektif: berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi,
gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura
sehingga timbul pleuritis.
e) Integritas Ego
Subyektif: faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak
berdaya/tak ada harapan. Obyektif: menyangkal (selama tahap
dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.

2. Diagnosa Keperawatan
 Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mokus
dalam jumlah berlebihan, eksudat dalam jalan alveoli, sekresi
bertahan/sisa sekresi
 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
keletihan, keletihan otot pernapasan
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran alveolarkapiler
 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan
 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
 Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit
 Kurangnya volume cairan berhubungan dengan kegagalan
mekanisme regulasi
 Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
 Resiko perdarahan berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang kewaspadaan perdarahan
 Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum

48
 Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan,
infeksi/ kontaminan interpersonal, ancaman pada konsep diri

49
3. Rencana keperawatan
Rencana keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien dengan TB
paru adalah sebagai berikut:
Diagnosa
NOC NIC
Keperawatan
Ketidakefektifan Setelah dilakukan Management jalan
bersihan jalan tindakan keperawatan nafas (SIKI: I.01011)
napas berhubungan diharapakan status a) Bersihkan jalan
dengan mokus dalam pernafasan : kepatenan nafas dengan teknik
jumlah berlebihan, jalan nafas dengan chin lift atau jaw
eksudat dalam jalan (SLKI: L.01001) thrust sebagai mana
alveoli, sekresi mestinya
bertahan/sisa sekresi kriteria hasil : b) Posisikan pasien
(SDKI: D.0149). a) Frekuensi untuk
pernafasan tidak ada memaksimalkan
Definisi : deviasi dari kisaran ventilasi
Ketidakmampuan normal c) Identifikasi
membersihkan b) Irama pernafasan kebutuhan
sekresi atau obstruksi tidak ada deviasi dari aktual/potensial
dari saluran nafas kisaran normal pasien untuk
untuk c) Kemampuan untuk memasukkan alat
mempertahankan mengeluarkan secret membuka jalan nafas
bersihan jalan nafas tidak ada deviasi dari d) Lakukan
kisaran normal fisioterapi dada
Batasan karakteristik d) Suara nafas sebagai mana
: 1. Batuk yang tidak tambahan tidak ada mestinya
efektif e) Dispnea dengan e) Buang secret
2. Dyspnea aktifitas ringan tidak dengan memotivasi
3. Gelisah ada pasien untuk
4. Kesulitan f) Penggunaan otot melakukan batuk
verbalisasi bantu pernafasan tidak atau menyedot lender

50
5. Penurunan bunyi ada f) Instruksikan
nafas bagaimana agar bias
6. Perubahan Status pernafasan: melakukan batuk
frekensi nafas ventilasi dengan efektif
7. Perubahan pola kriteria hasil: g) Auskultasi suara
nafas a) Frekuensi nafas
8. Sputum dalam pernafasan tidak ada h) Posisikan untuk
jumlah yang deviasi dari kisaran meringankan sesak
berlebihan normal nafas
9. Suara nafas b) Irama pernafasan
tambahan tidak ada deviasi dari Monitor pernafasan
kisaran normal a) Monitor
Faktor yang c) Suara perkusi nafas kecepatan, irama,
berhubungan tidak ada deviasi dari kedalaman dan
1. Lingkungan kisaran normal kesulitan bernafas
a) Perokok d) Kapasitas vital tidak b) Catat pergerakan
b) Perokok pasif ada deviasi dari dari dada, catat
c) Terpajan asap kisaran normal ketidaksimetrisan,
penggunaan otot
2. Obstruksi jalan bantu pernafasan dan
nafas retraksi otot
a) Adanya jalan c) Monitor suara
nafas buatan nafas tambahan
b) Benda asing d) Monitor pola
dalam jalan nafas nafas
c) Eksudat dalam e) Auskultasi suara
alveoli nafas, catat area
d) Hyperplasia pada dimana terjadi
dinding bronkus penurunan atau tidak
e) Mucus berlebihan adanya ventilasi dan
f) Spasme jalan nafas keberadaan suara
nafas tambahan

51
3. Fisiologis f) Kaji perlunya
a) Disfungsi penyedotan pada
neuromuskular jalan nafas dengan
b) Infeksi auskultasi suara
nafas ronki di paru
g) Monitor
kemampuan batuk
efektif pasien
h) Berikan bantuan
terapi nafas jika
diperlukan (misalnya
nebulizer)
Ketidakefektifan Setelah dilakukan Manajemen jalan
pola nafas tindakan keperawatan nafas (SIKI: I.01014)
berhubungan dengan diharapkan status a) Bersihkan jalan
hiperventilasi (SDKI: pernafasan: ventilasi nafas dengan teknik
D.0005) Dengan kriteria hasil chin lift atau jaw
(SLKI: L01004) thrust sebagai mana
Definisi: a) frekuensi pernafasan mestinya
Batasan karakteristik tidak ada deviasi dari b) Posisikan pasien
1. Bradipnea kisaran normal untuk
2. Dyspnea b) Irama pernafasan memaksimalkan
3. Penggunaan otot tidak ada deviasi dari ventilasi
bantu pernafasan kisaran normal c) Identifikasi
4. Penurunan c) Suara perkusi nafas kebutuhan
kapasitas kapasitas tidak ada deviasi dari aktual/potensial
vital kisaran normal pasien untuk
5. Penurunan tekanan d) Kapasitas vital tidak memasukkan alat
ekspirasi ada deviasi dari dari membuka jalan nafas
6. Penurunan tekanan kisaran normal d) Lakukan
inspirasi fisioterapi dada
7. Pernafasan bibir sebagai mana

52
8. Pernafasan cuping mestinya
hidung e) Buang secret
9. Takipnea dengan memotivasi
pasien untuk
Factor yang melakukan batuk
berhubungan atau menyedot lender
1. Ansietas f) Instruksikan
2. Cedera medulla bagaimana agar bias
spinalis melakukan batuk
3. Hiperventilasi efektif
4. Keletihan g) Auskultasi suara
5. Keletihan otot nafas
pernafasan h) Posisikan untuk
6. Nyeri meringankan sesak
7. Obesitas nafas
8. Posisi tubuh yang
menghambat Terapi oksigen
ekspansi paru a) Pertahankan
kepatenan jalan nafas
b) Siapkan peralatan
oksigen dan berikan
melalui system
humidifier
c) Berikan oksigen
tambahan seperti
yang diperintahkan
d) Monitor aliran
oksigen
e) Monitor efektifitas
terapi oksigen
f) Amati tanda-tanda
hipoventialsi induksi

53
oksigen
g) Konsultasi dengan
tenaga kesehatan lain
mengenai
penggunaan oksigen
tambahan selama
kegiatan dan atau
tidur
Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Terapi oksigen
gas berhubungan tindakan keperawatan a) Pertahankan
dengan perubahan diharapakan status kepatenan jalan nafas
membran alveolar- pernafasan : pertukaran b) Siapkan peralatan
kapiler (SDKI: gas dengan kriteria oksigen dan berikan
D.0003) hasil (SLKI: L.01003) melalui system
a) Tekanan parsal humidifier
Definisi : Kelebihan oksigen di darah arteri c) Berikan oksigen
atau deficit (PaO2) tidak ada tambahan seperti
oksigenasi dan/atau deviasi dari kisaran yang diperintahkan
eliminasi normal d) Monitor aliran
karbondioksida b) Tekanan parsial oksigen
pada membrane karbondioksisa di e) Monitor efektifitas
alveolar-kapiler darah arteri (PaCO2) terapi oksigen
Batasan karakteristik tidak ada deviasi dari f) Amati tanda-tanda
1. Diaphoresis kisaran normal hipoventialsi induksi
2. Dyspnea c) Saturasi oksigen oksigen
3. Gangguan tidak ada deviasi dari g) Konsultasi dengan
penglihatan kisaran normal tenaga kesehatan lain
4. Gas darah arteri d) Keseimbangan mengenai
abnormal ventilasi dan perfusi penggunaan oksigen
5. Gelisah tidak ada deviasi dari tambahan selama
6. Hiperkapnia kisaran normal kegiatan dan atau
7. Hipoksemia tidur

54
8. Hipoksia Tanda-tanda vital
9. pH arteri dengan kriteria hasil : Monitor tanda-tanda
abnormal a) Suhu tubuh tidak vital
10. pola pernafasan ada deviasi dari kisaran a) Monitor tekanan
abnormal normal darah, nadi, suhu dan
11. sianosis b) Denyut nadi radial status pernafasan
tidak ada deviasi dari dengan tepat
factor berhubungan kisaran normal b) Monitor tekanan
1. ventilasi-perfusi c) Tingkat pernafasan darah saat pasien
2. perubahan tidak ada deviasi dari berbaring, duduk dan
membrane alveolar kisaran normal berdiri
ketidakseimbangan - d) Irama pernafasan c) sebelum dan
kapiler tidak ada deviasi dari setelah perubahan
kisaran normal posisi
e) Tekanan darah d) Monitor dan
sistolik tidak ada laporkan tanda dan
deviasi dari kisaran gejala hipotermia
normal dan hipertermia
f) Tekanan darah e) Monitor
diastolik tidak ada keberadaan nadi dan
deviasi dari kisaran kualitas nadi
normal f) Monitor irama dan
tekanan jantung
g) Monitor suara
paru- paru
h) Monitor warna
kulit, suhu dan
kelembaban
Identifikasi
kemungkinan
penyebab perubahan
tanda-tanda vital

55
4. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing order untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
Ada 3 tahap implementasi :
4.1 Fase orentasi
Fase orientasi terapeutik dimulai dari perkenalan klien
pertama kalinya bertemu dengan perawat untuk melakukan
validasi data diri.
4.2 Fase kerja
Fase kerja merupakan inti dari fase komunikasi terapeutik,
dimana perawat mampu memberikan pelayanan dan asuhan
keperawatan, maka dari itu perawat diharapakan mempunyai
pengetahuan yang lebih mendalam tentang klien dan masalah
kesehatanya.
4.3 Fase terminasi
Pada fase terminasi adalah fase yang terakhir, dimana
perawat meninggalkan pesan yang dapat diterima oleh klien
dengan tujuan, ketika dievaluasi nantinya klien sudah mampu
mengikuti saran perawat yang diberikan, maka dikatakan
berhasil dengan baik komunikasi terapeutik perawat-klien
apabila ada umpan balik dari seorang klien yang telah
diberikan tindakan atau asuhan keperawatan yang sudah
direncanakan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dari semua

56
tindakan keperawatan yang telah diberikan dengan menggunakan
SOAP (subyektif, obyektif, analisa, dan perencanaan).

57
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan
bronkus. TBC paru tergolong penyakit air borne infection, yang masuk ke
dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru.
Gejala penyakit TBC yang aktif dapat berupa: Batuk dengan dahak
yang kental dan kekuningan, kadang disertai dengan bercak berdarah,
Perasaan lelah dan turunnya berat badan, keringat dingin pada malam hari
dan demam, detak jantung menjadi lebih cepat dari biasanya. adanya
penbengkakan kelenjar getah bening, sesak nafas dan sakit dada.
pencegahan penyakit tuberkulosis dapat dilakukan dengan cara penyediaan
nutrisi yang baik, sanitasi yang adekuat, perumahan yang tidak terlalu
padat dan udara yang segar merupakan tindakan yang efektif dalam
pencegahan TBC.

B. Saran
Kepada para pembaca kami ucapkan selamat belajar dan
manfaatkanlah makalah ini dengan sebaik-baiknya. Diharapkan dengan
adanya makalah ini, pembaca khususnya kita sebagai perawat dapat
memahami tentang penyakit tuberkulosis dalam rangka memajukan
kesehatan masyarakat serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

57
DAFTAR PUSTAKA

Abd.wahid. 2013. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta: CV Sangung Seto.
Alfinri, Liyandita Caesar. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Tb
Paru Di Ruang Seruni Rsud Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Proyek
Akhir. Samarinda: Program ahlimadya Keperawatan Poltekkes Kemenkes
Kalimantan Timur.
Amanda, Gina. 2018. Peran Aerosol Mycobacterium tuberculosis pada
Penyebaran Infeksi Tuberkulosis. CDK-260. 45.
Amin & hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda, Nic, Noc Dalam Berbagai Kasus Jilid 1. Yogyakarta:
Mediaction.
Amin, Z.,Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru, dalam B. Setyohadi, I. Alwi, M.
Simadibarata, S. Setiati (Editor). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. pp. 988 – 994.
Andra F.S & Yessie M.P. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah. Yogyakarta: DIVA Press.
Ayustawati, 2013. Mengenali Keluhan Anda : Info Kesehatan Umum untuk
Pasien. Jakarta: InformasiMedika.
Crofton, J. 2002. Tuberkulosis Klinis (2nd ed.). Jakarta: PT Widiya Medika
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan
RI Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta :
Gerdunas TB.
Erlina, Elin. 2020. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Tb Paru Di
Puskesmas Siak Hulu I Kabupaten Kampar Tahun 2020. Proyek Akhir.
Pekanbaru: Program Studi DIII Keperawatan Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau.
Francis Caia. 2011 . Respiratory Care. Diterjemahkan oleh Tini Stella. Jakarta :
Erlangga

58
Halim dan Budi, Satria. 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB
Paru Di Puskesmas Sempor I Kebumen. Jurnal Kesmas Jambi Vol. 1 No.
1.
Hulu, Victor Trismanjaya, dkk. 2020. Epidemiologi Penyakit Menular: Riwayat,
Penularan dan Pencegahan. Yayasan Kita Menulis
Hurst, Marlene. 2015. Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 1.
Jakarta : EGC.
Inayah S, Wahyono B. 2019. Artikel I. Penanggulangan Tuberkulosis Pare
Dengan Stategi DOTS. 3(2):223–33.
Laban Y. 2012. TBC : Penyakit dan Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Kanisius.
Manurung, Santa. 2013. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Media.
Manurung, S. dkk. 2008. Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi. Jakarta:
CV. Trans Info Media.
Masriadi, H. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: Rajawali Pers, hal:
346 – 353.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gannguan
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika.
Kementerian Kesehaan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes. 2017. Modul Pelatihan Pencegahan Pengedalian Penyakit TB. Jakarta
: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018.
Jakarta: Kemenkes RI.
Kunoli, F. J. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans
Info Media.
Naga, S.Sholeh. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jogjakarta:
Diva Press.

59
Naga, Sholeh S. 2014. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta:
DIVA Press.
Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
Pratiwi dan Fitriani. 2020. Buku Ajar TBC, ASKEP, dan Pengawasan Minum
Obat Dengan Media Telepon. Pamulang: STIkes Widya Dharma Husada
Tangerang.
Puspasari, S. F. A. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Yogyakarta: PT.Pustaka Baru.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 1132-53.
Smeltzer & Bare. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Volume 1.
Kediri: EGC.
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Sudoyo, A. W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (IV). Jakarta:
InternaPublishing.
Sutedjo, A. 2008. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books.
World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2018. World Health
Organization. 2020.
WHO. Global Tuberculosis Report 2020. World Health Organization. 2020
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Edisi ke 2. Jakarta: Erlangga
Widyanto, F. C., & Triwibowo, C. 2013. Trend Disease. Jakarta: Trans Info
Media.
Zainita. 2019. Penerapan Batuk Efektif dalam Mengeluarkan Secret pada Pasien
Tuberkulosis dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Keluarga. skripsi
thesis. Yogyakarta : Poltekkes Kemenkes

60
61

Anda mungkin juga menyukai