Anda di halaman 1dari 36

Referat

Pneumothoraks

Oleh:

Windu Arinda

1610070100111

Preseptor:

dr. Irsal Munandar, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
BAGIAN BEDAH RSUD M.NATSIR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
ini yang berjudul Pneumothoraks.
Referat ini ditulis dengan tujuan agar dapat menambah wawasan serta
pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Pneumothoraks, selain itu juga untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Bedah di RSUD M.Natsir, Solok. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini, terutama kepada
pembimbing dr. Irsal Munandar, Sp. B yang telah meluangkan waktu dalam
memberikan bimbingan, saran dan perbaikan kepada penulis.
Dengan demikian, penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dalam
menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Pneumothoraks.

Solok, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang 1
1.2. Tujuan 1
1.3. Batasan Masalah 2
1.3. Metode Penulisan 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura 3
2.1.1 Anatomi Pleura 3
2.1.2 Fisiologi Pleura 4
2.2 Pneumothoraks 5
2.2.1 Definisi Pneumothoraks 5
2.2.2 Etiologi Pneumothoraks 6
2.2.3 Epidemiologi Pneumothoraks 6
2.2.4 Klasifikasi Pneumothoraks 6
2.2.5 Patofisiologi Pneumothoraks 10
2.2.6 Diagnosa Pneumothoraks 12
2.2.7 Penatalaksanaan Pneumothoraks 15
2.2.8 Prognosis Pneumothoraks 18
2.2.9 Komplikasi Pneumothoraks 18
2.3 Water Seal Drainage 19
2.2.1 Definisi Water Seal Drainage 19
2.2.2 Tujuan Pemasangan Water Seal Drainage 19
2.2.3 Indikasi Pemasangan Water Seal Drainage 19
2.2.4 Lokasi Pemasangan Water Seal Drainage 19
2.2.5 Prosedur Pemasangan Water Seal Drainage 20

iii
2.2.6 Kontraindikasi Pemasangan Water Seal Drainage 20
2.2.7 Komplikasi Pemasangan Water Seal Drainage 21
BAB III. LAPORAN KASUS 22
BAB IV. KESIMPULAN 31
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan udaranya melalui trakea yang memperngaruhi tekanan ruang untuk
mempertahankan keberlangsungan pernafasan. Paru paru sebenarnya mengapung
dalam rongga thoraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi
pelumas bagi gerakan paru-paru dalam rongga thoraks. Pada keadaan normal rongga
pleura berisi cairan dengan tekanan negative yang ringan. Pleura adalah selapis
membran jaringan fibrosa yang halus, basah dan semitransparan yang melapisi paru
dan dinding thorak. Pneumotoraks adalah kelainan pleura yang cukup sering terjadi
karena banyak faktor yang dapat menyebabkan pneumotoraks. Pneumotoraks
termasuk salah satu kasus gawat darurat yang harus ditatalaksana dengan cepat dan
tepat.
Pneumotoraks adalah kondisi adanya udara di rongga pleura. Kondisi ini
merupakan gangguan pernapasan yang relatif umum dan dapat terjadi dalam berbagai
penyakit dan pada individu dari segala usia. Pneumotoraks ditandai dengan dispnea
dan nyeri dada yang berasal dari paru-paru maupun dinding dada yang disebabkan
oleh adanya udara pada rongga pleura yang diikuti pecahnya bula. Klasifikasi
pneumotoraks berdasarkan penyebab dan gejala klinis yang timbul. Pneumotoraks
dapat dibagi menjadi spontan primer (PSP) dan sekunder (PSS), serta traumatik dan
iatrogenik.Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, anatomi, fisiologi
sistem pernapasan, etiologi, epidemiologi, patosisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana dan prognosis Pneumothorak.

1
1.3 Batasan Masalah
Penulisan referat ini membahas tentang definisi, anatomi, fisiologi sistem
pernapasan, etiologi, epidemiologi, patosisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana dan prognosis Pneumothorak.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura


2.1.1 Anatomi Pleura
Kata pleura berasal dari bahasa latin pleuron yang berarti sisi (side). Pleura
adalah selapis membran jaringan fibrosa yang halus, basah dan semitransparan serta
terdiri dari selapis epitel skuamosa yang disebut mesotelium.
Total luas permukaan pleura diperkirakan adalah 2000 cm2 pada laki-laki
dewasa. Pleura terdiri dari pleura viseral dan pleura parietal dan ruang kosong di
antara keduanya disebut rongga pleura. Rongga pleura kanan dan kiri dipisahkan oleh
mediastinum serta terpisah dari rongga perikardium. Pleura viseral melapisi seluruh
permukaan paru dan memiliki kontak dengan dinding dada, diafragma, mediastinum
dan fisura lobaris. Pleura parietal melapisi permukaan dalam rongga toraks termasuk
permukaan mediastinum dan diafragma.
Berdasarkan bagian permukaan intratoraks, pleura parietal terbagi atas:
1. Pleura parietal costae yang membatasi permukaan dalam tulang iga dan otot
interkostal.
2. Pleura parietal mediastinum yang melapisi struktur mediastinum.
3. Pleura parietal diafragmatika yang melapisi permukaan cembung diafragma.
4. Pleura parietal servikal yang mencapai leher dan melebar hingga di atas
tulang iga pertama.
Pleura viseral dan parietal memiliki suatu rongga tertutup yang dapat
berkembang di antara kedua lapisan pleura yang disebut rongga pleura. Rongga
pleura kanan dan kiri pada manusia merupakan rongga yang terpisah satu sama lain
dan juga terpisah dari rongga mediastinum dan rongga perikardium. Pleura viseral
dan parietal akan bertemu di bagian hilus paru yaitu daerah penetrasi saluran napas
utama dan pembuluh darah paru. Pleura mediastinum akan masuk secara lateral ke
dalam hilus paru (lung root) pada hilus paru. Pada bagian posterior dari hilus paru,
pleura akan berlanjut ke arah bawah sebagai lipatan ganda yang tipis dan dikenal

3
sebagai ligamen paru. Ligamen paru terletak di bagian bawah hilus paru sebagai
lipatan ganda pleura dan membentuk suatu ruang kosong yang memberikan ruang
ekspansi untuk pembuluh-pembuluh di hilus paru saat penurunan diafragma pada
proses inspirasi.

Gambar 1. Struktur rongga pleura dan paru

2.1.2 Fisiologi Pleura


Pleura merupakan bagian penting dalam proses respirasi melalui tekanan di
dalam rongga pleura atau tekanan pleura. Tekanan pleura adalah tekanan pada
permukaan luar paru dan jantung serta pada permukaan dalam rongga toraks.
Tekanan pleura berperan penting dalam menentukan volume paru, jantung dan
rongga toraks. Fungsi utama pleura dan rongga pleura adalah untuk memfasilitasi
pengembangan dan pengempisan paru di dalam dada. Dalam keadaan normal,
tekanan subatmosfer intrapleura menjaga pleura viseral dan pleura parietal tetap
berhubungan secara mekanik dan mempertahankan posisi mediastinum.
Tekanan pleura secara fisiologis terdiri dari dua jenis tekanan yaitu tekanan
cairan pleura dan tekanan permukaan pleura. Tekanan cairan pleura menggambarkan

4
tekanan yang mempengaruhi absorpsi cairan pleura, sedangkan tekanan permukaan
pleura menggambarkan keseimbangan antara tarikan rongga toraks ke luar dan
tarikan paru ke dalam. Pengelompokan kedua tekanan pleura ini tidak lagi dipakai
dan hanya satu definisi tekanan pleura yang digunakan saat ini. Tekanan pleura
menggambarkan keseimbangan antara tarikan ke luar dari rongga toraks dan tarikan
ke dalam dari paru.
Tekanan pleura dalam keadaan normal adalah bernilai –3 hingga –5 cm H2O
pada kapasitas residu fungsional (KRF) dan bernilai –30 cm H2O pada kapasitas paru
total (KPT). Tekanan pleura normal pada awal inspirasi adalah –5 cm H2O yaitu
jumlah suction yang diperlukan untuk mempertahankan paru terbuka pada keadaan
istirahat. Selama inspirasi normal, ekspansi rongga toraks akan menarik keluar
dengan gaya yang lebih besar dan menciptakan tekanan yang lebih negatif yaitu –7,5
cm H2O. Tekanan pleura pada paru akan menjadi lebih negatif jika compliance paru
berkurang. Rongga pleura pada keadaan normal memiliki sejumlah kecil cairan yang
melicinkan permukaan pleura parietal dan viseral.

2.2 PNEUMOTHORAKS
2.2.1 Definisi Pneumothoraks
Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di rongga
pleura akibat robeknya pleura viseral, dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma, mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan negatif intrapleura sehingga
mengganggu proses pengembangan paru.

Gambar 2. Pneumothoraks

5
2.2.2 Etiologi Pneumothoraks
Udara dalam kavum pleura dapat ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki cavum pleura.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
dengan dunia luar. Apabila lubang yan terjadi berukuran lebih besar dari 2/3
diameter trakea, maka udara cenderung melewati lubang tersebut dibanding
traktus respiratorius yang seharusnya.

2.2.3 Epidemiologi Pneumothoraks


Sejumlah penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa insidensi
antara pneumothoraks primer dan sekunder sama, namun pria lebih sering terjadi
pada pria dibanding wanita (6:1). Pada pria, resiko pneumothoraks spontan akan
meningkat pada perokok berat dibanding non perokok. Pneumothoraks spontan
primer lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun, sedangkan pneumothoraks spontan
sekunder lebih sering terjadi pada usia 60-65 tahun. Sementara itu, pneumothorak
traumatik lebih sering terjadi dari pada pneumothoraks spontan. Penyebab tersering
dari pneumothoraks traumatik adalah kecelakaan lalu lintas.

2.2.4 Klasifikasi Pneumothoraks


Menurut penyebabnya pneumotoraks dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu :
 Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-
tiba tanpa diketahui penyebabnya.
 Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimilki sebelumnya,
misalnya PPOK, kanker paru, TB paru, dsb.

6
b. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan kedalam dua
jenis, yaitu :
 Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan misalnya jejas dada pada dinding dada atau
barotrauma.
 Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis.

Pneumotoraks berdasarkan fistulnnya dibagi menjadi simple pneumotoraks, tension


pneumotoraks, dan open pneumotoraks.

Gambar 3. Klasifikasi Pneumothoraks

a. Closed Pneumothorax / Simple Pneumothorax


Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan didalam

7
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negative
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan
didalamnya sudah kembali negative. Pada waktu terjadi gerakan pernafasan, tekanan
udara dirongga pleura tetap negative.

b. Open Pneumothorax
Yaitu pneumothorak dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumothorak terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negative dan pada waktu ekspirasi
tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan
normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada
yang terluka (Sucking wound sound)

c. Tension Pneumothorax
Adalah pneumothorak dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin bertambah besar karena adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui fistel yang tebuka. Waktu ekspirasi,
udara didalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan didalam rongga
pleura semakin lama semakin tinggi melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan
gagal nafas.
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumothoraks
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Pneumothoraks Parsialis, yaitu pneumothoraks yang menekan pada sebagian kecil
paru (<50% volume paru)

8
Gambar 4. Pneumothoraks Parsialis
b. Pneumothoraks Totalis, yaitu pneumothoraks yang mengenai sebagian besar paru
(>50% volume paru)

Gambar 5. Pneumothoraks Totalis

Untuk mengetahui apakah pneumothoraks bersifat parsialis atau totalis dapat


dilakukan penghitungan luas pneumothoraks. Salah satu cara yang digunakan dalam
menentukan luas nya pneumothoraks adalah menggunakan rumus Kircher & Swartel.

9
Gambar 6. Penghitungan Luas Pneumothoraks

L. Hemithorak−L . Kolaps Paru


x 100 %
L . Hemithorak

2.2.5 Patofisiologi Pneumothoraks


Pneumothoraks diklasifikasian atas pneumothoraks spontan dan traumatik.
Pneumothoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumothoraks primer dan sekunder,
sedangkan pneumothoraks traumatik dibagi menjadi iatrogenik dan non iatrogenik.
Pneumothoraks spontan primer terjadi tanpa adanya kelainan atau penyakit
yang mendasarinya. Namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural
ditemukan pada 76-100% pasien pneumothoraks spontan primer. Pneumothoraks
spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari
pembentukan bula subpleural. Mekanisme pembentukan bula masih merupakan
spekulasi, namun sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin peru
yang diinduksi oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan
makrofag. Proses ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan
sistem oksidan-antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas
akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi
kebocoran udara kejaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. Tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura parietalis
pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumothoraks.

10
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga apabila rongga ini terisi
udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya
keseimbangan tekanan atau bagian yang ruptur tersebut tertutup. Paru paru akan
bertambah kecil dengan bertambah luasnya pneumothoraks. Konsekuensi dari proses
ini adalah timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya
PO2.
Pneumothoraks spontan sekunder terjadi akibat kelainan atau penyakit paru
yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan
tekanan alveolar yang melebihi tekanan insterstitial paru. Udara di alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.
Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke
rongga pleura dan menimbulkan pneumothoraks.
Pneumothoraks traumatic dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun
non-penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat
menimbulkan pneumothoraks. Bila terjadi pneumothorask, paru akan mengempes
karena tidak ada lagi tarikan keluar dinding dada. Pengembangan dinding dada pada
saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik atau bahkan paru
tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang normalnya negative akan
meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagian yang mengalami
pneumothoraks.
Pneumothoraks iatrogenic merupakan komplikasi dari prosedur medis atau
bedah. Salah satu yang paling sering menyebabkan pneumothoraks iatrogenic adalah
akibat aspirasi transthoracic, thorakosintesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik
tekanan positif.
Pneumothoraks ventil terjadi akibat cedera pada parenkim paru atau bronkus
yang berperan sebagai katup searah. Katup ini mengakibatkan udara bergerak searah
kerongga pleura dan menghalangi adanya aliran balik dari udara tersebut sehingga
udara terperangkap. Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di
rongga pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru
kearah kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya

11
hipoksia. Curah jantung menurun karena venous return ke jantung berkurang.
Sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang kolpas
dan paru tertekan disisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah jantung ajan
mengganggu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika tidak ditangani
secara cepat.

2.2.6 Diagnosis Pneumothoraks


2.2.6.1 Anamnesa
Berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala yang sering muncul adalah:
1. Sesak nafas, ditemukan pada hamper 80-100%. Seringkali sesak dirasakan
mendadak dan makin lama makin berat. Pasien tampak bernafas tersengal,
pendek-pendek, dengan mulut terbuka
2. Nyeri dada, didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi
yang sakit. Terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerakan
pernapasan.
3. Batuk, didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang
6. Tidak menunjukkan gejala pada 5-10% pasien. Biasanya pada jenis
pneumothorak spontan primer.

2.2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik thorak didapatkan:
1. Inspeksi :
 Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada).
 Pada saat inspirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
 Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehatt
2. Palpasi :
 Pada sisi yang sakit ruang antar iga dapat normal atau melebar

12
 Iktus cordis terdorong kesisi thorak yang sehat
 Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
 Hipersonor
 Batas jantung terdorong kearah thorak yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi.
4. Auskultasi :
 Suara napas melemah sampai menghilang
 Suara vocal melemah dan tidak menggetar. Serta bronkofoni
negative.
2.2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Rontgen Thoraks
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen pasien pneumothoraks
antara lain :
 Tampak gambaran hiperlusen avascular pada hemithoraks yang
mengalami pneumothoraks

Gambar 7. Hiperlusen Avaskular Pneumothoraks

 Bagian paru yang kolaps dan yang mengalami pneumotoraks dipisahkan


oleh batas paru kolaps berupa garis radioopak tipis yang berasal dari
pleura visceralis, yang biasa dikenal sebagai pleural white line.

13
Gambar 8. Pleural White Line
 Deep Sulcus Sign, Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip
dan rongga pleura menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah
lateral dari hepar dan lien. Jika terdapat udara pada rongga pleura,
maka sudut kostofrenikus menjadi lebih dalam daripada biasanya

Gambar 9. Deep Sulcus Sign


 Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah
hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi.
 Sela iga menjadi lebih lebar.

b. CT-Scan Thoraks
Ct-scan thoraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumothoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan

14
ekstrapulmoner , dan untuk membedakan pneumothoraks spontan primer dan
sekunder.

Gambar 10. Ct-Scan Pneumothoraks

c. Analisa Gas Darah


Analisa gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemia
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal nafas secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

2.2.6.4 Diagnosis Banding


 Emfisema Paru
 Giant Cavity
 Kista Paru

2.2.7 Tatalaksana Pneumothoraks


Tujuan utama penatalaksanaan pneumothoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumothorak adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleuran telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan di resorbsi.
Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi

15
dilakukan dalam beberapa hari dengan foto thorak serial tiap 12-24 jam pertama
selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumothoraks tertutup dan
terbuka.

2. Tindakan Dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorak yang
luasnya >15%. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan
membuat hubungan antara rongga pelura dengan udara luar. Dengan craa
menusukkan jarum melalui dinding dara terus masuk rongga pleura, dengan demikian
tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negative karena
mengalir keluar melalui jarum tersebut. Membuat hubungan dengan udara luar
melalui kontra ventil dapat dilakukan dengan menggunakan :
1. Infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai kedalam rongga pleura, kemudian
infus set yang telah dipotong pada pangkat saringan tetesan dimasukkan
kebotol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada didalam botol
2. Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding thorak
sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plasitik infus set. Pipa infus
selanjutnya dimasukkan kedalam botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infus set yang berada didalam botol.
3. Pipa Water Sealed Drainage (WSD)
Pipa khusus (thorak kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukkan
troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi
kulit disela iga ke-4 pada linea aksilaris atau pada linea aksilaris posterior.

16
Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula.
Setelah troakar masuk, maka thork kateter segera dimasukkan ke
rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter thorak
yang masih tertinggal dirongga pleura. Selanjutnya jung kateter thorak yang
ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya.
Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm dibawah
permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus menerus apabila tekanan intrapleura tetap
positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan nefatif sebesar
10-20 cmH2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru
telah mengembang maksimal dan tekanan intrapleura sudah negative kembali,
maka sebelum dicabut dapat dilakukan uji coba terlebih dahulu dengan craa
pipa dijepit atau di tekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura
kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD
dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.

3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan
alat bantu torakoskop.

4. Torakotomi
5. Tindakan Bedah
a. dengan pembukaan dinding thorak melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumothoraks dan dijahit
b. pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. dilakukan reseski bila terdapat bagian peru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak.
d. Pleurodesis. Masing masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain ditempat fistel

17
2.2.8 Prognosis Pneumothoraks
Prognosis dari pneumothoraks bergantung pada luasnya dan tipe dari
pneumothorax. Spontaneous pneumothorax akan umumnya hilang dengan sendirinya
tanpa perawatan. Secondary pneumothorax yang berhubungan dengan penyakit yang
mendasarinya, bahkan ketika kecil, adalah jauh lebih serius dan membawa angka
kematian sebesar 15%. Secondary pneumothorax memerlukan perawatan darurat dan
segera. Mempunyai satu pneumothorax meningkatkan risiko mengembangkan
kondisi ini kembali

2.2.9 Komplikasi Pneumothoraks


a. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai
dari basis sampai ke apeks.
b. Emfisema subkutan, biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang terjebak dimediastinum lambat laun akan
bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Disekitar leher
terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat
tersebut sampai kedaerah dada dan belakang.
c. Piopneumothoraks, terdapatnya pneumothoraks disertai emfisema secara
bersamaan disatu sisi oparu
d. Pneumothoraks kronik, menetap lebih dari 3 bulan. Terjadi bila fistula
bronkopleura tetap membuka
e. Hidropneumothoraks, ditemukan adanya cairan dalam rongga pleura. Cairan
ini biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah)
f. infeksi sekunder sehingga dapat menimbulkan pleuritis, empyema, dan
hidropneumothoraks.

18
2.3 Water Seal Drainage
2.3.1 Definisi
Tindakan Water Seal Drainage (WSD) atau “ Chest Tube “ adalah suatu
tindakan invasif dengan memasukkan kateter kedalam rongga pleura untuk
mengeluarkan cairan atau udara dari dalam rongga pleura untuk mempertahankan
tekanan negatif rongga tersebut.

2.3.2 Tujuan Pemasangan WSD


 mengeluarkan cairan atau udara dari rongga pleura.
 menggembalikan tekanan negative pada rongga pleura
 mengembangkan kembali paru yang kolaps
 mencegah refluks drainage kembali kedalam rongga dada

2.3.3 Indikasi Pemasangan WSD


 Pneumothoraks
 Koleksi Pleural : Empiema, Hematothoraks, Chylothoraks
 Post Operatif
 Thoracotomy
 Efusi Pleura

2.3.4 Lokasi Pemasangan


Apikal
 Letak selang pada intercostae III midclavicula
 Dimasukkan secara anterolateral
 Fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
Basal
 Letak selang pada intercostae V-VI atau intercostae VIII-IX midaksiler
 Fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura

19
2.3.5 Peosedur Pemasangan WSD
1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea
aksillaris anterior dan media.
2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan.
3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai
muskulus interkostalis.
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian 4. Masukkan Kelly
klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan. Masukkan jari melalui
lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh
paru.l
5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan
menggunakan Kelly forceps
6. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding
dada
7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
8. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.posisi
selang yang telah dimasukkan

2.3.6 Kontra Indikasi Pemasangan WSD


 Infeksi pada tempat pemasangan
 Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

2.3.7 Indikasi Pelepasan WSD


Paru-paru sudah re-ekspansi yang ditandai dengan :
 Tidak ada undulasi, namun perlu diperhatikan karena tidak adanya undulasi
merupakan salah satu tanda yang menyatakan kondisi monitor suction tidak
jalan, selang tersumbat atau terjepitt, atau karena paru-paru sudah benar-benar
mengembang
 Tidak ada cairan keluar

20
 Tidak ada gelembung udara yang keluar
 Tidak ada kesulitan bernafas
 Dari foto rontgen tidak menunjukkan adanya cairan atau udara
 Selang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau
pengurutan pada selang.

2.3.8 Komplikasi WSD


 Tube Malposition : peletakan WSD yang tidak sesuai dengan tempat
seharusnya. Beberapa jenis tube malposition meliputi, intraparenchymal tube
placement, fissural tube placement, chest wall tube placement, mediastinal
tube placement, dan abdominal tube placement.
 Blocked Drainage : adanya blockade pada selang WSD yang menyebabkan
drainase tidak lancar. Hal ini dapat disebabkan oleh kekakuan selang,
terbentuknya gumpalan cairan, adanya puntiran, terdapat sisa debris atau ikut
terbawanya jaringan paru yang mengakibatkan selang WSD menjadi
tersumbat.
 Chest Drain Dislogement : yakni terlepasnya WSD dari cavum pleura pasien.
 Udema Pulmonum Re-ekspansi : terjadinya udem pulmonum setelah paru
yang kolaps tadi mengembang. Pathogenesis yang mendasarunya antara lain
yakni adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Adanya radikal bebas
oksigen yang menyebabkan kerusakan kapiler dan adanya oenurunan produksi
surfactant.
 Emfisema Subkutis : terbentuknya akumulasi udara pada ruang subkutan
dinding dada.. pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan krepitasi pada palpasi
dinding dada. Kemungkinan terjadi dikarenakan ikatan pada kateter kurang
erat.
 Cedera syaraf : pemasangan WSD yang tidak hati hati dapat juga
menyebabkan cedera pada syaraf disekitar lokasi pemasangan WSD. Cedera
syaraf yang pernah terjadi akibat pemasangan WSD antara lain, horner’s

21
syndrome, phrenic nervus injury, long thoracic nerve injury, dan ulnar
neuropathy.
 Cedera kardiovaskular : berupa perdarahan yang dapat memicu komplikasi
kearah cedera jantung.

22
BAB III
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


- Nama : Tn.S
- Umur : 49 Tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Alamat : Panyalai, Cupak
- Tanggal masuk : 29 September 2021

Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan post KLL 15 menit
sebelum masuk rumah sakit.

Primary Survey
 Airway : Paten
 Breathing : 20x/menit, suara nafas vesikuler melemah, pergerakan
dinding dada sebelah kanan tertinggal. Taktil Fremitus melemah pada bagian
kanan, perkusi hipersonor dilapang bawah paru kanan.
 Circulation : Tekanan Darah 118/81 mmHg, Frekuensi Nadi 76 x/menit,
Akral hangat, CRT < 2 detik
 Disabillity : GCS 15, Pupil isokor, Reflek cahaya (+)

Secondary Survey
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan akibat
ditabrak pesepeda ketika sedang mengendarai sepeda motor di penurunan jl.
Cupak. Nyeri dada dirasakan terus menerus disertai dengan sesak yang

23
memberat. Pasien dibawa ke IGD dalam keadaan sadar. Pasien muntah >3 kali
selama perjalanan menuju ke rumah sakit. Sakit kepala tidak ada.

 Riwayat penyakit dahulu


Tidak ada yang bermakna
 Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada yang bermakna

Pemeriksaan fisik
 Status generalisata
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis kooperatif
Tekanan darah : 111/81 mmHg
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5ºc
Nadi : 76 x/menit
- Kepala : normochepale, rambut hitam tidak mudah dicabut
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
- Hidung : secret tidak ada, perdarahan tidak ada
- Telinga : secret tidak ada, perdarahan tidak ada
- Mulut : bibir tidak sianosis, mukosa tidak pucat
- Leher : tidak ada pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
- Thoraks :
a) Paru : Status Lokalis
b) Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : Reguller, murmur(-), gallop(-)

24
- Abdomen :
 Inspeksi : Distensi(-), Sikatrik(-)
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan(-)
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

- Genitalia : Dalam batas normal


- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

 Status lokalis
Region Thorak
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada asimetris,
Vulnus Eksoriasi dada kanan dengan ukuran 10x1cm
- Palpasi : Taktil fremitus melemah. Nyeri tekan(-), Krepitasi(-)
- Perkusi : Hipersonor di lapang bawah paru kanan
- Auskultasi: Vesikuler melemah, Rhonki(-/-), Wheezing(-/-)

1.2 Diagnosa kerja


Pneumothoraks dextra e.c trauma tumpul thoraks

1.3 Pemeriksaan penunjang


Darah rutin
- Hemoglobin : 13,8 g/dl
- Hematokrit : 40,1 %
- Leukosit : 7.900 mm3
- Trombosit : 242.000mm3

25
Foto Rontgen Thoraks

Hasil :
- Foto asimetris, trakea relative ditengah
- Inspirasi cukup
- Aorta baik, mediastinum superior tidak melebar
- Tulang dan jaringan lunak dalam batas normal
- Diafragma membentuk kubah. Kedua sudut kostofrenikus lancip
- Jantung tidak membesar CTR <50%
- Kedua hilus tidak menebal, Corakan bronkovaskular kedua paru baik
- Tampak area lusensi avascular di apikolaterobasal hemithorak kanan
- Tidak tampak infiltrate dikedua lapang paru

1.4 Diagnosa Definitif


Pneumothoraks Dekstra

1.5 Tatalaksana

26
- IVFD RL 12 jam/kolf (20tpm)
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x1 gr (iv)
- Ondansentron 2x1 gr (iv)
- Rencana Tindakan : Pemasangan WSD

1.6 Diagnosa Post OP


Post WSD ec Pneumothoraks dekstra

1.7 Monitoring Pasien


 Kamis, 30/09/2021
S/
- Nyeri dada sebelah kanan
- Sesak sudah mulai berkurang
- Badan terasa letih
O/
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Tekanan darah : 128/75 mmHg
- Nadi : 86x/menit
- Nafas : 22x/menit
- Suhu : 36,4 ºC
- Skala nyeri :4

27
Status lokalisata
- Inspeksi : WSD terpasang, Jejas (+)
- Palpasi : taktil fremitus melemah. Nyeri tekan (+)
- Perkusi : kanan hipersonor, kiri sonor
- Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah, Rh (-/-), Wh (-/-)
A/
Post pasang WSD hari I e.c Pneumothoraks dekstra
P/
- IVFD RL 500cc 20 tpm
- O2 nasal kanul 3 L/mnt
- WSD  undulasi (+), bubble (+)
- Posisi semi fowler
- Inj ketorolac 2x1 amp (iv)
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)
- Diet MB
- Rontgen thorak serial 

 Jum’at, 01/09/2021

28
S/
- Nyeri bekas luka pemasangan WSD
- Sesak (-)
 O/
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 86x/menit
- Nafas : 20x/menit
- Suhu : 37ºC
- Skala nyeri :3
Status lokalisata
- Inspeksi : WSD terpasang, Jejas (+)
- Palpasi : taktil fremitus sama kiri dan kanan
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : suara nafas vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
A/
Post pasang WSD hari I e.c Pneumothoraks dekstra
P/
- IVFD RL 500cc 20 tpm
- WSD  undulasi (+) minimal, bubble (-)
- Posisi semi fowler
- Inj ketorolac 2x1 amp (iv)
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)
- Diet MB
- WSD dilepas 22.00 wib  undulasi (-), bubble (-)

 Sabtu, 02/09/2021
S/
- Nyeri bekas luka pemasangan WSD berkurang

29
- Sesak (-)
O/
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 90x/menit
- Nafas : 20x/menit
- Suhu : 36,2ºC
- Skala nyeri :3
Status lokalisata
- Inspeksi : WSD terpasang, Jejas (+)
- Palpasi : taktil fremitus sama kiri dan kanan
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : suara nafas vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
A/
Post pasang WSD hari I e.c Pneumothoraks dekstra
P/
- Pasien Acc rawat jalan

30
BAB IV
KESIMPULAN

Pneumotoraks adalah kondisi adanya udara di rongga pleura. Kondisi ini


merupakan gangguan pernapasan yang relatif umum dan dapat terjadi dalam berbagai
penyakit dan pada individu dari segala usia. Pneumotoraks ditandai dengan dispnea
dan nyeri dada yang berasal dari paru-paru maupun dinding dada yang disebabkan
oleh adanya udara pada rongga pleura yang diikuti pecahnya bula. Klasifikasi
pneumotoraks berdasarkan penyebab dan gejala klinis yang timbul. Pneumotoraks
dapat dibagi menjadi spontan primer (PSP) dan sekunder (PSS), serta traumatik dan
iatrogenik.Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris.
Water Seal Drainage (WSD) atau “ Chest Tube “ adalah suatu tindakan
invasif dengan memasukkan kateter kedalam rongga pleura untuk mengeluarkan
cairan atau udara dari dalam rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif
rongga tersebut. Pemasangan WSD bertujuan untuk mengalirkan udara atau cairan
dari rongga pleura serta mengembalikan tekanan negative di rongga pleura.
Pemasangan WSD diindikasikan pada pasien dengan pneumothoraks, hematothoraks,
chylothoraks dan lain lain.

31
DAFTAR PUSTAKA

Syamsyuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu bedah ed 2. Jakarta: EGC;2010

Trauma Thorax. Available from: http://medlinux.blogspot.com/2008/06/trauma-


thorax.html.

Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia.2009. Diakses dari:


www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-I-
Umum.html.p:1
Rachmad K.B. Penanganan Trauma Toraks. Jakarta: Subbagian Bedah Toraks Bagian
Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM, 2002

Shield T.W. General Thoracic Surgery Ed 6. Lippincots William and Wilkins. 2015

32

Anda mungkin juga menyukai