Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

ISTISHNA’ DAN ISTISHNA’ AL MUWAZI ( PARALLEL)

A. Definisi dan Penggunaan

Bai’ al istishna’ atau biasa disebut dengan istishna’ merupakan kontrak jual
beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan criteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan  (pembeli, mustashni’) dan
penjual (pembuat, shani’). Transaksi istishna’ memiliki kemiripan dengan
transaksi salam, dalam hal barang yang dibeli belum ada pada saat transaksi
melainkan harus dilunasi terlebih dahulu, tetapi dalam istishna’ barang yang
diperjualbelikan biasanya adalah barang manufaktur. Adapun dalam hal
pembayaran, transaksi istishna’ dapat dilakukan di muka, malalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

B.     Ketentuan syar’I transaksi istishna’ dan istishna’ parallel

Ketentuanya diatur dalam fatwa DSN nomor 06/DSN-MUI/IV/2000


tentang jual beli istishna’. Fatwa tersebut mengatur tentang ketentuan
pembayaran dan ketentuan barang.

C.    Rukun transaksi istishna’

            Rukun transaksi istishna’ meliputi:

1. Transaktor, yakni pembeli (mushtashni’) dan penjual (shani’)


2. Objek akad meliputi barang dan harga barang istishna’
3. Ijab dan Kabul yang menunjukkan pernyataan kehendak jual beli istishna’
kedua belah pihak.
D.    Transaktor

         Transaktor terdiri dari  pembeli dan penjual. Kedua transaktor disyaratkan
memiliki kompetisi berupa akil baliqh dan kemampuan memilih yang optimal
seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa, dan lain-lain yang sejenis. Adapun
untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan
dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan agar penjual
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang
telah disepakati. Penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari
waktu yang telah disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai
dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.

Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi
pembeli untuk menerima barang istishna’ dan melaksanakan semua ketentuan
dalam kesepakatan istishna’. Akan tetapi, sekiranya pada barang yang dilunasi
terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatn, pemesan memiliki
hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

E.     Objek istishna’

           Rukun objek akad transaksi jual beli istishna’ meliputi barang yang
diperjualbelikan dan harga barang tersebut. Terkait dengan barang istishna’,
DSN dalam fatwanya menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi. Ketentuan tersebut antara lain:

1. Harus jelas spesifikasinya


2. Penyerahannya dilakukan kemudian
3. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdsarkan
kesepakatan
4. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya
5. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan
6. Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati
7. Barang yang disrahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan
barang massal.

Terkait dengan alat pembayaran, DSN mensyaratkan alat bayar harus


diketahui jumlah dan bentuknya di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan
tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Alat bayar bisa berupa uang,
barang, atau manfaat. Pemabayran harus dilakukan sesuai kesepakatan.
Pembayaran itu sendiri tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.

F.     Ijab dan Kabul

   Ijab dan Kabul istishna’ merupakan pernyataan dari kedua belah pihak
yang berkontrak, dengan cara penawaran dari penjual (bank syariah) dan
penerima yang dinyatakan oleh pembeli (nasabah). Pelafalan dapat dilakukan
dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan,
bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukkan keridhaan
satu pihak untuk menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang
istishna’. Menurut PSAK 104 paragraf 12, pada dasarnya istishna’ tidak dapat
dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi:

1. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya


2. Akad batak demi hokum Karena timbul kondisi hokum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.

G.    Rukun transaksi istishna’ paralel

          Berdasarkan fatwa DSN Nomor 6 tahun  2000, disebutkan bahwa akad
istishna’ kedua (antara bank sebagai pembeli dengan petani sebagai penjual)
harus dilakukan terpisah dari akad pertama. Adapun akad kedua baru dilakukan
setelah akad pertama sah. Rukun-rukun yang terdapat pada akad istishna’
pertama juga berlaku pada akad istishna’ kedua.
H.    Pengawasan syariah transaksi istisna’ dan istishna’ parallel

Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna’


dan istishna’ paralel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara
priodik. Berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
pengawasan tersebut dilakukan untuk:

1. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat


islam
2. Meneliti apakah bank membiayai pembuatan barang yang diperlukan
nasabah sesuai pesanan dan criteria yang disepakati
3. Memastikan akad istisna’ dan istishna’ paralel dibuat dalam akad yang
terpisah
4. Memastikan bahwa akad istishna’ sudah dikerjakan sesuai kesepakatan
hukumnya mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan kecuali memnuhi
kondisi, antara lain:
a. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikan akad istishna’
b. Akad istishna’ batal demi hokum karena timbul kondisi hokum yang
dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.

I.       Alur Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel

          Pada istishna’ parallel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu Bank,
Nasabah, dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat
melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode
pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas
pembiayaan terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin
dari jual beli barang yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank
kepada pemasok dengan harga jual akhir kepada nasabah.
Pertama, nasabah memesan barang yang dikehendaki dan melakukan negosiasi
kesepakatan antara penjual dengan pembeli terkait transaksi istishna’ yang akan
dilaksanakan.

Kedua, pada transaksi istishna’ setelah akad disepakati, penjual mulai membuat
barang yang diinginkan pembeli. Setelah barang dihasilkan, pada waktu yang
sudah ditentukan, penjual mengirim barang sesuai dengan spesifikasi kualitas
dan kuantitas yang telah disepakati kepada pembeli.

Ketiga, setelah menyepakati transaksi istishna’ dalam jangka waktu tertentu,


pemasok kemudian mulai melakukan pengerjaan barang yang dipesan.

Keempat, selama mengerjakan barang yang dipesan, pemasok melakukan


tagihan kepada bank syariah senilai tingkat penyelesaian barang pesanan.

Kelima, bank syariah melakukan pembayaran kepada pembuat barang sebesar


nilai yang ditagihkan.

Keenam, bank syariah melakukan tagihan kepada nasabah pembeli berdasarkan


tingkat penyelesaian barang.

Ketujuh, pemasok menyerahkan barang kepada nasabah pembeli.

Kedelapan, pemasok mengirimkan bukti pengiriman barang kepada bank


syariah.

Kesembilan, nasabah melunasi pembayaran barang istishna’ sesuai dengan


akad yang telah disepakati.

J.      Cakupan Standar Akuntansi Istishna’ Paralel

Akuntansi istishna diatur dalam PSAK nomor 104 tentang istishna’.terkait


dengan pengakuan dan pengukuran transaksi, standar ini mengatur tentang
penyatuan dan segmentasi akad, pendapatan istishna’ dan istishna’ paralel,
istishna’ dengan pembayaran tangguh, biaya perolehan istishna’, penyelesaian
awal, pengakuan taksiran rugi, perubahan pesanan, dan tagihan tambahan.

K.    Teknis Perhitungan dan Penjurnalan Transaksii Istishna’

Transaksi Istishna’ Pertama

Untuk mengembangkan klinik ibu dan anak yang dikelolanya, dr. Ursika berencana
menambah satu unit bangunan seluas 100 m 2 khusus untuk rawat inap di sebelah barat
bangunan utama klinik. Untuk kebutuhan itu, dr. Ursila menghubungi Bank berkah Syariah
untuk menyediakan bangunan baru sesuai dengan spesifikasi yang diinginkannya. Setelah
serangkaian negosiasi beserta kegiatan survey untuk menghasilkan desain bangunan yang
akan dijadikan acuan spesifikasi barang, pada tanggal 10Februari 20XA ditandatanganilah
akad transaksi istishna’ pengadaan bangunan untuk rawat inap. Adapun kesepakatan antara
dr. Ursila dengan Bank Berkah Syariah adalah sebagai berikut:

Harga bangunan                      : Rp 150.000.000


Lama penyelesaian                  : 5 bulan (paling lambat tanggal 10 Juli)
Mekanisme penagihan              : 5 termin sebesar Rp 30.000.000 per termin mulai tanggal 10
Agustus
Mekasnisme pembayaran        : setiap 3 hari setelah tanggal penagihan.
Transaksi Istishna’ Kedua
Untuk membuat bangunan sesuai dengan keinginan dr. Ursila, pada tanggal 12 Februari
20XA , Bank Berkah Syariah memesan kepada kontraktor PT Thariq Kontruksi dengan
kesepakatan sebagai berikut:
Harga Bangunan                                 : Rp 130.000.000
Lama penyelesaian                              : 4 bulan 15 hari ( paling lambat tanggal 25 Juni)
Mekanisme penagihan Kontraktor       : tiga termin pada saat penyelesaian 20%, 50%, 100%.
Mekanisme pembayaran oleh bank     : dibayar tunai sebesar tagihan dari kontraktor.

Kasus 11.1 Transaksi Istishna’ 


L.     Penjurnalan Transaksi Istishna’

Transaksi Biaya Pra-Akad (Bank sebagi Penjual)

Berdasarkan PSAK 104 paragraf 25, disebutkan bahwa biaya perolehan


istishna’ terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung
meliputi biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung untuk membuat
barang pesanan. Adapun biaya tidak langsung adalah biaya overhead termasuk
biaya akad dan biaya praakad. Selanjutnya pada paragraph 26 disebutkan
bahwa biaya pra-akad diakui sebagai beban tangguhan dan diperhitungkan
sebagai biaya istishna’ jika akad disepakati.

Misalkan pada kasus 11.1 diatas, pada tanggaal 5 Februari 20XA, untuk
keperluan survey dan pembuatan desain bangunan yang akan diadikan acuan
spesifikasi barang, Bank Berkah Syariah telah mengeluarkan kas hingga Rp
2.000.000. jurnal untuk mengakui transaksi ini adalah sebagai berikut:

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)

05/02/ Db, Beban praakad yang 2.000.000


XA ditangguhkan

            Kr. Kas 2.000.000

Dalam laporan keuangan, beban praakad disajikan dalam neraca pada


bagian asset lancer dengan perlakuan seperti memperlakukan beban dibayar
dimuka. Akan tetapi, karena rekening ini bersifat sementara, biasanya saldo
rekening ini adalah nol dan tidak disajikan pada laporan keuangan.

Penandatanganan akad dengan pembeli (Bank sebagai Penjual)

Pada saat akad ditandatangani antara bank dengan pembeli, tidak ada jurnal
yang harus dibuat untuk mengakui adanya jula beli istishna’. Akan tetapi,
adannya kesepakatan jual beli istishna’ ini menyebabkan pengeluaran-
pengeluaran praakad diakui sebagai biaya istishna’. Berdaarkan PSAK 104
paragraf 26, dinyatakan bahwa biaya praakad diakui sebagai beban tangguhan
dan diperhitungkan sebagai biayay istishna’ jika akad disepakati.

Misalkan kasus dr. Ursila  dengan Bank Berkah Syariah diatas, transaksi
istishna’ jadi disepakati pada tanggal 10 Februari, maka jurnal pengakuan
beban praakad menjadi biaya istishna’ adalah sebagai berikut.

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)

10/02/ Db. Biaya istishna’ 2.000.000


XA

      Kr. Beban praakad yang 2.000.000


ditangguhkan

Dalam praktik perbankan, jika akad jadi disepakati, beberapa bank


memperlakukan beban praakad sebagai piutang istishna.

Pembuatan akad istishna’ Paralel dengan Pembuat Barang (Bank sebagai


Pembeli)

Seperti halnya saat akad istishna’ disepakati, pada saat akad istishna’
paralel disepakati dengan pembuat barang, tidak ada jurnal yang harus dibuat
terkait dengan kesepakatan jual beli istishna’. Jurnal dilakukan jika terdapat
transaksi pembayaran uang kepada pembuat barang oleh bank syariah. Dalam
kasus 11.1 diketahui bahwa pembayaran dilakukaan berdasarkan tingkat
penyelesaian, sehingga pada saat akad, tidak ada kas yang harus dikeluarkan
oleh bank syariah.
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 29 disebutkan bahwa biaya perolehan istishna’
paralel  terdiri dari:

1. Biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan produsen atau kontraktor


kepada entitas
2. Biaya tidak langsung, yaitu biaya overhead termasuk biaya akad dan
praakad
3. Semua biaya akibat produsen atau kontraktor tidak dapat memenuhi
kewajibannya, jika ada.

Biaya perolehan istishna’ paralel diakui sebagai asset istishna’ dalam


penyelesaian pada saat diterimanya tagihan dari produsen atau kontraktor
sebesar jumlah tagihan.

Penerima dan Pembayaran Tagihan kepada Penjual (pembuat) Barang


Istishna’

Berdasarkan PSAK 104 paragraf 29 disebutkan bahwa pembeli mengakui


asset istishna’ sebesar jumlah termin yang ditagih oleh penjual yang dalam hal
ini pembuat barang dan sekaligus mengakui utang istishna’ kepada pembuat
barang tersebut. Dijelaskan lebih lanjut dalam PAPSI 2013 (h. 4.18) bahwa
tagihan supplier kepada bank atas sebagian barang pesanan yang telah
diselesaikan diakui sebagai “aktiva istishna dalam penyelesaian” dan “utang
istishna” sebesar tagihan supplier.

Berdasarkan PSAK 104 paragraf 18, disebutkan bahwa jika metode


persentase penyelesaian digunakan, maka :

1. Bagian nilai akad yang sebanding dengan pekerjaan yang telah diselesaikan
dalam periode tersebut, diakui sebagai pendapatan istishna’ pada periode
yang bersangkutan.
2. Bagian margin keuntungan istishna’ yang diakui selama periode pelaporan
ditambahkan kepada aset istishna dalam penyelesaian,
3. Pada akhir periode harga pokok istishna’ diakui sebesar biaya istishna’ yang
telah dikeluarkan sampai dengan periode tersebut.

Menurut PAPSI 2013 (h.4.21) hal-hal yang harus diungkapkan terkait jual
beli dengan skema istishna antara lain :

1. Rincian piutang istishna’ berdasarkan jumlah, jangka waktu, jenis valuta


dan kualitas piutang dan cadangan kerugian penurunan nilai piutang istishna
2. Jumlah piutang murabahah yang diberikan kepada pihak yang berelasi
3. Kebijakan akuntansi yang dipergunakan dalam pengakuan pendapatan
cadangan kerugian penurunan nilai, penghapusan dan penanganan piutang
istishna’ yang bermasalah
4. Besarnya piutang istishna’ baik yang dibiayai sendiri oleh bank maupun
secara bersama-sama dengan pihak lain sebesar bagian pembiayaan bank
5. Jumlah akumulasi biaya atas kontrak berjalan serta pendapatan dan
keuntungan sampai dengan akhir periode berjalan
6. Jumlah sisa kontrak yang belum selesai menurut spesifikasi dan syarat
kontrak
7. Klaim tambahan yang belum selesai dan semua denda yang bersifat
kontinjen sebagai akibat keterlambatan pengiriman barang
8. Nilai kontrak istishna’ yang sedang berjalan serta rentang periode
pelaksanaannya.
9. Nilai kontrak istishna’ yang telah ditandatangani  bank selama periode
berjalan tetapi belum dilaksanakan dan rentang periode pelaksanaannya.
10. Rincian utang istishna’ berdasarkan jumlah, tujuan (pemasok atau nasabah),
jangka waktu dan jenis mata uang
11. Utang istishna’ kepada nasabah yang merupakan pihak berelasi
12. Jenis dan kuantitas barang pesanan.
Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwaIstishna adalah akad


jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari
pemesan. Rukun istishna meliputi: transakstor, objek istishna serta ijab dan
qobul. Alur transaksi istishna yaitu: Pembeli dan penjual menyepakati
akad Istishna, Barang diserahkan kepada Pembeli, Pembayaran dilakukan oleh
Pembeli. Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan
istishna paralel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodik.

Istishna di lembaga keuangan syariah diartikan dengan akad pembiayaan


untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’)
dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.

Anda mungkin juga menyukai