Anda di halaman 1dari 43

Agraria dan Sumber Daya Alam dalam Pengaturan Hukum

Agraria . Bachriadi dan Wiradi melihat “agraria” sebagai wilayah


pertanian, atau sepetak sawah yang di dalamnya terdapat
tanaman, air, mineral dan pemukiman. Pengertian ini
menunjukkan bahwa “agraria” mengandung makna yang lebih
luas dibandingkan istilah pertanahan. Soesangobeng
membedakan antara hukum pertanahan dengan hukum agraria.
Menurutnya, hukum pertanahan memuat filosofi, asas, ajaran dan
teori tentang norma-norma dasar pertumbuhan serta perolehan
hak kepemilikan tanah sebagai benda yang menjadi objek harta
kekayaan. Dalam UUPA disebutkan bahwa objek yang diatur oleh
hukum agraria di Indonesia meliputi: “bumi, air, udara/ruang
angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
pemukaan tanah dan di dalam perut bumi”. Ditinjau dari wujudnya
secara fisik, objek hukum itu dapat berupa tanah, air, udara,
mineral dan energi, serta seluruh jenis tumbuhan dan binatang,
termasuk yang berbentuk mikro-organisme. Seiring dengan telah
dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, maka secara subtansial istilah “agraria” dan “sumber
daya alam” mempunyai hubungan yang sangat erat. Sehingga
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam
merupakan pekerjaan yang saling terkait dan berhubungan
karena keduanya bertujuan untuk mencapai kemakmuran
bersama, kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan. Jika
dikaitkan dengan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam
bagi kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan, maka tinjauan
terhadap sumber daya alam (SDA) dapat dilihat dari dua sisi,
yakni: Pertama, hubungan antara kelompok sosial dengan SDA,
dan hubungan antara manusia dengan berbagai wujud dari SDA.
Hubungan-hubungan tersebut sebenarnya adalah sifat
penguasaan manusia serta pemanfaatan SDA yang dicakup
dalam pengertian agraria. Kedua, hubungan yang terjadi secara
alamiah antar wujud SDA yang mempunyai manfaat untuk
memelihara integritas komunitas, habitat dan ekosistem biologis,
serta manfaat untuk menunjang proses ekologis biologis, serta
manfaat untuk menunjang proses ekologis yang penting seperti
pembentukan zat hara, arus penyerapan limbah, imigrasi satwa,
serapan dan aliran air, dan lain-lain. Hubungan-hubungan ini
terjadi dalam wilayah-wilayah yang secara alami terbentuk seperti
wilayah daerah aliran sungai, wilayah habitat hewan, wilayah
pesisir dan pulau kecil, dan lain-lain yang masing-masing
mempunyai kondisi dan karateristik tersendiri. Oleh karena itu,
penggunaan istilah agraria di sini lebih menukik pada
penguasaan dan pemanfaatan tanah yang menjadi wadah dari
keberadaan SDA lainnya. Sumber-sumber agraria merupakan
anugerah Tuhan YME yang fundamental dan vital untuk
kelangsungan kehidupan umat manusia. Hal ini bermakna bahwa
sumber-sumber agraria selain merupakan faktor produksi secara
ekonomi, juga sebagai landasan struktur sosial yang utama. Hal
ini bermakna bahwa dalam setiap sumber agraria selalu disertai
hubungan-hubungan agraria yang kompleks. Dalam hal ini, salah
satu persoalan mendasar yang perlu diperhatikan dalam
hubungan-hubungan agraria yang berlangsung adalah
penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria,
khususnya tanah. Kompleksitas hubungan-hubungan agraria
(khususnya penguasaan dan pemanfaatan tanah) karena bukan
hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah, melainkan
juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia. Kedua,
hubungan sebagai subjek agraria (masyarakat, negara dan
swasta) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses produksi sumber-sumber agraria.
Hubungan pertama disebut hubungan teknis agraria sedang yang
kedua disebut hubungan sosial agraria. Dari hubungan-hubungan
agraria di atas kemudian muncul pengaturan mengenai hak dan
kewajiban dari orang-orang atau kelompok orang yang terlibat di
dalamnya. Dengan demikian, hukum agraria pada hakekatnya
adalah suatu upaya untuk menciptakan keteraturan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan tanah, perairan, udara, ruang
angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
permukaan tanah dan di dalam perut bumi. Struktur Agraria .
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah
agraria sangatlah kompleks, yakni hubungan antara subyek-
subyek agraria dengan sumber–sumber agraria baik secara
teknis maupun secara sosial. Kompleksitas hubungan inilah yang
membentuk sebuah struktur agraria. Suatu struktur agraria
sesungguhnya menggambarkan hubungan yang terbangun dari
bentuk-bentuk penguasaan dan pemilikan tanah. Cohen
menggambarkan lebih jauh bahwa secara tradisional struktur
agraria dalam pemilikan tanah dibedakan ke dalam empat tipe,
yakni : 1) Tipe komunal Afrika. 2) Tipe penguasaan Asia, 3) Tipe
penguasaan tanah Amerika Latin, dan 4) Tipe Perkebunan. Pada
tipe Amerika Latin, meskipun terdapat pemilik-penggarap,
penyewa-penggarap dan penyakap tetapi bentuk perkebunan
yang disebut sebagai “latifindio” sangat dominan. Sedangkan
pada tipe perkebunan, merupakan pemilikan tanah dalam skala
luas yang dimiliki oleh pengusaha swasta baik asing maupun
domestik. Kini muncul bentuk-bentuk baru dari penguasaan
tanah, yakni tipe pertanian kapitalis modern yang tersebar luas.
Tipe lainnya yang kurang tersebar adalah pertanian koperasi dan
pertanian negara. Struktur agraria yang digambarkan di atas
secara konseptual, mengandung baik potensi konflik maupun
kerjasama. Konflik Agraria . Kata “konflik” mempunyai makna
lebih luas ketimbang kata “sengketa”. Sementara konflik agraria
didefinisikan sebagai perbedaan atau pertentangan orang atau
komunitas atas penguasaan maupun pengelolaan tanah dan
sumber daya alam. Menurut Wiradi, sebagai gejala sosial, konflik
agraria adalah suatu proses interaksi antara dua (atau lebih)
orang atau kelompok yang masingmasing pihak memperjuangkan
kepentingannya atas objek agraria. Dalam Naskah Akademik
KNuPKA , konflik agraria didefinisikan sebagai pertentangan
klaim antar satu pihak atau lebih mengenai penguasaan maupun
pengelolaan terhadap tanah dan/atau sumber daya alam lain
yang menyertainya. Situasi ini disebut konflik karena klaim tu
ditampilkan secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai
ekspresi dengan maksud menghilangkan klaim pihak lainnya.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan istilah
sengketa pertanahan, konflik pertanahan dan perkara
pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau
lembaga yang tidak berdampak luas secara sosiopolitis.
Penggunaan istilah “konflik agraria struktural” ini untuk
menjelaskan konflik agraria yang melibatkan penduduk setempat
atau kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak dengan
kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Menurut Noer Fauzi,
konflik agraria struktural adalah pertentangan klaim yang
berkepanjangan mengenai . suatu bidang tanah, sumber daya
alam (SDA), dan wilayah kepunyaan rakyat dengan badan usaha
raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur, produksi,
ekstraksi, dan konservasi; dan pihak-pihak yang bertentangan
tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak
menghilangkan klaim pihak lain. Menurut Dietz (1998), gejala
konflik dalam hubungan-hubungan agraria ini berakar pada
pertentangan klaim menyangkut tiga hal berikut: 1) siapa yang
berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam
yang menyertainya; 2) siapa yang berhak memanfaatkan
sumbersumber agraria dan kekayaan alam, dan 3) siapa yang
berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut. Sehingga
dalam rumusan lainnya dapat dikatakan bahwa gejala konflik
agraria pada dasarnya mencerminkan pertentangan klaim
mengenai: siapakah yang dapat memiliki, menggunakan, dan
mengelola, serta siapakah yang mengontrol akses atas sumber-
sumber agraria dan kekayaan alam dan siapakah yang
memperoleh manfaatnya. Sejauh mana skala kedalaman dan
keluasan konflik-konflik yang mengemuka pada dasarnya
cerminan dari seberapa akut problem struktural dalam hubungan-
hubungan agraria menyangkut pertentangan klaim atas
sumbersumber agraria ini.
B.
Ilustrasi teoritis yang telah digambarkan di atas bahwa sepanjang
sejarahnya sumber-sumber agraria selalu menjadi permasalahan
karena kedudukannya bukan hanya sebagai faktor produksi
penting bagi kehidupan umat manusia, tetapi juga mempunyai
makna sosial, politik, budaya dan religius. Dalam praktiknya
konflik agraria terjadi karena pada dasarnya terbangun suatu
hubunganhubungan agraria dan struktur agraria yang timpang
dan tidak adil. Ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik agraria
mengakibatkan konflik agraria terus mengalami peningkatan. Hal
ini seperti yang ditunjukkan oleh Resource Center KPA hingga
tahun 2001, telah melakukan perekaman atas 1.753 kasus konflik
agraria yang sifatnya struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang
terjadi (melibatkan) penduduk setempat di satu pihak yang
berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara.
Seluruh kasus yang terekam tersebut tersebar di 2.834
desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah
Kabupaten/Kota (lihat Tabel-1). Dilihat dari adanya kebijakan
publik yang menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus sengketa
dan/atau konflik tersebut, konflik yang paling tinggi intensitasnya
adalah yang terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan
besar (344 kasus). Luasan areal konflik pada tahun 2012 ini
mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915
kepala keluarga (KK) dalam konflik-konflik yang terjadi. Diagram
berikut ini memperlihatkan sebaran kasus konflik agraria di
Indonesia yang terjadi antara 2010-2012 berdasarkan laporan
KPA. Laporan KPA tidak jauh berbeda dengan yang dikeluarkan
oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) yang mencatat sepanjang
tahun 2011 total luasan lahan yang disengketakan mencapai
342.360 hektar dengan melibatkan 68.472 KK atau 273.888
orang tergusur dari tanahnya. Sementara Sawit Watch mencatat
konflik tanah khususnya yang terjadi di perkebunan kelapa sawit
mencapai 663 kasus di seluruh Indonesia. Pengusaha
menggunakan mereka untuk mengamankan perusahaan dari
tuntutantuntutan masyarakat atas tanah yang dikuasai
perusahaan. Masyarakat penuntut hak atas tanah kemudian
menjadi sasaran kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat
kepolisian. Sementara lembaga pemerintah seperti BPN maupun
lembaga negara seperti Komnas HAM memiliki catatan mengenai
jumlah konflik yang lain lagi. Ketidakjelasan tata ruang termasuk
penetapan kawasan hutan, sampai sikap pemerintah yang
seakanmembiarkan konflik, semakin memperburuk
keadaan.Perusahaanperusahaan masuk ke wilayah-wilayah
berpenghuni milik masyarakat adat atau lokal. Masyarakat
menjadi pihak yang paling banyak menanggung rugi. Maraknya
konflik agraria memperlihatkan keadaan masyarakat yang selama
ini mengalami ketiadaan akses bagi pemilikan, dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria khususnya tanah. Berdasarkan hasil
sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 37,7 juta
rumah tangga petani terdapat sekitar 36% yang dikategorikan
sebagai “absolute-landless”. Sedangkan rata-rata penguasaan
tanah oleh 24,3 juta rumah tangga petani yang dapat menguasai
tanah adalah 0,89 hektar per rumah tangga.
2. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang membagi peradilan
di bawah Mahkamah Agung ke dalam: lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara. Artinya, pengadilan khusus
tersebut dapat dibentuk pada lingkungan peradilan umum
atau peradilan agama, atau peradilan militer atau
peradilan tata usaha negara. Belakangan terdapat
sejumlah pengadilan khusus seperti didirikannya
pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM,
pengadilan pajak dan pengadilan tindak pidana korupsi.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa sejauh ini terlihat lebih
banyak sengketa yang tidak terselesaikan ketimbang yang
diselesaikan. Salah satu alasan mengapa rakyat tidak
memilih lembaga peradilan umum dalam menyelesaikan
konflik tanah mereka, karena selama ini lembaga
peradilan sangat jarang mengadili perkara konflik atau
sengketa agraria. Umumnya yang terjadi adalah proses
pengadilan terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang
dianggap sebagai tindakan kriminal ketika mereka
berusaha mempertahankan hak atau klaimnya. Manakala
kasus-kasus yang dianggap sebagai tindakan kriminal ini
dibawa ke pengadilan, biasanya anggota masyarakat
yang dituduh melakukan tindakan kriminal tersebut akan
mengemukakan klaimnya (haknya) atas tanah yang
disengketakan, atau kemudian melakukan gugatan
perdata kepada pihak yang dianggap menyerobot hak-hak
mereka. Sehingga pihak rakyat biasanya akan kalah
karena pada umumnya bukti-bukti pemilikan atau
penguasaan mereka atas tanah-tanah atau sumber-
sumber agraria yang disengketakan lemah jika dilihat dari
sudut hukum formal. Kasus yang sangat mencolok yang
dapat dikemukakan sebagai contoh adalah Kasus
Cimacan (pembangunan lapangan golf). Ini menunjukan
bahwa hakim-hakim pada pengadilan umum lemah dalam
segi penguasaan terhadap masalahmasalah agraria dan
lemah pengalamannya dalam hal penyelesaian sengketa
agraria yang dapat memenuhi rasa keadillan masyarakat.
Mengacu pada kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan
bahwa lembaga peradilan umum yang "diserahi" tugas
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa itu tidak
menunjukan kinerja yang baik sebagai sebuah institusi
yang bertugas dan berwenang untuk menjadi penentu
bagi keberlanjutan atau terputus atau berpindahnya
hubungan yang terjalin antara pihak-pihak yang
bersegketa dengan tanah yang disengketakan. Akibatnya
banyak masyarakat yang menggunakan jalur nonlitagasi
ketimbang pengadilan dalam menyelesaikan kasusnya.
Dalam setiap persoalan sengketa agraria tampak ada
"keengganan" dan "ketidakmampuan" dari lembaga
peradilan yang ada sekarang untuk memasuki wilayah
analisa perkara yang lebih besar yang terjalin dalam
hubungan sebab-akibat dengan persoalan awal yang
diajukan ke meja pengadilan. Padahal jika menengok
kepada sejumlah kasus-kasus sengketa agraria yang
muncul, nyaris tidak ada yang lepas dari persoalan politik
itu.41 . Sementara di sisi lain, ketika ada satu-dua proses
pengadilan sengketa agraria yang secara langsung masuk
ke dalam substansi persoalan sengketa agraria itu sendiri,
muncul persoalan lain yang juga memelorotkan wibawa
lembaga peradilan yang ada sekarang. memenangkan
rakyat yang bersengketa (bukan pihak lawannya) untuk
sebuah keadilan yang wilayah-wilayah keputusan tersebut
berada di dalam wilayah-wilayah politik. Dengan kata lain,
lembaga peradilan yang ada sekarang ketika sudah
memasuki wilayah substansi sengketa agraria itu sendiri
dan dengan sendirinya sudah masuk ke dalam dimensi
politik dari persoalan-persoalan agraria tidak memiliki
keberanian untuk independen dan melahirkan keputusan
akhir yang mengalahkan entitas politik yang lebih
berkuasa (powerful) yang sedang bersengketa dengan
rakyat demi sebuah keadilan yang memang sudah
semestinya.
3. Konflik agraria yang meluas dengan segala dimensi dan
implikasinya, menunjukkan kelemahan komitmen politik
pemerintah dalam melakukan perombakan struktur agraria yang
timpang dan tidak adil. Di sisi lain, berbagai kegagalan
berfungsinya lembaga-lembaga peradilan yang ada tersebut perlu
dicarikan solusi untuk menyelesaikan konflik agraria yang muncul
secara adil dan mementingkan aspirasi rakyat kecil. Dasar
pemikiran penyelesaian sengketa pertanahan secara perdata
adalah bahwa tanah sebagai objek hukum merupakan barang
tidak bergerak yang secara khusus sudah diatur dalam UUPA
beserta peraturan pelaksanaannya. Sebagaimana diketahui
bahwa sejak berlakunya UUPA, segala ketentuan mengenai
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam buku II KUHPerdata dicabut kecuali kententuan mengenai
hipotik. Sehingga secara prinsipil, KUHPerdata berubah total
hanya mengatur masalah barang yang bergerak. Manakala
sengketa pertanahan atau agraria hanya dijadikan bagian dari
penyebab terjadinya tindak pidana atau hanya sekedar menjadi
persoalan perdata.Makna tanah sebagai sumber kehidupan yang
memiliki dimensi sosial-politik-ekonomi-religius menjadi hilang.
Padahal keempat ciri ini tidak pernah lepas dari kehidupan
masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan tanah dan/atau
sumbersumber agraria lainnya. Sengketa-sengketa agraria yang
saat ini terjadi dan masih terus terjadi sudah turut membantu
menguak sisi gelap hubungan ketatanegaraan di Indonesia
selama masa Orde Baru. Sehingga penciptaan lembaga
peradilan agraria yang independen bisa menjadi pintu masuk
untuk memperbaiki sisi gelap hubungan tertsebut. Jadi,
sesungguhnya agenda menegakkan Peradilan Agraria yang
independen bukan hanya sebuah agenda untuk menyelesaikan
persoalanpersoalan sengketa agraria dengan cara yang lebih adil
dan beradab, tetapi juga merupakan bagian dari agenda untuk
menciptakan perubahan sistem dan kultur politik di Indonesia
yang dicengkeram oleh kekuasaan otoritarian lembaga eksekutif.
Dengan kata lain, agenda yang lebih besar dari menegakkan
lembaga Peradilan Agraria yang independen adalah bagian
penting dalam menegakkan kehidupan demokrasi yang
bersumber dari kepentingan rakyat di Indonesia.

BAB 3
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 . Sesuai dengan
amanat UUD NRI 1945 , Pemerintah Negara Indonesia dibentuk
dengan tujuan “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Manifestasi yang
sekaligus sebagai instrumen perwujudan dari tujuan negara dan
dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut
tercantum dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Negara Indonesia
adalah negara hukum. (3) Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-
undang. Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang. Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. TAP MPR No. IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan . 2001 menetapkan Ketetapan
MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR ini adalah hasil dari
perjuangan yang terus-menerus pasca dari para pegiat agraria
yang menginginkan terlaksananya reforma agraria di Indonesia.
Ia dianggap titik puncak produk peraturan perundangan di bawah
konstitusi yang diharapkan dapat mendorong percepatan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. MPR
yang masih tetap berlaku sampai terlaksananya semua ketentuan
dalam ketetapan tersebut (Pasal 4 angka 11). Perundang-
undangan, TAP MPR kembali ada dalam tata urutan
perundangundangan. Selama ditetapkan, TAP MPR ini belum
pernah benar-benar dilaksanakan. Konflik agraria, sektoralisme,
tumpang tindih perundangundangan dibidang sumber daya alam,
dan kebijakan yang pro kapital menghiasi pengelolaan sumber
daya alam di Indonesia. IX/MPR/2001 ini lebih didorong adanya
kesadaran bahwa: . a. sumberdaya agraria dan sumberdaya alam
sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia, merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. b.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai
tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi
pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai
persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-
ekonomi rakyat serta kerusakan sumberdaya alam. c.
pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang
berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik. d. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling
tumpang tindih dan bertentangan. e. pengelolaan sumberdaya
agraria dan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan, dan
ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi,
terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta
masyarakat, serta menyelesaikan konflik. f. untuk mewujudkan
cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen
politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah
bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang
adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Materi pengaturan
yang terkandung dalam Tap MPR No. agraria dan pengelolaan
sumberdaya alam. b. Pasal 2: Pembaruan agraria mencakup
suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan
dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. c. Pasal 3:
Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut
dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan
ramah lingkungan. d. Pasal 4: Negara mengatur pengelolaan
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar- besar
kemakmuran rakyat. l. melaksanakan desentralisasi berupa
pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah rovinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan
alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya
alam. Pasal 6: . a. Melakukan pengkajian ulang terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi
terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada prinsipprinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk
rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. c.
Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi
dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform. d. Menyelesaikan konflik-konflik
yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama
ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum
dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
Pasal 5 Ketetapan ini. e. Memperkuat kelembagaan dan
kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan
pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang
berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi. f.
Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya
agraria yang terjadi. a. Melakukan pengkajian ulang terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. b. Mewujudkan
optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya
alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional. c.
Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional. d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai
jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya
meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam
tersebut. a. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan
sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan
atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang
didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan
kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional. g. Pasal 7:
Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini
sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak
sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah,
dan/atau diganti. h. Pasal 8: Menugaskan kepada Presiden
Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta
melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria . Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria . Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya (termasuk
perekonomiannya), masih bercorak agraria, maka bumi, air dan
ruang angkasa, yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai fungsi yang sangat penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang dicita-citakan.
Oleh karenanya hukum Agraria yang berlaku pada jaman
penjajahan, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur
tersebut, ternyata dalam banyak hal justru merupakan
penghambat dari tercapainya cita-cita diatas. c. karena bagi
rakyat asli, hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin
kepastian hukum. Berhubung dengan tersebut di atas, perlu ada
hukum agraria baru yang bersifat nasional, yang akan mengganti
hukum yang berlaku sebelumnya, yang tidak lagi bersifat
dualisme, tetapi yang sederhana dan yang menjamin kepastian
hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum agraria yang
dirumuskan tersebut diharapkan akan memberi kemungkinan
akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai
yang dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan
kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluan
menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Undang-
undang ini sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria,
di dalamnya hanyalah asas-asas serta soal-soal dalam garis
besarnya saja dan oleh karena itu disebut Undang-Undang Pokok
Agraria yang pelaksanaan lebih lanjut diatur didalam berbagai
undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan
perundang-undangan lainnya. a. meletakkan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan
bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur. b. meletakan dasar-dasar
untuk mengadakan kesatuan dan ke- sederhanaan dalam hukum
pertanahan. c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya. Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional . Undang-
Undang Pokok Agraria sebagai peraturan dasar yang mengatur
mengenai penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemilikan sumbersumber agraria berisi sejumlah dasar-dasar
politik hukum berikut. Dasar kenasionalan itu diletakkan dalam
pasal 1 ayat (1), yang menyatakan: "Seluruh wilayah Indonesia
adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan Pasal 1 ayat 2 yang
berbunyi bahwa: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional". Hal ini berarti bumi, air dan
ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang
kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai
keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia. Adapun
hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa
Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat
(3)). Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang
baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain atas
bagian dari bumi Indonesia (Pasal 4 jo.Pasal 20). Dalam pada itu
hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang
dapat dihaki oleh seseorang. Selain hak milik sebagai hak turun-
temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, terdapat pula hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-
pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan
dengan Undang-undang lain (Pasal 4 jo Pasal 16). Mengganti
asas domein warisan kolonial. Asas domein yang dipergunakan
sebagai dasar dari perundang-undangan agraria yang berasal
dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang
baru.Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat
Indonesia dan asas dari negara yang merdeka dan
modern.Berhubung dengan ini asas tersebut, yang dipertegas
dalam berbagai "pernyataan domein", yaitu misalnya dalam Pasal
1 Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a, S.1874- 94f,
S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataanpernyataan domein itu
dicabut kembali. Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada
pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tidak perlu dan tidaklah pula
pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara
bertindak sebagai pemilik tanah. 1) mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya. 2) menentukan dan mengatur hak-hak yang
dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukkum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (Pasal 2 ayat (2) dan
ayat (3)). Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah
dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak
itu.Artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada
yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah
batas kekuasaan Negara tersebut. Kekuasaan Negara atas tanah
yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau
pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Bertalian dengan
hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan
negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 maka
didalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan
mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya dalam alam
bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan: "Pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi". Ketentuan ini pertama-tama
berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat dalam hukum
agraria yang baru. Misalnya dalam pemberian sesuatu hak atas
tanah (umpamanya hak gunausaha) masyarakat hukum yang
bersangkuatan. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika
berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut
menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha. Sedangkan
pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk
kepentingan yang lebih luas. Tetapi sebagaimana telah jelas dari
uraian di atas, tidak berartibahwa kepentingan masyarakat hukum
yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali. d. Dasar
yang keempat diletakkan dalam Pasal 6, yaitu bahwa "Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Tetapi ketentuan
tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan
haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan
tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan
kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 ayat (3)).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, suatu hal yang sewajarnya
tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah
kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Dalam melaksanakan
ketentuan tersebut akan diperhatikan kepentingan fihak yang
secara ekonomis lemah. e. Hanya warga Indonesia yang dapat
mempunyai hak atas tanah. Pasal 21 ayat (1) hanya warganegara
Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan
keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang
tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan
keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan
dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
Terkait dengan asas kebangsaan di atas ditentukan dalam Pasal
9 ayat (2): "Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki
maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat
manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya".
Sejalan dengan hal itu perlu diadakan perlindungan bagi
golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga-
negara yang kuat kedudukan ekonominya. Ketentuan inilah yang
akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang
lemah dimaksud. Selanjutnya dapat ditunjuk pula ketentuan-
ketentuan yang dimuat dalam Pasal 11 ayat (1), yang bermaksud
mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan
orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha
agrarian hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial
yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam
lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama
dalam rangka kepentingan nasional (Pasal 12 ayat (1)) dan
Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi
dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang
bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat (2)). Bukan saja usaha
swasta, tetapi usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli
harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh
karena itu usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya
dapat diselenggarakan dengan undang- undang (Pasal . 13 ayat
(3)). g. Penataan ulang penguasaan, penggunaan, pemilikan dan
pemanfaatan sumber-sumber agraria. Pasal 10 ayat (1) dan ayat
(2) mengatur suatu asas yang sedang menjadi dasar perubahan-
perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia,
yaitu dinegara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa
yang disebut "landreform" atau "agrarian reform" yaitu"Tanah
pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh
pemiliknya sendiri". Supaya semboyan tersebut dapat diwujudkan
perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya ketentuan
tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang
tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup
layak bagi diri sendiri dan keluarganya (Pasal 13 jo Pasal 17).
Mengingat susunan masyarakat pertanian kita sekarang masih
perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian
oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa,
bagi-hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu
peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-
hubungan hukum yang bersifat penindasan si-lemah oleh si-kuat
(Pasal 24, Pasal 41 dan Pasal 53). Ketentuan pasal 10 ayat (1)
tersebut adalah suatu asas, yang pelaksanaannya masih
memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat (2)). Akhirnya untuk
mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara
tersebut, perlu suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk
pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara: Rencana Umum
("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia,
yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus
("regional planning") dari tiap-tiap daerah (Pasal 14). Dengan
perencanaan itu penggunaan tanah dapat dilakukan secara
terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang
sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat. Dasar-Dasar untuk
Mengadakan Kesatuan dan Kesederhanaan . Dasar-dasar untuk
mencapai tujuan tersebut nampak jelas di dalam ketentuan yang
dimuat dalam Bab II Undang-Undang Pokok Agraria. a.
Sebagaimana telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang
ini mempunyai sifat "dualisme" dan mengadakan perbedaan
antara hakhak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah
menurut hukumbarat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan
dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan
dualisme dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan
hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang
satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Oleh
karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum
adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan
pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum
yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern/internasional. Sebagaimana dimaklumi hukum adat
dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik
dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat
swapraja yang feodal. Yang dimaksud dengan perbedaan yang
didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam
keperluan hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat
yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka
ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin
perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis
lemah. c. Penghapusan perbedaan antara hukum-adat dan
hukum-barat dalam bidang hukum agraria, maka maksud untuk
mencapai, kesederhanaan hukum pada hakekatnya akan
terselenggarakan pula. Selain hak milik sebagai hak turun-
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenal hak-
hak atas tanah, menurut hukum adat yang disebut dalam pasal
16 ayat (1) huruf (d) sampai dengan (g). Adapun hak-hak yang
ada mulai berlakunya Undang-Undang ini semuanya akan
dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-
undang Pokok Agraria. 4. Dasar-Dasar untuk Menciptakan
Kepastian Hukum . Usaha yang menuju kearah kepastian hak
atas tanah tampak dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur
pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38, ditujukan kepada para
pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka
memperoleh kepastian tentang haknya itu. Adapun pendaftaran
itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan
serta keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalulintas sosial
ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang
personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan
didahulukan penyelenggaraannya dikota-kota untuk lambat laun
meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian
hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak
yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh
kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan
kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh
wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat
"rechts- kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian
hukum. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan . Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas
dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat
(1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Perubahan
UUD NRI 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan bahwa: .
a. kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. b. Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang. c. Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. d. Komisi Yudisial berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pada
dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-
UUD NRI 1945 di atas, namun substansi undang-undang tersebut
belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang
merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain
pengaturan secara komprehensif, undang-undang ini juga untuk
memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006,
yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk
memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system),
maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman perlu diganti. a. Mereformulasi sistematika Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam undang-
undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. b. Pengaturan umum
mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. c. Pengaturan umum mengenai
pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi. d.
Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. e.
Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan
memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. f.
Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. g. Pengaturan umum
mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak
mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada
setiap pengadilan. h. Pengaturan umum mengenai jaminan
keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-
Undang 3 Tahun . Garis-garis Besar Haluan Negara (saat
lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan sebelum
diganti dengan RPJMN dan RPJMP) adalah masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan
berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Suasana perikehidupan
tersebut di atas merupakan bagian dari gambaran terhadap tata
kehidupan bangsa Indonesia yang dicita-citakan perwujudannya
melalui rangkaian upaya dan kegiatan pembangunan yang
berlanjut dan berkesinambungan. Cita tentang keadilan,
kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta
penyelenggaraan hukum merupakan hal yang mempengaruhi
tumbuhnya suasana perikehidupan sebagaimana dimaksudkan di
atas. Dengan pemahaman seperti ini, salah satu pendekatan
yang ingin dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman. 3) permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan
undangundang. 4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk
yang diperlukan. 3) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan
perkara pidana. c. membuat peraturan sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan
bagi kelancaran jalannya peradilan. d. mengatur sendiri
administrasinya baik mengenai administrasi peradilan maupun
administrasi umum. 4. Peradilan Tata Usaha Negara. c.
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan. Dengan
memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah Agung
seperti tersebut di atas, perlu diberikan pengaturan yang mantap,
jelas, dan tegas kepada lembaga ini. Nomor 14 Tahun 1970
sebagaimana yang telah diganti dengan UndangUndang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah bahwa
peradilan harus memenuhi harapan para pencari keadilan yang
selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil,
dan biaya ringan. Untuk memperoleh Hakim Agung yang
merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh,
baik dari dalam maupun dari luar, diperlukan persyaratan
sebagaimana diuraikan dalam Undang-undang ini. Namun
demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan
untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan sistem
karier. Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat
melaksanakan tugas tersebut, Undang-undang ini juga
memberikan kepadanya keleluasaan untuk menetapkan sendiri
pembidangan tugas dalam susunan organisasinya sehingga
dapat secara tuntas menjangkau penyelesaian semua masalah
yang berasal dari berbagai lingkungan peradilan. Namun begitu
mengingat tugas tersebut sangat luas dan berat, maka untuk
memberi dukungan administrasi yang sebaik-baiknya, dalam
Undang-undang ini ditetapkan adanya Sekretaris Jenderal yang
dirangkap oleh Panitera Mahkamah Agung. Dengan pemisahan
ini, panitera dapat lebih memusatkan perhatiannya kepada tugas-
tugas yang bersifat teknis peradilan. Dalam perkembangannya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan tersebut, di samping
guna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan
dalam UUD NRI 1945, juga didasarkan atas Undang-undang
mengenai kekuasaan kehakiman baru yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah
dengan Undang- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Substansi
perubahan dalam undang-undang ini antara lain tentang
penegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat
menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang
menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan
tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada
tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam Undang-
Undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dengan
bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab
Mahkamah Agung antara lain di bidang pengaturan dan
pengurusan masalah organisasi, administrasi, dan finansial
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka organisasi
Mahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian. Mahkamah
Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, diperlukan
kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan
Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan
Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua
dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. Negara Republik
Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan UUD NRI 1945 mengupayakan terwujudnya keadilan,
kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan
sistem hukum yang merupakan hal-hal pokok untuk menjamin
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih dari
itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat penting
dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan
oleh Garis-garis Besar Haluan Negara yang saat ini diganti
dengan RPJMN dan RPJMP. Oleh karena itu untuk
mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas
menyelenggarakan keadilan dengan baik. Undang-undang
tentang Peradilan Umum ini merupakan pelaksanaan ketentuan-
ketentuan dan asas-asas yang tercantum data Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970. Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan
Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh
Pengadilan Negeri, dan merupakan Pengadilan tingkat pertama
dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Mengingat luas lingkup
tugas dan berat beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh
Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar terhadap
tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi Pengadilan.
Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek
ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi baik di bidang
perkara maupun di bidang kepegawaian, gaji, kepangkatan,
peralatan kantor, dan lain-lainnya, melainkan juga akan
mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri.
Oleh karenanya, penyelenggaraan administrasi Pengadilan dalam
undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi
pertanggung-jawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat,
yaitu panitera yang merangkap sebagai sekretaris. Selaku
Panitera ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial). Selaku
Sekretaris ia menangani administrasi umum seperti administrasi
kepegawaian dan lain sebagainya, sedang dalam pelaksanaan
tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Dengan
demikian staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan perhatian
terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang
peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya dapat
dilaksanakan oleh staf sekretariat. Hakim diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden selaku. Kepala Negara atas usul
Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah
Agung. Di samping itu perlu adanya pengaturan tersendiri
mengenai tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat
peradilan khususnya para Hakim; demikian pula pangkat dan gaji
diatur tersendiri berdasarkan peraturan yang berlaku, sehingga
para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril
maupun materiil. Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan
kewibawaan Hakim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga
mutu (keahlian) para Hakim, dengan diadakannya syarat-syarat
tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur dalam undang-undang
ini, dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya dengan tidak
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara. Selain itu diadakan juga larangan bagi para Hakim
merangkap jabatan penasehat hukum, pelaksana putusan
Pengadilan, wali, pengampu, pengusaha, dan setiap jabatan yang
bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang
diadili olehnya. Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif,
maka Pengadilan Tinggi diberi tugas pengawasan terhadap
Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.Hal ini akan
meningkatkan koordinasi antar Pengadilan Negeri di daerah
hukum suatu Pengadilan Tinggi yang bermanfaat bagi rakyat
pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi dalam melakukan
pengawasan tersebut dapat memberikan petunjuk, teguran, dan
peringatan. Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara
langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang
sederhana, cepat, tepat, adil, dan dengan biaya ringan akan lebih
terjamin.Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan persangkaan
keras, bahwa seorang Hakim telah melakukan perbuatan tercela
dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah
melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam
pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak
dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia
diberi kesempatan membela diri. Hal ini dicantumkan dengan
tegas dalam undang-undang ini, mengingat luhur dan mulianya
tugas Hakim.Apabila ia melakukan perbuatan tercela dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku
ancaman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.
Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula Undang-.
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum merupakan salah satu undang-undang yang mengatur
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
perlu pula dilakukan perubahan. Peradilan Umum telah
meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai
peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non
yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut
bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana dikehendaki oleh UUD NRI 1945. pengaturan tata
cara pengangkatan dan pemberhentian hakim; . 4. pengaturan
pengawasan terhadap hakim. Perkembangan berikutnya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung diubah lagi (perubahan kedua)
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Perubahan
undang-undang tersebut antara lain dilatarbelakangi dengan
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut
telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut
mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD
NRI 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009. Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan umum, pengawasan tertinggi baik
menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan
organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip
kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat
berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc. 9.
Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Perubahan secara
umum atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum
pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta
berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan
yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan umum
secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana.
BAB 4 \

10987
Landasan Filosofis . Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945. a.
Memberikan jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta keadilan dan
kesejahteraan yang merata diseluruh wilayah Indonesia. b. Tujuan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan, termasuk
memberikan jaminan keadilan, rasa aman dan bebas dari rasa takut serta dalam rangka
terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945. c.
Tanggungjawabnegara memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tentram, damai,
adil dan sejahtera lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, melalui pengupayaan dan pemerataan pembangunan serta peningkatan
akses di bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan.
Pembangunan nasional Indonesia dalam pelaksanaanya mengacu pada strategi yang
bersifat inklusif. Strategi ini sejalan dengan Pancasila yang menjadi pandangan hidup
dan dasar falsafah di dalam setiap penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dalam kerangka mewujudkan tujuan nasional, yaitu terutama
butir sila ketiga dan kelima. Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, konstitusi
telah memberikan amanat kepada pengelola negara untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan nasional di seluruh wilayah nusantara, sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD NRI 1945 yakni terwujudnya kehidupan yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Mandat ini tidak akan bisa dicapai apabila dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa tanpa disertai
adanya tata kelola pemerintahan yang baik dan lebih khusus lagi pada sistem
peradilannya. Manifestasi yang sekaligus sebagai instrumen perwujudan dari tujuan
negara dan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut tercantum dalam pasal-pasal
batang tubuh UUD NRI 1945. Hal ini tercermin sebagaimana termaktub dalam Pasal 1
ayat (3) UUD NRI 1945 yang dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. b. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. c. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. e. Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dengan demikian, secara filosofis
hukum dan penegakannya melalui lembaga peradilan bertujuan untuk menciptakan
kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Tujuan tersebut tampaknya memerlukan
pengadilan khusus di bidang agraria dengan harapan: (1) mampu melakukan proses
penemuan kebenaran materiil yang sangat diperlukan dalam penyelesaian konflik atau
sengketa agraria, jika putusan pengadilan sungguh-sungguh diharapkan mewujudkan
bukan hanya kepastian hukum namun lebih-lebih kemanfaatan dan keadilan dalam
redistribusi sumberdaya agraria; (2) pengadilan khusus ini dapat mengeterapkan bukan
hanya prinsip persamaan di hadapan hukum, namun jika memang diperlukan sesuai
dengan amanah Pasal 28H ayat (2) UUD Negara RI 1945 juga mengeterapkan prinsip
pemberian kemudahan dan perlakuan khusus kepada pihak tertentu yang bersengketa
agar mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya agraria
yang menjadi obyek sengketa sehingga pihak tertentu tersebut mencapai persamaan
dan keadilan. Landasan Sosiologis . Landasan sosiologis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Sebagaimana yang telah
dikemukakan di latar belakang bahwa tuntutan pendirian Pengadilan
Agraria kembali diwacanakan kepada publik pada tanggal 11 dan 12
Oktober 2005 oleh beberapa kalangan masyarakat, khususnya para
advokat. Eskalasi konflik keagrariaan ini tentu memerlukan segera upaya
penyelesaian sengketa secara menyeluruh, sistematis, berkepastian
hukum, dan berkeadilan. Fakta menunjukkan bahwa ketiadaan mekanisme
dan lembaga khusus yang menangani konflik agraria secara pasti, telah
mendorong timbulnya kekerasan dalam setiap konflik agraria. Berbagai
konflik agraria mengakibatkan: Pertama, hilangnya akses masyarakat
terhadap sumber-sumber agraria. Kedua, kerusakan struktur sosial
masyarakat yang didasari atas struktur agraria yang timpang, dan ketiga
terjadi kerusakan mutu ekologi yang berkait langsung dengan turunan mutu
manusia yang kehidupannya bergantung terhadap sumber daya agraria.
Penyelesaian konflik agraria selama ini masih mencerminkan adanya suatu
keadaan yang tidak memuaskan dan atau tidak memenuhi rasa keadilan,
khususnya bagi kelompok-kelompok tertentu yang mengandalkan hidup
dari tanah dan kekayaan alam, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat
adat. Melihat berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia dan yang
telah mengakibatkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan, maka perlu adanya penanganan yang serius khususnya dari
aspek penyelesaian sengketanya, melalui pembentukan lembaga
pengadilan yang khusus menangani konflik-konflik keagrariaan.
Keberadaan pengadilan khusus ini selain bertujuan untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, juga untuk menyelesaikan
berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak-
hak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan Negara atas sumber-
sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa
Indonesia dapat tercapai. Pembentukan Pengadilan Agraria didasari
berbagai pertimbangan, diantaranya: Pertama, penanganan konflik agraria
selama ini masih bersifat parsial atau kasuistik dan tidak menyentuh pada
akar persoalan konflik.Kedua, konflik agraria adalah situasi yang extra-
ordinary sehingga perlu penanganan yang juga bersifat extra-ordinary.
Disebut extra-ordinary karena konflik agraria yang bersifat struktural,
dimana pihak yang berkonflik banyak melibatkan antara masyarakat atau
komunitas dengan badan-badan usaha milik swasta maupun pemerintah.
Ketiga, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam menyelesaikan
berbagai konflik agraria secara berkeadilan dengan menjunjung tinggi
hakhak masyarakat sehingga tujuan dari penguasaan negara atas
sumbersumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan
bangsa Indonesia dapat tercapai. Kelima, fakta sosiologis menunjukkan
bahwa meluasnya konflik agraria dengan segala dimensi yang
ditimbulkanya pertanda sebuah kegagalan berfungsinya lembaga-lembaga
peradilan yang ada sekarang untuk menyelesaikan konflik agraria dan
dapat dimaknai juga bahwa kekuasaan eksekutif dan desakan
kekuatankekuatan modal menunjukkan kehidupan bernegara di Indonesia
tidak mencerminkan tata kehidupan bernegara yang demokratis dan jauh
dari penegakan prinsip-prinsip negera yang berdasarkan hukum
(rechstaat). Dalam hal ini, menempatkan konflik agraria sebagai sesuatu
yang bersifat extra ordinary menjadi sesuatu yang sangat penting, namun
tentu saja perlu diwaspadai jebakan-jebakan yang dapat menjauhkan
subtansi dari pembentukan peradilan agraria ini, yakni untuk mewujudkan
keadilan sosial dalam bidang agraria. Untuk menghindari jebakan dan
menghindari terjadinya peradilan agraria lahir prematur setidak-tidaknya
ada dua hal yang penting untuk dikritisi, yakni; 1) Proses pengembangan
peradilan agraria, dan 2) Subtansi strategis yang direspon peradilan
agraria. Landasan Yuridis . Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga
perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan,
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum
ada dan sangat dibutuhkan. Secara substansi (kompetensi materi) yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan (konflik) pertanahan selama ini
diselesaikan melalui Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. 2
Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3). Ketentuan-ketentuan
memberikan arahan amanah bahwa peradilan harus diarahkan pada
penegakan hukum dan juga keadilan (Pasal 24 ayat (1) dengan cara
menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang
sama (Pasal 28D ayat (1)), namun jika perlakuan yang sama justru
menyebabkan terjadinya ketidak-adilan maka putusan pengadilan itu harus
mampu memberikan kemudahan dan perlakuan khusus agar seseorang
mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya
agraria sehingga seseorang tersebut mencapai persamaan dan keadilan
(Pasal 28H ayat (2)). 2. TAP MPR No.IX/MPR/2001 khususnya Pasal 6
ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan ayat (2) huruf e yang
mengamanahkan untuk menyelesaikan konflik penguasaan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria bagi terlaksananya penegakan hukum
dengan mendasarkan pada sejumlah prinsip sebagaimana tertuang Pasal
5. Amanah lainnya yaitu memperkuat kelembagaan serta kewenangan dan
pembiayaan kelembagaan yang bertugas dalam penyelesaian konflik dan
reforma agraria. 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 27 yang memperkenankan
pembentukan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara serta
pembentukannya diatur dalam Undang-undang. Artinya, pembentukan
pengadilan khusus bidang Agraria di lingkungan peradilan-peradilan
tersebut dibuka dengan pertimbangan pengadilan yang berlangsung saat
ini tidak mampu menyelesaikan secara tuntas sumber konflik atau
sengketa agraria. Syaratnya adalah pembentukannya diatur dalam
undang-undang. Dengan pertimbangan bahwa pengadilan agraria
mempunyai kompetensi absolute terhadap sengketa yang bersumber dari
penguasaan dan pemanfaatan semua sumberdaya agraria, pilihan
pembetukannya dilakukan dengan undang-undang tersendiri karena
secara teknis tidak mungkin memasukkan pengaturan pembentukannya
dalam masingmasing Undang-Undang sumber daya agrarian yaitu tanah,
hutan, tambang, air, dan sumber daya alam lainnya. 1. Secara materiil
konflik-konflik agraria belum tertangani oleh lembaga peradilan yang telah
ada. Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

BAB
5

Paradigma dan arah pengaturan yang diinginkan .


Sejalan dengan itu, harus disiapkan sarana penyelesaian sengketa berupa
Pengadilan Agraria, berikut aparatur penyelenggaranya, tata cara atau mekanisme
beracara di dalamnya. Selain itu harus dicegah berbagai kemungkinan yang
merongrong tercapainya tujuan mewujudkan tujuan tersebut. Sejalan dengan hal
tersebut harus diatur secara tepat mengenai asas, kedudukan dan tempat kedudukan
pengadilan ini, kewenangan, syarat-syarat calon hakim, prosedur pengisian,
pengangkatan, pemberhentian, Majelis Kehormatan Hakim, Panitera, Saksi,
Keterangan Ahli, Putusan, Pelaksanaan Putusan, sengketa tanah adat, transparansi
dan akuntabilitas, pengawasan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Arah
pengaturan dalam undang-undang ini adalah memberi arah bagi terselenggaranya
Pengadilan Agraria yang dapat mewujudkan kepastian hukum, ketenteraman, dan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang diselenggarakan dengan proses cepat dan
biaya murah, dengan lebih mengutamakan kebenaran materiil.
B. Ruang Lingkup dan Materi Muatan RUU Pengadilan Agraria . Ketentuan Umum .
Ketentuan umum Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria memuat
rumusan akademik mengenai batasan, definisi, alternatif, singkatan, atau akronim yang
digunakan dalam penyusunan norma. a. Agraria adalah bumi, air baik air permukaan
maupun air tanah, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah
berupa sumberdaya hutan dan di dalam perut bumi berupa bahan tambang. b. Tanah
adalah permukaan bumi, baik yang ada di daratan maupun di bawah air laut. c. Tanah
adat adalah bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat suatu Masyarakat Hukum
Adat tertentu. d. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah perangkat kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, untuk mengambil
manfaat dari sumber daya agraria terutama tanah dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan penghidupannya, yang timbul dari hubungan secara batiniah
dan lahiriah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut
dengan wilayah yang bersangkutan. e. Pengadilan Agraria adalah pengadilan khusus
yang dibentuk di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan peradilan
umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara agraria. f.
Perkara agraria adalah perkara perdata yang timbul dalam pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang tanah, hutan, air, dan tambang. g. Sengketa adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antarsubyek hukum karena
adanya perselisihan mengenai hak atau kepentingan terkait penguasaan, pemilikan dan
pemanfaatan sumber daya agraria. h. Sengketa hak adalah perselisihan yang timbul
karena adanya pelanggaran terhadap hak penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan
sumber daya agraria yang dimiliki perseorangan atau badan hukum. i. Sengketa
kepentingan adalah perselisihan yang timbul karena adanya ketimpangan dan
ketidakadilan dalam penguasaa, kepemilikan dan pemanfaatan dibidang sumber daya
agraria antara kelompok masyarakat dengan orang atau badan hukum yang menguasai
sumber daya agraria dalam skala besar. j. Mediasi sengketa agraria yang selanjutnya
disebut mediasi adalah penyelesaian sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam
bidang agraria melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang netral. k. Mediator Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut mediator adalah
hakim dalam tingkat pengadilan pertama atau seseorang yang memenuhi syarat-syarat
sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi
untuk menyelesaikan sengketa hak dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria. l.
Konsiliasi Sengketa Agraria yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian
sengketa hak dan sengketa kepentingan dalam bidang agraria melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. m. Konsiliator Sengketa
Agraria yang selanjutnya disebut konsiliator adalah hakim dalam tingkat pengadilan
pertama atau seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang
ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan konsiliasi untuk menyelesaikan
sengketa hak dan/atau sengketa kepentingan di bidang agraria. p. Menteri adalah
menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria. a. Keadilan adalah bahwa setiap
materi muatan dalam undang-undang ini harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara khususnya pencari keadilan dibidang agraria. b.
Kemanfaatan adalah bahwa setiap materi muatan dalam undangundang ini harus dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. c. Kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan dalam
undangundang ini harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum. d. Responsif adalah bahwa setiap materi muatan dalam
undang-undang ini harus dapat menampung kepentingan para pencari keadilan
dibidang agraria. e. Kebenaran materiil adalah bahwa materi muatan dalam undang-
undang ini selain mengedepankan kebenaran formil juga kebenaran materiil untuk
mencapai keadilan yang hakiki. Kedudukan dan tempat kedudukan . Pengadilan
Agraria adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan di bidang agraria. Pengadilan Agraria merupakan pengadilan khusus yang
berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Agraria pada Tingkat Pertama
berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten atau kota. Pengadilan Agraria pada Tingkat Banding berkedudukan di ibu
kota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Untuk pertama kali
dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Agraria pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi
provinsi yang bersangkutan. Di Kabupaten/Kota yang memiliki konflik agraria cukup
tinggi, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Agraria pada
Pengadilan Negeri setempat. Sidang Pengadilan Agraria dilakukan di tempat
kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain. Dalam hal
sengketa kepentingan hakim wajib melakukan pemeriksaan setempat. Tempat sidang
tersebut ditetapkan oleh Ketua. Pengadilan Agraria bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus: di tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat
kasasi mengenai sengketa hak yang menyangkut penguasaan, kepemilikan, dan
pemanfaatan sumber daya agraria; di tingkat pertama dan kasasi mengenai sengketa
kepentingan yang terkait dengan : (1) penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan
sumber daya agraria; atau (2) perampasan tanah. Susunan Pengadilan Agraria .
Pengadilan Agraria terdiri dari Pengadilan Agraria yang berada dalam kamar
Pengadilan Negeri, merupakan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama. Susunan
Pengadilan Agraria Tingkat Banding terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
dan Sekretaris. Hakim Anggota Pengadilan Agraria Tingkat Banding adalah Hakim
Tinggi. Jumlah anggota hakim Pengadilan Agraria Tingkat Pertama sekurangkurangnya
terdiri dari 9 (sembilan) orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua dengan unsur 3 (tiga)
orang hakim karier dan 6 (enam) orang hakim ad hoc. a. Majelis Hakim . Pemeriksaan
perkara agraria dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Agraria yang berjumlah 3
orang, terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pada Pengadilan Agraria dan 2 (dua)
orang hakim ad hoc. Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan Negeri. Hakim karier pada Pengadilan Agraria Tingkat Banding
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hakim karier dan
Hakim ad hoc diangkat selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan. h. berpengalaman sebagai ahli di bidang agraria minimal 5 (lima)
tahun. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji
bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Nilai-
nilai Proklamasi, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria Tingkat Banding diambil sumpah atau
janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi atau pejabat yang ditunjuk. Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Agraria Tingkat Kasasi diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah
Agung atau pejabat yang ditunjuk. Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap
jabatan sebagaimana dimaksud di atas, jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat
dibatalkan. b. Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : . c. melanggar
sumpah atau janji jabatan. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Agraria sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. Hakim Ad-Hoc
yang diberhentikan berlaku pula ketentuan sebagaimana di atas. Pengangkatan Hakim
Ad-Hoc Pengadilan Agraria dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber
daya yang tersedia. Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan
Agraria Tingkat . Pertama paling sedikit 6 (enam) orang dan pada Pengadilan Agraria
Tingkat Banding paling sedikit 4 (empat) orang. Ketua Pengadilan Negeri melakukan
pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti pada Pengadilan Agraria Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
sesuai dengan kewenangannya. Ketua Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas Hakim Banding, Hakim Ad-Hoc Banding, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti pada Pengadilan Agraria Tingkat Banding . (Pengadilan Tinggi)
sesuai dengan kewenangannya. Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, . Hakim Ad Hoc Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti Pengadilan Agraria pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk
dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc. Tata cara pengangkatan,
pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat, dan
pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kepaniteraan dan Panitera Pengganti . Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda
dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. Sub Kepaniteraan mempunyai tugas
menyelenggarakan administrasi Pengadilan Agraria dan membuat daftar semua
sengketa yang diterima dalam buku perkara. Untuk pertama kali Panitera Muda dan
Panitera Pengganti Pengadilan Agraria diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang agraria. Ketentuan mengenai
persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera
Pengganti Pengadilan Agraria diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Berita Acara. Berita Acara tersebut ditandatangani oleh Hakim,
Hakim AdHoc, dan Panitera Pengganti. Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Majelis Kehormatan Hakim bertugas: . b.
mengusulkan pemberhentian sementara dari jabatan Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim
karena diusulkan untuk diberhentikan tidak dengan hormat. Sidang Majelis Kehormatan
Hakim diselenggarakan secara tertutup. Hukum Acara . Hukum acara yang berlaku
pada Pengadilan Agraria adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-
undang ini. Dalam proses beracara di Pengadilan Agraria, pihak-pihak yang berperkara
tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). a. Gugatan diajukan pada
Pengadilan Agraria dimana obyek sengketanya berada di wilayah pengadilan yang
bersangkutan. Jika gugatan diajukan secara lisan maka Panitera wajib mencatat pokok
gugatan yang disampaikan oleh penggugat. Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui
Mediasi atau Konsiliasi Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah memanggil para pihak
(penggugat dan tergugat). Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja para pihak belum dapat
menunjuk mediator atau konsiliator, maka Ketua Pengadilan Negeri yang menunjuk
Mediator atau Konsiliator. Untuk sengketa kepentingan 60 (enam puluh) hari.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi atau konsiliasi merupakan pilihan penyelesaian
sengketa yang tidak bersifat berjenjang. Penyelesaian sengketa melalui mediasi
dilakukan oleh mediator yang dipilih dan disepakati oleh para pihak. g. syarat lain yang
ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian sengketa, mediator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan segera mengadakan sidang
mediasi. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang
memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi
yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal
tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan Agraria melalui mediasi, maka dibuat
Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator
serta didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-
pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. e.
dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a,
maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis
disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian
Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta
bukti pendaftaran. c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama,
maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan
ke Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
eksekusi. Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka
sengketa dilanjutkan pada jenjang persidangan pengadilan. Mediator menyelesaikan
tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja untuk sengketa
hak dan 60 (enam puluh) hari kerja untuk sengketa kepentingan. Jika batas waktu yang
telah diperpanjang terlampaui dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Ketua
Pengadilan Negeri menetapkan sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur
persidangan di pengadilan. Mediator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa
berdasarkan penyelesaian sengketa yang dibebankan kepada negara. Ketentuan
mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi
diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa melalui
konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang pertanahan/agraria Kabupaten/Kota. Penyelesaian
sengketa oleh konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan
penyelesaian secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang pertanahan/agraria. i. syarat lain yang ditetapkan oleh
Ketua Mahkamah Agung. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir
dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli
yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan
akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang yang
karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsiliator
wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta. Dalam hal tercapai kesepakatan
penyelesaian sengketa agraria melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di
Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. e. dalam hal para pihak
menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian
didaftar di Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. c. dalam
hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Agraria pada
Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi
dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agraria pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Agraria
pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. Dalam hal anjuran
tertulis sebagaimana dimaksud ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka
sengketa dilanjutkan pada jenjang persidangan pengadilan. Konsiliator menyelesaikan
tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 40 (empat puluh) hari kerja untuk sengketa
hak dan 60 (enam puluh) hari kerja untuk sengketa kepentingan. Konsiliator berhak
mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian sengketa yang
dibebankan kepada negara. 3) Penyelesaian Sengketa Agraria Melalui Persidangan
Pengadilan Apabila para pihak tidak bersepakat memilih jalur Mediasi atau Konsiliasi
atau jangka waktu penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi telah habis namun tidak
menghasilkan kesepakatan dari para pihak, maka Ketua Pengadilan Negeri membentuk
dan menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim Karier sebagai
Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang
memeriksa dan memutus sengketa. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak adanya kesepakatan para pihak untuk tidak menggunakan jalur mediasi
maupun konsiliasi atau habisnya jangka waktu penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi yang tidak menghasilkan kesepakatan, Ketua Pengadilan Negeri sudah
menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Karier sebagai Ketua
Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang akan
memeriksa dan memutus perkara yang diajukan. Apabila pihak yang dipanggil tidak ada
di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan
disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain
dilakukan dengan tanda penerimaan. Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi
ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. Setiap orang
yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi
panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. Dalam hal keterangan
yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus
menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim wajib merahasiakan semua
keterangan yang diminta. Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat
menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis
Hakim menetapkan hari sidang berikutnya. Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya
yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap Pengadilan pada
sidang penundaan terakhir, maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi. Setiap orang yang hadir dalam persidangan
wajib menghormati tata tertib persidangan. Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib
persidangan, setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim,
dapat dikeluarkan dari ruang sidang. Dalam putusan Pengadilan Agraria ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau
salah satu pihak atas setiap penyelesaian sengketa agraria. Apabila terdapat
kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus
dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para
pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Agraria supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat. Terhadap penetapan ini tidak dapat digunakan
upaya hukum. Dalam hal permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan, menentukan
Majelis Hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja. Dalam mengambil putusan,
Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, kesaksian, fakta-fakta yang ada, perjanjian
yang ada, kesejarahan, kebiasaan, kemanfaatan dan keadilan. Dalam hal salah satu
pihak tidak hadir dalam sidang, Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera
Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir
tersebut. g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama
Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. Tidak
dipenuhinya salah satu ketentuan di atas dapat menyebabkan batalnya putusan
Pengadilan Agraria. Untuk penyelesaian sengketa kepentingan dalam waktu
selambatlambatnya 150 (seratus lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.
Putusan Pengadilan Agraria ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera
Pengganti. Panitera Pengganti Pengadilan Agraria dalam waktu selambatlambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah
menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang.
(empat belas) hari kerja. b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal
menerima pemberitahuan putusan. Salah satu pihak atau para pihak yang hendak
mengajukan permohonan banding atau kasasi harus menyampaikan secara tertulis
melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Agraria pada Pengadilan Negeri setempat.
Majelis Hakim Banding terdiri atas satu orang Hakim Tinggi dan dua orang Hakim Ad-
Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara sengketa Agraria pada Pengadilan
Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
Tata cara permohonan banding dan penyelesaian sengketa hak oleh Hakim Banding
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agraria
pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. d. surat-surat
lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya
dengan Banding atau Gugatan. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu
pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua dapat menunjuk seorang atau beberapa
orang ahli. Dalam hal perkara yang berkaitan dengan/menyangkut tanah
adat/masyarakat hukum adat, Hakim harus menghadirkan saksi ahli dari lingkungan
masyarakat hukum adat setempat. Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti
apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar
sendiri oleh saksi. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal. b.
Sengketa kepentingan, merupakan beban dan tanggung jawab tergugat. Pengadilan
Agraria wajib memberikan pelayanan hukum terhadap pihakpihak yang berperkara
sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintah yang baik dan bersih secara
transparan dan akuntabel. Untuk mendukung pelaksanaa fungsi pengadilan, pada
Pengadilan Agraria dibangun sistem manajemen dan administrasi perkara secara
online. b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Laporan sebagaimana
dimaksud dimuat dalam Laporan Tahunan yang diterbitkan oleh Pengadilan Agraria.
Pengawasan terhadap perilaku Hakim Pengadilan Agraria dilakukan oleh Komisi
Yudisial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan atas teknis pengadilan dilakukan Mahkamah Agung sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB 6
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal antara
lain: Pertama, sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara berwenang untuk menguasai bumi, termasuk tanah, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Berkenaan dengan keagrariaan, negara berwenang untuk membuat kebijakan,
mengatur, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan terkait dengan:
peruntukan, persediaan dan pemeliharaan; hubungan hukum antara orang dengan
sumber daya agraria; dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum
mengenai agraria. Kedua, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur dan menjabarkan tentang agraria
dalam pokok-pokok atau garis besarnya. Namun demikian UUPA perlu dilengkapi.
Ketiga, Undang-Undang tentang Peradilan Agraria disusun untuk melengkapi dan
menjabarkan UUPA dan meluruskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan
prinsip-prinsip UUPA. Berdasarkan kesimpulan tersebut kemudian dapat disampaikan
saran bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria merupakan
keniscayaan untuk memberikan keadilan bagi semua kelompok masyarakat dalam
memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria, secara adil berdasarkan UUPA.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung perlu membentuk kamar khusus di bidang pertanahan,
yang berisi hakim agung yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum agraria
(khususnya pertanahan).

Pengadilan Agraria adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan di bidang agraria. Pengadilan Agraria merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Agraria pada Tingkat Pertama berkedudukan di ibu
kota kabupaten atau kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota.
Pengadilan Agraria pada Tingkat Banding berkedudukan di ibu kota Provinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk
Pengadilan Agraria pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap
Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Pengadilan
Agraria bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus: di tingkat pertama,
tingkat banding dan tingkat kasasi mengenai sengketa hak yang menyangkut penguasaan,
kepemilikan, dan pemanfaatan sumber daya agraria; di tingkat pertama dan kasasi mengenai
sengketa kepentingan yang terkait dengan : (1) penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan
sumber daya agraria; atau (2) perampasan tanah. Susunan Pengadilan Agraria . Pengadilan
Agraria terdiri dari Pengadilan Agraria yang berada dalam kamar Pengadilan Negeri,
merupakan Pengadilan Agraria Tingkat Pertama. Susunan Pengadilan Agraria Tingkat Banding
terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Hakim Anggota Pengadilan
Agraria Tingkat Banding adalah Hakim Tinggi. Jumlah anggota hakim Pengadilan Agraria
Tingkat Pertama sekurangkurangnya terdiri dari 9 (sembilan) orang termasuk Ketua dan Wakil
Ketua dengan unsur 3 (tiga) orang hakim karier dan 6 (enam) orang hakim ad hoc.

Anda mungkin juga menyukai