Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Adriani adalah iuran kepada negara yang
terutang oleh wajib pajak berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi secara
langsung. Dengan demikian pajak merupakan kewajiban warga negara yang harus dibayarkan
kepada negara. Negara mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan
masyarakat dan untuk itu memerlukan biaya. Biaya ini diperoleh dari masyarakat melalui
pemungutan pajak, artinya pajak merupakan kewajiban warga negara untuk membiayai rumah
tangga negara. Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu segala sesuatu harus
berdasarkan pada hukum. Sejalan dengan hal ini dalam hal perpajakan, harus ada hukum yang
mengatur jalanya perpajakan di Indonesia. Hukum pajak adalah himpunan peraturan yang
mengatur hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak, tentang siapa; dalam hal apa
dikenai pajak; timbulnya kewajiban pajak; cara pemungutanya serta penagihannya.

Pada masa sekarang ini negara Republik Indonesia sedang giat-giatnya dalam
melaksanakan pembangunan untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai negara yang sedang berkembang yang
masih dalam tahap pembangunan, maka agar pembangunan berjalan dengan lancar
dibutuhkan pembiayaan yang cukup besar dan pengelolaan dana yang efisien. Dana itu dapat
diperoleh dari sektor perpajakan atau dengan kata lain dari pajak yang dibayar oleh seluruh
wajib pajak, dengan demikian dapat diketahui bahwa pembangunan yang ada di negara kita
adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam praktek perpajakan, sering terjadi
kesalahan-kesalahan atau tindakan yang merugikan kepentingan umum, baik itu yang dilakukan
oleh pegawai perpajakan, wajib pajak, kuasa wajib pajak dan yang lainnya. Berangkat dari hal
ini, penyusun akan membahas tindak pidana perpajakan dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH

1. APA PENGERTIAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN?


2. APA SAJA JENIS - JENIS TINDAK PIDANA PERPAJAKAN?
3. BAGAIMANA PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN?
4. REFORMASI PERPAJAKAN DI INDONESIA

C. TUJUAN PENULISAN

1. UNTUK MENGETAHUI PENGERTIAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN


2. UNTUK MENGETAHUI JENIS – JENIS TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
3. UNTUK MENGETAHUI PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
4. UNTUK MENGETAHUI TAHAPAN REFORMASI PERPAJAKAN DI INDONESIA
BAB 2

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Definisi tindak pidana perpajakan secara jelas dapat dilihat pada penjelasan Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Berikut kutipan
lengkapnya:

Yang dimaksud dengan “tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak benar
mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat
pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan
keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan
lain yang diatur dalam undang?undang yang mengatur perpajakan

Definisi Tindak pidana di bidang perpajakan lainnya adalah suatu perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara
dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan yang mengatur tindak pidana
pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi peraturan-peraturan tentang:

1. Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman


2. Siapa-siapa saja yang dapat dihukum
3. Hukuman jenis apa yang dapat dijatuhkan

Untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana perpajakan, perlu dilakukan
pemeriksaan pajak, yaitu untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data atau keterangan
lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang?undangan perpajakan.
Pemeriksaan pajak dilakukan oleh PNS di lingkungan Ditjen pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk
dirjen pajak yang diberi tugas dan juga wewenang serta tanggung jawab dalam melaksanakan
pemeriksaan di bidang perpajakan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada wajib pajak.
Tujuan lainnya adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dalam pemeriksaan tindak pidana perpajakan terdapat pemeriksaan bukti
permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana perpajakan.

Pemeriksaan bukti permulaan dilakukan oleh Kanwil Ditjen Pajak atau Direktorat Intelijen
dan Penyidikan Ditjen Pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan dapat diketahui
tindak lanjut yang harus dilakukan. Tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan adalah
yaitu diusulkan dilakukannya penyidikan, atau tindakan lain berupa: penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP), pembuatan laporan tindak pidana selain tindak pidana
perpajakan yang akan diteruskan kepada pihak yang berwenang, pembuatan laporan sumir
apabila wajib pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya, pembuatan laporan sumir
apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana perpajakan.

B. JENIS – JENIS TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

1. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk
meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan kelemahan (loophole)
ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya adalah berupaya
meminimalkan beban pajak dengan cara:

A. Tidak secara jelas melanggar ketentuan perpajakan

B. Cenderung menafsirkan ketentuan pajak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pembuat UU
Penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, khususnya badan dalam bentuk tax
avoidance, memang dimungkinkan atau dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-
undang atau ketentuan hukum yang berlaku, karena dianggap praktek-praktek yang
berhubungan dengan tax avoidance lebih kepada pemanfaatan lubang-lubang atau celah celah
atau bisa juga kekosongan-kekosongan dalam undang undang perpajakan. Pemerintah dalam
hal ini Direktorat Jendral Pajak tidak bisa berbuat apa-apa melakukan penuntutan secara
hukum, meskipun praktek tax avoidance ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari sektor
pajak. Praktek tax avoidance ini sebenarnya suatu dilema bagi pemerintah, karena wajib pajak
melakukan pengurangan jumlah pajak yang harus dibayar, tetapi dilakukan dengan tidak
bertentangan dengan ketentuan ketentuan yang berlaku.

Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib
pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas
menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

1) Menahan diri. Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang
dikenai pajak. Contoh :

A. Tidak merokok agar tidak terkena cukai tembakau


B. Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit buaya atau ular agar terhindar dari pajak atas
pemakaian barang tersebut. Dan sebagai gantinya menggunakan ikat pinggang dari bahan plastic

Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap perbuatan
seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak.
Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan
terpuji.

2) Pindah Lokasi. Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi
ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh :

Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di


Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak.
Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar
yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka
dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang
terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan
membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih
rendah. Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat
atau lokasi usaha/domisilinya.
3) Penghindaran Pajak Secara Yuridis. Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga
perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang
memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh:

Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang
yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara:
perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan
memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk
beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga
pajaknya berkurang. Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole)
yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan
optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan
tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak
dengan jumlah yang 6 ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan
tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

2) Penggelapan pajak ( TAX EVASION ) Adalah upaya penyelundupan pajak,suatu skema dalam
memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan misalnya :

A. Tidak melaporkan sebagian penjualan


B. Memperbesar biaya dengan cara yang fiktif
C. Memungut Pajak akan tetapi tidak menyetor hasil pungutan
C. PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian tindakan yang


dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya. Sebelum dilakukan penyidikan dalam tindak pidana perpajakan, maka terlebih
dahulu dilakukan proses pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Hal ini dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
18/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa “Bukti Permulaan sebagai keadaan,
perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan
petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara”.

Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data,


informasi, laporan, pengaduan, laporan kegiatan intelijen, pengembangan pemeriksaan bukti
permulaan, atau pengembangan penyidikan, yang dapat dilaksanakan baik untuk seluruh
jenis pajak maupun satu jenis pajak. Pemeriksaan bukti permulaaan dilakukan oleh kantor
wilayah atau direktorat intelijen dan penyidikan berdasarkan hasil pemeriksaan bukti
permulaaan.dan setelah hasil pemeriksaan bukti permulaan maka dapat diketahui tindak
lanjut yang akan dilakukan.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak memiliki
kewenangan dalam mengusut dan melakukan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dijelaskan dalam ketentuan
Pasal 44 Undang-undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan yang isinya menjelaskan
sebagai berikut:

1. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.

2. Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

A. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan


dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas

B. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan,

C. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan

D. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan

E. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,


dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut,

F. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan,
G. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa,

H. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan

I. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi

J. Menghentikan penyidikan; dan/atau,

K. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundangundangan.

3. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.

4. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain

Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah


penyidikan yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak. Apabila dianggap perlu maka penyidik pajak dapat meminta bantuan
penegak hukum lainnya apabila perkara yang ditangani begitu rumit dan membutuhkan
penyelesaian masalah oleh penegak hukum.

Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum
apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil atau laporan penyidikannya
kepada Jaksa penuntut umum, hal ini berdasarkan ketentuan pasal 44 ayat (3) UU
Perpajakan yang menjelaskan bahwa “Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana”

Selanjutnya Jaksa penuntut umum yang akan menentukan apakah masalahnya sudah
matang untuk diajukan ke pengadilan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan. Dalam proses
penyidikan, di dalamnya mengandung dua hal yaitu pertama, Penyidikan yang berakhir
dengan diserahkannya hasil penyidikan ke pengadilan atau untuk kepentingan penerimaan
negara atas permintaan Menteri Keuangan, Kedua hasil penyidikan tidak diproses di
pengadilan/dihentikan, dengan catatan wajib pajak yang disidik telah melunasi utang
pajaknya dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
jumlah pajak.

Penghentian Penyidikan dapat dilakukan karena :

1. Penyidik menghentikan penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa
tersebut bukan merupaan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan di
hentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia. Hal ini
diatur dalam Pasal 44A Undang – Undang KUP.

2. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa


Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. Hal ini diatur dalam
Pasal 44B Undang – Undang KUP. Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan dalam hal ini hanya dilakukan setelah Wajib Pajak :

A. Melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan; dan

B. Membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian
tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi
serta menemukan tersangkanya. Sebelum dilakukan penyidikan dalam tindak
pidana perpajakan, maka terlebih dahulu dilakukan proses pemeriksaan bukti
permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan bukti
permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan,
pengaduan, laporan kegiatan intelijen, pengembangan pemeriksaan bukti
permulaan, atau pengembangan penyidikan, yang dapat dilaksanakan baik untuk
seluruh jenis pajak maupun satu jenis pajak.

Setelah itu berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan maka dapat


diketahui tindak lanjut yang akan dilakukan. Penyidikan tindak pidana
perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyidikan yang
ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak.

Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa


Penuntut Umum apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil
atau laporan penyidikannya kepada Jaksa penuntut umum. Selanjutnya Jaksa
penuntut umum yang akan menentukan apakah masalahnya sudah matang
untuk diajukan ke pengadilan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan.
TAHAPAN REFORMASI PAJAK

Berbicara mengenai penerimaan pajak, tiap tahunnya, pemerintah menetapkan target pajak
dan optimis akan tercapainya target penerimaan pajak. Nah yang menjadi kendala adalah
kendala adalah sulitnya mengumpulkan pajak dari wajib pajak.

Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan kepatuhan para wajib pajak. Untuk itu agar
cara pengumpulan pajak menjadi lebih efektif dan tujuan pajak dapat terlaksana,
administrasi perpajakan harus berfungsi secara efektif dan efisien. Oleh karena itu untuk
memperbaiki hal tersebut, perlu adanya reformasi perpajakan agar dapat memperbaiki dan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari administrasi perpajakan.

Di Indonesia setidaknya terdapat 5 tahap reformasi perpajakan (tax reform), yakni:

1. TAX REFORM PERTAMA, TAHUN 1983-1985

Tax reform pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1983 dengan memperkenalkan self
assesement system. Bersamaan dengan tax reform pertama juga dikeluarkan serangkaian
undang-undang, yakni:

 UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP).
 UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh), berlaku sejak januari
1984
 Undang –undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), berlaku mulai 1 April 1985
 Undang-undang No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

 Undang-undang No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM), keduanya


undang-undang ini mulai berlaku mulai 1 Januari 1986
2. TAX REFORM KEDUA, TAHUN 1994

Reformasi pajak selanjutnya dilakukan pada tahun 1994 dalam rangka penyempurnaan sistem
perpajakan. Bersamaan dengan ini dikeluarkan undang-undang pajak, yakni:

 UU Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 6 Tahun 1983


tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
 UU No 10 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan (PPh) Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 7 Tahun
1991.
 UU Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1983
Tentang Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPN/PPnBM)
 Untuk Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 1985
Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

3. TAX REFORM KETIGA, TAHUN 1997

Reformasi perpajakan 1997 memiliki tujuan yang sama dengan reformasi perpajakan 1994.
Bersamaan ini dikeluarkan serangkaian undang-undang untuk melengkapi undang-undang
sebelumnya, yakni:

 UU Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak


 UU Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
 UU Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa
 UU Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
 UU Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Kelima undang-undang tersebut diatas dimaksudkan sebagai penyempurnaan reformasi pajak


tahun 1983 dan 1994 khususnya untuk menertibkan penerimaan Negara di tingkat pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, serta meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.
BAB 3.

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Pengertian tindak pidana perpajakan

Definisi Tindak pidana di bidang perpajakan lainnya adalah suatu perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan
negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.

2. jenis-jenis tindak pidana perpajakan

A. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang ditujukan
untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan
(loophole) ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum)

B. Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu skema
memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan
(illegal)

C. Tindak pidana perpajakan residivis sebelum lewat satu tahun sejak selesainya
menjalankan pidana penjara

D. Mencoba mengajukan permohonan restitusi atau kompensasi pajak dengan


menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP,

E. Wakil, kuasa, dan pegawai dari wajib pajak (PKP) termasuk mereka yang menyuruh
melakukan, akuntan public, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak
ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa yang
melakukan tindakan melawan hukum

F. Siapa saja yang mempersulit penyelidikan tindak pidana perpajakan


3. PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian tindakan yang


dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Sebelum dilakukan penyidikan dalam tindak pidana perpajakan, maka terlebih dahulu dilakukan
proses pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan
tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan bukti
permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan, pengaduan,
laporan kegiatan intelijen, pengembangan pemeriksaan bukti permulaan, atau pengembangan
penyidikan, yang dapat dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun satu jenis pajak.

Setelah itu berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan maka dapat diketahui tindak
lanjut yang akan dilakukan. Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan
surat perintah penyidikan yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak.

Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut


Umum apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil atau laporan penyidikannya
kepada Jaksa penuntut umum. Selanjutnya Jaksa penuntut umum yang akan menentukan
apakah masalahnya sudah matang untuk diajukan ke pengadilan atau tidak dilanjutkan ke
pengadilan.
C. PENUTUP

Pajak adalah sumber terpenting penerimaan negara, dan oleh karena itu, reformasi
pajak harus dilaksanakan secara objektif dengan target dan sasaran yang jelas. Reformasi pajak
juga harus memperhatikan aspek keadilan, daya saing ekonomi di dalam negeri ataupun
dengan negara-negara pesaing, kelancaran dan kemudahan dalam pelaksanaannya, serta
dengan biaya yang efisien. Reformasi pajak tahun 1983, tahun 1994, dan tahun 1997 pada
umumnya dinilai berhasil dan bebas dari muatan politik. Keberhasilan ini dapat diukur dari
tercapai atau tidaknya target-target penerimaan pajak, tax ratio, dan penerimaan masyarakat
WP terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya, reformasi pajak pasca 1997 lebih
bernuansa propaganda politik, dikerjakan dengan biaya yang amat mahal oleh konsultan asing,
tetapi tidak atau belum memberikan indikasi keberhasilannya

Anda mungkin juga menyukai