Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

MUHAMMADIYAH DAN NAHDHATUL ULAMA


Makalah ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Sejarah Pemikiran Islam
Dosen:
Prof. Dr. H. M. Darwis Hude, M.Si

Oleh:
Samsul Hadi (182520116)
M Yogi Saputra (182520110)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU
AL-QUR’AN (PTIQ) JAKARTA
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat
iman dan islam serta sehat dan panjang umur sehingga kami dapat membuat
makalah tentang sejarah pemikiran muhammadiyah dan nahdatul ulama dengan
baik dan lancer.
Sholawat serta salam kami haturkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah menuju jaman
islamiyah.
Adapun makalah ini dibuat dengan tujuan untuk kita pelajari bersama,
agar menambah wawasan serta mengulang kembali ingatan kita tentang sejarah
pemikiran muhammadiyah dan nahdatul ulama.
Selanjutnya kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu
mata kuliah sejarah pemikiran islam yaitu Bapak Prof. Dr. Darwis Hude, M.Si.
atas bimbingan dan arahannya sehingga kami dapat menyelesaiakan penulisan
makalah ini. Jazakumullah Khairan Katsiran.

Jakarta/Bogor, 16 Januari 2021


Samsul Hadi
M Yogi Saputra

ii
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah .............................................. 3
B. Dasar Pemikiran Muhammadiyah .................................................. 4
C. Pergerakan Muhammadiyah Dibidang Pendidikan......................... 7
D. Latar Belakang Berdirinya Nahdatul Ulama .................................. 9
E. Dasar Pemikiran Nahdatul Ulama .................................................. 13
F. Pengaruh dan Kiprah Nahdatul Ulama Terhadap NKRI ................ 17
G. Sejarah Perubahan Dalam Nahdatul Ulama ................................... 23
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ide tentang gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada dasarnya
sudah dirintis sejak lama. Sudah beberapa abad terakhir, kita bisa melihat
peran berbagai tokoh Muslim dalam mengembangkan dan mengemas Islam
dengan berbagai rupa, yang intinya satu kesatuan, yakni menyebarkan dan
mendakwahkan  Islam keseantero jagad raya. Gerakan di ilhami oleh perlunya
perubahan dari berbagai aspek kehidupan.
Dalam aspek agama sendiri diharapkan dengan adanya gerakan
pembaharuan Islam dapat memahami bahwa agama Islam sesuai al-Qur’an
dan sunnah. Menjauhi segala bid’ah, khurafat, mitos, dan takhayul yang
banyak mengakar di dalam kawasan masyarakat tradisionalis yang banyak
terpengaruh oleh budaya dan kebiasaan tradisional setempat. Dan juga
diharapkan bisa memerangi dan meluruskassn apa saja yang bertentangan
dengan ajaran syari’at Islam.
Dengan adanya motivasi seperti itu munculah banyak organisasi
pembaharu Islam di dunia. Dan di tinggkat internasional sendiri berdiri secara
khusus organisasi yang mewadahi umat Islam, diantaranya adalah; OKI
(Organisasi Konferensi Islam) atau OIC (Organization of the Islamic
Conference) yang merupakan organisasi antar pemerintah yang terdiri dari
beberapa negara
Di Indonesia sendiri juga berhamburan organisasi yang menjunjung
tinggi nama Islam. Bahkan tidak sedikit dari organisasi tersebut berperan aktif
dalam membantu merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.
Bahkan ada juga organisasi yang berdiri jauh sebelum kemerdekan Indonesia
diplokamirkan. Sebut saja Jami’atul Khair (1901), Sarekat Islam (1912), Al-
Irsyad (1914), Muhammadiyah (1912), Persis (1923), NU (1926) dan
Masyumi (1937).
Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat

1
bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang
muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat
kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,
munculah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Tujuan ormas sendiri pada dasarnya adalah untuk menjaga,
memelihara, serta memperkuat sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal inilah yang mengilhami bahwa contoh organisasi masyarakat yang baik
adalah yang syarat akan keterlibatanya dalam mewujudkan tujuan negara.
Kemudian penulis mencoba mengkaji tentang dua organisasi besar di
Indonesia yang memiliki eksistensi yang tinggi hingga sekarang, bahkan
memiliki jumlah massa atau pengikut yang tidak bisa dibilang sedikit. Yakni
mengenai sejarah pemikiran Islam didalam Muhammadiyah dan Nahdatul
Ulama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya Muhammadiyah ?
2. Bagaimana Dasar Pemikiran Muhammadiyah ?
3. Bagaimana Pergerakan Muhammadiyah di Bidang Pendidikan?
4. Bagaimana Latar Belakang Berdirinya Nahdatul Ulama?
5. Bagaimana Dasar Pemikiran Nahdatul Ulama ?
6. Bagaimana Pengaruh dan Kiprah Nahdatul Ulama Terhadap NKRI ?
7. Bagaimana Sejarah Perubahan Dalam Nahdatul Ulama ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
2. Mengetahui Dasar Pemikiran Muhammadiyah
3. Mengetahui Pergerakan Muhammadiyah di Bidang Pendidikan
4. Mengetahui Latar Belakang Berdirinya Nahdatul Ulama
5. Mengetahui Dasar Pemikiran Nahdatul Ulama
6. Mengetahui Pengaruh dan Kiprah Nahdatul Ulama Terhadap NKRI
7. Mengetahui Sejarah Perubahan Dalam Nahdatul Ulama

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah


Muhammadiyah sendiri merupakan gerakan pembaharu yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 18 Dzulhijjah 1330 H, atau bertepatan
dengan 12 November 1912 M. Di Yogyakarta, Muhammadiyah sering
dicap banyak kalangan sebagai organisasi Islam yang berwawasan Islam
moderat. Yakni berupaya menampilkan corak Islam yang memadukan
antara purifikasi dengan dinamisasi dan  bersifat moderat (wasatiyah)
dalam meyakini, memahami, dan melaksanakan pemikiran Islam.
Muhammadiyah dengan begitu berbeda dengan karakter gerakan-gerakan
Islam lain yang cenderung ekstrem, baik yang bersifat radikal-
fundamentalis ataupun radikal-liberal.
Ideologi dengan karakter moderat ini mengindikasikan bahwa
Muhammadiyah berbeda dengan gerakan Islam radikal-liberal yang serba
liberal dalam melakukan dekonstruksi atas pemikiran Islam sehingga serba
relatif dan Gagasan Pendidikan  pada saat yang sama berbeda dengan
gerakan radikal-fundamentalis semisal Salafi, Wahabi, al-Ikhwan al-
Muslimin, Taliban, Jemaah Tabligh, Islam Jemaah, Jemaah Islamiyah,
Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Ansharut Tauhid, Islam Tradisional,
Majelis Tafsir al-Qur’ân, dan kelompok Syi’ah1
Salah satu ciri gerakan Muhammadiyah yang moderat ditangan
Kiai Dahlan adalah beliau tidak menafikkan bahwa Muhammadiyah
merupakan organisasi formal yang ada dalam ruang wilayah sebuah
negara. Jadi merupakan kewajiban bagi pengurus organisasi untuk
memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh pemerintah
negara dimana Muhammadiyah berada, baik di Indonesia maupun negara
lain. Walaupun pada masa pendirianya yang berkuasa adalah Belanda,

1
Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai Potret Pendidikan
Moderat di Indonesia”, Islamica, Vol. 9, No. 1,  September 2014,  h. 97-98

3
namun hal ini tidak menjadikan Kiai Dahlan mengabaikan masalah
administratif.2
B. Dasar Pemikiran Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan sendiri merupakan seorang ulama yang
kharismatik sekaligus kontroversial di masanya. Beliau sendiri lahir pada
tanggal 1 Agustus 1864 dan wafat pada 22 Februari 1923. Beliau
merupakan anak keempat dari K.H. Abu Bakar dan ibunya adalah putri
dari H.Ibrahim yang merupakan pejabat penghulu Kesultanan Yogyakarta
pada saat itu. Beliau sendiri memiliki nama kaecil Muhammad Darwis.
Semenjak kecil ia selalu serius dalam belajar agama dan bahasa
Arab. Setelah beranjak dewasa Muhammad Darwis memulai
perjalanannya dimulai dari menunaikan ibadah Haji dan bermukim selama
5 tahun. Beliau bertemu dengan gurunya Sayyid Bakri Syatha dan
memberikan nama baru yakni Ahmad Dahlan. Ia juga sempat berguru
dengan Syekh Ahamad Khatib yang juga merupakan guru Kyai Hasyim
Asy’ari.3
Pemikiran Ahmad Dahlan sendiri banyak didasari pada
pengalaman berguru selama bertahun-tahun, meskipun tidak pernah
mengenyam pendidikan dalam tahapan formal Ahmad Dahlan banyak
belajar pada; belajar Fiqih dari K.H. Muhammad Shaleh, Nahwu dengan
K.H. Muhsin, ilmu Falaq dengan K.H. Raden Dahlan, ilmu Hadist dengan
KH.Mahfud dan Syekh Hayyat, serta ilmu Qira’at yang ia peroleh dari
Syekh Amin dan Syekh Bakri Satock, bahkan Ahmad Dahlan mempelajari
ilmu pengobatan dan racun binatang dari Syekh Hasan.
Juga diketahui bahwa Ahmad Dahlan sangat mengagumi pemikiran
Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Jamaludin Al-
Afghani. Hal ini terlihat dengan pemahaman dan pembaharuan Islamnya
yang berfokus pada pemurnian (tauhid) dan tidak beriman secara taqlid.

2
Ahmad Faizin Karimi, Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad Dahlan,
(Gresik: MUHI Press, 2012),  h. 102.
3
Muh.Dahlan, “K.H. Ahmad Dahlan sebagai Tokoh Pembaharu”, Jurnal Adabiyah, Vol.
17, No. 2,  tahun 2014, h. 123-124

4
Dalam buku K.H. AR. Fahrudin (Ketua Muhammadiyah 1968)
yang berjudul “Menuju Muhammadiyah”, menjelaskan mengenai hal-hal
yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan sepanjang kepemimpinanya,
antara lain: (a). Meluruskan Tauhid, Peng-Esaan terhadap Allah swt.
Meluruskan kebaradaan Allah sebagai Sang Khalik dan hubungan Allah
dan makhlukNya tanpa perantara apapun; (b). Meluruskan cara beribadah
kepada Allah swt. Tanpa adanya gerakan-gerakan yang kurang tepat dalam
shalat; (c). Mengembangkan akhalakul karimah, etika sosial dan tata
hubungan sosial sesuai tuntunan Islam.
Jika diperhatikan secara garis besar maka bisa terlihat bahwa
Ahmad Dahlan merupakan ciri Muslim fundamentalis yang
mengembalikan semuanya kepada sumber utama pemikiran Islam yakni
Al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun demikian beberapa pembaharuan yang
dilakukan Ahmad Dahlan dalam hal; pembenaran arah kiblat di Masjid
Agung Yogyakarta, pelurusan penetuan tanggal hari raya idul fitri yang
ditentukan dengan hisab, penolakan terhadap Bid’ah dan Khurafat, dan
perhatianya terhadap pendidikan dan gerakan kemasayarakatan.4
Muhammadiyah sendiri lahir dari perenungan Kiai Dahlan, yang
berkeinginan untuk menjadikan  Islam harus sehat, kuat dan besar,
sehingga bisa menyelamatkan dunia dengan selalu membela mereka yang
kesusahan dan menderita. Oleh sebab itu, harus ada organisasi kesatuan
dan persatuan yang menempatkan menaungi dan menjadi wadah dari buah
fikiran yang mulia itu, maka didirikanlah Muhammadiyah.
Dan dalam perancangan sistem  organisasi ini sendiri merujuk pada
Firman Allah, “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.5 Ayat ini
berorientasi pada seruan agar manusia selalu berbuat baik di dunia dengan
memperbanyak amal sholeh dan menjauhi segala perbuatan buruk. Para

4
Muh.Dahlan, K.H. Ahmad Dahlan…, h. 126
5
Q.S. Ali Imron: 104

5
aktivis gerakan Muhammadiyah  sering mengatakan bawa ayat itu
merupakan ayat Muhammadiyah. Karena merupakan ayat yang menjadi
landasan Kyai mendirikan Muhammadiyah.6
Haedar Natsir menjelaskan dalam karyanya mengenai “Khittah
Perjuangan”  yang merupakan program dasar yang menjadi pegangan
seluruh anggota Muhammadiyah yang berisi:
1. Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah Islam dan ammar ma’ruf
nahi munkar yang bergerak di bidang kemasyarakatan, bukan di
bidang politik praktis/politik kekuasaan.
2. Muhammadiyah hidup dan bergerak dalam wilayah dan di bawah
hukum Negara Republik Indonesia yang berdasarlan Pancasila dan
UUD 1945.
3. Perjuangan Muhammadiyah berpedoman pada kepribadian
Muhammadiyah.7
Amien Rais  sendiri mengatakan bahwa “Muhammadiyah adalah
gerakan yang yang berfungsi sebagai gerakan keagamaan sesuai jati
dirinya”. Dan sejauh yang saya ketahui menurut data yang ada,
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang paling maju dalam bidang
amal usaha, tidak hanya skala nasional, tapi juga skala internasional.
Dan Muhammadiyah sendiri merupakan gerakan yang praktis. Saat
ini bisa kita lihat, bahwa grafiknya sedang menunjukkan kenaikan,
khususnya dari segi kuantitatif, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan,
sosial, maupun ekonomi. Dan yang paling terlihat adalah dalam bidang
pendidikan.8
Menurut Zuly Qodir, Muhammadiyah merupakan gerakan yang
berorientasi dalam membangun moralitas keislaman masyarakat yang
masih banyak diselimuti dengan tradisi-tradisi Hinduisme dan Budhiesme

6
Majelis Diklitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah, (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2010), Prolog xxxv
7
Haedhar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharu, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2016), h. 323-324
8
 Muhammad Najib, Suara Amien Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)
h. 116

6
yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia dan menempatkan
posisinya sebagai gerakan dakwah yang berupaya mentransfarmasi Islam
sebagai bagian dari jiwa masyarakat Indonesia.9
Muhammadiyah yang merupakan organisasi dan gerakan sosial
keagamaan yang didirikan oleh Kyai Dahlan adalah
gerakan tajdid (reformasi; pembaharuan pemikiran Islam) yang
disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa dan budaya
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Perkembangan Muhammadiyah sendiri bisa diterima dikalangan
masyarakat luas dan dapat berkembang pesat. Orientasi pengembangan
pendidikan yang dijadikan sebagai asas pergerakan berkembang ke bidang
sosial yang lain seiring semakin besar dan meluasnya organisasi
Muhammadiyah.10
Presiden Pertama Indonesia, Soekarno pernah memberikan
pendapatnya mengenai Muhammadiyah. Dengan lantang ia berbicara:
“Dengan sedikit bicara banyak bekerja, Muhammadiyah telah
memodernisasi cara perkembangan Islam. Sehingga, di seluruh Tanah Air
Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke telah berdiri cabang-cabang
dan ranting-ranting. Selaku seorang yang pernah berkecimpung dengan
lingkungan Muhammadiyah, saya ingin berpesan kepada saudara-saudara
supaya selalu berpegang teguh pada motto ‘banyak bekerja’. Inilah
sebabnya Muhammadiyah berkumandang dan menjadi besar”.11

C. Pergerakan Muhammadiyah di Bidang Pendidikan


Maksud dan tujuan berdirinya Muhammadiyah sendiri adalah
menegakkan dan menjunjung tinggi Agama dan pemikiran Islam, sehingga
dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah sendiri cenderung lebih bergerak dan mementingkan
pergerakannya di bidang pendidikan dan pengajaran yang berasaskan

9
 Zuly Qodir, Muhammadiyah Studies, (Yogyakarta: KANISIUS, 2010), h. 74
10
Djoko Marihandono, K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), Museum Kebangkitan Nasional
, h. 201
11
Nashruddin Anshory, Matahari Pembaharuan, (Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher,
2010), h. 157.

7
Islam, baik pendidikan dalam sekolah/ madrasah maupun pendidikan
dalam masyarakat.
Maka, tidak heran bahwa gerakan ini sejak mulai berdirinya telah
banyak membantu NKRI dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan mebangun madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh,
bahkan juga banyak menerbitkan banyak buku dan majalah yang
menyiarkan pemikiran Islam.12
Tujuan dan cita-cita yang diinginkan Muhammadiyah menurut
Syarifuddin Jurdi adalah
“Ingin melihat agama Islam dapat dilaksanakan oleh umatnya secara baik
sehingga akan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya dan cita-
citanya adalah membuat umat Islam di Indonesia dapat menjalankan
agamanya sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist. Adapun mengenai
pemerintahan, partai politik, dan sebagainya Muhammadiyah tidak
mencampurinya, karena kelibatan anggota-anggota Muhammadiyah
dalam partai politik bersifat individual dan tidak mewakili
Muhammadiyah”.13
Muhammadiyah juga bukan sekedar gerakan yang hanya menyeru
“Amar Ma’ruf Nahi Munkar” yakni dengan mencegah kemunkaran dan
menyeru kebaikan. Yang perlu diapresiasi adalah dengan upayanya untuk
membebaskan manusia dari kesengsaraan dan ketertindasan dalam artian
kebodohan, penyakit, maraknya kriminalisasi dan juga kebodohan. Dan
hal yang sangat perlu diperhatikan disini, Muhammadiyah adalah ormas
Islam yang memerlukan para alim ulama yang banyak. Di tangan para
ulama yang baik lah Muhammadiyah akan lebih baik.
Yakni ulama yang mewarisi sifat dan karakteristik para nabi
sebagai tauladan yang baik. Karena jika bukan di tangan ulama cekcok
antarn paham akan menjadi fitnah. Dan di pangkuan para ulama lah
Muhammadiyah dan NU bisa bersatu.14

12
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1962), h. 269
13
Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Perdana Media
Group, 2010) , h. 130
14
Mohamad Sobary, NU dan KEINDONESIAAN, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010),  h. 30

8
D. Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya Nahdlatul
Ulama . Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan
pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah
kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam
"murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem
bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan
sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan
meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan.15
Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz
(Makkah) yang berpaham Sunni di taklukkan oleh abdul aziz bin saud
yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan
melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah
berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya
dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab,
tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya, akan segera di
larang.
Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia
Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah. Bagi ulama pesantren,
sentimen anti-mazhab yang cenderung puritan dengan berupaya
memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi
ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri. KH Wahab
Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam
Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian
bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun
1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah
tahun 1926. Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam
keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai
Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan

15
Laode Ida, Dalam Anatomi Konflik NU;NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta: Penebar
Swadaya, 1996), h.9.

9
diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain:
“Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah harus
mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab.
Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap
dipertahankan dan diberikan kebebasan”. Kiai Wahab beberapa kali
melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno,
KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti.
Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha
disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan
kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis
tersebut.16 Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah
strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal
dengan Komite Hijaz pada Januari 1926.
Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia
Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari. Perhitungan sudah
matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada
31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk
mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke
Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke
Kertopaten, Surabaya dan disusunlah ”delegasi ulama dan umat Islam
Indonesia” untuk berangkat ke Hijaz yang terdiri atas: K.H.A.Wahab
Hasbullah (delegasi resmi), Syekh Ghanaim al-Mishri (penasihat), warga
negara Mesir, dimaksudkan agar penguasa Hijaz menghargai delegasi, dan
K.H.M. Dachlan Kertosono (sekretaris), Nganjuk, seorang pemuda yang
sedang belajar di Hijaz.17
Komite bertugas menyampaikan lima permohonan: Pertama,
Memohon diberlakukan  kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada
salah satu  dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
16
Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995, h. 34.
17
M Mukhsin Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyyah, AL
Irsyad, Persis dan NU, Jakarta: Direktorat Pendidikan Islam, 2007. h. 208.

10
Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran
antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak
dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan  mazhab tersebut  di
bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti
karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha
terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk
memperkuat hubungan  dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab
sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat
Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
Kedua, Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat
bersejarah  yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut  diwaqafkan untuk
masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan
lain-lainnya berdasarkan firman Allah “Hanyalah orang yang meramaikan
Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman Nya
“Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi
orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya  dan berusaha
untuk merobohkannya.” Di samping untuk mengambil ibarat dari tempat-
tempat yang  bersejarah tersebut.
Ketiga, Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap
tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan biaya yang
harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari
mulai Jedah  sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang  yang
akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan  yang cukup
buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tiak  dimintai lagi  lebih dari
ketentuan pemerintah.
Keempat, Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri
Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang  agar tidak terjadi pelanggaran
terhadap undang-undang tersebut.
Kelima, Jam’iyah Nahdlatul Ulama  memohon  balasan surat  dari
Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-
benar menyampaikan  surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU

11
kepada Yang Mulia dan hendaknya surat  balasan tersebut  diserahkan
kepada  kedua delegasi tersebut.
Dengan membawa surat yang ditandatangani oleh K.H.M. Hasyim
Asy’ari, K.H.A. Wahab Hasbullah bersama Syekh Ghonaim berangkat
menghadap Raja Saud, menyampaikan aspirasi, pendapat, harapan dan
permohonan para Ulama dan Umat Islam Indonesia. Ternyata mendapat
tanggapan dan jawaban yang positif, meskipun tidak sepenuhnya diterima
dan dilaksanakan. Sedikitnya, rencana penggusuran tempat-tempat dan
makam-makam bersejarah dalam Islam –seperti makam Rasulullah dan
dua sahabat pengganti kepemimpinannya– dihentikan oleh Raja Saud.18
Komite Hijaz yang bersifat adhoc ini kemudian dipermanenkan
menjadi Nahdlatul Ulama pada hari Ahad Pon, tanggal 16 Rajab 1344 H
bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Maka dapat disimpulkan
bahwa Komite Hijaz yang merupakan respon terhadap perkembangan
dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya oeganisasi
Nahdlatul Ulama.
Selain itu, terdapat KH. Kholil Bangkalan yang memiliki pengaruh
luas di Nahdlatul Ulama. Sebelum mendirikan Nahdlatul Ulama, Kiai
Hasyim terlebih dahulu kedatangan Kiai As’ad Syamsul Arifin sebagai
murid KH. Kholil. Kedatangan tersebut terkait dengan pesan simbolik
bahwa Kiai Kholil menyetujui pendirian Nahdlatul Ulama. 19 Selain Kiai
As’ad, juga Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Bisri
Mustofa, Kiai Maksum, Kiai Muhammad Shiddiq dan KH. Munawir yang
kelak menjadi tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama adalah murid Kiai Kholil
Bangkalan.20 Nahdlatul Ulama tidak akan pernah lahir, kecuali pendiri

18
M Mukhsin Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyyah, AL
Irsyad, Persis dan NU, Jakarta: Direktorat Pendidikan Islam, 2007, h. 209.
19
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama;Sejarah NU 1952-1967 ter. Farid Wajidi dan MA
Bakhtar, Yogyakarta:LKiS, 2007, h. 54.
20
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren;Perhelatan Agama dan Tradisi,
Yogyakarta:LkiS, 2004, h. 161-5.

12
Nahdlatul Ulama khususnya Kiai Hasyim memperoleh restu dari Kiai
Kholil Bangkalan.21
E. Dasar pemikiran Nahdlatul Ulama
Organisasi Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam, dengan
paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam : Al-Qur’an, As-
Sunnah, Al-Ijma’ (kesepakatan ulama’), dan Al-Qiyas (analogi), dalam
memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya di atas, Nahdlatul
Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan
jalan pendekatan madzhab, sebagaimana tertulis dalam AD/ART dan
lampiran Khittah pada AD/ART hasil keputusan Muktamar ke 33 di
Jombang Jawa Timur pada 1 – 5 Agustus 2015 / 16 – 30 Syawal 1436:
a. Dalam bidang akidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang di pelopori oleh Imam Abul Hasan al-
Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
b. Dalam bidang fiqih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan
(madzhab) Imam Abu Hanifah an-Nu’man (Imam Hanafi), Imam
Malik Bin Annas (Imam Maliki), Imam Muhammad Bin Idris as-
Syafi’i (Imam Syafi’i), dan Imam Ahmad Bin Hanbal (Imam Hanbali)
c. Dalam bidang Tasawwuf mengikuti Al Imam Junaid al-Baghdadi dan
Al Imam Abu Hamid al-Ghozali.
Sedangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia, Nahdlatul Ulama berasas kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.22
Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan/jam’iyyah diniyyah
islamiyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan Islam) untuk
menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian
harkat dan martabat manusia. Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya
ajaran Islam yang menganut faham Ahlusunnah wal Jama’ah untuk
21
Latiful Khuluq, ”KH. Hasyim Asy’ari’s Contributin to Indonesian Independence”,
Studia Islamika, Volume 5, Number 1 (1998), h.51.
22
AD/ART NU, Jakarta: LTN PBNU, 2015, Cet ke 2, h. 38.

13
terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan,
kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.23
Dari dasar-dasar pendirian keagamaan Nahdlatul Ulama tersebut
menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada:24
a. Sikap Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengahtengah
kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu
menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu
bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang
bersifat tatharruf (ekstrim).
b. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah
keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah
khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyertakan khidmah kepada
Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan
hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa
mendatang.
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik,
berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan
mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-
nilai kehidupan.
Nahdlatul Ulama sebagai satu organisasi sosial yang terbesar di
Indonesia, sebenarnya adalah komunitas islam yang semenjak
kelahirannya senantiasa berusaha menekankan pentingnya pelestarian dan
penghargaan terhadap khazanah budaya nusantara. Di ilhami oleh Dakwah

23
AD/ART NU, (Jakarta, LTN PBNU, 2015) Cet ke 2, h.40
24
Lampiran AD/ART NU, (Jakarta, LTN PBNU, 2015) Cet ke 2, h.156-157.

14
khas Wali Songo yang berhasil “mengawinkan” lokalitas budaya dengan
universalitas agama (islam) , Nahdlatul Ulama berupaya menebar benih-
benih islam dalam wajah yang familiar atau muda di kenali oleh seluruh
masyarakat Indonesia, serta menghindari pendekatan negasional, sehingga
kondusif. Ada dua hal yang sangat di butuhkan dalam konteks pluralisme,
yaitu:
Nahdlatul Ulama juga berperan sebagai perekatan identitas
kebangsaan. Karena masuk melalui jalur budaya dengan membawa watak
pluralis, hampir tidak ada komunitas budaya yang merasa terancam
eksistensinya, baik langsung maupun tidak. Malai dari sinilah kemudian
muncul kaidah hukum islam “al’adah muhakkamah” yang memberi
peluang besar pada tradisi apapun untuk dikonfersi menjadi bagian hukum
Islam. Selama tidak menyangkut ibadah mahdah seperti shalat, puasa dan
semacamnya, aktifitas budaya sangat mugkin dinilai sebagai kegiatan yang
bermuatan agama jika memang berperan menegakkan perinsip-prinsip
yang diperjuangkan Islam. Dan dalam batas yang minimal, aktifitas
budaya tersebut tidak akan dilarang selama tidak merusak kemaslahatan.25
Dengan demikian, meski secara statistik tergolong mayoritas,
kehormatan islam di Indonesia akan selalu dijaga lewat cara-cara yang
bisa diterima oleh kelompok lain, bukan ditegakkan dengan sebuah
penindsan ataupun pengingkaran terhadap kepentingan dan eksistensi
komunitas masayarakat manapun, yang pada gilirannya, cara-cara ini
dapat memberi sumbangan besar bagi upaya perekatan identitas bersama
sebagai bangsa.
Sementara itu, sebagai bagian terpenting dalam paham keagamaan
ahlus sunnah wal jama’ah adalah muatan fikih yang lebih dominan
dibandingkan dengan akidah, akhlak dan tasawwuf. Nalar keagamaan
yang ”serba fikih” ini lebih mengemuka dan sering dijadikan sebagai dasar
penguat dan respon terhadap masalah-masalah sosialpolitik yang

25
H. A. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan, Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 60.

15
berkembang di dalam maupun di luar Nahdlatul Ulama, misalnya, kaidah
”memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih
baik” (al-muhafadah alal qadimis shalih wa al akhdu bi al jadiid al
ashlah) selalu dijadikan dasar untuk mengambil keputusan yang dianggap
penting, meskipun secara hukum bertentangan dengan aturan organisasi.
Dengan kaidah ini, ketegangan antara agama dengan politik dapat
diselesaikan melalui proses rekonsiliasi untuk saling memahami dan
menerima, dan menghindari permusuhan. Salah satu contoh adalah
keterlibatan kiai yang duduk di struktural Nahdlatul Ulama dalam politik,
baik sebagai pendiri, pengurus, partisipan aktif, dapat diselesaikan melalui
penjelasan dan argumen keagamaan semacam ini. Kiai-kiai Nahdlatul
Ulama yang terlibat dalam pendirian atau membesarkan PKB dapat
dijelaskan dengan menggunakan nalar ini. Demikian pula, kiai yang
menjadi pengurus, pendiri atau partisipan aktif PKB kemudian keluar dan
mendirikan partai baru, PKNU, secara keagamaan dapat dibenarkan
dengan menggunakan nalar tersebut. Dasar keagamaan tersebut juga sering
digunakan oleh elite Nahdlatul Ulama ketika dianggap melanggar konsep
”Kembali ke Khittah 1926”. Pertimbangan kemaslahatan ummat dan
mengabdi untuk kepentingan bangsa selalu dijadikan alasan bagi mereka
yang masih duduk di pengurus partai dan sekaligus menjadi pengurus
harian Nahdlatul Ulama.26
Pada akhirnya, sikap akomodatif yag lahir dari adanya kesadaran
untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan
salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan prilaku yang lebih
sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak
harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam,
tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang
menjadi milik setiap orang. Nahdlatul Ulama dalam merespon problem
kebangsaan menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan.

26
Dr. Abdul Chalik, NU & Geopulitik, IMPULSE & Buku Pintar Yogyakarta, (2011), h.
181.

16
F. Pengaruh dan Kiprah Nahdlatul Ulama terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pada awal perjuangannya, Nahdlatul Ulama menitikberatkan pada
pendidikan dan dakwah Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hingga tahun
tahun 1930-an, Nahdlatul Ulama tetap istiqomah berada di jalur
pendidikan dan dakwah. Pada tahun di atas 1930-an sikap istiqomah
Nahdlatul Ulama mulai berubah, utamannya ketika pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan kebijakan pengetatan pengajaran agama (Guru
Ordonnantie, 1925), perubahan undang-undang perkawinan, yang seakan
sengaja dibuat untuk melarang poligami, melakukan otopsi jenazah kaum
muslim, dan subsidi pemerintah yang lebih besar kepada sekolah-sekolah
Kristen. Kondisi tersebut menjadi titik awal tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama
terlibat dalam urusan negara.27 Sinyal kedua yang menunjukkan
peningkatan minat politik dalam tubuh Nahdlatul Ulama terlihat dalam
Muktamar 1938, yaitu dengan adanya usulan agar organisasi tersebut
terlibat langsung dalam perwakilan politik dan mencari posisi di
Volksraad (dewan rakyat yang memberikan pertimbangan kepada
pemerintah kolonial), meskipun usulan tersebut akhirnya ditolak.28
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat
dilihat pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin pada
tahun 1936, yang memutuskan bahwa kedudukan HindiaBelanda
(Indonesia) sebagai Dār al-Salām, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul
Ulama dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku
tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama
tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat
melaksanakan syariat agamanya dengan bebas dan aman.

27
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama;Sejarah NU 1952-1967 ter. Farid Wajidi dan MA
Bakhtiar Yogyakarta:LKiS, 2007, h. 47.
28
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama;Sejarah NU 1952-1967 ter. Farid Wajidi dan MA
Bakhtiar , Yogyakarta:LKiS, 2007, h.48.

17
Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa
Indonesia sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat
merugikan rakyat Indonesia. Sikap kolonial Belanda telah menumbuhkan
benih-benih ketidak puasan bangsa Indonesia sehingga para pemuka
agama menghimpun kekuatan melalui dunia pesantren diantaranya adalah
Nahdlatul Ulama. Ditambah adanya beberapa program kristenisasi yang
digalakkan oleh penjajah Belanda di bumi nusantara ini menjadikan
Nahdlatul Ulama bangkit menghimpun laskar-laskar kekuatan (ḥizbullāh)
untuk melawan penjahan Belanda yang dianggap kafir dan dhalim.
Nahdlatul Ulama dengan segala kekuatan yang ada pada tingkat komunitas
masyarakatnya secara menyeluruh memberikan pengaruh yang
mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri,
yang kemudian karena kekuatan Nahdlatul Ulama ini semakin lama
semakin kuat, maka oleh penjajah Belanda ingin dijauhkan dari pengaruh
politiknya.29
Laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah) dan Sabīlillāh (Jalan Allah)
didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan
kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Laskar Ḥizbullāh berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari
dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar
Sabīlillāh dipimpin oleh KH. Masykur, dia adalah pemuda pesantren dan
anggota Ansor NU (ANU) sebagai pemasok paling besar dalam
keanggotaan Ḥizbullāh.29 Peran kiai dan santri dalam perang
kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh
saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA
(Pembela Tanah Air).30
Pada masa penjajahan Belanda pula, KH. Hasyim Asy’ari
senantiasa berkomunikasi dengan tokohtokoh muslim dari berbagai

29
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1996) h. 235.
30
Laffan, Michael Francis, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia; The Umma
below the Winds, London: Routledge Curzon, 2003, h. 74.

18
penjuru dunia untuk melawan penjajahan. Misalnya dengan Pangeran
Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko), Sultan Pasha Al-Athrasi (Suriah),
Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Dhiyauddin al-Syairazi,
Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah
(Pakistan). Akibat fatwa ini yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad
melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945, yang menghasilkan
poin-poin keputusan:
a. kemerdekaan bagi negara Indonesia
b. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah
c. Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda
d. umat Islam terutama anggota Nahdlatul Ulama harus mengangkat
senjata melawan penjajah Belanda.
e. kewajiban ini bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 km.
f. Akibat fatwa itu, meledaklah perang di Surabaya pada 10
November 1945.31
Keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam politik semakin nyata ketika
menjelang kemerdekaan yang ditandai dengan munculnya tokoh muda
Nahdlatul Ulama, Wahid Hasyim sebagai penggerak dan pelopor
kemerdekaan. Keterlibatan Wahid Hasyim sebagai wakil dari Nahdlatul
Ulama juga mempunyai arti penting dalam perumusan Pembukaan
Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam
Panitia Sembilan dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha- Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 yang menghasilkan
dokumen sejarah penting, yaitu “Piagam Jakarta” 36. Syukurlah rumusan
“Atas berkat rahmat Allah... “ itu tidak dituntut untuk dicoret sebagaimana
rumusan tujuh kata “(Ketuhanan)… dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya....”, seperti kita pahami “tujuh

31
M. Adnan, Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, Surabaya: Jawa Pos, 1999, h.
9.

19
kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945.32
Setelah kemerdekaan, Nahdlatul Ulama menjadi partai politik pada
tahun 1952, dan pada tahun 195533 dan 197134 ikut ambil bagian menjadi
kontestan Pemilu dan memperoleh suara signifikan. Setelah terjadi fusi
partai pada tahun 1973 dengan bergabung dengan PPP, Nahdlatul Ulama
mengalami berbagai persoalan dan memasuki fase yang cukup sulit. 35
Hingga akhirnya, pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama secara resmi keluar
dari partai politik dengan menegaskan untuk kembali ke Khittah 1926.36
Namun demikian, meskipun sudah menyatakan diri keluar dari partai
politik, keterlibatan elite Nahdlatul Ulama secara langsung37 maupun tidak
langsung38 dalam politik pada Pemilu pasca penyataan keluar dari politik
praktis tidak dapat dihindari. Kiprah politik Nahdlatul Ulama dalam
kerangka Khitah mengalami goncangan besar karena terjadinya peristiwa
politik yang sangat menentukan; berhentinya Soeharto dari jabatan
Presiden. Kalangan Nahdliyyin meyakini bahwa kini tibalah saatnya untuk
menghentikan pengembaraan politik lewat media Orde Baru yang
terkooptasi, dan mulai berpolitik secara sehat dengan menegaskan
identitasnya sebagai komunitas Nahdlatul Ulama. Karenanya, warga
Nahdlatul Ulama di semua penjuru tanah air merespon peristiwa
bersejarah itu dengan mengedepankan usulan agar PBNU menciptakan
satu wadah yang berfungsi menyalurkan aspirasi politik kalangan
Nahdlatul Ulama. Usulan yang bersumber dari semua elemen Nahdlatul
Ulama, mulai mengalir ke Sekretariat Jenderal dan fungsionaris PBNU

32
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama dan Santrinya & Resolusi Jihad.(Tangerang:
Pustaka Kompas, 2014) h.208
33
Alfian, Hasil pemilihan Umum 1955 untuk DPR, Jakarta:Leknas LIPI, 1971, h.54
34
Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia;Pendekatan Fikih dalam Politik,
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1994, h.176.
35
Robert F. Hefner, ”Pengantar” dalam Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, ter.
Lesmana, Yogyakarta:LkiS, 1999, xviii.
36
Laode Ida, dalam Anatomi Konflik NU;NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta:Penebar
Swadaya, 1996, h.26.
37
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta:LP3ES, 2003, h.109.
38
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta:LP3ES, 1996, h.234.

20
melalui berbagai sarana komunikasi seperti telepon, telegram, surat dan
email.39 Tak cukup dengan cara ini, belasan ribu orang yang menjenguk
Gus Dur yang sedang sakit, secara langsung mengajukan permintaan agar
PBNU mendirikan parpol. Gus Dur menyebut mereka dengan sebutan
warga Nahdlatul Ulama yang “seolah-olah sakit kalau tidak berpolitik”,
sehingga “perlu dibuatkan wadah agar tidak gentayangan, tidak jelas”. 40
Sebagai tindak lanjut atas desakan agar PBNU menfasilitasi pendirian
partai, maka tangal 3 Juni 1998 PBNU membentuk tim lima41 yang
ditugasi untuk memenuhi aspirasi warga Nahdlatul Ulama. Selanjutnya
pada tanggal 20 Juni 1998, PBNU menyusun tim asistensi 42 untuk
membantu tugas tim lima. Setelah melalui diskusi dan pertemuan, maka
pada tanggal 23 Juli 2008 bertempat di rumah Gus Dur, sejarah politik
Indonesia moderen menyaksikan kelahiran partai politik dari “rahim
Nahdlatul Ulama” yang bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Setahun berikutnya, pada Pemilu 1999 untuk pertama kalinya PKB yang
proses pendiriannya difasilitasi oleh PBNU mengikuti Pemilu, dan secara
nasional memperoleh suara yang cukup besar.43 Demikian pula pada tahun
2004, PKB kembali memperoleh suara yang cukup besar, meskipun
sedikit mengalami penurunan jumlah pemilih. Sejarah perpolitikan
Nahdlatul Ulama dan partai politik yang memiliki hubungan sejarah
dengan Nahdlatul Ulama tidak dapat dilepaskan dari peran para kiai 44 dan
tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan pesantren. 45 Kiai
merupakan tokoh yang selalu identik dengan Nahdlatul Ulama, karena
39
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta:LP3ES, 2003, h.109.
40
Asmawi, PKB;Jendela Politik Gus Dur, Yogyakarta:Tutian Ilahi Press, 1999, h.6.
41
Tim lima diketuai oleh KH. Ma’ruf Amin, Rais Syuriah/Koordinator harian PBNU,
KH. M. Dawam Anwar (Katib Am PBNU), Dr. KH. Said Aqiel Siradj (Wakil Katib PBNU), HM.
Rozy Munir, ME., M.Sc. (Ketua PBNU) dan H. Akhmad Bagja (Sekjen PBNU). Lihat Zainal
Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta:LP3ES, 2003, h.111
42
Tim asistensi adalah Arifin Junaedi (Ketua), H. Muhyidin Aburusman, HM. Fachri
Thaha Ma’ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz, MA., Drs. H. Andy Muarly Sunrawa, HM. Nasihin Hasan,
H. Lukman H. Syaifuddin, Drs. Amin Said Husni, dan Muhaimin Iskandar. Lihat Zainal Abidin
Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta:LP3ES, 2003, h.112.
43
Muhammad Asfar, Pemilu dan Prilaku Memilih 1995-2004, Surabaya:Pustaka Eureka
dan PusdeHAM, 2006, h.118.
44
Hiroko Horikoshi, Kiai dan perubahan Sosial, ter. Djohan Effendi dan Muntaha
Azhari, Jakarta:LP3ES, 1987, h. 235.

21
Nahdlatul Ulama lahir melalui proses yang melibatkan kiai. Sementara
pondok pesantren di mana kiai menjadi pemimpin di dalamnya, menjadi
tempat kaderisasi bagi tokoh-tokoh yang kelak kemudian menjadi
pengurus Nahdlatul Ulama, terutama yang berhubungan dengan ajaran
keagamaan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama. Dari sisi inilah,
posisi kiai merupakan entitas sangat penting dalam perjalanan Nahdlatul
Ulama, terutama soal keterlibatan dalam politik.
Dalam perjalanannya, Nahdlatul Ulama selalu berperan dalam
berbagai hal, mulai dari keagamaan, kemerdekaan, sosial, budaya, politik
hingga membela kedaulatan NKRI baik dari pemberontakan oleh internal
anak bangsa maupun dari negara-negara lain. Nahdlatul Ulama juga
menerima Pancasila dan menganggap bahwa Pancasila sejalan dengan
ajaran agama yang telah dipratekkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui
Piagam Madinah yang dapat diartikan bahwa Nabi Muhammad
menyatukan warga yang multi etnis dan multi agama menjadi ummah
wāḥidah (satu kesatuan bangsa). Semua warga punya kedudukan yang
sederajat, sama-sama berhak mendapatkan jaminan keamanan,
melakukan aktivitas ekonomi, mengaktualisasikan agama, sama-sama
berkewajiban untuk saling memberi nasehat dan berbuat kebaikan,
menjaga keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan
negeri menghadapi ancaman dari luar.46
Oleh karenanya sebagaimana dalam keputusan Keputusan Baḥth
al-Masāil Mawḍu'iyyah PWNU Jawa Timur Tentang “Islam Nusantara” di
Universitas Negeri Malang pada tanggal 13 Februari 2016, selain anjuran
untuk menjaga kedaulatan bangsa dalam bingkai NKRI juga
menganjurkan untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang
plural perlu ditanamkan sikap menghargai perbedaan dan menjaga hak
antar sesama, di antaranya dengan:
a. Menghargai ajaran agama lain.
45
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama;Sejarah NU 1952-1967, ter. Farid Wajidi dan MA.
Bakhtar, Yogyakarta: LkiS, 2007, h. 52.
46
Mahfud MD, Gus Dur: Islam, Politik dan Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2010, h. 26.

22
b. Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak
bertentangan dengan syariat.
c. Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri.
d. Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
e. Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan
menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban
berbuat baik.
f. Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g. Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan
mendalam di lingkungan internal Ahl al-Sunnah wa’l-Jamā’ah.47

G. Sejarah perubahan dalam Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama dalam merespon problem kebangsaan
menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Tidak seluruh
perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama pada bangsa indonesia dalam fase-
fase yang telah dikemukakan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang.
Merupakan proses tese dan antitese. Dalam fase pergerakan kemerdekaan.
Oleh karena itu, terhadap jejak sejarah panjang Nahdlatul Ulama kita
membutuhkan tahap pemahaman sebagai berikut:
a. Nahdlatul Ulama pra kemerdekaan
Nahdlatul Ulama pra kemerdekaan tampil sebagai organisasi
yang disegani oleh penjajah. Sehingga kekuatan Ulama yang
tergabung dalam Nahdlatul Ulama mampu menjembati kepentingan
Islam dan juga kepentingan bangsa Indonesia yang menjadi pilar
pengantar terhadap lahirnya negara kesatuan republik Indonesia
b. Nahdlatul Ulama masa kemerdekaan
1) Masa Orde Lama

47
Keputusan Baḥth al-Masāil Mawḍu'iyyah PWNU Jawa Timur tentang “Islam
Nusantara” di Universitas Negeri Malang pada tanggal 13 Februari 2016, Jakarta, LTN PBNU,
2016.

23
Nahdlatul Ulama memutuskan dirinya menjadi partai
politik hanya karena menghadapi komunis. Sebab kuatnya
komunis sebagai partai politik membutuhkan pola yang sama.
Nahdlatul Ulama dengan suara yang keras akhirnya mampu
mempertahan kandasar negara pancasila.
2) Masa Orde Baru
Dengan kebijakan pemerintah yang kuat, posisi Nahdlatul
Ulama dengan kelompok Islam lainnya kembali sebagai
organisasi sosial keagamaan dan sepakat mendirikan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Secara sosial tetap menjadi
perhatian Nahdlatul Ulama dan secara politik partai tersebut
menjadi roda politik Nahdlataul Ulama.
3) Masa Reformasi
Dimasa reformasi pola politik mengalami perubahan,
Nahdlatul Ulama bersepakat kembali ke khittah. Yakni Nahdlatul
Ulama murni sebagai organisasi sosial keagamaan dan
mengambil jarak yang sama terhadap partai politik yang ada.
Sehingga Nahdlatul Ulama bukan milik siapa-siapa tetapi
merupakan milik potensi bangsa Indonesia.48
Jadi dalam sejarahnya, Nahdlatul Ulama memang berdiri
sebagai bentuk reaksi dari luar (gerakan purifikasi). Dan
berdirinya organisasi ini tidak lepas dari peran para Kyai dengan
komunitas pesantrennya yang merupakan peyanggah utama
kelompok Islam tradisionalis. Nahdlatul Ulama merupakan
organisasi keagamaan, ke-Islaman organisasi ini dirintis para kiai
yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah usaha
mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas
memelihara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan
ajaran Islam dengan merujuk salah satu imam madzhab (Hanafi,

48
Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, Surabaya: Yayasan 95, 2002, h. 77-78.

24
Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta berkidmat kepada bangsa,
Negara dan umat Islam.

25
BAB III
PENUTUP

A. Muhammadiyah
Muhammadiyah yang merupakan organisasi dan gerakan sosial
keagamaan yang didirikan oleh Kyai Dahlan adalah
gerakan tajdid (reformasi; pembaharuan pemikiran Islam) yang
disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa dan budaya
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Maksud dan tujuan berdirinya Muhammadiyah sendiri adalah
menegakkan dan menjunjung tinggi Agama dan pemikiran Islam, sehingga
dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah sendiri cenderung lebih bergerak dan mementingkan
pergerakannya di bidang pendidikan dan pengajaran yang berasaskan
Islam, baik pendidikan dalam sekolah/ madrasah maupun pendidikan
dalam masyarakat.
Muhammadiyah mempunyai program dasar yang menjadi
pegangan seluruh anggota Muhammadiyah yang berisi:
1. Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah Islam dan ammar ma’ruf
nahi munkar yang bergerak di bidang kemasyarakatan, bukan di
bidang politik praktis/politik kekuasaan.
2. Muhammadiyah hidup dan bergerak dalam wilayah dan di bawah
hukum Negara Republik Indonesia yang berdasarlan Pancasila dan
UUD 1945.
3. Perjuangan Muhammadiyah berpedoman pada kepribadian
Muhammadiyah.
B. Nahdatul Ulama
Tujuan Nahdlatul ‘Ulama didirikan adalah berlakunya ajaran Islam
yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengikuti salah
satu madzhab empat dalam fiqh, dua madzhab dalam aqidah dan madzhab
Syaikh Junaid Al Baghdadi dalam hal tashawuf bertujuan untuk

26
terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi
kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka
Nahdlatul Ulama melaksanakan usaha-usaha sebagaimana berikut:
2. Di bidang Agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang
menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam beraqidah dan
menurut salah satu madzhab empat dalam masyarakat dengan
melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar
3. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan
terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengejaran serta
pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk
membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur,
berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa
dan negara.
4. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan
batin bagi rakyar Indonesia
5. Di bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan
ekonomi unuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-
hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan kembangnya
ekonomi kerakyatan
6. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat
banyak guna terwujudnya Khoiro Ummah.
7. Dan dalam pendekatan dakwahnya, Nahdlatul Ulama lebih banyak
menggunakan dakwah model walisongo, yaitu menyesuaikan dengan
budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan.
Budaya yang bersala dari suatu daerah, ketika isalam belum datang
bila tidak bertentangan dengan agama akan terus di kembangkan dan
di lestarikan. Sementara budaya yang jelas bertentangan di tinggalkan.

27
Secara garis besar, pendekatan kemasyarakatan Nahdlatul
Ulama dapat di kategorikan menjadi tiga bagian:
1. Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip
keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan
Tathorruf (ekstrim)
2. Tasammuh yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap
perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat
3. Tawazzun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya
keserasian hubungan antara sesama ummat manusia dan antara
manusia dengan Allah SWT
Karena prinsip dakwahnya yang model tersebut, Nahdlatul Ulama
di kenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat. Kehadirannya bisa di
terima oleh semua kelompok masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai
perekat bangsa.
Wallaahu a’lam

28
DAFTAR PUSTAKA

Toto Suharto, 2014. “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai


Potret Pendidikan Moderat di Indonesia”, Islamica, Vol. 9, No. 1.
Ahmad Faizin Karimi, 2012. Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad
Dahlan, (Gresik: MUHI Press)
Muh.Dahlan, 2014. “K.H. Ahmad Dahlan sebagai Tokoh Pembaharu”, Jurnal
Adabiyah, Vol. 17, No. 2.
Majelis Diklitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 2010.  1 Abad Muhammadiyah,
(Jakarta: Kompas Media Nusantara)
Haedhar Nashir, 2016. Muhammadiyah Gerakan Pembaharu, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah)
Muhammad Najib, 1999. Suara Amien Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani
Press)
Zuly Qodir, 2010.  Muhammadiyah Studies, (Yogyakarta: KANISIUS)
Djoko Marihandono, 1868-1923, K.H. Ahmad Dahlan Museum Kebangkitan
Nasional.
Nashruddin Anshory, 2010, Matahari Pembaharuan, (Yogyakarta: Jogja Bangkit
Publisher)
Mahmud Yunus, 1962, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara
Sumber Widya)
Syarifuddin Jurdi, 2010, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern, (Jakarta:
Perdana Media Group)
Mohamad Sobary, 2010, NU dan KEINDONESIAAN, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama)
Laode Ida, 1996, Dalam Anatomi Konflik NU;NU, Elit Islam dan Negara,
Jakarta: Penebar Swadaya
Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS. 1995. 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama,
yogyakarta: Pustaka Pelajar)

29
M Mukhsin Jamil dkk, 2007, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala
Muhammadiyyah, AL Irsyad, Persis dan NU, Jakarta: Direktorat Pendidikan
Islam.
Greg Fealy, 2007, Ijtihad Politik Ulama;Sejarah NU 1952-1967 ter. Farid Wajidi
dan MA Bakhtar, Yogyakarta:LKiS.
Abdurrahman Mas’ud, 2004, Intelektual Pesantren;Perhelatan Agama dan
Tradisi, Yogyakarta:LkiS.
Latiful Khuluq, 1998, ”KH. Hasyim Asy’ari’s Contributin to Indonesian
Independence”, Studia Islamika, Volume 5, Number 1.
H.A. Hasyim Muzadi, 1999, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan,
Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Dr. Abdul Chalik, 2011, NU & Geopulitik, IMPULSE & Buku Pintar Yogyakarta
Ahmad Mansur Suryanegara, 1996, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan
Islam di Indonesia (Bandung: Mizan)
Laffan, Michael Francis, 2003, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia; The
Umma below the Winds, London: Routledge Curzon.
.Adnan, 1999, Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, Surabaya: Jawa Pos
Zainul Milal Bizawie, 2014, Laskar Ulama dan Santrinya & Resolusi Jihad.
(Tangerang: Pustaka Kompas)
Ali Haidar, 1994, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia;Pendekatan Fikih
dalam Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Hiroko Horikoshi, 1987, Kiai dan perubahan Sosial, ter. Djohan Effendi dan
Muntaha Azhari, Jakarta:LP3ES.
Mahfud MD, 2010, Gus Dur: Islam, Politik dan Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS.

30

Anda mungkin juga menyukai