Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai penghasil lada, setelah
Malaysia dan India. Tanaman ini berkembang di Bangka, Lampung, Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur dan Aceh. Lada (Piper nigrum L.) merupakan tanaman
yang tinggi permintaannya baik dipasar domestik maupun mancanegara. Produksi
lada Indonesia tahun 2002 lebih dari 90 ribu ton dan sekitar 70% di antaranya
diekspor. Namun produksi lada Indonesia terus menurun menjadi di bawah 80
ribu ton pada tahun 2005. Volume ekspor lada Indonesia juga turun drastis di
tahun yang sama menjadi hanya 44% dari total produksi (BPS, 2005).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2015, produksi lada
nasional pada tahun tersebut sebanyak 81,501 ton dan jumlah ekspornya mencapai
58,075 ton. Pada tahun 2017 produksi lada meningkat mencapai 88,715 ton dan
volume ekspor mengalami penurunan menjadi 42,691 ton (Ditjenbun, 2009).
Penurunan ekspor lada antara lain disebabkan oleh munculnya negara-
negara baru pengekspor lada seperti Vietnam serta meningkatnya standar mutu
lada di negara-negara konsumen akibat persaingan perdagangan yang semakin
ketat. Untuk meningkatkan kembali ekspor lada Indonesia diperlukan peningkatan
mutu lada serta diversifikasi produk olahan lada yang memiliki nilai ekonomi
yang lebih tinggi. Produk olahan lada yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia
berupa lada hitam dan lada putih. Namun lada yang diperjual belikan biasanya
dalam bentuk utuh yang berisiko mengalami penurunan mutu selama
pengangkutan. Agar mutu lada dapat dipertahankan, pemasaran lada dapat
dilakukan dalam bentuk kering (bubuk) atau oleoresin. Penanganan pascapanen
dari lada hitam perlu ditingkatkan kualitasnya dengan pemanfaatan secara
teknologi agar dapat meningkatkan nilai tambah dan dapat memperluas pasar lada
di Indonesia. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai produksi dan mutu lada
adalah dengan menjadikannya kedalam bentuk oleoresin (Dahlevi, 2019).

1
2

Oleoresin merupakan campuran antara resin dan minyak atsiri yang


diperoleh dari hasil ekstraksi rempah menggunakan pelarut organik yang dapat
diperoleh dari ekstraksi satu tahap dan dua tahap. Bahan penghasil oleoresin dapat
berupa rempah yang berasal dari buah, biji, daun, kulit maupun rimpang, seperti
jahe, lada, cabe, kapulaga, kunyit, pala, vanili dan kayu manis. Ekstraksi oleoresin
umumnya dilakukan dengan pelarut organik, misalnya etilen diklhorida (C 2H4Cl2),
aseton (C3H6O), etanol (C2H5OH), methanol (CH3OH), etil asetat (C4H8O2), dan
isopropilalkohol (C3H8O) (Dahlevi, 2019).
Hasil olahan lada hitam dalam bentuk oleoresin memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan bahan segar maupun bubuk, yakni dapat
menanggulangi masalah kontaminasi mikroba, mengurangi volume dan berat,
sehingga mengurangi biaya transportasi, menghindari pemalsuan, memungkinkan
standardisasi kekuatan flavor, mengandung antioksidan alami, antimikroba,
karminatif (untuk mengeluarkan gas dari dalam pencernaan), dan masa simpannya
lama pada kondisi ideal. Senyawa utama yang terdapat pada lada adalah piperine,
senyawa ini bertanggung jawab atas rasa pedas yang sifatnya nonvolatile.
Oleoresin telah lama diproduksi secara tradisional dengan ekstraksi
menggunakan pelarut organik. Oleoresin menghasilkan cita rasa yang banyak
diaplikasikan dalam makanan, kosmetik dan farmasi. Pada bidang farmasi
oleoresin memiliki manfaat sebagai obat-obatan diantaranya adalah dapat
digunakan untuk obat pereda rasa sakit pada radang sendi, lemah/lesu, influenza,
obat saraf, anti bakteri, perangsang (stimulus), obat pencernaan dan penawar
racun. Kandungan zat aktif aromatis yang terdapat pada lada hitam yang apabila
diekstrak dengan pelarut tertentu atau dengan penyulingan, akan menghasilkan
oleoresin (Fitriyana dkk, 2017).
Penggunaan lada dalam bentuk oleoresin sangat diminati industri pangan
terutama sebagai flavor. Hal ini dikarenakan oleoresin memiliki banyak
keunggulan, antara lain: memiliki rasa dan aroma yang kuat, memiliki nilai
ekonomis yang tinggi sebagai flavor, memudahkan pengolahan, mengurangi
volume dan berat sehingga mengurangi biaya transportasi (Yuliani, dkk 2007).
Menurut, Winarno dan Agustinah (2007) oleoresin memiliki seluruh sifat
3

organoleptik dari rempah-rempah alamiah yang mengandung fixed oil, pigmen,


citarasa pedas, dan antioksidan alamiah, sehingga lada putih dalam bentuk
oleoresin memiliki karakteristik organoleptik yang hampir sama dengan lada putih
dalam bentuk biji.
Bahan baku oleoresin, baik berupa rempah - rempah, hasil samping
ataupun limbah pengolahan rempah-rempah, tersedia cukup melimpah dan
kontinyu. Potensi ini memungkinkan dikembangkannya industri oleoresin di
Indonesia, meskipun untuk usaha tersebut masih diperlukan studi lebih lanjut
mengenai potensi bahan baku, baik jenis, kuantitas maupun kualitasnya, aspek
teknik produksi dan alih teknologi, tenaga kerja, aspek pemasaran serta kaitannya
dengan perkembangan perekonomian setempat (Muhiedin, 2008).
Oleoresin lada hitam dapat diperoleh melalui ekstraksi, salah satunya
dengan metode maserasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan
menggunakan pelarut bisa dengan adanya pengadukan atau tanpa pengadukan
pada suhu ruangan. Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang tidak
membutuhkan peralatan khusus dan biaya yang tinggi, walau demikian senyawa-
senyawa yang di ingin kan dapat terekstrak dengan baik, sehingga metode ini
dapat dilaksanakan untuk mengekstraksi oleoresin dari lada hitam. Pengolahan
lebih lanjut terhadap biji lada perlu dikembangkan karena dalam keadaan utuh biji
lada mempunyai kelemahan yaitu aroma akan hilang dan juga mudah rusak karena
jamur selama penyimpanan. Oleoresin lada biasanya diproduksi dari lada hitam
karena mempunyai rendemen yang lebih besar dibanding dengan bahan baku lada
putih dan juga harga bahan baku yang lebih murah dengan kandungan sari
tumbuhan yang hampir sama dari oleoresin lada hitam maupun oleoresin lada
putih. Umumnya oleoresin berbentuk cairan pekat, semi pekat dan pasta
(Muhiedin, 2008).
I.2 Rumusan Masalah
Selama ini lada hitam banyak dimanfaatkan dalam bentuk bubuk ataupun
dalam keadaan utuh. Saat lada di ekspor, lada sering mengalami perubahan,
misalnya pengeriputan, perkecambahan dan pencemaran oleh mikroba yang
terjadi selama penyimpanan maupun pengangkutan. Akibatnya syarat mutu lada
4

ekspor menjadi menurun. Disamping itu masih sedikitnya ekspor rempah-rempah


dalam bentuk olahan, memberikan alternatif bagi pemecahan masalah tersebut
yaitu mengubahnya menjadi bentuk oleoresin lada hitam, karena mempunyai nilai
ekonomi lebih tinggi dan mudah.
Fitriyana, dkk (2017) melakukan penelitian ektraksi oleoresin lada hitam sec
ara maserasi menggunakan respon surface methode (RSM). Variabel yang diguna
kan adalah rasio perbandingan pelarut dengan lada hitam, temperatur, dan waktu e
kstraksi. Pelarut yang digunakan adalah etanol. Rendemen oleoresin yang dihasilk
an adalah 4,42% dengan rasio perbandingan pelarut dengan lada hitam 1:4. Berdas
arkan uji GC-MS kandungan piperin yang terkandung di dalam oleoresin adalah 6
9,92%. Uji gugus fungsi menggunakan FT-IR diperoleh bahwa oleoresin yang die
kstrak dengan menggunakan metode maserasi memiliki gugus fungsi utama piperi
n sepertu gugus carbonil (±1700) serapan gugus amida N-H (±3500) . Uji organol
eptik diketahui bahwa oleoresin yang dihasilkan sesuai standar SNI yaitu bewarna
coklat, beraroma khas lada dan berbentuk pasta kental.
Dahlevi (2019) melakukan penelitian mengenai pengaruh jenis pelarut terha
dap ekstraksi oleoresin dari lada putih dengan metode maserasi terhadap karakteri
stik oleoresin lada putih. Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari d
ua jenis bahan baku yaitu lada putih kualitas A dan B dengan menggunakan 3
jenis pelarut yang berbeda dengan rasio 1:5 yaitu pelarut etanol 96%, pelarut
aseton, dan pelarut etil asetat dengan metode maserasi. Hasil yang didapatkan dari
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis pelarut pada saat ekstraksi
menghasilkan karakteristik ekstrak oleoresin lada putih yang berbeda-beda. Kadar
sisa pelarut yang diperoleh yaitu berkisar antara 22,22 – 74,41%, rendemen yang
dihasilkan berkisar antara 6,70% - 7,68%. Kadar Piperine yang dihasilkan
berkisar antara 41,03% - 49,19%. Kadar minyak atsiri yang dihasilkan berkisar
antara 10,50% - 19,50%. Indeks bias minyak berkisar 1,4918 – 1,4972. Nilai
skoring aroma rata-rata panelis terhadap oleoresin lada putih berkisar antara 3,07
hingga 3,80 (tajam). Berdasarkan rekapitulasi data oleoresin lada putih kualitas B
memiliki hasil yang cukup baik sehingga lada putih kualitas B masih dapat
dimanfaatkan sebagai oleoresin.
5

Pada penelitian ini penulis akan memisahkan oleoresin dari lada hitam
menggunakan dua macam pelarut yaitu etanol dan etil asetat, serta kondisi sampel
dibedakan ukuran butirannya yaitu lada hitam kering dengan variasi kasar (lada hi
tam ditumbuk hingga kulit lada hitam pecah) dan halus (lolos saringan 80 mesh te
rtahan pada saringan 100 mesh atau sekitar 149-177 mikron). Kualitas oleoresin
yang diperoleh dianalisis pH, densitas, indeks bias, warnanya serta rendemen
yang dihasilkan. Kandungan kimia oleoresin dari lada hitam dianalisis
menggunakan peralatan Gas Chromatography-Mass Spectrometry ( GC-MS).

I.3 Tujuan Proyek Akhir


Tujuan proyek akhir ini adalah:
1. Menentukan jenis pelarut dan ukuran bahan yang paling baik dalam proses e
kstraksi lada hitam secara maserasi.
2. Mengetahui karakteristik oleoresin lada hitam.

I.4 Manfaat Proyek Akhir


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
1. Bagi mahasiswa, dapat memberikan informasi pengetahuan ilmu kimia map
un fisika mengenai oleoresin yang berasal dati tumbuhan lada hitam dan me
mperoleh pengetahuan tentang pengaruh pembuatan oleoresin lada hitam m
enggunakan metode maserasi.
2. Bagi para produsen industri oleoresin lada hitam memberikan informasi dan
dapat memproduksi oleoresin lada hitam dengan mutu dan kualitas baik ses
uai dengan standar nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai