Anda di halaman 1dari 3

Fenomena Haji pada Masa Kolonial

Essay
Akmal Aji Hidayatullah
170732638038
G’2017
Haji dikenal sebagai salah satu rukun umat Islam yang paling penting dilaksanakan. Kegiatan
haji sendiri sudah berlangsung dari sejak penjajahan kolonial bahkan pada masa sebelumnya.
Hal ini tentu tidak lepas dari mayoritas orang Indonesia yang berpenganut agama Islam
dalam keyakinannya.
Sejak masa kolonial, kegiatan haji juga mendapatkan perhatian dari pemerintahan
kolonial pada masa itu. Perlu diketahui bahwasannya yang dapat melaksanakan haji hanyalah
mereka yang kaya atau mampu. Hal ini dikarenakan mereka yang ber-haji juga diharuskan
untuk memberikan ongkos perjalananan kepada pihak kolonial. Maka dari itu, adanya
kegiatan haji ini juga menguntungkan pihak pemerintah kolonial (Ardanareswari dalam
tirto.id, 2019). Akan tetapi selain mengungtungkan, disisi lain kegiatan haji ini juga
meberikan dampak negatif bagi pemerintah kolonial sehingga menyebabkan adanya anti haji
di kalangan pemerintah kolonial.
Banyak diantara orang-orang Islam yang memang pergi ke Mekkah bukan hanya
dengan tujuan ber-haji saja. Akan tetapi dengan berbagai tujuan seperti berdagang dan
menuntut ilmu agama (Ardanareswari dalam tirto.id, 2019). Hal tersebut dikarenakan
memang pada masa tersebut jarak tempuh antara Nusantara dengan Jazirah Arab terbilang
cukup jauh sehingga tujuan untuk ber-haji saja tidak cukup. Apalagi transportasi yang dipakai
adalah jalur laut yang tentu memerlukan berbulan-bulan perjalanan untuk sampai ke tujuan.
Lebih lanjut lagi, orang-orang yang telah berhaji tinggal di Mekkah selama bertahun-
tahun. Bahkan banyak dari mereka yang berangkat haji kemudian tidak pulang lagi ke
kampung asal mereka (Zainal, 2012: 100). Bagi mereka yang pulang ke Nusantara pada
umumnya akan digelari sebagai syikh atau orang yang diaggap mempunyai ilmu agama yang
tinggi. Hal tersebut menjadikan mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di masyarakat
yang mayoritas masyarakatnya hanya sebagai penganut Islam awam (Zainuddin, 2013: 183).
Para syikh ini kemudian menyebarkan ilmu agamanya kepada orang-orang sehingga
memperkuat pengaruh keislaman dalam masyarakat. Hal ini tentu bertentangan dengan
pemerintahan kolonial yang mana menganggap perkembangan Islam tersebut menjadi
ancaman dari pihak kolonial (Rahmawati, 2018: 16). Oleh karena itu, kegiatan haji pada masa
tersebut membuat pemerintahan kolonial manaruh perhatian khusus. Terlebih lagi dalam
perkembangannya, semakin banyak orang yang ingin berhaji semata-mata untuk
mendapatkan kedudukan yang tinggi dan memberikan pengaruh baru kepada masyarakat.
Adanya kebijakan yang bernama ‘ordonanansi haji’ yang membatasi jumlah jamaah
haji merupakan tindakan pencegahan dari pemerintah kolonial dalam mengatasi minat haji
yang terus meningkat (Zainal, 2012: 101). Selain itu kebijakan ini juga berupa pelaporan
surat keterangan bahwa mereka para calon jemaah mempunyai biaya yang cukup untuk
berhaji, nafkah keluarga yang ditinggalkan juga cukup, adanya ‘ujian haji’ sepulang dari
Mekkah untuk membuktikan bahwa mereka telah berhaji, yang terakhir adalah mereka yang
begerlar haji diharuskan memakai pakaian khas seperti para syikh pada umumnya (Ahsan
dalam tirto.id, 2017).
Tentunya dengan adanya kebijakan tersebut berakibat kepada sulistnya akses untuk
berhaji serta menjadi kesempatan kolonial untuk memberikan pengaruh kepada mereka yang
bergelar haji. Pemerintah kolonial memang mengaggap bahaya bagi mereka yang telah
berhaji. Mereka dianggap sebagai dalang pemberontakan oleh orang-orang Islam lewat
pengaruhnya sebegai syikh (Rosyid, 2017: 248).
Hal tersebut bermakna bahwa akibat dari adanya kegiatan haji pada masa kolonial
bukanlah hal yang dianggap remeh. Fenemona haji tersebut telah memunculkan semangat
baru untuk memberikan pengaruh kepada masyarakat kolonial yang secara tidak langsung
juga memberikan perlawanan kepada pihak pemerintahan Belanda.

Daftar Rujukan
Zainal. 2012. Regulasi Haji Indonesia dalam Tinjauan Sejarah. JURIS Volume 11, Nomor 2.
Rosyid, M. 2017. Dinamika Haji Indonesia Sejak Era Kolonial dan Problematika Calon Haji
Ilegal. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus. urnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan, Volume 17, No. 2, Desember 2017: 241-259.
Rahmawati, S. 2018. Kebijakan Belanda Terhadap Haji di Batavia Tahun 1895 dan 1922.
Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Belum diterbitkan.
Zainuddin, M. 2013. Haji dan Status Sosial: Studi Tentang Simbol Agama di Kalangan
Masyarakat Muslim. UIN Maulana Malik Ibrahim. el Harakah Vol.15 No.2.
Ahsan, I. 2017. Taktik Belanda Mengenalikan Islam Melalui Gelar Haji. Tirto.id (Online)
(https://tirto.id/taktik-belanda-mengendalikan-islam-melalui-gelar-haji-cvHx) diakses
pada tanggal 19 Mei 2020.
Ardanareswari, I. 2019. Sejarah Kuota Haji Masa Kolonial: Cara Belanda Jinakkan
Fanatisme. Tirto.id (Online) (https://tirto.id/sejarah-kuota-haji-masa-kolonial-cara-
belanda-jinakkan-fanatisme-dm4o) diakses pada tanggal 19 Mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai