Anda di halaman 1dari 20

13

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Hakikat Matematika

“Matematika adalah ilmu pengetahuan yang struktur dan hubungan-

hubungannya serta simbol-simbolnya diperlukan, matematika berkenaan dengan

ide-ide abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif .”

(Herlina, 2006: 14). Dan James (Karso,1976: 4) mengatakan bahwa “Matematika

adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-

konsep yang berhubungan lainnya dengan jumlah yang banyak”. Selain itu, Kline

(Karso,1976: 4) mengatakan bahwa “Matematika itu bukan pengetahuan yang

menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaannya itu

untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,

ekonomi, dan alam”. Kline (Lidinillah, 2008:14) juga menyatakan bahwa

Matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan

cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.

Johnson dan Rising (Karso,1976: 4) berpendapat bahwa: “matematika

adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis.” Menurut

mereka pula bahwa Matematika adalah pengetahuan struktur yang

terorganisasikan, sifat-sifat atau teori-teorinya dibuat secara deduktif berdasarkan

pada unsur-unsur yang didefinisikan atau tidak didefinisikan, aksioma-aksioma,

sifat-sifat atau teori-teori yang telah dibuktikan kebenarannya. “Matematika

adalah cara berpikir yang digunakan untuk memecahkan semua jenis persoalan di
14

dalam sains, pemerintah, dan industri serta bahasa lambang yang dipahami oleh

semua bangsa berbudaya di dunia.” (Lidinillah, 2008:14).

”Matematika timbul karena pikiran manusia yang berhubungan dengan

ide, proses, dan penalaran. Selain itu, matematika adalah ilmu pengetahuan yang

mempunyai aplikasi sangat luas pada aspek kehidupan sehari-hari yang harus

diselesaikan dengan matematika.” (Maulana,2009: 1).

Berdasarkan uraian-uraian tentang pengertian matematika di atas, dapat

disimpulkan bahwa matematika adalah kumpulan ide-ide yang

bersifat abstrak, dengan struktur-struktur deduktif, mempunyai peran

yang penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Matematika

dapat digunakan untuk memutuskan apakah suatu ide itu benar atau salah.

2.1.2. Pembelajaran Matematika di SD

Kalangan pendidik matematika serta pengamat masalah pendidikan

matematika berpendapat bahwa: ”pembelajaran matematika sekolah haruslah

bermakna, demikian juga harus mampu menunjukkan manfaat matematika dalam

memecahkan berbagai masalah kehidupan.” (Sabandar, dalam Maulana, 2009: 1).

Siswa sekolah dasar umumnya berusia antara 6 atau 7 tahun, sampai 12

atau 13 tahun. Menurut piaget (Heruman, 1 : 2007 ) “ siswa sekolah dasar berada

pada fase operasional konkret”. Kemampuan yang tampak adalah kemampuan

dalam proses berfikir untuk mengoprasikan kaidah-kaidah logika, meskipun

masih terikat dengan objek yang bersifat konkret. Dalam matematika, setiap
15

konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan,

agar mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat

dalam pola pikir dan pola tindakannya.

Konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga

kelompok besar yaitu, penanaman konsep dasar, pemahaman konsep, dan

pembinaan keterampilan. Tujuan akhir dari pembelajaran matematika di SD ini

yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam

kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, untuk menuju tahap keterampilan tersebut

harus melalui langkah-langkah yang benar sesuai dengan kemampuan dan

lingkungan siswa.

Berikut ini adalah konsep-konsep matematika (Heruman, 3 : 2007) :


a. Penanaman konsep dasar, yaitu pembelajaran suatu konsep baru
matematika, ketika siswa belum pernah memahami konsep tersebut.
b. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep,
yang bertujuan agar siswa lebi memahami suatu konsep matematika.
c. Pembinaan keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman
konsep dan pemahaman konsep. Yang bertujuan agar siswa lebih terampil
dalam menggunakan berbagai konsep matematika.

Keberhasilan siswa dalam belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor baik

secara internal maupun eksternal. Ruseffendi (Maulana, 2009: 3) mengemukakan

bahwa:” Dari sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam

belajar adalah cara penyajian materi.” Materi yang disajikan sebisa mungkin dapat

membuat siswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa

untuk menyenangi materi dan merasa butuh terhadap materi tersebut. Penyajian

materi yang membuat siswa jenuh membuat siswa kurang menyukai matematika

sehingga pandangan bahwa matematika itu sulit dan abstrak masih melekat pada

siswa. Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak guru
16

matematika yang mengajarkan materi semata-mata karena harus melunasi tagihan

kurikulum. Oleh karena itu, guru hanya menyampaikan pengetahuan yang telah

mereka siapkan kepada para siswanya, kemudian memberikan tes untuk

mengetahui keberhasilan guru mengajar maupun keberhasilan siswa belajar.

Tanpa mengetahui apakah materi pelajaran tersebut bermakna dan bermanfaat

bagi siswanya atau tidak.

Berdasarkan uraian di atas, guru harus menyajikan materi sebaik mungkin

dan menjadikan pembelajaran matematika itu menyenangkan dan bermakna bagi

kehidupan siswa sehingga tidak ada lagi kesan pembelajaran matematika yang

sangat membosankan dan tidak disukai siswa, karena sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan belajar siswa.

2.1.3. Teori Pembelajaran Matematika

Beberapa teori belajar matematika yang diambil dan digunakan dalam

pembelajaran matematika di SD dengan menggunakan alat peraga adalah teori

Jean Piaget, Jerome S. Bruner, dan Richard Skemp.

1. Teori Pembelajaran Piaget


Piaget (Pitadjeng, 2006: 28) berpendapat sebagai berikut.
’Perkembangan siswa dalam belajar matematika melalui empat tahap, yaitu:
tahap konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak. Siswa SD berumur
sekitar 6-12 tahun dan ini berada pada periode operasi konkret. Pada periode
ini siswa membutuhkan bantuan manipulasi fisik objek-objek konkret atau
pengalaman-pengalaman yang langsung dialaminya untuk berpikir abstrak.
Sedangkan pada tahap semi konkret sudah tidak perlu memanipulasi objek-
objek konkret lagi, tetapi cukup dengan gambaran dari objek yang dimaksud.
Kegiatan yang dilakukan siswa pada tahap semi abstrak adalah
memanipulasi/melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berpikir
abstrak. Selanjutnya pada tahap abstrak siswa sudah mampu berpikir secara
17

abstrak dengan melihat lambang/simbol atau membaca/mendengar secara


verbal tanpa kaitan dengan objek-objek konkret.’

2. Teori Pembelajaran Bruner


Bruner (Pitadjeng, 2006: 29) melukiskan perkembangan mental siswa
melalui tiga tahap, yaitu:
a Tahap enaktif, yaitu siswa menggunakan atau memanipulasi objek-objek
konkret secara langsung. Misalnya untuk memahami konsep operasi
penjumlahan bilangan bulat, anak memerlukan pengalaman bahwa suatu
bilangan bulat jika dijumlahkan dengan lawannya maka hasilnya sama
dengan nol. (a + (-a) = 0). Contoh : 2 + (-2) = 0, maka siswa mengambil
dua buah benda yang mewakili bilangan bulat positif dan mengambil dua
buah benda yang mewakili bilangan bulat negatif.
Kemudian memasangkannya dan setiap benda yang sudah berpasangan
(benda yang mewakili bilangan bulat positif dengan benda yang
mewakili bilangan bulat negatif) bernilai nol.
b Tahap ikonik, yaitu siswa tidak memanipulasi langsung objek-objek
konkret seperti pada tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi
dengan memakai gambaran dari objek-objek yang dimaksud. Misalnya:

+ =
Gambar 2.1
Styrofoam sebagai objek konkret penjumlahan bilangan bulat

c Tahap simbolik, yaitu siswa memanipulasi simbol-simbol secara


langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek.
Misalnya, 2 + (-2) = 2 – 2 = 0

3. Teori Pembelajaran Skemp

Menurut Richard Skemp (Pitadjeng, 2006:36), anak belajar matematika

melalui dua tahap, yaitu: Tahap pertama adalah tahap konkret dimana anak

memanipulasi bendabenda konkret untuk dapat menghayati ide-ide abstrak. Tahap

kedua adalah tahap abstrak. Pengalaman awal berinteraksi dengan benda konkret

ini akan membentuk dasar bagi belajar selanjutnya, yaitu pada tahap abstrak atau

tahap kedua.
18

Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran

matematika itu membutuhkan benda-benda konkret sebagai ”jembatan keledai”

untuk memahami materi matematika yang abstrak. Dengan alat peraga, siswa

berangkat dari hal yang abstrak dan kemudian diterjemahkan kesesuatu yang

konkret. Hal ini pun disesuaikan dengan perkembangan siswa dalam rentang usia

6-12 tahun yang masih dalam tahap operasi konkret.

4. Bilangan Bulat

a. Pengertian Bilangan Bulat

”Dalam bahasa Internasional, bilangan bulat disebut Integer, dengan

lambang “Z” (dari bahasa Jerman, Zahlen). Dengan demikan, himpunan yang

unsur-unsurnya semua bilangan bulat disebut himpunan bilangan bulat, ditulis B =

{…, -4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, …}’ (Maulana, 2008: 180). Jadi bilangan bulat

adalah semua bilangan cacah dengan semua lawan bilangan asli atau bilangan

bulat terdiri dari bilangan bulat positif, nol, dan bilangan bulat negatif. Menurut

Maulana (2008) bahwa;” bilangan bulat tidak positif belum tentu bilangan bulat

negatif, karena mungkin merupakan bilangan bulat nol begitu pun sebaliknya’.

Dengan kata lain bilangan cacah merupakan bilangan bulat tidak negatif (non-

negative integer).

b. Operasi dalam Bilangan Bulat

”Dalam Ensiklopedia Matematika, operasi diartikan suatu pengerjaan.”

(Herlina, 2000: 19). Operasi yang dimaksud adalah operasi hitung atau pengerjaan

hitung. Lebih lanjut Ruseffendi (Herlina 2006: 19) mengatakan bahwa: “Apabila
19

ada kata operasi hitung atau pengerjaan hitung, maksudnya sama yaitu salahsatu

dari beberapa atau semua dari penjumlahan, pengurangan, perkalian dan

pembagian serta operasi hitung lainnya”.

Dalam matematika dikenal empat operasi hitung dasar yaitu penjumlahan,

pengurangan, perkalian dan pembagian. Operasi bilangan bulat adalah operasi

yang dilakukan terhadap bilangan bulat. Dalam penelitian ini hanya membahas

operasi penjumlahan bilangan bulat saja. Perlu diingat bahwa dalam suatu operasi

penjumlahan bilangan bulat, jika bilangan bulat negatif yang lebih besar maka

hasilnya pun akan bernilai negatif, dan sebaliknya.

5. Media Pengajaran

Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari

medium yang secara khusus artinya adalah perantara atau pengantar. Makna

umumnya adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber

informasi kepada penerima informasi. “Kata media sangat popular dalam bidang

komunikasi, sehingga media yang digunakan dalam proses pembelajaran disebut

media pengajaran.” (M. Basyirudin, dalam Ninasari, 2008: 8).

a. Pengertian Media Pengajaran

Komunikasi memegang peranan penting dalam proses pembelajaran.

Komunikasi antara guru dan siswa agar berlangsung baik dan informasi yang

disampaikan guru dapat diterima oleh siswa, salahsatu usaha yang dilakukan yaitu

dengan menggunakan media pengajaran. Menurut Mc Luhan (Wibawa, 1993: 7)

seorang ahli komunikasi, “media adalah semua saluran pesan yang dapat

digunakan sebagai sarana komunikasi dari seseorang ke orang lain yang tidak ada
20

dihadapannya.” Menurutnya media komunikasi itu meliputi surat, televisi, film,

dan telepon. Seorang profesor dalam bidang teknologi pendidikan dari Syracuce

University, Romiszowski (Wibawa, 1993: 8) memberikan pendapat bahwa:

“media adalah pembawa pesan yang berasal dari suatu sumber pesan (yang dapat

berupa orang atau benda) kepada penerima pesan.” Dalam proses belajar-

mengajar, penerima pesan itu ialah siswa sedangkan pembawa pesan (media)

maksudnya adalah berinteraksi dengan siswa melalui indera mereka. Siswa

dirangsang oleh media untuk menggunakan beberapa inderanya untuk menerima

informasi. Amir Hamzah (Herlina, 2006: 21) mengatakan bahwa: “Media

pendidikan adalah alat-alat yang dapat dilihat dan didengar untuk membuat cara

berkomunikasi menjadi efektif”

Dari beberapa pendapat mengenai media pengajaran di atas dapat

disimpulkan bahwa media pengajaran adalah segala sesuatu (orang atau benda)

yang dapat menyampaikan pesan (isi pengajaran) dari guru kepada siswa dengan

melibatkan beberapa indera. Media pengajaran merupakan perantara dalam rangka

mempermudah mencapai tujuan pembelajaran.

b. Peran dan Kegunaan Media Pengajaran

Media pengajaran memiliki peran yang penting dalam proses

pembelajaran. Menurut Wibawa (1993: 8) “ Media dapat digunakan dalam proses

belajar-mengajar dengan dua arah cara , yaitu sebagai alat bantu mengajar

(dependent media) dan media belajar yang dapat digunakan sendiri oleh siswa

(independent media).”
21

Efektivitas media sebagai alat bantu mengajar (dependent media) sangat

tergantung pada cara dan kemampuan guru yang memakainya. Misalnya, sebuah

transparansi yang digunakan guru untuk menerangkan suatu konsep. Jika guru

dapat memanfaatkannya dengan baik maka siswa akan memahami konsep yang

sedang dipelajari dari bantuan transparansi tersebut. Akan tetapi, jika guru tidak

dapat memanfaatkan transparansi tersebut dengan baik maka siswa hanya

menonton apa yang diperlihatkan oleh guru.

Media pengajaran yang dapat digunakan oleh siswa dalam kegiatan belajar

mandiri (independent media) harus dirancang, dikembangkan, dan diproduksi

secara sistematik, serta dapat menyalurkan informasi secara terarah untuk

mencapai tujuan pembelajaran. Keuntungan dari independent media ini

diantaranya: (a) guru mempunyai lebih banyak waktu untuk membantu siswa

yang lemah, sementara siswa sibuk belajar sendiri, guru dapat membantu siswa

yang membutuhkannya; (b) siswa akan belajar secara aktif; dan (c) siswa dapat

belajar sesuai dengan cara mereka masing-masing.

Oleh karena itu, media pengajaran sangat penting untuk memudahkan

pelaksanaan proses pembelajaran terutama ketika menyampaikan konsep

pembelajaran matematika yang dianggap sulit untuk dipahami oleh siswa. Peran

media pengajaran dapat sebagai alat bantu mengajar dan sebagai media belajar

yang dapat digunakan sendiri oleh siswa.

c. Klasifikasi Media Pengajaran

Ada beberapa pendapat mengenai pengklasifikasian media pengajaran.

Menurut Bretz (Wibawa, 1993: 21) media pengajaran digolongkan menjadi 7


22

kelas, yaitu media audio visual gerak, media audio visual diam, media audio semi

gerak, media visual gerak, media visual diam, media audio, dan media cetak.

Dilihat dari jenisnya, media dibagi menjadi beberapa bagian oleh Moh. Uzer

Usman (Ninasari, 2008: 8), yaitu:

Media audio, yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja,

seperti radio, cassette recorde, dan piringan audio. Media ini tidak cocok untuk

tunarungu.

1) Media visual, yaitu media yang hanya mengandalkan indera penglihatan.

Media ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film rangkai, slides

(film bingkai) foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Ada pula media

visual yang menampilkan gambar diam seperti film bisu dan film kartun.

2) Media audio-visual, yaitu media yang mempunyai unsur suara dan unsur

gambar. Media ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu media audio-visual

diam dan media audio-visual gerak.

3) Media audio-visual diam yaitu media yang menampilkan suara dan gambar

diam seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan cetak

suara, sedangkan media audio-visual gerak yaitu media yang dapat

menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan

video-cassete.

Dari kedua pendapat penggolongan media pengajaran di atas, secara

umum media pengajaran dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam yaitu media

audio (contoh: radio), media visual (contoh: gambar), dan media audio visual

(contoh: televisi).
23

6. Alat Peraga

Secara alamiah, anak selalu berhadapan dengan masalah karena sebagian

besar yang dihadapinya adalah hal yang baru. Sesuai dengan tahap

perkembangannya, anak mengatasi dan memecahkan masalah melalui aktivitas

yang berinteraksi langsung dengan benda-benda atau lingkungan secara nyata.

Oleh karena itu, masalah anak untuk memahami pelajaran matematika

memerlukan benda-benda nyata sebagai alat peraga.

a. Pengertian Alat Peraga

Media pengajaran berupa peralatan yang efektif digunakan agar siswa

turut terlibat secara aktif adalah alat peraga. Alat peraga tidak hanya membantu

memahami suatu konsep tetapi juga sebagai media memecahkan masalah yang

dihadapinya. Russer (Lidinillah, 2008: 1) mengutarakan bahwa:

Children are active individuals who genuinely construct and modify their

mathematical knowledge and skills through interacting with the physical

environment, materials, teachers, and other children. Maksudnya, anak

cenderung akan lebih aktif dalam membangun dan meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan matematikanya dengan menggunakan alat peraga selama

aktivitas belajar baik secara formal maupun saat bermain bebas.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (Ninasari,2008: 4) bahwa ‘Alat

peraga adalah alat untuk menerangkan atau mewujudkan konsep matematika.’

Benda-benda itu misalnya batu-batuan dan kacang-kacangan untuk menerangkan

atau mewujudkan konsep bilangan; kubus (bendanya) untuk menjelaskan konsep

titik, ruas garis, daerah bujur sangkar, dan wujud dari kubus itu sendiri; benda-
24

benda seperti cincin, gelang, permukaan gelas, dan sebagainya untuk

menerangkan konsep lingkaran.

Menurut Nasution (Herlina, 2006: 21) “Alat peraga adalah alat pembantu

dalam mengajar agar efektif”. Alat peraga merupakan salahsatu dari media

pendidikan yang membantu membantu proses belajar-mengajar agar proses

komunikasi dapat berhasil dengan baik dan efektif.’ Aristo Rohadi

(Ninasari,2008: 4) berpendapat bahwa: “alat peraga adalah alat (benda) yang

digunakan untuk memeragakan fakta, konsep, prinsip, atau prosedur tertentu agar

tampak lebih nyata atau konkret”. Sedangkan L.L. Pasaribu dan B. Simanjuntak

berpendapat bahwa’ alat peraga yaitu alat untuk membantu pengajar

menyampaikan pengetahuan dan mengalihkan keterampilan’.

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alat peraga merupakan

segala sesuatu yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran sebagai alat

komunikasi untuk menyampaikan informasi yaitu sebuah konsep agar efektif dan

melibatkan banyak indera sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar

pada diri siswa.

b. Fungsi Manfaat Alat Peraga

Menurut Ninasari (2008: 6) ada beberapa fungsi atau manfaat dari

penggunaan alat peraga dalam pengajaran matematika, di antaranya:

1) Dengan adanya alat peraga, siswa akan lebih banyak mengikuti

pembelajaran dengan gembira, sehingga minatnya dalam mempelajari

matematika semakin besar.


25

2) Dengan disajikannya konsep abstrak matematika dalam bentuk konkret,

maka siswa pada tingkat-tingkat yang lebih rendah akan lebih mudah

memahami dan mengerti.

3) Alat peraga dapat membantu daya tilik ruang, karena tidak membayangkan

bentuk-bentuk geometri terutama bentuk geometri ruang, sehingga dengan

melalui gambar dan benda-benda nyata akan terbantu daya tiliknya dan

lebih berhasil dalam belajarnya.

4) Siswa akan menyadari adanya hubungan antara pengajaran dengan benda-

benda yang ada di sekitarnya, atau antara ilmu dengan alam sekitar dan

masyarakat.

5) Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkret, yaitu dalam

bentuk model matematika dapat dijadikan objek penelitian dan dapat pula

dijadikan alat untuk penelitian ide-ide baru dan relasi-relasi baru.

c. Manfaat Alat Peraga Dalam Pembelajaran Bilangan Bulat

Ada beberapa alat peraga yang dapat digunakan untuk menggambarkan

secara konkret proses perhitungan pada bilangan bulat, di antaranya adalah alat

peraga yang terbuat dari styrofoam berbentuk setengah kapsul yang terdiri dari

dua warna, yaitu kuning dan hitam. Styrofoam warna kuning mewakili bilangan

bulat positif sedangkan styrofoam warna hitam mewakili bilangan bulat negatif.

Alat peraga ini digunakan untuk membantu siswa memahami penjumlahan

dan pengurangan bilangan bulat dengan menggunakan pendekatan konsep

himpunan. Sesuai konsep pada himpunan, kita dapat “Menggabungkan” atau


26

“Memisahkan” dua himpunan yang dalam hal ini anggotanya berbentuk

styrofoam. Bentuk styrofoam ini dapat berupa bangun setengah kapsul yang

apabila sisi diameternya dihimpitkan atau digabungkan akan membentuk kapsul

utuh. Bentuk alat peraga ini juga dapat dimodifikasi ke dalam bentuk-bentuk lain

asal sesuai dengan prinsip kerjanya. Dalam alat peraga ini, bilangan nol

diperlihatkan oleh dua buah styrofoam dengan berbeda warna yang dihimpitkan

pada sisi diameternya, sehingga terbentuk kapsul utuh. Bentuk netral digunakan

pada saat melakukan operasi pengurangan a - b dengan b lebih besar dan a atau b

merupakan bilangan negatif. Selain itu, bentuk netral pun digunakan jika dalam

penjumlahan bilangan bulat dengan lawan bilangannya. Dalam konsep himpunan,

“operasi gabung” atau proses penggabungan dapat diartikan sebagai penjumlahan,

dan “proses pemisahan” atau “pengambilan” dapat diartikan sebagai pengurangan.

Berarti kalau kita menggabungkan sejumlah styrofoam ke dalam kelompok

styrofoam lain, maka sama halnya dengan melakukan penjumlahan. Karena dalam

penelitian ini dibatasi hanya operasi penjumlahan bilangan bulat saja, maka proses

penggunaan alat peraga pun hanya dalam penjumlahan bilangan bulat saja.

Beberapa hal yang harus dijalankan dalam melakukan proses penjumlahan

adalah sebagai berikut ini.

1. Jika a dan b kedua-duanya merupakan bilangan positif atau bilangan

negatif, maka gabungan sejumlah styrofoam ke dalam kelompok styrofoam

lain yang berwarna sama. Contoh: (-3) + (-5) = …

a) Tempatkan 3 buah styrofoam yang berwarna hitam ke papan atau meja.

Lihat gambar di bawah ini.


27

Gambar 2.2

Proses Awal Penjumlahan (-3) + (-5) = ...

b) Gabungkan atau tambahkan ke dalam papan 5 buah styrofoam yang juga

berwarna hitam. Lihat Gambar 2.3 pada halaman 28.

Gambar 2.3

Proses Akhir Penjumlahan (-3) + (-5) =...

c) Setelah proses penggabungan, maka terlihat ada 8 buah styrofoam

berwarna hitam. Jadi (-3) + (-5) = -8

Gambar 2.4

Hasil Penjumlahan (-3) + (-5) =...


28

2. Jika a bilangan positif dan b bilangan negatif atau sebaliknya, maka

gabungkan sejumlah styrofoam yang mewakili positif ke dalam kelompok

styrofoam yang mewakili bilangan negatif.

Selanjutnya,lakukan proses pemetaan (penghimpitan) antara dua kelompok

tersebut agar ada yang menjadi Kapsul utuh. Tujuannya adalah untuk

mencapai sebanyak-banyaknya kelompok styrofoam yang bernilai nol.

Biasanya setelah proses pemetaan dilakukan, akan menyisakan styrofoam

dengan warna tertentu yang merupakan hasil dari penjumlahannya.

Contoh: 2 + (-4) = …

1) Tempatkan 2 buah styrofoam yang berwarna kuning ke papan atau meja.

Gambar 2.5

Proses Awal Penjumlahan (2) + (-4) =...

2) Gabungkan atau tambahkan ke dalam papan 4 buah styrofoam yang

berwarna hitam.

Gambar 2.6

Proses Akhir Penjumlahan (2) + (-4) =...


29

3) Lakukan pemetaan antara styrofoam yang berwarna kuning dan hitam

sehingga membentuk Kapsul dan bernilai netral lalu keluarkan.

netral

netral

Gambar 2.7

Kapsul Bernilai Netral

4) Dari hasil pemetaan terlihat adanya 3 buah Kapsul penuh dan menyisakan

2 buah styrofoam yang berwarna hitam.

Jadi: 2 + (-4) = -2

Gambar 2.8

Hasil Penjulahan (2) + (-4) =...

Dengan menggunakan alat peraga kapsul lawan bilangan tersebut

insyaallah akan meningkatkan pemahaman, aktivitas, dan belajar siswa sampai

tingkat ketuntasan maksimum.

2.2. Penelitian Yang Relevan

Herlina (2006) melakukan penelitian eksperimen dengan menggunakan

alat peraga pada pengajaran operasi bilangan bulat pada pokok bahasan

penjumlahan dan pengurangan di kelas IV SD Negeri 3 tahun ajaran 2005/2006.

Alat peraga yang digunakan prosedurnya sama hanya saja ini terbuat dari manik-
30

manik yang berwarna kuning (mewakili bilangan bulat negatif) dan biru

(mewakili bilangan bulat positif). Hasil analisis deskriptifnya menunjukkan

bahwa prestasi belajar matematika pada materi penjumlahan dan pengurangan

bilangan bulat siswa kelas IV SD Negeri 3 Katobu yang diajar dengan

menggunakan alat peraga lebih tinggi nilai hasil belajarnya dibandingkan dengan

yang diajar tanpa menggunakan alat peraga. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa pengajaran dengan menggunakan alat peraga lebih efektif jika

dibandingkan dengan pengajaran tanpa menggunakan alat peraga.

Mujtahidah (2009) seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Gresik

melakukan penelitian deskriptif tentang penggunaan media balok kayu dalam

operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat di kelas IV MI Nurul Islam

Pongangan Manyar Gresik. Hasil yang diperoleh pada penelitiannya menunjukkan

bahwa sebesar 79,4% siswa aktif dalam pembelajaran, nilai yang diperoleh guru

dalam pembelajaran matematika sebesar 82,3, ketuntasan belajar siswa mencapai

85,3%, serta respon siswa dinyatakan positif dengan hasil sebesar 89,3% pada

pembelajaran matematika dengan menggunakan media balok kayu di kelas IV MI

Nurul Islam Pongangan Manyar Gresik.

Sutejo (2008) melaksanakan penelitian kelas dengan judul penelitian

”Penggunaan Media Kartu Warna untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep

Operasi Pengurangan Bilangan Bulat Negatif pada Siswa Kelas IV SDN Heuleut

II Kecamatan Leuwimunding Kabupaten Majalengka. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa dengan penggunaan media Kartu Warna di kelas IV SDN

Heuleut II Kecamatan Leuwimunding Kabupaten Majalengka dalam pembelajaran


31

operasi pengurangan bilangan bulat negatif dapat meningkatkan kualitas proses

pembelajaran dan mempertinggi proses interaksi dengan siswa ketika dalam

kegiatan belajar-mengajar. Selain itu, meningkatkan kemampuan siswa dalam

menyelesaikan operasi pengurangan bilangan bulat negatif, dengan rata-rata kelas

yang semula sebelum menggunakan media kartu warna 5,52 atau 55,2 % menjadi

7,55 atau 75,5% setelah menggunakan media Kartu Warna.

Susilawati (2008) melakukan PTK dengan judul penelitian ”Penggunaan

Alat Peraga Otelo dalam upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa pada Operasi

Hitung Pengurangan Bilangan Bulat di Kelas IV SDN Cibodas I Kecamatan

Tanjungkerta Kabupaten Sumedang”. Masalah yang ditelitinya adalah

kemampuan siswa dalam memahami operasi pengurangan bilangan bulat. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam operasi hitung

pengurangan bilangan bulat dengan alat peraga Otelo di kelas IV SDN Cibodas I

Kecamatan Tanjungkerta Kabupaten Sumedang sebelum tindakan dilaksanakan

hasil tes pemahamannya rata-rata 36,2%. Setelah dilaksanakan dengan

menggunakan alat peraga Otelo pada siklus I rata-ratanya menjadi 41,4%, siklus II

56,7%, dan siklus III 70,9%, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat

peraga Otelo untuk meningkatkan kemampuan siswa pada operasi hitung

pengurangan bilangan bulat di kelas IV SDN Cibodas I Kecamatan Tanjungkerta

Kabupaten Sumedang berhasil dengan baik.

Dari beberapa hasil penelitian di atas yang menggunakan alat peraga

sebagai solusi dari berbagai masalah materi operasi bilangan bulat, maka diduga
32

dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan pemahaman siswa pada

materi operasi penjumlahan bilangan bulat.

2.3. Kriteria Penilaian

1. Kriteria Penilaian Pemahaman Siswa

2. Kriteria Penilaian Pemahaman Aktifitas Siswa

3. Kriteria Penilaian Pemahaman Hasil Belajar Siswa

2.4. Kerangka Berfikir

Bagia PTK dimodifikasi dengan manfaat alat peraga.

Anda mungkin juga menyukai