Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.1 Morfologi Tanaman Lada


Lada (Piper nigrum L.) termasuk tanaman dari family Piperaceae. Famili
tersebut terdiri dari 10-12 genus dan 1.400 spesies yang bentuknya beragam
seperti herba, semak, tanaman menjalar, hingga pohon-pohonan. Lada dari genus
Piper merupakan spesies tanaman yang berasal dari Ghats, Malabar India
(Rismunandar, 2013)
Menurut Rismunandar, (2013) adapun taksonomi tanaman lada
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Klas : Angiospermae
Subklas : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper nigrum L

Gambar 2.1 Tanaman Lada


Sumber: Rismunandar, 2013

6
7

Tanaman lada dikenal sebagai tanaman tahunan yang memanjat. Batangnya


berbuku dengan tinggi mencapai 10m, namun dalam budidayanya dibatasi hingga
ketinggian 3m-4m dan melekat pada tiang panjat (tajar) agar memudahkan dalam
pemeliharaan. Tanaman lada terdiri atas batang, akar, daun, cabang, dahan, bunga
dan buah (Yuhono, 2006)
Batang lada tumbuh merambat pada tiang panjat dan kadang-kadang
menjalar di atas permukaan tanah. Tiap tanaman lada hanya tumbuh satu batang,
apabila batang dipotong saat berumur satu tahun, akan tumbuh tunas-tunas dengan
jumlah 2-5 cabang baru. Panjang tiap ruas tanaman lada tidak selalu sama yaitu
sekitar 4cm-7cm, dengan diameter batang antara 6 mm-25 mm. Tanaman lada
termasuk tanaman kelompok dikotil yang memiliki akar tunggang. Akar utama
terletak pada dasar batang dengan panjang 2m-4m, sedangkan akar-akar dari buku
diatas permukaan tanah panjangnya hanya 3cm-5cm yang berfungsi untuk
menempel pada tiang panjat dan juga penyerap unsur hara yang sering disebut
akar panjat atau akar lekat. Akar lekat hanya tumbuh pada buku-buku batang
utama dan cabang ortotrop, sedangkan di cabang produksi (plagiotrop) tidak
terdapat akar lekat (Yuhono, 2006)
Tanaman lada memiliki daun berbentuk bulat telur sampai memanjang
dengan ujung meruncing. Buah lada berbentuk bulat, berbiji keras, memiliki kulit
buah yang lunak, dan melekat pada malai. Kulit buah yang masih muda berwarna
hijau, sedangkan yang sudah tua berwarna kuning, dan buah yang sudah masak
berwarna merah berlendir dengan rasa manis pada kulit buahnya. Besar buah lada
4mm-6mm, sedangkan biji lada besarnya 3mm-4mm dengan berat 100 biji kurang
lebih 38 gram. Kulit buah atau pericarp terdiri dari 3 bagian, yaitu epicarp (kulit
luar), mesocarp (kulit tengah), dan endocarp (kulit dalam) (Yuhono, 2006)
Cabang lada terdiri dari dua jenis, yaitu cabang orthotrop dan plagiotrop.
Cabang orthotrop merupakan cabang yang muncul pada ketiak daun tiap buku-
buku batang yang tumbuh diatas permukaan tanah disebut sulur gantung,
sedangkan cabang yang kemunculannya dari dalam tanah disebut sulur cacing
(lanak tanah). Ciri cabang orthotrop yakni tiap buku hanya terdapat satu daun,
cabang tidak memiliki dahan atau ranting, terlihat akar lekat dan tidak muncul
8

bunga. Sedangkan cabang plagiotrop muncul pada buku dahan yang muncul
setelah tanaman lada berbuah untuk kedua kalinya. Saat pertama kali berbuah,
bunga dan buah hanya muncul pada tiap ruas buku dahan. Pada musim berbuah
selanjutnya, sebelum kemunculan malai 8 bunga akan didahului kemunculan
cabang plagiotrop. Jumlah cabang yang muncul hanya satu pada tiap kali musim
berbunga dan akan muncul pada musim berikutnya (Rismunandar, 2013)
Bunga lada masuk kategori hermafrodit, tiap tanaman terdapat satu bunga
jantan dan bunga betina. Kedua bagian bunga saling berdekatan dalam satu malai
bunga. Letak bunga lada disebut bunga duduk karena tidak terlihat secara tegas
tangkainya. Tiap tangkai bunga terdaat sekitar 30-50 bakal bunga. Susunan bunga
lada terdiri dari tajuk, mahkota, benang sari dan putik dalam satu kesatuan.
Terjadinya penyerbukan ditandai dengan adanya perubahan warna putik menjadi
kecoklatan. Selanjutnya putik akan membesar, membentuk kulit luar, kulit dalam,
daging atau biji dan berbentuk bakal buah (Rismunandar, 2013).

I.1.1 Lada Hitam (Piper nigrum L.)


Lada hitam biasanya digunakan sebagai bumbu dan obat tradisional.
Tanaman lada yang ada di Indonesia berasal dari daerah Malabar India, dan
dibawa oleh koloni hindu yang pindah ke Asia Tenggara sejak 2000 tahun silam.
Ciri-ciri morfologi tanaman lada hitam antara lain merupakan tanaman semak
belukar, herba, berbatang kecil menjalar dan bunganya majemuk berbentuk bulir
dan menggantung. Tanaman ini mempunyai karakter kimia mengandung asam
amida atau disebut juga piperin yang pada umumnya dimiliki oleh beberapa
spesies dalam famili Piperaceae, dan mengandung minyak atsiri (Heinrich dan
Barnes, 2003).
Tanaman lada dapat hidup pada daerah yang mempunyai iklim panas
dengan curah hujan merata sepanjang tahun, suhu lingkungan yang optimal 23 ⁰C-
30⁰C dan ketinggian tempat tidak lebih dari 500m di atas permukaan laut.
Pemanenan lada dilakukan setelah tanaman lada berumur 2,5–3 tahun. Tanaman
lada dengan penanaman yang intensif menghasilkan 1kg–1,8 kg lada hijau per
tanaman pada tahun ketiga. Nilai produktivitas ini naik menjadi 3,6 kg–9,0 kg
9

pada umur 4 hingga 7 tahun, lalu turun menjadi 2 kg per tanaman per tahun pada
umur 8 tahun hingga 12 atau 15 tahun (Heinrich dan Barnes, 2003).
Pada dasarnya, ada dua jenis hasil olahan lada yaitu lada hitam dan lada
putih. Menurut Ketaren (1985), perbedaan pengolahan lada hitam dan lada putih
terletak pada proses fermentasi. Lada putih dibuat merendam buah lada yang
matang (tua) dalam air selama 7–10 hari. Lada yang telah direndam dipisahkan
dari tangkai dan kulitnya kemudian dikeringkan. Lada hitam dibuat dengan cara
lada ditumpuk dulu selama 2–3 hari agar lada menjadi coklat kehitaman baru
kemudian dihilangkan tangkainya dan dikeringkan. Lada hitam dapat tumbuh
subur pada tanah yang memiliki pH 4,5 sampai 6,5 (Rajeev dan Devasahayam,
2005).
Selain ditimbun, pemeraman buah lada dapat dilakukan dengan cara
direndam dalam air panas selama sekitar sepuluh menit (blanching). Proses ini
dapat mempercepat pencoklatan dan proses pengeringan. Selanjutnya, buah
dijemur di bawah sinar matahari langsung hingga kering. Dari penjemuran akan
dihasilkan buah lada yang berwarna hitam kelam dengan kulit keriput. Setelah
kering, seluruh buah yang melekat pada tangkai mulai dilepaskan. Lalu lada
dibersihkan dari segala kotoran. Rendemen lada hitam kering sebanyak 33%-36%.
Lada yang telah kering akan mengandung air sekitar 11%-14% (Nasrullah, 2010).

Gambar 2.2 Lada Hitam (Piper Ningrum)


Sumber : Heinrich dan Barnes, 2003

Lada hitam memiliki nilai terutama pada aroma rempahnya dan rasa
pedasnya yang khas. Rasa pedas lada diakibatkan oleh adanya zat piperin,
piperanin, dan chavicin yang merupakan senyawa alkaloida. Chavicin banyak
terdapat dalam daging atau kulit biji lada dan tidak akan hilang walaupun biji
yang masih berdaging dijemur hingga menjadi lada hitam. Oleh karena itu, lada
10

hitam lebih pedas bila dibandingkan denga lada putih. Menurut Winiati, dkk
(2005), minyak lada merupakan campuran hidrokarbon yang terdiri dari 70%-80%
monoterpen, 20%-30% seskuiterpen, dan kurang dari 4% senyawa beroksigen.
Perbandingan komposisi kimia lada hitam dan lada putih dapat dilihat pada
Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Lada Hitam dan Lada Putih


Kandungan Lada Hitam (%) Lada Putih (%)
Air 8-13 9,9-15
Protein 11 11
Karbohidrat 22-24 50-65
Minyak Atsiri 1-4 4
Piperin (Alkaloid) 5-9 5-9
Sumber: Nasrullah, 2010

I.1.2 Kandungan Kimia Lada Hitam


Piperin merupakan alkaloid dengan rumus molekul C17H19NO3. Senyawa
ini dapat membentuk kristal dengan titik cair 129°C -130°C dan merupakan
amida, sedikit larut dalam air, akan tetapi mudah larut dalam alkohol (6.1 g/100
ml alkohol) (Nasrullah,2010).
Menurut Williamson (2002), susunan kimia lada hitam terdiri dari :
1. Piperin
Piperin (1–piperilpiperidin) C17H19O3N merupakan alkaloid dengan inti
piperidin. Piperin berbentuk kristal berwarna kuning dengan titik leleh
1270C -1290C, merupakan basa yang tidak optis aktif, dapat larut dalam
alkohol, benzena, eter, dan sedikit larut dalam air. Piperin terdapat dalam
beberapa spesies piper dan dapat dipisahkan baik dari lada hitam maupun
lada putih Kandungan piperin juga dapat ditemukan pada cabe jawa.
Kandungan piperin biasanya berkisar antara 5%-92%.
11

Gambar 2.3 Struktur Piperin


Sumber : Wiliamson, 2002

2. Amida Fenolat
Amida fenolat adalah senyawa yang terdiri dari cincin fenolik dan gugus
karbonil (C=O) yang berikatan dengan atom nitrogen (N). Amida fenolat
yang terkandung dalam buah lada hitam memiliki fungsi sebagai
antioksidan. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
Nakatani et al (1992) menunjukkan bahwa semua amida fenolat yang
terkandung dalam buah lada hitam memiliki aktivitas antioksidan yang
signifikan.

Gambar 2.4 Struktur Amida Fenolat


Sumber : Nakatani , 1992

3. Flavonoid
Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik dengan struktur
kimia C6-C3-C6. Aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah satu
kelompok antioksidan alami yang terdapat pada buah lada hitam telah
banyak dipublikasikan (Vermerris dan Nicholson, 2006).
12

Gambar 2.5 Struktur Flavonoid


Sumber : Vermerris dan Nicholson, 2006

4. Asam Fenolat
Asam fenolat adalah senyawa yang terdiri dari cincin fenolik dan gugus
asam karboksilat (COOH) dengan struktur kimia C 6-C1. Asam fenolat yang
terkandung dalam buah lada hitam memiliki fungsi sebagai antioksidan
(Vermerris dan Nicholson, 2006).

Gambar 2.6 Struktur Asam Fenolat


Sumber: Vermerris dan Nicholson, 2006

I.2 Oleoresin
Oleoresin adalah campuran kompleks yang diperoleh dengan ekstraksi,
konsentrasi (pemekatan) dan standarisasi minyak atsiri dan komponen nonvolatile
dari rempah-rempah, biasanya dalam bentuk cair kental, pasta dan padat.
Oleoresin dari rempah banyak digunakan dalam skala industri, secara umum
digunakan untuk flavor pada indusri pengolahan makanan seperti pengalengan
daging, saos, pembuatan minuman ringan, bahan baku obat farmasi, industri
kosmetik dan parfum, industri kembang gula dan roti. Pengertian oleoresin sering
dikacaukan dengan minyak atsiri, yang sebenarnya keduanya sangat berbeda.
Minyak atsiri dapat dihasilkan dengan cara penyulingan dan hanya mengandung
13

senyawa-senyawa yang mudah menguap yang tersuling dari bahan olah yang
mempunyai aroma yang kuat, sedangkan oleoresin diperoleh dengan cara
ekstraksi menggunakan pelarut organik, sehingga selain mengandung minyak
atsiri juga mengandung resin yang tidak menguap dan menentukan rasa khas
rempah (Fitriyana, 2018).
Fitriyana (2018), menjelaskan keuntungan produk oleoresin sebagai berikut:
1. Seragam, terstandarisasi, flavor-nya lengkap atau sama dengan rempah-
rempah.
2. Bersih, bebas dari mikroba, serangga dan kontaminan lain.
3. Bebas enzim dan masih mengandung anti oksidan alami.
4. Kadar air sangat rendah, hampir tidak ada.
5. Mempunyai masa simpan yang lama dalam kondisi penyimpanan yang
normal atau agak keras.
6. Kehilangan minyak esensial dapat dikurangi karena adanya resin.
7. Memerlukan gudang tempat penyimpanan yang jauh lebih kecil dibanding
dengan menyimpan rempah-rempah segar.

I.2.1 Oleoresin Lada Hitam


Ekstraksi oleoresin lada hitam pada prinsipnya untuk mendapatkan
piperine dan minyak volatile (minyak atsiri). Selain mengandung resin dan
minyak atsiri, oleoresin juga mengandung bahan lain seperti senyawa aromatik,
zat warna (pigmen), vitamin dan komponen lain dari rempah tersebut. Untuk
mendapatkan piperine yang terdapat pada oleoresin, lada hitam dilarutkan pada
bahan pelarut kemudian bahan pelarut dipisahkan dari hasil ekstraksi dengan cara
evaporasi (Sulhatun dan Tisara, 2013).
14

Gambar 2.7 Oleoresin Lada Hitam


Sumber: Sulhatun dan Tisara, 2013

Piperine (C7H19O3N) adalah unsur utama yang terdapat pada lada hitam
(Piper nigrum L.). Piperine bermanfaat dalam menyembuhkan beberapa penyakit
seperti sakit tenggorokan, sakit kepala, dan penyakit kulit. Konsentrasi piperine
sekitar 6%-9% di dalam Piper nigrum L. , 4% di dalam Piper longum dan 4,5% di
dalam Piper retrofractum. Menurut Sulhatun dan Tisara (2013), piperine
mempunyai titik didih 130℃ dan memberikan rasa yang pedas. Menurut
Raghavan (2007), minyak atsiri oleoresin lada hitam bertanggungjawab terhadap
aroma pungency, sekitar 80% mengandung monoterpen seperti sabinen, α-pinen,
β-pinen, limonen, dan 1,8-sineol sedangkan 20% lainnya ialah seskuiterpen
seperti β-kariofilen dan humulen. Berikut merupakan table standar mutu oleoresin
lada hitam (Piper nigrum L.)
Tabel 2.2 Standar Mutu Oleoresin Lada Hitam Berdasarkan SNI 01- 00025-1987
No Jenis Uji Persyaratan
1. Kenampakan
- Warna - Coklat muda, coklat kehijauan,
coklat.
- Bentuk - Pasta Cair, Pasta kental
- Bau - Khas Lada

2. Piperin 35,0%
3. Minyak Atsiri Minimal 10%
4. Indeks Bias (nD 250 ) 1,4820-14960
5. Sisa Pelarut, maks Maks, sesuai dengan peraturan di
negara importir. (ppm)

Sumber : BSN, 1987


15

I.2.2 Parameter Uji Kualitas dan Mutu Oleoresin


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendemen dan mutu
oleoresin yaitu meliputi kondisi dan ukuran serbuk rempah, pemilihan pelarut,
kondisi ekstraksi dan proses penguapan pelarut. Mutu oleoresin dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu jenis tanaman dan umur panen, perlakuan bahan sebelum
proses ekstraksi, sistem dan kondisi ekstraksi, perlakuan terhadap oleoresin
setelah ekstraksi, serta pengemasan dan penyimpanan (Ketaren, 1985).
Menurut Evania (2019) parameter uji untuk menentukan kualitas dari
oleoresin dapat dilihat dari karakteristik fisik kimia yang meliputi pengujian
indeks bias, minyak atsiri, warna, sisa pelarut, dan menghitung kadar rendemen.
1. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan berat kering ekstrak dengan jumlah bahan
baku. Nilai rendemen berkaitan dengan banyaknya kandungan bioaktif
yang terkandung. Semakin tinggi rendemen maka semakin tinggi
kandungan zat yang tertarik ada pada suatu bahan baku. Rendemen
oleoresin didapatkan dari persentase perbandingan hasil oleoresin yang
didapatkan pada penelitian dengan bahan yang digunakan untuk penelitian,
kemudian didapatkan hasil dalam persentase (%).

…………………..(2.4)

Dari penelitian Sulhatun, dkk (2013) rendemen yang dihasilkan dari


ektraksi maserasi menggunakan pelarut n-heksana adalah sebesar 0,62%
dan menggunakan pelarut aseton sebesar 2,6%.

2. Indeks Bias
Indeks bias berhubungan erat dengan kandungan senyawa organik dalam
suatu bahan. pengukurannya menggunakan alat refraktometer. Indeks bias
akan semakin meningkat dengan bertambahnya rantai karbon senyawa
organik dan jumlah ikatan rangkap. Semakin banyak komoponen berantai
panjang atau komponen yang bergugus oksigen ikut tersuling, maka
16

kerapatan medium oleoresin akan bertambah sehingga cahaya yang datang


akan lebih sukar untuk dibiaskan. Hal ini menyebabkan indeks bias
oleoresin lebih besar. Indeks bias merupakan perbandingan antara
kecepatan cahaya didalam udara dengan kecepatan cahaya di dalam
oleoresin tersebut pada suhu tertentu. Indeks bias oleoresin berhubungan
erat dengan komponen-komponen yang tersusun dalam oleoresin. Analisa
indeks bias bertujuan untuk menentukan kemurnian oleoresin yang
dihasilkan dan selanjutnya untuk melihat hasil yang paling baik yang
memenuhi standar SNI oleoresin.
Pada penelitian Sulhatun dan Tisara (2013) indeks bias yang
dihasilkan menggunakan pelarut n-heksana, yaitu 1,442-1,449. Sedangkan
menggunakan pelarut aseton indeks bias yang dihasilkan yaitu 1,362-1370.
3. Minyak Atsiri
Lada hitam kering mengandung 1,2% – 2,6% minyak atsiri yang terdiri
dari sabinine (15%-25%), caryophyllene, β-ocimene, δ-guaiene, farnesol.
Minyak atsiri menentukan aroma dan flavor oleoresin. Kadar minyak atsiri
dalam oleoresin yang diterapkan dalam perdagangan internasional minimal
adalah 15%. Minyak atsiri memiliki komposisi yang kompleks,
mengandung beberapa ratus konstituen, terutama hidrokarbon (terpen dan
seskuiterpen) dan senyawa teroksigenasi (alkohol, aldehida, keton, asam,
fenol, oksida, lakton, asetat, eter dan ester). Kandungan minyak atsiri
merupakan salah satu kualitas yang sering diujikan pada oleoresin rempah-
rempah, karena sebagian besar rempah-rempah digunakan karena adanya
kandungan minyak volatil, yang sangat menentukan flavor yang dimiliki.
4. Warna
Warna sangat mempengaruhi identitas dari suatu zat atau senyawa kimia
dan merupakan salah satu karakteristik dari oleoresin. Warna oleoresin
adalah coklat kehijauan sampai coklat kehitaman. Semakin banyak
molekul-molekul besar yang terekstrak warna dari oleoresin menjadi lebih
pekat. Kepekatan oleoresin merupakan salah satu indikator kualitas
oleoresin, semakin pekat oleoresin menunjukan bahwa semakin sedikit
17

kandungan pelarut yang tersisa didalam oleoresin sehingga oleoresin


semakin murni.

5. Sisa Pelarut
Analisis kadar sisa pelarut dalam oleoresin berguna untuk pengaplikasian
lebih lanjut dalam industri pangan dan farmasi. Hasil analisis ini
diharapkan pelarut yang terkandung pada oleoresin dalam jumlah yang
kecil, karena dengan adanya sisa pelarut akan mempengaruhi kualitas
mutu dari oleoresin Adanya sisa pelarut juga akan menyebabkan turunnya
nilai indeks bias oleoresin. Pada umumnya standar atau batasan sisa
pelarut yang tertinggal pada bahan makanan menurut Food and Drug
Administration (FDA) maksimal sebesar 30 ppm.
6. pH
Derajat kesaman atau pH oleoresin dari beberapa sumber menyatakan pH-
nya cukup bervariasi dipengaruhi oleh sifat bahan asalnya. Salah satunya
penelitian yang dilakukan pada rendemen hasil ekstraksi oleoresin paprika
merah yang mana stabilitas pH yang didapat cenderung rendah berkisar
antara 4,5-5,5. Rendahnya pH yang dihasilkan dipengaruhi dari komponen
penyusun dalam oleoresin yang mengandung campuran kompleks minyak
atsiri dan juga mengandung asam resin, ester dan terpen sehingga pH yang
dihasilkan cenderung rendah. Selain itu, adanya senyawa ekstraksi
antosianin menyebutkan bahwa pH yang rendah disebabkan seiring dengan
bertambahnya waktu ekstraksi (Evania, 2019).

I.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi
yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Menurut Muhiedin (2008)
secara garis besar, proses pemisahan secara ekstraksi terdiri dari tiga langkah
dasar, yaitu:
1. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel,
biasanya melalui proses difusi.
18

2. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk
fase ekstrak.
3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel
Ekstraksi dengan pelarut adalah pemisahan antar bagian dari suatu bahan
berdasarkan pada perbedaan sifat melarut dari masing-masing bagian bahan
terhadap pelarut yang digunakan. Oleoresin didapatkan dari rempah-rempah
dengan cara diekstraksi menggunakan pelarut organik. Hasil ekstraksi
mengandung minyak dan senyawa terlarut pada pelarut. Pelarut organik yang
biasa digunakan adalah senyawa organik pelarut lemak dan minyak, seperti
alkohol dan aseton (Muhiedin, 2008).
Prinsip proses ekstraksi, yaitu pelarut ditransfer dari bulk menuju ke
permukaan. Pelarut menembus masuk atau terjadi difusi massa pelarut pada
permukaan padatan inert ke dalam pori padatan. Zat terlarut yang ada dalam
padatan larut kedalam pelarut lalu karena adanya perbedaan konsentrasi campuran
solut dalam pelarut berdifusi keluar dari permukaan padatan inert. Selanjutnya, zat
terlarut keluar dari pori padatan inert dan bercampur dengan pelarut yang ada
pada luar padatan (Harahap, 2019).

Gambar 4. 1 Contoh Peristiwa Proses Difusi


Sumber : Learniseasy, 2021

I.3.1 Ekstraksi Padat Cair (Leaching)


Ekstraksi padat-cair atau leaching merupakan transfer difusi komponen
terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya. Proses ini bersifat fisika karena
diharapkan pada proses ini tidak terjadi perubahan kimia pada komponen
19

terlarutnya (Pardede, 2018). Peralatan leaching dibagi menjadi dua metode yaitu
perkolasi dan dispersed solid.

1. Perkolasi
Perkolasi adalah penyarian dengan mengalirkan cairan pengekstrak melalui
serbuk sampel yang telah dibasahi. Alat yang digunakan disebut perkolator
dengan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Fatmawati,2019).
Perkolasi dapat dilaksanakan dalam perkolator batch dan continuous
a. Perkolator Batch
Prinsip kerja perkolator batch yaitu bahan ekstraksi dicampur dengan
pelarut segar (solvent) beberapa kali dalam tangki. Larutan ekstrak setiap kali
dipisahkan secara gravitasi atau disaring, untuk menyempurnakan
pencampuran dapat ditambahkan pengaduk atau mixer.

Gambar 2.8 Perkolator Batch


Sumber : http://ferry-atsiri.blogspot.com/ekstraksi-pelarut-untuk-minyak-atsiri.html

b. Perkolator continuous
Prinsip kerja perkolator continuous yaitu pengumpanan pelarut dan
pengeluaran hasil ekstrak, berlangsung secara otomatis dalam sebuah alat
yang sama.
2. Dispersed Solid
Pada metode ini padatan dihancurkan terlebih dulu menjadi pecahan kecil
sebelum dikontakkan dengan pelarut. Metode ini begitu populer karena tingkat
20

kemurnian hasil yang tinggi sehingga dapat mengimbangi biaya operasi


pemisahan yang juga tinggi (Fatmawati, 2019).

I.3.2 Ekstraksi Cair-Cair


Prinsip dasar ekstraksi cair-cair ini melibatkan pengontakan suatu larutan
dengan pelarut (solvent) lain yang tidak saling melarut (immisible) dengan pelarut
asal yang mempunyai densitas yang berbeda sehingga akan terbentuk dua fasa
beberapa saat setelah penambahan solvent. Hal ini menyebabkan terjadinya
perpindahan massa dari pelarut asal ke pelarut pengekstrak (solvent). Perpindahan
zat terlarut ke dalam pelarut baru yang diberikan, disebabkan oleh adanya daya
dorong (dirving force) yang muncul akibat adanya beda potensial kimia antara
kedua pelarut. Sehingga proses ektraksi cair-cair merupakan proses perpindahan
massa yang berlangsung secara difusional (Laddha dan Degaleesan, 1978).
Ekstraksi cair-cair dapat dilakukan secara batch dan continuous.

1. Ekstraktor Batch
Bahan ekstraksi dan solven dicampur berulang kali dalam sebuah tangki
berpengaduk dengan pelarut segar, tangki pada ekstraktor ini dilengkapi
saluran keluar dibagian bawah. Larutan hasil ekstrak dipisah secara
gravitasi

Gambar 2.9 Ekstraktor Batch


Sumber : https://dikapmn.wordpress.com/ekstraksi-cair-cair/.

2. Ekstraktor Continuous
Pelarut dan bahan ekstraksi dialirkan dengan bantuan pompa, dengan
arah berlawanan secara terus menerus kedalam tower. Bahan ekstraksi
21

dicampur berulang kali dengan pelarut, setiap saat kedua fase dipisahkan.
Rafinat dan larutan ekstrak juga dikeluarkan secara kontiniu. Gambar
2.11 merupakan contoh alat ekstraksi cair-cair kontiniu.

Gambar 2.10 Ekstraktor Continuous


Sumber : Perry dkk, 1999

Menurut Kasminah (2016) metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi


dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ektraski khusus.
22

Tabel 2.3 Metode Ektraksi Sederhana dan Khusus


Metode Ektraksi
No
Sederhana Uraian Khusus Uraian
1. Maserasi Metode Ekstraksi Sokletasi Metode ektraksi secara
dengan cara berkesinambugan untuk
merendam sampel melarutkan sampel kering
dengan pelarut dengan menggunaka
organik. pelarut bervariasi.

2. Perkolasi Metode Ekstraksi Ultrasonik Metode ultrasonik


dengan cara menggunakan gelombang
berkesinambungan. ultrasonik yaitu
gelombang dengan
frekuensi lebih besar dari
16-20 kHz
3. Reperkolasi Metode ekstraksi Arus Balik Arus balik, yaitu metode
dimana hasil ektraksi secara
reperkolasi berkesinambungan dimana
digunakan untuk sampel dan pelarut saling
melarutkan sampel bertemu melalui gerakan
di dalam aliran yang berlawanan.
perkulator sampai
senyawa kimia nya
terlarut,
4. Diakolasi Metode ekstraksi
perkolasi dengan
penambahan
tekanan udara.

I.4 Maserasi
Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik
yang dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam
isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan
terjadi pemecahan dinding sel akibat pebedaan tekanan antara di dalam dan di luar
sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam
pelarut organik dan ekstrak senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama
perendaman yang dilakukan. Pada umumnya perendaman dilakukan selama 24
jam, kemudian pelarut diganti dengan pelarut baru. Pemilihan pelarut untuk
proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan
23

kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut. Secara umum, pelarut metanol
merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa
organik bahan alam, karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit
sekunder (Fauzana, 2010).

Gambar 2.11 Maserasi


Sumber : Fauzana, 2010

Prinsip dari ekstraksi maserasi adalah penyarian zat aktif yang


dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalam cairan pengekstrak
yang sesuai selama sehari atau beberapa hari pada temperatur kamar yang
terlindungi dari cahaya. Cairan pengektraks akan masuk ke dalam sel
melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang
konsetrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari
dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berlangsung
sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian
cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan
filtratnya dipekatkan. Keuntungan dari metode ini ialah peralatannya yang
sederhana, sedang kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk
mengestrak sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih
banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai
tekstur keras seperti benzoin, tiraks, dan lilin (Hasrianti dkk, 2016).
I.5 Rotary Eveporator
24

Rotary evaporator atau rotavapor merupakan salah satu alat yang digunakan
untuk proses evaporasi. Rotary evaporator bekerja dengan menguapkan
komponen pelarut dalam bahan sehingga komponen dengan konsentrasi lebih
tinggi dapat diperoleh solvent yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam
suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas dan diputar. Uap
cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) dan
ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Kecepatan alat ini dalam
melakukan evaporasi sangat cepat, terutama bila dibantu oleh vakum.
Terjadinya bumping dan pembentukan busa juga dapat dihindari. Kelebihan
lainnya dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan.
Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya
tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya
kondensor (suhu dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya
jatuh ke tabung penerima (receiver flask). Setelah pelarutnya diuapkan, akan
dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan (solid) atau cairan (liquid).
Biasanya ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi awal ini (ekstraksi dari bahan
tumbuhan) disebut sebagai ekstrak kasar (crude extract) (Nugroho dkk, 1999).

Gambar 2.12 Rangkaian alat rotary Evaporator


Sumber : Oktora dkk, 2007

I.6 Perpindahan Panas


25

Perpindahan panas adalah ilmu untuk meramalkan perpindahan kalor yang


terjadi karena adanya perbedaan suhu di antara benda atau material. Pindah panas
adalah sebuah operasi yang sering terjadi berulang-ulang pada industri
pangan. Pindah panas adalah proses yang dinamis yaitu panas dipindahkan secara
spontan dari suatu material ke material lain yang lebih dingin. Jika dua buah zat
atau lebih dicampur menjadi satu maka zat yang suhunya tinggi akan
melepaskan kalor sedangkan zat yang suhunya rendah akan menerima kalor,
sampai tercapai kesetimbangan termal. Kecepatan pindah panas tergantung
pada perbedaan suhu antara kedua material, makin besar perbedaan, makin
besar kecepatan pindah panas. Panas yang melalui satu material dari material
lain, pindah menembus beberapa perantara, yang pada umumnya memberikan
penahanan pada aliran panas. Kedua faktor ini, yaitu perbedaan suhu
dan penahan aliran panas, mempengaruhi kecepatan pindah panas.Selama
proses pengolahan berlangsung, suhu akan berubah berubah sehingga laju
pindah panas pun akan ikut berubah. Hal ini disebut pindah panas tidak tetap
(unstedy-state heat transfer), sebagai lawan pindah panas tetap (stedy-state), yaitu
suhu selama proses tidak berubah. Pindah panas tidak tetap jauh lebih kompleks,
karena adanya penambahan variabel waktu masuk ke dalam persamaan kecepatan
(Daud dkk, 2019).
I.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Ekstraksi
Menurut Muhiedin (2008), hasil ekstraksi oleoresin dipengaruhi oleh jenis
bahan, jenis pelarut dan kondisi ekstraksi. Kondisi ekstraksi meliputi metode,
waktu, jenis pelarut, perbandingan bahan dengan pelarut, suhu dan derajat
kehalusan bahan.

1. Ukuran Bahan
Pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan bahan
sehingga mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak
dan mempercepat waktu ekstraksi. Penghancuran lada hitam dapat dilakukan
dengan alat penghancur biji. Hancuran biji lada ini kemudian dilewatkan pada
saringan 40 mesh untuk menyeragamkan ukuran bahan. Sebenarnya semakin
26

kecil ukuran bahan semakin luas pula permukaan bahan sehingga semakin
banyak oleoresin yang dapat diekstrak. Tetapi ukuran bahan yang terlalu kecil
juga menyebabkan banyak minyak volatile yang menguap selama
penghancuran.
2. Suhu Ekstraksi
Suhu pada waktu ekstraksi juga mempengaruhi hasil ekstraksi. Ekstraksi
akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi pada ekstraksi oleoresin
hal ini dapat meningkatkan beberapa komponen yang terdapat dalam rempah
akan mengalami kerusakan. Ekstraksi baik dilakukan pada kisaran suhu
30℃-50℃. Muhiedin (2008) menyebutkan bahwa minyak atsiri oleoresin
kayu manis yang diekstrak pada suhu 40℃ menghasilkan kadar 18%
dibandingkan dengan suhu ekstraksi 30℃, sedangkan pada suhu 50℃ tidak
terjadi kenaikan kadar minyak atsiri.

3. Pelarut
Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan faktor penting dalan ekstraksi.
Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses
ekstraksi. Proses ektraksi dengan pelarut didasarkan pada sifat kepolaran zat
dalam pelarut pada saat ekstraksi. Senyawa polar hanya larut pada pelarut
polar, seperti etanol, methanol, butanol, dan air. Senyawa nonpolar juga
hanya akan larut pada senyawa nopolar seperti eter, klorofom, dan n-
Heksana. Jumlah pelarut berpengaruh terhadap banyaknya oleoresin yang
diekstrak sampai titik keseimbangan (Kasminah, 2016).
Menurut Muhiedin (2008) pemilihan pelarut pada umumnya
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:

a. Selektivitas
Selektivitas pelarut dapat mempengaruhi kemurnian ekstrak yang akan
diperoleh. Pelarut harus dapat melarutkan ekstrak yang diinginkan,
bukan komponen-komponen lain dari bahan ekstraksi. Dalam
prakteknya, terutama pada ektraksi bahan-bahan alami, sering juga
bahan lain (misalnya lemak dan resin) ikut dibebaskan Bersama-sama
27

dengan ektraski yang diinginkan. Dalam hal ini larutam ekstrak


tercemar yang diperoleh harus dibersihkan, misalnya diekstrak lagi
dengan menggunakan pelarut. Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak
yang diinginkan bukan komponen-komponen lain dari bahan ekstraksi.
b. Kelarutan Pelarut
Sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar
(kebutuhan pelarut lebih sedikit). Pelarut harus dapat melarutkan
komponen yang diinginkan sebanyak mungkin dan sesedikit mungkin
melarutkan bahan pengotor.
c. Reaktifitas
Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara
kimia pada komponen-komponen bahan ekstraksi.
d. Titik didih
Karena ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara
penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan itu
tidak boleh terlalu dekat.
e. Kriteria yang lain
Pelarut sedapat mungkin harus murah, tersedia dalam jumlah besar,
tidak beracun, tidak terbakar, tidak eksplosif bila bercampur dengan
udara, tidak korosif, tidak menyebabkan terbentuknya emulsi, memiliki
viskositas yang rendah dan stabil secara termis karena hampir tidak ada
pelarut yang memenuhi semua syarat diatas maka hanya untuk setiap
proses ekstraksi harus dicari pelarut yang paling sesuai. Jumlah pelarut
yang digunakan berpengaruh pada efisiensi, ekstraksi, tetapi jumlah
berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak, dalam jumlah tertentu
pelarut dapat bekerja optimal.

I.8 Etanol
Etanol atau etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH adalah zat kimia yang
tidak berwarna, mempunyai titik didih 78,3℃, dapat larut dalam air, berbau
ringan, dan mudah menguap. Etanol adalah alkohol alifatik yang reaktivitasnya
28

ditentukan oleh gugus hidroksilnya. Karena bersifat netral, alcohol atau etanol
sulit bereaksi dengan basa, tapi bereaksi dengan logamnya.

Gambar 2.13 Struktur Etanol


Sumber: Muhiedin, 2008

Etanol merupakan pelarut yang menghasilkan rendemen oleoresin yang


paling tinggi dibandingkan pelarut organik lainnya. Etanol mempunyai tingkat
kepolaran yang tinggi sehingga dapat mengekstraksi sebagian besar komponen
oleoresin yang bersifat polar (Muhiedin, 2008). Menurut Anggraini, dkk (2018)
etanol mempunyai sifat fisika seperti yang ditampilkan dalam tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sifat Fisika Etanol
Sifat Fisika Nilai
Berat molekul 46,069 gram/mol
Titik beku -114,1℃
Titik didih 78℃
Densitas (pada 20℃) 0,789 g/mol
Viskositas 0,53443 cP
Temperatur kritik 234,1℃
Tekanan kritik 63 atm
Panas penguapan (pada T.D) 38770 kJ/mol
Sumber : Kirk dan Othmer, 1998

I.9 Etil Asetat


Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus kimia C4H8O2. Senyawa
ini merupakan ester dari ethanol dan asam asetat. Etil asetat berwujud cairan tak
berwarna, memiliki aroma khas. Etil asetat adalah pelarut semi polar yang volatile
(mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis.

Gambar 2.14 Struktur Etil Asetat


29

Sumber : Muhiedin, 2008

Sifat fisika dari etil asetat dapat dilihat pada tabel 2.5 di bawah ini:
Tabel 2.5 Sifat Fisika Etil Asetat
Sifat Fisika Nilai
Berat molekul 88,105 gram/mol
Wujud Cairan bening
Titik leleh -83,6℃
Titik didih 77,1℃
Densitas 0,897 g/mol
Titik Nyala -4℃
Sumber : Kirk dan Othmer, 1998

Anda mungkin juga menyukai