Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG

DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DI MUKA UMUM

A. Tindak Pidana Kekerasan

1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Azas-azas Hukum


pidana di Indonesia menyajikan suatu pengertian mengenai tindak
pidana yaitu sebuah potret pelanggaran norma-norma dalam tiga
bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan,
dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-
undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifat-sifat
yang ada dalam suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum,
karena tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.1

Istilah Tindak Pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dari

istilah Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delik”. Menurut K. Wantjik Saleh

ada enam istilah yang tercipta dalam bahasa Indonesia saat ingin

mencari untuk menterjemahkan istilah “strafbaar feit” atau” delik” ini;

yaitu:

a. Perbuatan yang boleh dihukum


b. Peristiwa pidana
c. Pelanggaran pidana
d. Perbuatan pidana
e. Tindak pidana.2

Dalam skripsi ini, penulis memakai istilah tindak pidana sebab

istilah inilah yang digunakan dalam perundang-undangan di Indonesia.

Istilah delik kadang-kadang digunakan juga, sebab mempunyai persamaan

1
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2003, hlm. 1.
2
Wantjik K Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Paramestika, Jakarta, 1996,
hlm. 15.

1
2

bunyi dengan istilah aslinya yaitu Delict, maka selain menggunakan istilah

tindak pidana juga menggunakan istilah delik yang sama artinya dengan

tindak pidana.

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana Barat dan

sarjana Indonesia, yaitu antara lain menurut Fletcher definisi pendek dari

strafbaar feit adalah sebagai yang ditentukan oleh undang-undang dapat

dihukum; sedangkan definisi panjangnya adalah sebagai perbuatan

melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau karena kekhilafan

oleh orang lain yang mampu dipertanggungjawabkan.3

Menurut H. J van Schravendijk adalah perbuatan yang boleh

dihukum, yaitu kelakuan yang begitu bertentangan dengan keinsafan

hokum asal dilakukan dengan seorang yang karena itu dapat

dipersalahkan. Starfbaar feit menurut VOS yang merumuskan bahwa

strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang

dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.4

Perumusan “Strafbaar feit“ menurut Simons adalah: “Een strafbaar

feit” adalah suatu hendeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan

pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig)

dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu

bertanggungjawab. Kemudian beliau membagikannya ke dalam dua

golongan unsur yaitu:

3
Wirjono Prodjodikoro, .... Op. Cit., hlm, 84-85
4
Van H.J Scharavendijk, Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana di Indonesia,
J.B. Wolters, Jakarta, 1996, hlm. 87.
3

a. Unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan,


akibat keadaan/masalah tertentu;
b. Unsur subjektif yang berupa kesalahan dan kemampuan
bertanggung jawab dari petindak dan atau strafbaar feit adalah
perbuatan manusia yang dilarang dan diancam hukuman oleh
undang-undang, mempunyai sifat melawan hukum, yang dilakukan
oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat
dipersalahkan.5

Satochid Kartanegara memberi pengertian tentang tindak pidana

yaitu kata tindak (tindakan) mencakup pengertian melakukan atau berbuat

(actieve handeling) atau pengertian tidak melakukan perbuatan, tidak

berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handeling). Istilah

perbuatan berarti melakukan, berbuat (passieve handeling) tidak

mencakup pengertian mengakibatkan atau tidak mengakibatkan, istilah

peristiwa tidak menunjukkan kepada hanya tindakan manusia. Sedangkan

terjemahan pidana untuk strafbaar adalah sudah tepat.6

Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro merumuskan, berarti suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelaku

tersebut dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.7 Berdasarkan

beberapa pengertian sebagaimana yang telah diuraikan, maka dapat

dimaknai bahwa tindak pidana adalah sesuatu perbuatan yang dilarang

oleh hukum pidana dan terdapat orang yang melakukan perbuatan

tersebut. Dengan demikian pengertian tindak pidana dapat dilihat dari dua

segi yaitu:

5
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4,
Percetakan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hlm. 203
6
Ibid, hlm, 92
7
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm, 43
4

1) Segi perbuatannya
Perbuatan adalah perbuatan yang melawan hukum, dalam arti formil
(suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang; merupakan unsur tertulis dalam suatu delik pidana)
dalam arti materiil (tidak secara tegas dilarang dan diancam dengan
undang-undang; merupakan unsur tidak tertulis yang didasarkan
pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang hidup
dimasyarakat, seperti asas-asas umum yang berlaku).
2) Segi subyeknya
Subyek atau individu yang melakukan suatu perbuatan harus
mempunyai kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua
Tindak pidana mempunyai persamaan sifat. Istilah Tindak dari
tindak pidana adalah merupakan singkatan dari Tindakan atau
Petindak, artinya ada orang yang melakukan suatu Tindakan,
sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak. Sesuatu
tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi dalam banyak hal
sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang
dari yang bekerja pada negara atau pemerintah, atau orang yang
mempunyai suatu keahlian tertentu.8

Sesuatu tindakan yang dilakukan itu haruslah bersifat melawan

hukum, dan tidak terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang

meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan tersebut. Setiap

perbuatan/tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai

dengan hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, yang baik

langsung maupun yang tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada

umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang

merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan,

dikehendaki turunnya penguasa, dan jika penguasa tidak turun tangan

maka tindakan tindakan tersebut akan menjadi sumber kekacauan yang

tidak akan habis-habisnya.9

8
S.R Sianturi, .... Op Cit., hlm, 64
9
Ibid, hlm, 215.
5

Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menurut

kehendaknya dan merugikan kepentingan umum atau masyarakat

termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkapnya harus ternyata

bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan

yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus

terjadi pada Negara Indonesia, dipandang dari sudut waktu, tindakan itu

masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang yang perlu diancam dengan

pidana, dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu

keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. Lebih lanjut

Effendi Erdianto dalam bukunya secara ringkas membagi unsur-unsur

tindak pidana sebagai berikut:

Secara ringkas dapatlah disusun unsur-unsur dari tindak pidana,


yaitu:
a. Subyek;
b. Kesalahan;
c. Bersikap melawan Hukum;
d. Suatu tindakan aktif/pasif yang dilarang atau diharuskan oleh
undangundang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan
pidana;
e. Waktu, tempat dan keadaan.10

Penerapan unsur-unsur tindak pidana seperti yang telah dituliskan di

atas maka unsur-unsur tindak pidana atau delik sangatlah membantu dalam

kebutuhan praktek, perumusan seperti itu sangatlah memudahkan

pekerjaan penegak hukum, baik sebagai peserta-pemain (medespleger)

maupun sebagai peninjau (toeschouwer).11 Apakah suatu peristiwa telah

10
Effendi Erdianto, Hukum Pidana Indonesia. Refika Aditama, Bandung, 2011,
hlm, 32
11
Ibid, hlm, 36
6

memenuhi unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal undang-

undang, maka diadakanlah penyesuaian atau pencocokan (bagian-

bagian/kejadian-kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-unsur dan

delik yang didakwakan, dalam hal ini unsur-unsur dari delik tersebut

disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas.

Dengan demikian sering didengar bahwa penggunaan istilah

perbuatan pidana dengan pengertiannya sebagai aliran/teori dualisme,

sedangkan penggunaan istilah tindak pidana dengan pengertiannya

sebagai aliran/teori monisme.12 Sementara beberapa pendapat ahli

mengenai tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Menurut Pompe “strafbaar feit” secara teoritis dapat dirumuskan


sebagai: suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)
yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan
oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum.13
b. Menurut Utrecht “strafbaar feit” dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa pidana itu suatu
perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan
(natalen-negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan
karena perbuatan atau melalaikan itu).14
c. Menurut Moeljatno bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barangsiapa
melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh
masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang diciptakan
oleh masyarakat.14
d. Menurut Simons merumuskan “strafbaar feit” adalah “suatu
tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.”15

12
S.R Sianturi, ... Op. Cit., hlm, 231.
13
Effendi Erdianto, ... Op. Cit., hlm, 97-98. 14 Ibid, hlm, 99.
14
Ibid.
15
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta, 2002,
hlm, 74
7

e. Menurut H.J. van Schravendijk perbuatan yang boleh dihukum


adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan
keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman,
asal dilakukan oleh seorang yang oleh karena itu dapat
dipersalahkan.” 16

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Kekerasan

Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana ialah melihat bagaimana

bunyi rumusan yang dibuatnya. Menurut Moeljatno, unsur tindak adalah :

“a. Perbuatan; b. Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan c. Ancaman

pidana (bagi yang melanggar larangan)”.17

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang oleh aturan hukum

berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada

pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman

(diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan

itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana

merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi

pidana. Adapun unsur subjektif tindak pidana menurut Frans Maramis

yakni:

Unsur Subjektif
1) Kesengajaan atau kealpaan (dolus atau Culpa)
Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari
kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan
yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang)
dibandingkan dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman
pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya
kesenggajaan dari pada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa
tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak
merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan
sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya

16
Ibid, hlm, 75
17
Ibid, hlm, 79
8

penggelapan (Pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal


406 KUHP) dan lain sebagainya. Kealpaan, seperti juga
kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan
adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan.
Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan
dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu
akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat
memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu
kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus
eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).
2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging
seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP.
5) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.18

Adapun unsur objektif tindak pidana menurut Evi Hartanti dalam

bukunya yakni:

1) Sifat melawan hukum


2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil
melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP
Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan kenyataan sebagai akibat.19

Selanjutnya, tindak pidana juga terbagi menjadi unsur formal dan

unsur formil sebagai berikut ;

a. Unsur formal

18
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Depok, 2011, hlm, 63
19
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Ke Dua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm,
7.
9

Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya

tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.

Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan

dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah

mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu

kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka

tidak ada tindak pidana. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud

bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan

tindak pidana yang telah dilakukan.

Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur

kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari

orang yang melakukan tindak pidana serta orang tersebut berbuat

sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap

akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan

kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan

akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.

Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat

ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari

pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.20

b. Unsur material

Dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu

harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan

20
Ibid, hlm, 10-11
10

yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi

rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan

hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.21

Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan

dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif yakni:

a. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri


pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :
1) Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan
atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat
sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP),
menganiaya (Pasal 351 KUHP). Akibat yang menjadi
syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik
material atau delik yang dirumuskan secara material,
misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP),
penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
2) Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan
perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat
melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan
dengan tegas dalam perumusan.
3) Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana. Ada
beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat
tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang
menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP),
melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan
(Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak
pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
4) Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat
dalam delikdelik yang dikualifikasikan oleh akibatnya,
yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman
pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan
seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu
mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana
diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun.
5) Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana.
Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal
negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya

21
Ibid, hlm, 12
11

hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal


123 KUHP).22
b. Unsur subjektif meliputi:
1) Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam
pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan
kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal
338).
2) Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam
perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan
menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-
lain.
3) Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam
percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP).
4) Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam
pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368
KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain.23

Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal

ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh

anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana

(Pasal 342 KUHP). Unsur bedasarkan buku 11 KUHP memuat rumusan-

rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok

kejahatan. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap

rumusan. Yakni mengenai tingkah laku atau perbuatan walaupun ada

perkecualian seperti Pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan

melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan sering kali juga tidak

dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur kemampuan

bertanggung jawab. Di samping itu, banyak mencantumkan unsur-unsur

yang lain baik sekitar atau mengenai objek kejahatan maupun perbuatan

secara khusus untuk rumusan tertentu. Dari rumusan-rumusan tindak

22
Frans Maramis, Op.Cit, hlm, 13
23
Ibid, hlm. 14-15
12

pidana tertentu dalam KUHP itu dapat diketahui adanya 11 unsur tindak

pidana yakni :

1) Unsur tingkah laku


2) Unsur melawan hukum
3) Unsur kesalahan
4) Unsur akibat konstitutif
5) Unsur keadaan yang menyertai
6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
9) Unsur objek hukum tindak pidana
10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.24

Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan

melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya

berupa unsur objektif. Unsur melawan hukum ada kalanya bersifat

objektif, misalnya melawan hukum perbuatan mengambil pada pencurian

(362) terletak bahwa dalam mengambil itu di luar persetujuan atau

kehendak pemilik (melawan hukum objektif), atau pada Pasal 251 pada

kalimat tanpa izin pemerintah, juga pada pasal 253 pada kalimat

menggunakan cap asli secara melawan hukum adalah berupa melawan

hukum objektif. Akan tetapi, ada juga melawan hukum subjektif misalnya

melawan hukum dalam penipuan (oplichting, 378), pemerasatan

(afpersing, 368), pengancaman (afdereiging, 369) di mana disebutkan

maksud untuk menguntungkan diri atau orang lain secara melawan

hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki

dalam penggelapan (372) yang bersifat subjektif, artinya terdapat

24
Ibid, hlm, 16
13

kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaann

yaitu merupakan celaan masyarakat. Sedangkan menurut rumusan Delik

yang terdapat dalam KUHP, maka dapat diketahui ada dua unsur delik

yaitu :

1) Unsur perbuatan (unsur obyektif), yaitu


2) Mencocokan rumusan delik
3) Melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) 4) Unsur pembuat
(unsur subyektif), yaitu:
5) Adanya kesalahan (terdiri dari dolus atau culpa);
6) Dapat dipertanggungjawabkan (tidak ada alasan pemaaf).25

Terhadap perbuatan Delik dapat dibedakan menjadi dua bentuk,

yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (misdrijven) menunjuk

kepada suatu perbuatan yang menurut nilai-nilai kemasyarakatan dianggap

sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur dalam ketentuan undang-

undang sedangkan pelanggaran menunjuk pada perbuatan yang oleh

masyarakat dianggap bukan sebagai perbuatan tercela, tetapi dianggapnya

sebagai perbuatan Delik karena ditentukan oleh undang-undang.26

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai

berikut:

1. Perbuatan pidana (delik) formil, adalah suatu perbuatan pidana yang


sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan
yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.
Contoh: Pencurian adalah perbuatan yang sesuai dengan rumusan
Pasal 362 KUHP, yaitu mengambil barang milik orang lain dengan
maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum.

25
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm, 121
26
Ibid, hlm 123.
14

2. Perbuatan pidana (delik) materiil, adalah suatu perbuatan pidana yang


dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh:
pembunuhan. Dalam kasus pembunuhan yang dianggap sebagai delik
adalah matinya seseorang yang merupakan akibat dari perbuatan
seseorang.
3. Perbuatan pidana (delik) dolus, adalah suatu perbuatan pidana yang
dilakukan dengan sengaja. Contoh: pembunuhan berencana (Pasal
338 KUHP)
4. Perbuatan pidana (delik) culpa, adalah suatu perbuatan pidana yang
tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan luka atau matinya
seseorang. Contoh: Pasal 359 KUHP tentang kelalaian atau kealpaan.
5. Delik aduan, adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan
pengaduan orang lain. Jadi, sebelum ada pengaduan belum
merupakan delik. Contoh: Pasal 284 mengenai perzinaan atau Pasal
310 mengenai Penghinaan.
6. Delik politik, adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan
kepada keamanan negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Contoh: Pasal 107 mengenai pemberontakan akan
penggulingan pemerintahan yang sah.27

Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana formil, dan tindak

pidana materiil. Tindak pidana formil adalah perbuatan pidana yang

perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu tindak

pidana telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya, sedangkan

perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya

dititik beratkan pada akibat yang dilarang yaitu tindak pidana ini baru

dianggap telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang

dilarang itu telah terjadi.28

Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana tunggal dan tindak

pidana berganda. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang cukup

27
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 1997, hlm. 193.
28
Mahrus Ali, Op.Cit, hlm, 102.
15

dilakukan dengan satu kali perbuatan, misalnya penipuan, pencurian,

pembunuhan. Sedangkan tindak pidana berganda terjadi apabila terjadi

apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misalnya penadahan.29 Tindak

pidana yang dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan

adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada

pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan. Delik aduan

dibedakan dalam dua jenis, yaitu delik aduan absolut dan delik aduan

relatif. Delik aduan absolute adalah delik yang mempersyaratkan secara

absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya. Sedangkan delik aduan

relative adalah delik yang dilakukan masih dalam lingkungan keluarga.

Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan

untuk penuntutannya.30

B. Pidana Kekerasan yang Dilakukan Secara Bersama-sama Terhadap

Orang Dimuka Umum

Menurut Hazawinkel-Suringa Hoge Raad Belanda mengemukakan dua

syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: kesatu, kerja sama

yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak

bersama diantara mereka. Kedua, mereka harus bersama-sama melakukan

kehendak itu.

1. Ketentuan Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Secara

Bersama-sama Terhadap Orang Dimuka Umum

29
Ibid, hlm 103
30
Sudaryono, Natangsa Surbakti, Op.Cit, hlm, 43
16

Tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama termasuk

dalam jenis kejahatah terhadap ketertiban umum, sebagaimana yang diatur

dalam buku KUHP, yakni Pasal 170 : (1). Adapun bunyi pasal 170 ayat (1)

KUHP adalah sebagai berikut :

“Barangsiapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan


terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan.”

Jika melihat pasal 170 ayat (1) KUHP ini maka jelas pasal ini mengatur

tentang tindak pidana, yaitu kekerasan terhadap orang atau barang, yang

mengakibatkan luka atau kerusakan.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Secara

Bersama-sama Terhadap Orang Dimuka Umum

Suatu tindak pidana digolongkan ke dalam tindak pidana secara

bersama-sama dimuka umum melakukan kekerasan, haruslah memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Melakukan kekerasan. Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan

menurut Soesilo, yaitu:

“Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan


jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan
tenaga atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang,
dan sebagainya.”31

b. Bersama-sama

Bersama-sama berarti tindakan kekerasan tersebut harus dilakukan

oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Artinya bahwa orang-orang

31
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar ..., Op. Cit., hlm. 110
17

yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan kekerasan

tidak dapat turut dikenakan Pasal ini.32

c. Terhadap orang.

Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang, meskipun tidak akan

terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri

sebagai tujuan, kalau sebagai alat atau upaya-upaya untuk mencapai suatu

hal, mungkin bisa juga terjadi.33

d. Dimuka umum

Kekerasan itu dilakukan dimuka umum, karena kejahatan ini memang

dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ketertiban umum. Di muka

umum artinya di tempat publik dapat melihatnya.34

C. Anak Sebagai pelaku Tindak Pidana

1. Pengertian Anak Menurut Peraturan Perundang-Undanagan

Dalam hukum positif Indonesia, anak diartikan sebagai orang yang

belum dewasa ataupun orang yang belum mencapai usia tertentu yang

ditetapkan undang-undang sebagai batasan usia dewasa. pengertian anak

pun berbeda-beda pada setiap peraturan di Indonesia. Anak adalah amanah

sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga

karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan

32
Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, Rifika Aditama, Bandung, 2011,
hlm. 174
33
March F. Makaampoh, Kedudukan dan Tugas Polri Untuk Memberantas Aksi
Premanisme Serta Kaitannya Dengan Tindak Pidana Kekerasan Dalam KUHP, (Jurnal: Lex
et Societatis), Vol. 1/No. 2, hlm. 75
34
Ibid., hlm 80
18

bernegara, anak adalah masa depan bangsa generasi penerus cita-cita

bangsa, sehingga anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan atas

perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi, serta kebebasan.

Beberapa sarjana mencoba memberikan pengertian mengenai anak,

yakni anak adalah keadaan manusia normal yang masih muda dan sedang

menentukan identitas serta sangat labil jiwanya sehingga sangat mudah

kena pengaruh lingkungan.35 Lilik Mulyadi berpendapat ditinjau dari

aspek yuridis maka pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim

diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaiglperson under

age), orang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjarigheic

uinferiority), atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah

pengawasan wali (minderjarige ondervoordij).36 Terdapat beberapa

pengertian mengenai anak dalam peraturan di Indonesia, antara lain :

a. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak Pasal 1 ialah anak yang Berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang

diduga melakukan tindak pidana.

b. Pengertian anak yang terdapat dalam pasal 145 KUHP adalah anak

yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun.

35
Kartini, Gangguan-Gangguan Pshikis, Sinar Baru, Bandung, 1991, hlm,189.
36
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek Permasalahannya,
Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm, 3-4.
19

Oleh karena itu, apabila anak yang masih dibawah umur terjerat

perkara pidana hakim dapat menentukan supaya anak yang terjerat

perkara pidana tersebut dapat dikembalikan kepada orang tua, atau

wali, atau orang tua asuh dengan tidak dikenakan pidana, atau

memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan

tidak dikenakan sanksi pidana.37

c. Pengertian anak menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

1) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)


tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.

d. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) merumuskan bahwa anak adalah

seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin.

e. Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan, mengelompokan anak ke dalam tiga kategori, yakni:

1) Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan


menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling
lama sampai berumur 18 tahun.
2) Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berusia 18
tahun.
3) Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di
Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama 18 tahun.
37
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, Alumni, Bandung, 2010,
hlm. 44
20

f. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang

berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut

adalah demi kepentingannya.38

Menurut Marlina, dalam buku Peradilan Pidana Anak di Indonesia

menyimpulkan bahwa definisi menurut perundangan negara Indonesia,

anak adalah manusia yang belum mencapai 18 tahun termasuk anak yang

masih dalam kandungan dan belum menikah.39 Oleh karena itu, anak tidak

dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena

seseorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berfikir dan

berada dalam pengawasan orang tua atau walinya.40 Menurut Undang-

undang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian anak yang dimasukkan

dalam sistem peradilan pidana anak adalah adalah anak yang telah

berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

tahun,yang diduga melakukan tindak pidana.

Beberapa pandangan diatas yang telah diuraikan, bahwa pengertian

anak yakni orang yang masih dalam kandungan dan berumur dibawah 18

tahun (delapan belas) serta belum kawin. Maksud dari kata belum kawin

adalah anak yang tidak terikat dalam perkawinan atau pernah kawin dan

38
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU – SPPA), Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 8
39
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009,
hlm,1.
40
Bunadi Hidayat, Pemidanaan ... Op. Cit., hlm. 56
21

kemudian cerai. Apabila anak terikat dalam suatu perkawinan, atau

perkawinannya putus karena perceraian maka anak tersebut dianggap

sudah dewasa meskipun umurnya belum 18 (delapan belas) tahun.41

2. Tindak Pidana Anak

Pada dasarnya dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana

Anak tidak dijelaskan mengenai pengertian tentang tindak pidana anak,

melainkan hanya hanya berupa apa itu sistem peradilan pidana anak bukan

tindak pidana anak yaitu anak sebagai pelaku tindak pidana telah diatur

dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan

pidana anak Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) yaitu :

“ayat (1) adalah “Sistem Peradilan Pidana Anak adalah


keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan
dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana”

ayat (2) adalah“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah


anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”,
ayat (3) adalah “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.”

Pengertian dari tindak pidana anak itu sendiri masih berdasar pada

pendapat oleh para pakar-pakar hukum atau ahli hokum yang berpedapat

bahwa pengertian dari tindak pidana anak adalah kejahatan pidana yang

menyangkut anak baik sebagai pelaku ataupun sebagai korban, karena

menurut beliau bahwa defenisi tindak pidana anak itu belum ada di

41
Ibid.,
22

Indonesia dan dalam Undang-undang sistem Peradilan Pidana Anak

dijelaskan dari segi filosofinya yaitu anak yang berhadapan dengan hukum

atau peradilan.42

3. Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 25 ayat (1) undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan

Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan

peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

militer, dan peradilan tata usaha negara. Peradilan umum merupakan

peradilan bagi rakyat pada umumnya baik perkara perdata maupun perkara

pidana. Tidak tertutup kemungkinan adanya pengkhususan dalam masing-

masing lingkungan, misalnya dalam peradilan umum dapat diadakan

pengkhususan berupa Peradilan Pidana Anak. Perbedaan peradilan umum

dengan peradilan khusus terutama disebabkan oleh adanya perkara atau

golongan rakyat tertentu. Peradilan Anak diatur dalam Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dapat

dikatakan bahwa peradilan pidana anak adalah pelaksanaan kekuasaan

kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum.43

42
M. Nasir Djamil, Op.Cit, hlm, 13
43
Rehngena, Proses Pengadilan Anak (Litmas Sebagai Bahan Pertimbangan
Putusan Oleh Hakim Dalam Sidang Pengadilan Anak, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2004,
hlm 22.
23

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses

penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari

tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani

pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Peradilan Pidana

Anak masih di bawah ruang lingkup Peradilan Umum. Secara intern di

lingkungan Peradilan Umum dapat ditunjuk hakim yang khusus untuk

mengadili perkara-perkara pidana anak.

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari

istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan

dalam sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi

polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan,

pusatpusat penahanan anak, dan fasilitas pembinaan anak.44 Dalam kata

sistem peradilan pidana anak, terdapat istilah “sistem peradilan pidana”

dan istilah anak. Kata “anak” dalam frasa “peradilan pidana anak” mesti

dicantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana

dewasa.45 Peradilan Pidana Anak melibatkan anak dalam proses hukum

sebagai subyek tindak pidana dengan tidak mengabaikan masa depan anak

tersebut, dan menegakkan wibawa hukum sebagai pengayom, pelindung

serta menciptakan iklim yang tertib untuk memperoleh keadilan.46

Perlakuan yang harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, harus

44
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. 35
45
Rehngena, ... Op. Cit., hlm, 2
46
Ibid, hlm, 7
24

menempatkan anak pada kedudukan khusus dengan memperhatikan

kepentingan terbaik bagi anak khsususnya secara biologis, psikologis dan

social.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Anak-anak baru diakui memiliki hak asasi setelah sekian banyak anak-

anak menjadi korban dari ketidakpedulian orang-orang dewasa, pengakuannya

tidak terjadi serta merta pada saat korban, yaitu anak, berjatuhan, tetapi dengan

melalui proses perjuangan yang sangat panjang. Maidin Gultom dalam

bukunya menguang sejarah, ia mengungkapkan bahwa:

Pada tahun 1919, setelah perang dunia I berakhir, kehidupan anak-anak


secara internasional baru diberikan, hal ini dikarenakan perang
membuat anak-anak menderita dengan kelaparan dan terserang
berbagai penyakit. Eglantyne Jebb merupakan aktivis yang menggagas
hak-hak anak adalah hak asasi yang wajib dimiliki setiap anak yang ada
di dunia. Tindakan dari aktivis inilah yang mengawali gerakan
kemanusiaan internasional yang secara khusus memberi perhatian
kepada kehidupan anak-anak. 47

Pada tahun 1923, Eglantyne membuat 10 pernyataan hak-hak anak dan

mengubah gerakannya menjadi perjuangan hak-hak anak, diantaranya adalah

bermain, mendapatkan nama sebagai identitas, mendapatkan makanan,

mendapatkan akses kesehatan, mendapatkan perlidungan, dan mendapatkan

sarana rekreasi.48 Sementara Maidin Gultom menyatakan bahwa:

Pada tahun 1924, pernyataan ini diadopsi dan disahkan sebagai


pernyataan hak-hak anak oleh Liga Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1948,
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengumumkan Deklarasi
Universal Hak Manusia yang di dalamnya terdapat hak-hak anak. Pada
tanggal 1 Juni 1959, PBB mengumumkan pernyataan hak-hak anak dan

47
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm, 38
48
Ibid, hlm, 39
25

ditetapkan sebagai hari anak sedunia. Pada tahun 1979, diputuskan


sebagai tahun anak dan ditetapkan 20 November sebagai hari anak
internasional, dan pada tahun 1989, konvensi hak-hak anak disahkan
oleh PBB.49
Dalam hukum internasional, tentang anak juga diatur dan dilindungi

haknya. Instrumen-instrumen hukum internasional tersebut diantaranya

adalah, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of

Juvenile Justice, United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived

of Their Liberty, United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile

Deliquency.50 United Nations Standard Minimun Rules for the Administration

of Juvenile Justice atau disebut sebagai peraturan-peraturan minimum standar

PBB mengenai administrasi peradilan bagi remaja. Dalam peraturan tersebut,

penentuan umur bagi seorang anak atau remaja ditentukan berdasarkan sistem

hukum masing-masing negara. Visi yang ingin dicapai dalam peradilan anak

diantaranya adalah, untuk mencapai kesejahteraan anak dan penjatuhan pidana

bagi anak, tidak harus bersifat menghukum.51

United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their

Liberty atau biasa disebut dengan peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan

remaja yang kehilangan kebebasannya. Ada beberapa hal pokok dalam

peraturan ini, diantaranya adalah, sistem peradilan bagi remaja harus

menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan

fisik dan mental remaja, penjara harus menjadi alternatif terakhir, data yang

49
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta, 2011, hlm, 31
50
Maidin Gultom, Op.Cit, hlm, 35
51
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004,
hlm, 28
26

berkaitan dengan remaja bersifat rahasia, dan anak atau remaja yang ditahan

berhak untuk memperoleh diantaranya adalah, pendidikan, latihan

keterampilan dan latihan kerja, mendapat perawatan kesehatan, rekreasi,

memeluk agama, dan pemberitahuan tentang kesehatan.52

United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency

atau biasa disebut dengan pedoman PBB dalam rangka pencegahan tindak

pidana anak dan remaja. Ketiga instrumen tersebut adalah beberapa saja

diantara banyak pedoman dalam hukum internasional sebagai instrumen

hukum perlindungan anak, diantaranya adalah Resolusi MU-PBB

44/25tanggal 20 Nopember 1989 mengenai Convention of the Rights of the

Child”, Resolusi ECOSOC 1990/33 tanggal 24 Mei 1990 mengenai “The

Prevention of Drug Consumption Young Persons”, Resolusi MU-PBB 45/115

tanggal 14 Desember 1990 mengenai “The Instrumental Use of Children in

Criminal Activities”, dan Resolusi Komisi HAM 1994/92 tanggal 9 Maret

1994 mengenai “Special Rapporteur on the sale of children, child

prostitution, and child pornography”.53

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia, sejak penciptaan

manusia sampai dengan saat ini anak memiliki pemaknaan yang berbeda-beda.

Dan hal tersebut semakin berkembang dari zaman ke zaman. Sebagai contoh

dahulu terdapat paham yang mengatakan bahwa banyak anak banyak rejeki,

tetapi hal tersebut terjadi pada zaman feodal dimana pekerjaan manusia masih

sangat homogen dan kebutuhan yang belum sebanyak zaman sekarang dan

52
Ibid, hlm, 29-30
53
Ibid, hlm, 31
27

pada saat itu kuantitas sangat berpengaruh dalam peningkatan perekonomian

suatu keluarga.54 Namun hal tersebut tidak akan menjadi relevan lagi di zaman

ini, dimana manusia semakin banyak jumlahnya, yang berarti persaingan juga

semakin besar satu sama lain. Diikuti dengan semakin beragamnya kebutuhan

manusia dan meningkatnya ketergantungan manusia pada barang-barang.

Pada saat ini kualitas dari suatu pribadi lebih penting dari pada kuantitas untuk

memenangkan persaingan.

Saat ini semakin banyak anak akan menyusahkan bagi orang tuanya

karena biaya yang butuhkan untuk menghidupi anak tersebut yang tidak

sedikit. Pemaknaan anak pun bergeser kearah peningkatan kualitas dari anak

tersebut. Inilah yang menyebabkan semakin menjamurnya lembaga

pendidikan-pendidikan untuk mendidik anak supaya nantinya menjadi orang

yang berguna dan berkualitas. Dalam rangka untuk menghasilkan anak-anak

yang berkualitas itu juga yang salah satu alasan adanya hukum perlindungan

anak. Darwin Prinst dalam bukunya menyatakan bahwa:

“Di Indonesia sendiri hukum yang mengatur tentang anak sudah ada
sejak tahun 1925 pada masa kolonial Belanda, dengan lahirnya
Staatsblaad 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949 No 9 yang
mengatur tentang Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Diikuti pada
tahun 1926 dengan lahirnya Staatsblaad 1926 No 87 tentang
pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja diatas kapal. Selanjutnya
pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang disahkan mulai belaku pada tanggal 26 Februari 1946.”55

Dalam beberapa pasalnya KUHP mengatur tentang anak yaitu Pasal

45, 46, dan 47 yang memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan

54
Nashrina, ... Op. Cit., hlm, 52
55
Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Adiya Bhakti, Bandung, 1997,
hlm, 42
28

tindak pidana Anak sebagai pelaku sebaliknya di dalam Pasal 290, 292, 293,

294, 297, dan lain-lain memberikan perlindungan terhadap anak dengan

memperberat hukuman atau mengkualifikasikan tindakan-tindakan tertentu

sebagai tindakan pidana jika dilakukan terhadap anak, padahal tindakan

tersebut tidak akan dikategorikan sebagai tindakan pidana jika dilakukan

terhadap orang dewasa Anak sebagai korban.56

Dilanjutkan pada tahun 1948 dengan lahirnya Undang-undang No. 12

tahun 1948 tentang Pokok-pokok Perburuhan yang melarang anak melakukan

pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahirlah Undang-Undang No. 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29

Februari 1988 dengan lahirnya Peraturan Pelaksana No.2 Tahun 1988 tentang

Usaha Kesejahteraan Anak. Secara Internasional pada tanggal 20 November

1989 lahirlah konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa yang di ratifikasi oleh

Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dimana melalui

konvensi ini setiap Negara diwajibkan untuk menjamin hak anak-anak.57

Pada tahun 1948 dengan disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun

1948 anak secara tegas dilarang bekerja. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa usia pekerja adalah minimal

15 tahun dan maksimal 55 tahun. Akan tetapi dalam kenyataan banyak anak

yang terpaksa bekerja oleh karena alasan ekonomi di Indonesia. Untuk

menyikapi masalah tersebut maka pemerintah mengeluarkan Permenaker

No.1 Tahun 1987 tentang anak yang terpaksa bekerja. Anak yang terpaksa

56
Ibid, hlm, 43.
57
Ibid, hlm, 47
29

bekerja disyaratkan harus ada ijin tertulis dari orang tuawali dengan lama

bekerja 4 jam dalam satu hari, dengan upah yang sama dengan orang dewasa,

tidak bekerja pada malam hari, dan pada tempat-tempat yang berbahaya pada

kesehatannya. Hal ini sangat bertentangan dengan Undangundang No.12

Tahun 1948 jo Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.58

4. Tujuan Lahirnya Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Sejarah mencatat bahwa:

Dulu anak tidak bisa memperoleh haknya dari bapak biologis hanya
karena tidak tercatat oleh negara. Padahal, andaipun anak terlahir
karena perbuatan zina, anak bukanlah yang harus menanggung
konsekuensinya. Anak bukanlah objek yang layak dilabeli dengan
stigma yang buruk. Yang salah adalah orang tua mereka. Syukurnya,
persoalan ini telah diubah oleh MK lewat putusannya dalam kasus
Judicial Review beberapa tahun lalu.59

Tidak dapat dipungkiri bahwa melindungi anak sewajarnya sudah

diagendakan sejak lama. Meski tergolong lambat, kiranya pemerintah semakin

jelas menunjukkan implementasinya. Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), telah terjadi perubahan paradigma

yang amat mendasar. UU a quo tidak lagi menempatkan anak pelaku,

melainkan menganggap anak sebagai korban. Cara pandang ini adalah

kesadaran yang patut diapresiasi. Ada beberapa perubahan yang mengarah

kepada pembaruan dan perbaikan dalam sistem khususnya hukum Indonesia.

Perubahan itu antara lain adalah usia anak dibawah umur yang dapat diproses

58
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,
Jakarta, 1990, hlm,
59
Hasan Maulana, Pengantar Advokasi Dan Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, 2000, hlm, 41
30

kini menjadi 12 tahun minimal dan belum berumur 18 tahun. Dulu anak 8

tahun dapat diproses. Sekalipun usia 12 tahun tergolong masih rendah,

setidaknya usia demikian sudah lebih baik dan dipandang lebih layak menurut

hukum Negara Indonesia.

Dalam peraturan ini, Anak juga dibedakan menjadi anak yang

melakukan tindak pidana, anak sebagai saksi, dan anak sebagai korban (Pasal

1 ayat 3, 4, 5 UU SPPA). Selain itu, perumusan sanksi kian lebih baik. Pidana

pokok dalam UU itu bahkan menempatkan penjara di urutan terakhir dengan

maksud penjara sebisa mungkin dihindari.60 Jika tidak dapat dihindari, UU

tersebut mengantisipasinya dengan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak

(LPKA) dan pemisahan blok untuk anak-anak dari orang dewasa.61 Sejalan

dengan hal tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2016 yang sesungguhnya bertujuan

untuk melindungi anak dari maraknya kejahatan pedofilia. Semangat dan kerja

keras pemerintah untuk melindungi anak harus kita sambut positif. Negara kian

menunjukkan keseriusannya terhadap tumbuh kembang anak.

60
Endri Nurindra, Implementasi Atas Berlakunya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, (Makalah), disampaikan dalam
Sarasehan Proses Penyelesaian Kekerasan terhadap Anak, hlm. 4
61
Ibid., hlm. 6

Anda mungkin juga menyukai