Anda di halaman 1dari 4

SECTION 11

a. Ketentuan UU Pidana tidak berkuasa atau berlaku tehadap sesuatu


perbuatan yang dilakukan sebelum UU Pidana itu diadakan atau UU Pidana
itu hanya berlaku untuk masa depannya (yang akan datang) tidak berlaku
pada kejahatan besar seperti Genosida dan Terorisme. Hal ini dikarenakan
adanya keberlakuan dari Asas Retroaktif yang memungkinkan memungkinkan
kasus-kasus pelanggaran Genosida dan Terorisme atau pelanggaran serupa
yang terjadi sebelum adanya UU Pidana yang mengatur hal tersebut dapat
diproses secara hukum pidana. Selain itu, ketentuan ini juga berkaitan
dengan daluwarsa (keberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan rentan
waktu) dimana di dalam Pasal 78 KUHP jo. Pasal 46 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan : “Untuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.” Yang
artinya kedua kejahatan tersebut (genosida dan terorisme) yang termasuk
pelanggaran ham berat dapat di kecualikan dari ketetapan asas tersebut dan
dapat tetap di proses secara hukum pidana.
b. Pemerintah dapat mengupayakan untuk dilakukan ekstradisi dengan
menyatakan permohonan ekstradisi kepada pemerintah negara yang menjadi
tempat pelaku kejahatan (korupsi) itu melarikan diri sehingga apabila
disetujui, pelaku tersebut dapat dipulangkan dan dihukum di Indonesia.
Ekstradisi menjadi salah satu upaya yang paling efektif untuk di lakukan
pemerintah Indonesia karena melalui upaya ekstradisi, para pelaku kejahatan
yang melarikan diri dari negara asalnya dapat dikembalikan untuk diadili dan
dihukum serta dapat diminta pertanggungjawabannya. Di samping itu, melalui
instrumen ekstradisilah para pelaku kejahatan yang berniat melarikan diri ke
luar negaranya akan berpikir dua kali, sebab sangat besar kemungkinan akan
dikembalikan ke negara asalnya. Atau, jika tidak diserahkan, kemungkinan
pelakunya akan diadili dan dihukum oleh negara di mana pelaku kejahatan
berada atau mencari perlindungan sepanjang negara tersebut memiliki
yurisdiksi atas dirinya dan atau kejahatannya itu. Pada akhirnya pelaku
kejahatan tidak akan luput dari hukuman kepadanya.
SECTION 12

1. Penerapan Hukum Acara Pidana di Indonesia secara umum yang


dilaksanakan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara
Pidana (KUHAP) telah belaku dengan cukup baik. Namun seiring dengan
berkembangnya zaman dan adanya globalisasi tidak terpungkiri bahwa ada
beberapa kelemahan dan kritik yang terus hadir dalam penerapan hukum
acara pidana berdasarkan KUHAP karena adanya beberapa hal yang tidak
diatur secara eksplisit didalam KUHAP. Salah satunya mengenai penggunaan
bukti elektronik dan pelaksanaan telekonferensi dalam Hukum Acara Pidana.
Hal itu mengakibatkan timbulnya penerapan KUHAP bersifat "resistensi" dan
“reaktif” terhadap tuntutan kesadaran perkembangan masyarakat.
Kekurangan dan kelemahan KUHAP lainnya yang juga disorot adalah
keberadaan lembaga praperadilan, yang ternyata tidak sesuai atau
menyimpang dengan konsep awal sebagai lembaga representasi
perlindungan hak asasi manusia, khususnya terhadap kedudukan tersangka
(dalam praktik penyidikan) dan terdakwa (dalam proses penuntutan).
Berdasarkan uraian yang tersebut, maka dalam rangka merespon hasil
penerapan yang terjadi dan munculnya kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam KUHAP, maka langkah yang harus dilakukan adalah perlu melakukan
revisi atau perbaikan. Menurut saya, praktik penerapan hukum acara pidana
berdasarkan KUHAP dalam proses peradilan pidana di Indonesia sudah
mencerminkan kemajuan dan kecenderungan untuk memperhatikan dan
menghormati hak-hak asasi tersangka atau terdakwa. Yang penting menjadi
landasan adalah memeriksa, meneliti beberapa pokok masalah KUHAP yang
perlu disesuaikan dan disempurnakan untuk diperbaiki atau direvisi agar lebih
aktual agar penerapan hukum acara pidana di Indonesia tidak terlalu bersifat
konservatif dan kaku.

SECTION 13

1. Hal tersebut tidak sah dilakukan karena leasing tidak berhak melakukan hal
tersebut bahkan apabila pihak leasing bersikeras melakukannya akan dapat
dikenai ancaman pidana dengan kategori perampasan sebagaimana diatur
dalam pasal 368 KUHP. Selain itu, tindakan tersebut termasuk pelanggaran
terhadap hak-hak sebagai konsumen berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Menurut, Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991 Tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha, menyebut bahwa setiap transaksi sewa guna
usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian. Pada leasing, lazimnya juga diikuti
dengan perjanjian jaminan fidusia. Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang
piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan
tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Pada
perkara Bapak, harus diketahui terlebih dahulu, apakah motor tersebut sudah
dijaminkan fidusia atau tidak. Apabila transaksi tidak diaktakan notaris dan
didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia, maka secara hukum perjanjian
fidusia tersebut tidak memiliki hak eksekutorial dan dapat dianggap sebagai
hutang piutang biasa, sehingga perusahaan leasing tidak berwenang
melakukan eksekusi, seperti penarikan motor (lihat Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia). Selain itu eksekusi yang dilakukan
harus melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pihak
leasing tidak berwenang melakukan eksekusi penarikan motor tersebut.
Eksekusi haruslah dilakukan oleh badan penilai harga yang resmi atau Badan
Pelelangan Umum. Jika terjadi penarikan motor oleh pihak leasing tanpa
menunjukkan sertifikat jaminan fidusia, itu merupakan perbuatan melawan
hukum.

SECTION 14

1. Hal ini tentu tidak bisa dilihat sebelah mata. Perlu untuk memperdalam
pemahaman mengapa hakim menjatuhkan pidana rendah dibawah lima tahun
terhadap pelaku korupsi yakni pelaku kejahatan yang menimbulkan kerugian
bagi negara dan menjatuhkan vonis yang sama terhadap kasus pencurian
kendaraan bermotor. Pertama-tama, kita harus memahami bahwa dalam
memutuskan perkara pidana, Hakim harus mempertimbangkan kebenaran
yuridis, kebenaran filosofis dan sosiologis. Kebenaran yuridis artinya
landasan hukum yang dipakai apakah telah memenuhi ketentuan hukum yang
berlaku. Menurut Undang-Undang Anti Korupsi, sanksi pidana yang diberikan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah minimal 4 tahun penjara
dengan kata lain apabila hakim memvonis pelaku dengan hukuman dibawah
lima tahun (tidak boleh dibawah 4 tahun) maka itu sudah memenuhi
kebenaran yuridis. Sama dengan pelaku pencurian kendaraan bermotor,

REFERENSI
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991
Rusti Margareth S, Apakah Daluwarsa Berlaku untuk Pelanggaran HAM Berat di
Masa Lalu? (online), https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-
daluwarsa-berlaku-untuk-pelanggaran-ham-berat-di-masa-lalu-
lt5c5ac24408cf4 diakses pada 04 Februari 2022
I Wayan Parthiana, 1983, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, Hal 23.
I Wayan Parthiana, 2004, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV. Irama
Widya, Bandung.
A. Samsan Nganro, 2006, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM
(online), https://www.hukumonline.com/berita/a/praktik-penerapan-kuhap-dan-
perlindungan-ham-hol15621?page=3 diakses pada 04 Februari 2022
LBH Jakarta, 2017, Leasing Tidak Berhak Menarik Paksa Kendaraan Nasabah
(online), https://bantuanhukum.or.id/leasing-tidak-berhak-menarik-paksa-
kendaraan-nasabah/ diakses pada 04 Februari 2022

Anda mungkin juga menyukai