Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan

Panjang Realitas Ekonomi Islam


September 2, 2015/in Article /by admin msiuii

Lukman A. Irfan. 2008. Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan Panjang Realitas Ekonomi Islam.
Dalam Tim Penulis MSI UII. 2008. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah. Yogyakarta: Safiria
Insania Press Bekerjasama dengan MSI UII. hal 1-24.

Sinopsis:
Sejarah perkembangan ekonomi Islam dikemukakan dalam buku ini untuk memberikan jawaban
terhadap kalangan yang meragukan bahwa ekonomi Islam adalah fenomena yang muncu1 dengan
tiba-tiba, dan karena menjadi trend maka perkembangannya menjadi pesat. Bab ini memuat empat
subbab: 1) Sejarah Ekonomi Islam dan kaitannya dengan realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alaminn.
Bab ini berusaha memberikan fokus pemahaman bahwa Ekonomi Islam hadir seiring dengan
diwahyukannya Islam; 2) Subbab berikutnya adalah sejarah perkembangan pemikiran Ekonomi
Islam. Subbab ini berusaha memberikan pemahaman bahwa ekonomi Islam berkembang sesuai
dengan variasi permasalahan ekonomi umat, bukan hadir dengan tiba¬tiba dan tanpa paradigma;
3) Subbab ketiga adalah sejarah perkebangan praktik Ekonomi Islam. Subbab ini berusaha
memberikan pemahaman bahwa praktik Ekonomi Islam juga berkembangan tahap demi tahap
dengan tetap berpijak pada paradigma Islam dan bertujuan merealisasikan visi Islam rahmatan
lil’alamtn; dan 4) Subbab keempat adalah gerakan Ekonomi Islam di Indonesia. Subbab ini
memberikan pemahaman bahwa pada perkembangan ekonomi Islam adalah kontekstual.

A. Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam:

Wujud Realisasi Visi Islam Ramatan Lil ‘Alamin

Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil
‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk manusia di
dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal, tidak ada eksploitasi sumber
daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang hanya berorientasi
untung semata, jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan
dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan
dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia menemukan harmoni
dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah di kehidupan sesudah kematian nantinya.

Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya operasionalisasi
bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan. Walau harus diakui
bahwa yang ada sekarang belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi
sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan
sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain tidak henti-
hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan saling mengkafirkan
antarsesama mereka.

Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut.
Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan
Masrhal[1], dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama.
Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan
kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara
prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan
serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak
ditemukan kontradiksi antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi
pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]

Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan, proses realisasi
visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi
Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu
wujud teori ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.

B. Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam

Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam
al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah
ayat 282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31,
An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-
ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok ekonomi sejak
pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya
(Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif,
sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari
perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan
lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat
dibagi menjadi 6 tahapan.[4]

Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi
Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi
Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu
Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820 M),
Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902
M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri
(728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al
Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).

Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali
(1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M),
Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi
(1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad
bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi
(857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240),
Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).

Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M), Muhammad
bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M),
Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi
(1524M).

Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938),
Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid
Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.

Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut:

Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit
dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5]
Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang
sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan
apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan al-murābahah.[6]
Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut,
Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi
syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai
bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai
atau sejenis.[7]
Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab
hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang
ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah
dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility
dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill.
Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak
demi terpenuhinya kebutuhan bersama.[8]
Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia
dikenal dengan panggilan jabatanya (al-Qadli Hakīm) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal
perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan
perkembangan pertanian.[9] Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab
al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini,
sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya,
yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa
rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup
pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10] Tulisan Abu
Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen
pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk
mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip
perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation.
Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga
atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara
lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi
pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh
pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.[11]
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan
ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2)
Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara
kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-
badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7) Madinatu al-
Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; 8) Madinatu al fadhilah, Negara utama.[12]
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam karya
Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala`
al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas
pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah
karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya.
Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama
itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah
“penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang
pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami
bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan
bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta
tuannya dan bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang
pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat
kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia berhak mendapat
ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan kepada kaum
Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan
ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan hukum.[13] Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin
menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau
penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum
ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang
dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu
berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis penulisannya dengan
mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum
Islam pertama karya Imam Malik, al-Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk
dan petunjuk hukum Islam.
Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain: a) manusia adalah
makhluk berekonomi; b) ekonomi membutukan negara; c) perkembangan ekonomi melalui
perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; d) ekonomi negara ia
berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat
dalam mewujudkan perekonomian dan kestabilan ekonomi harus dijaga; e) Prinsip yang lain adalah
arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja; f) wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi
menurut jalannya yang sah; g) pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran; h)
pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin,
pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus
dicukupkan dengan hati yang iklas; i) setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang
menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[14]
Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof
serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa: a) perkembangan ekonomi bertolak dari hd)
akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini
interdependence; b) perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi; c) uang bukanlah komoditi,
melainkan alat tukar; d) perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan
jasa di antara manusia; e) perlu adanya pemerintah; f) mata uang negara Islam; g) perlunya institut
perbankan; h) hati-hati terhadap riba; i) Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.[15]
Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[16] adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah
yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan
dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-
dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan
segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak
kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah),
ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau
hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan
kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang
kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan
bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya
sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang
cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap orang
melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari
cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukaran produk barang-barang
yang menjamin ketersediannya untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala
kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka
mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-perbedaan
inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem ekonomi umat manusia. Maka terjadilah
kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai bentuk kontrak sosial.
Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-
Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat
untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-
sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-
siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan
dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme
pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat,
pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah
mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah,
baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan
ketatanegaran.[17]
Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial.
Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun
kitabnya, al-Muqaddimah,[18] tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia
membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas
daripada definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan
kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika” telah
mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus
positif. Terminologi jumhur yang berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari
ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian
dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia
melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan.
Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja,
pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk,
pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb. Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan
dengn penulis klasik sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari
mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of
Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan
tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di Universitas
Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.[19]

Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam dan banyak
dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain:
Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan,
Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan
tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3
ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga
pendidikan tinggi tersebut berkembang sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam yang mewarnai
wacana ekonomi Islam di Indonesia. Secara de jure, Jurusan Ekonomi Islam pertama kali yang
mendapat izin operasional dari Depag adalah Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam
UII (2003). Perkembangan ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu terjadi sangat kuatnya,
di IAIN, UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan Tinggi Umum juga membuka konsentrasi atau
jurusan Ekonomi Islam.

Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka dalam seminar, simposium dan kajian
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ikatan profesi, lembaga keuangan dan pusat studi.
Tahun 1997 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di Tahun
2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami. Magister Studi Islam UII
dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga menyelenggarakan Seminar Internasional Ekonomi
Islam di Yogyakarta pada tahun 2002, dan melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam
Kajian Intensif yang diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004, Pusat Pengkajian
Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang menyelenggarakan
Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun 2005, Ikatan Ahli ekonomi Islam Indonesia
menyelenggarakan Simposium Internasional Ekonomi Islam dan Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia, di Medan Sumatera Utara.

C. Perkembangan Praktik Ekonomi Islam

Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga
yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang;
2) meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah,
muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh di
bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah
qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq
yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam
bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.

Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak
zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan
fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah
dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman
Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan
berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang
pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan
jihbiz[20] yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.

Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-
932).[21] Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah
pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek
untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[22]

Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda
perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an
Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan
mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif
sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun 1963 yang
disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena
masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil
alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat
(1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di
atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan
Oktober 1975.[23] Kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah
menjadi kantor pusatnya.

Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan
menjadi gerakan perekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian,
pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi
Khilafah tahun 1924[24] dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya
Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran
OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu
ditandai dengan diselengarakan Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-
negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah
Konferensi Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[25]
Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam
di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka.
Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang
mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future
of Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan
konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam.[26] Kecenderungan ini dipengaruhi oleh
beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan
Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis
minyak 1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk
melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina.
Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam
yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam
secara nyata telah melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah,
Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang menimbulkan
pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan syariah.

Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi
gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang
mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun
1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi
Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara
Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat
dilaksanakan tahun 1975.[27]
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi dampak positif berupa
perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai negara yang ditengarai lebih dari 200
lembaga keuangan dan investasi syari’ah yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut,
perkembangan sistem ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development
Bank (IDB).

D. Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia

Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah
masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari
konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara,
ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi
perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik
dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini
berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat
disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi
dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian
khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya
secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang
dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun
pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian
penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.

Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada
pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi
yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan
koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren.[28] Gerakan
koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif sukses.[29]
Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina[30], Denmark[31], Luxemburgdan AS[32], akhirnya
Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran bank Islam
di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1) adanya kepastian hukum
perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga
keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi,
kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan
perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan
posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama
dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan
perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan
Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan
Jinayah-Siyasah.

Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang
memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya.
Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika
transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada
konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank
tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka
“mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara
sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank
syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik
pemerintah.[33] Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual
adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda
perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.

Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang dimulai dengan lahirnya
Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional
beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul
amandemen yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan
syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia, yang ditandai
dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank syari’ah pada bank konvensional.
Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal
pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai
payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu
dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh
lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi kepastian dan
jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No.
7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.

DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa
tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi
Islam khususnya perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah
maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-
Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang
masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.

Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam mazhab
yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal
dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode
perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.[34]

Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim sejak
1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem
operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998,
disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992
tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem perbankan
nasional.

Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis
ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana
diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup
55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada
Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi[1][1] terjadi lagi satu bank konvensional
yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya
tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[1][2]

Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem perbankan
yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang
berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank
BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di
samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di
kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).

DAFTAR PUSTAKA

Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam. 1981. Al-Amwa’l. Beirut Libanon. Mu’assassat al-Nashir.

Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, t.t. al-Ahkam al-
Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut.

Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. Diakses dari
http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. Tanggal 30 Januari 2007.

At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra
Insania Press, 2004)
Cf. The Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz
Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York

Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam:
analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003

Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren
(INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek
P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149.
Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995),
dan A. Karim (2001).

Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi
Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang
diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.

Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam
Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk.,
e.,) PLP2M, Yogyakarta, 1985, hal. 100-111.

M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=1
47&kat_id2=217 tanggal 30 Nov 2006.

Mahmūd Abū Su’ūd, Khutut Ra’isiyyah fī al-Iqtisād al-Islāmiyy, (Maktabat al-Manār al-
Islāmiyyah, Kuwait,1968)

Muhammad Abdul Mannan. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Prima Yasa.

Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby

Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-
Mala’in, 1978

Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya, 1997, h.
2. Sami Hassan Hamoud, Progress of Islamic Bankin: the Aspirations and the Realities, Islamic
Economic Studies, vol 2 No.1. December 1994

Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4-5 dengan mengutip berbagai sumber.

Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

[1] Marshal sebagaimana dikutip oleh Mahmūd Abū Su’ūd, Khutut Ra’isiyyah fī al-Iqtisād al-
Islāmiyy, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah, Kuwait,1968), hal. 56.
[2] Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.

[3] At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004), hal. 26

[4] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal.
149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef
(1995), dan A. Karim (2001).
[5] Ibid., hal. 5-7.

[6] Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd]., hal. 404-410, 432-
442, 539.

[7] Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli
al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447.

[8] Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal. 73-74, 335-383, 432.

[9] Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h. 24

[10] al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.]

[11] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk
Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang
diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.

[12] Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 242-
250.

[13] Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwa’l, Mu’assassat
al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981

[14] Zainal Abidin Ahmad, Dasar., hal.251-274.

[15] Ibid., hal. 275-300.

[16] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m al-
Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut [nd].

[17] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,

[18] Cf. The Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz
Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York

[19] Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. Diakses dari
http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. Tanggal 30 Januari 2007.

[20] Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa Muawiyah (661-680M). Istilah ini dipinjam dari bahasa
Persia kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah jihbiz digunakan untuk orang
yang melaksanakan fungsi dan tugas mengumpulkan pajak tanah.

[21] Pada masa ini setiap wazir (menteri) mempunyai bankirnya masing-masing. Misalnya: Ibnu
Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai bankirnya.

[22] Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya,
1997, h. 2. Sami Hassan Hamoud, Progress of Islamic Bankin: the Aspirations and the Realities,
Islamic Economic Studies, vol 2 No.1. December 1994, h. 71-80

[23] Bank ini menyediakan bantuan finansial bagi negera-negara anggotanya; membantu mereka
untuk mendirikan bank Islam di negara masing-masing; memainkan pernan penting dalam penelitian
ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam.

[24] Pasca Perang Dunia II berakahir banyak pemuda mahasiswa Muslim belajar ekonomi di Barat
sehingga mereka mendapat wawasan ekonomi yang luas. Menyadari hal itu mereka berupaya
menghidupkan kembali prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi Islami untuk kemudian mereka
berusaha untuk mengaplikasikannya di tanah air mereka.
[25] Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam
Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk.,
e.,) PLP2M, Yogyakarta, 1985, h. 100-111.

[26] Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank
Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003

[27] Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4-5 dengan mengutip berbagai sumber.

[28] Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren
(INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek
P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998

[29] Ketika terjadi krisis moneter di tnah air, sejumlah Bank Perkreditan Rakyat milik PEMDA Jabar
banyak yang mati (70-80%). Akan tetapi, BPRS yang beroperasi di Jawa Barat, walaupun ada yang
mati, tingkat kematianya jauh lebih rendah dari BPR konvensional, yakni kurang dari 50%. Ini berarti
BPRS lebih dapat bertahan dan berkompetisi dari dan dengan BPR konvensional

[30] Bank amanah berdiri di Pilipina 1987 di negeri sekuler yang penduduk Muslimnya minoritas.

[31] Bank Islam pertama yang berdiri di Eropa, yakni Denmark (1983) dan di negeri sekuler adalah
The Islamic Bank International of Denmark. Kini bank-bank besar dari Negara-negara Barat seperti
Citibank, ANZ Bank, Chase Manahathan Bank dan Jardine Fleming telah membuka Islamic Window
dalam rangka melayani perbankan sesuai dengan syariat Islam.

[32] Muslim Saving and Investment berdiri tahun 1987 di Los Angelos, California.

[33] Data diperoleh dari nasabah dan investigasi penulis terhadap Bank Syariah Lembur Kuring
(nama samaran)

[34] M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?

Tanggal 30 Nov 2006.

Anda mungkin juga menyukai