Anda di halaman 1dari 17

RESUME / RANGKUMAN

FARMAKOLOGI

Disusun Oleh :
Nurul Sofia
P07525020095
1C

Dosen Pengampu :
Drg. Kirana P. Sihombing, M. Biomed

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI MEDAN


JURUSAN KEPERAWATAN GIGI
TA. 2020/2021
A. FARMAKODINAMIK DAN FARMAKOKINETIK OBAT
 FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik merupakan fase farmakologi dimana obat yang dimasukkan ke dalam
tubuh mengalami serangkai peristiwa yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
(ADME) untuk mencapai kerja obat tersebut. Setelah mengalami serangkaian peristiwa diatas
dan menimbulkan efek, maka obat yang masuk ke dalam tubuh dengan atau tanpa
biotransformasi akan diekskresi dari dalm tubuh. Seluruh proses ini lah yang disebut sebagai
proses farmakokinetik.

1. Absorbsi dan bioavailabilitas


Absorbsi merupakan proses penyerapan partikel obat dari tempat pemberian ke dalam
cairan tubuh melalui absorbsi pasif, absorbsi aktif atau pinositosis.
 Absorbsi pasif terjadi melalui difusi (pergerakan dari yang konsentrasinya tinggi ke
konsentrasi rendah.
 Absorbsi aktif terjadi jika ada carier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan
konsentrasi, contohnya: obat berkaitan dengan enzim atau protein untuk menembus
membran sel
 Pinositosis adalah proses membawa obat menembus membran dengan proses menelan
Tidak semua jenis obat dapat diabsorbsi secara utuh oleh tubuh. Banyaknya jumlah obat yang
diabsorbsi tubuh secara utuh oleh tubuh disebut dengan istilah Bioavailabilitas.

2. Distribusi
Distribusi adalah proses yang terjadi setelah obat diabsorbsi oleh tubuh. Pada prose ini
obat akan disebarkan keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah.Proses ini dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu: fungsi vascular(peredaran darah), affinitas terhadap jaringan, ikatan obat
dengan protein plasma, sifat fisikokimia, dan adanya hambatan fisiologis tertentu, seperti
abses atau kanker. Kecepatan distribusi obat dipengaruhi oleh permeabilitas membran kapiler
terhadap molekul obat.

3. Biotransformasi/Metabolisme
Biotransformasi/Metabolisme obat merupakan proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh yang dikatalis oleh enzim. Proses ini dipengaruhi oleh:
a) Faktor Genetik
b) Perbedaan Species
c) Perbedaan Jenis Kelamin
d) Perbedaan umur
e) Penghambatan enzim metabolisme
f) Induksi enzim metabolisme
g) Faktor lainnya (diet, hormonal, kehamilan,dll)

4. Ekskresi
Ekskresi merupakan proses terakhir yang dialami obat dalam tubuh. Pada proses ini
obat akan dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi ataupu dalm bentuk asalnya. Pada umumnya proses ekskresi terjadi di
ginjal,selanjutnya metabolit obat dapat dikeluarkan dari tubuh melalui urin,keringat, air liur,
airmata, air susu, atau rambut.
Proses Ekskresi obat dapat terjadi melalui:
a. Paru-paru
Obat yang dapat diekskresi melalui paru terutama yang digunakan secara inhalasi.
Kecepatan ekskresi melalui paru sangat dipengaruhi oleh koefisien partisi darah/udara.

b. Ginjal
Ekskresi obat melalui ginjal melibatkan tiga proses:
 Filtrasi di glomerulus
 Reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal
 Sekresi aktif di tubuli proksimal

c. Empedu
Obat dengan berat molekul lebih dari 150 dan obat yang telah dimetabolisme menjadi
yang lebih polar dapat diekskresi hati, melewati empedu menuju ke usus dengan metabolisme
aktif dan selanjutnya diekskresikan melalui tinja. Selain itu juga dapat mengalami proses
hidrolisa menjadai senyawa yang dapat diabsorbsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati,
dimetabolisis, dikeluarkan melalui empedu menuju ke usus demikian seterusnya. Proses ini
berlangsung menjadi suatu siklus yang disebut Siklus Enterohepatik. Siklus ini dapat
menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ
tubuh serta mekanismenya. Hal ini bertujuan untuk meneliti efek utama obat, interaksi obat
dengan sel dan untuk mengetahuiurutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang
terjadi.
1) Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Interaksi obat dengan reseptor mencetuskan peribahan biokimia dan fisiologi
yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen
makromolekul fungsional yng mencakup 2 konsep penting
 Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiataan faal tubuh.
 Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi
fungsi yang sudah ada.

2) Reseptor
Reseptor yang paling baik adalah protein regulator yang menjembatani kerja dan
sinyal bahan kimia endogen, seperti neurotransmitter, autocoids dan hormon. Selain itu
dikenal juga kelompok protein yang berfungsi sebagai reseptor yaitu enzim, resptor untuk
obat antikanker, protein pembawa dan protein structural. Reseptor menjembatani kerja
antagonis farmakologi. Efek antagonis di dalam tubuh pasien bergantung pada pencegahan
pengikatan molekul agonis dan penghambatan kerja biologisnya.

3)Transmisi Sinyal Biologis


Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan substansi ektraseluler
dapat menimbulkan respon seluleru fisiologis yang spesifik. Sistem ini dimulai dengan
pendudukan resptor oleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifar polar. Contoh,
transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel adalah ketakolamin, THR, LH.
Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan
gonadal), tirosin dan vitamin D.

4) Interaksi Obat
Interaksi obat adalah kerja atau efek obat yang berubah atau mengalami modifikasi
sebagai akibat interaksi obat dengan reseptor, proses kerja obat atau obat yang lain. Interaksi
ini dapat berbentuk saling menguatkan efek terapi obat atau saling bertentangan dengan efek
terapi. Kadang-kadang makanan dapat juga mempengaruhi reaksi obat. Interaksi obat dapat
berupa:
 Interaksi Obat-Reseptor
 Interaksi Farmakokinetik
 Interaksi Farmakodinamik

5) Antagonisme Farmakodinamika
Antagonisme Farmakodinamika dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: antagonisme
fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Antagonisme dapat bersifat kompetitif atau
nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu
obat oleh obat lain. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedangkan
obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis.

6) Kerja Obat Yang Tidak di Perantarai Resptor


Obat ini bekerja dengan cara mengiubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion
atau molekul kecil atau masuk ke komponen sel.

7) Awitan , Onset dan Durasi Kerja Obat


 Awitan (mula) kerja obat, yaitu waktu yang dibutuhkan obat sampai suatu respon obat
muncul setelah obat diberikan
 Onset (puncak) kerja obat, yaitu waktu yang dibutuhkan obat sampai konsentrasi efektif
tertinggi dicapai
 Durasi kerja obat, yaitu lama waktu obat terdapat dalam konsentrasi yang cukup besar
untuk menghasilkan suatu respon
 Plateau, yaitu konsentrasi serum darah dicapai dan dipertahankan setelah dosis obat
yang sama kembali diberikan
 Waktu Paruh, yaitu interval waktu yang dibutuhkan tubuh dalam proses eliminasi untuk
mengurangi separih konsentrasi obat di dalam tubuh

8) Efek Obat
Efek Obat adalah fungsi struktur (organ) atau proses atau tingkahlaku organisme
akibat kerja obat. Hal ini dapat berupa:
 Efek teraupetik, yaitu efek yang diinginkan atau efek tujuan dari medikasi yang
diberikan
 Efek Merugikan, yaitu efek lain selain efek terapi yang diinginkan
 Efek Samping, yaitu efek merugikan dengan skala kecil. Hal ini dapat berupa efek
samping yang tidak berbahaya dan dapat diabaikan. Namun ada pula yang dapat
membahayakan.
 Reaksi Hipersensitvitas, terjadi bila klien sensitif terhadap efek pengobatan yang
dilakukan
 Reaksi Idiosinkratik, yaitu efek yang tidak diperkirakan yang timbul pada pengobatan.
Hal ini dapat berupa klien bereaksi berlebihan, tidak bereaksi atau bereaksi tidak
normal terhadap obat.
 Toleransi, yaitu reaksi yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon atau tidak
berespon terhadap obat yang diberikan dan membutuhkan penambahan dosis untuk
mencapai efek terapi yang diinginkan.
 Reaksi alergi, yaitu respon imunologi terhadap medikasi. Tubuh menerima obat sebagai
benad asing, sehingga tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan dan
mengeluarkan benda asing tersebut. Akibatnya akan menimbulkan reaksi alergi mulai
dari yang ringan sampai berat. Reaksi alergi ringan dapat berupa: gatal-gatal (urtikaria),
pruritus, rhinitis, kemerahan pada kulit atau lesi. Reaksi ini dapat berkurang setlah klien
menghentikan medikasi atau menggunakan antihistamin. Reaksi yang lebh parah dapat
berupa sesak nafas (wheezing, dispneu), angiodema pada lidah dan orofaring, hipotensi
dan takikardia segera setelah pemberian obat. Reaksi ini disebut reaksi anafilaktik dan
membutuhkan tindakan medis segera karena dapat berakibat fatal. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi adalah menghentikan pemberian obat tersebut dan segera
diberikan epinefrin, cairan infus (normal saline), steroid dan antihistamin.
 Toksisitas atau keracunan adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukan zat dalam darah akibat gangguan metabolisme atau eksresi. Keracunan
obat dapat dapat mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang paling umum
adalah nefrotoksisitas (ginjal), neurotoksisitas (otak), hepatotoksisitas (hepar),
imunotoksisitas (sitem imun) dan kardiotoksisitas (jantung).
B. PENGGOLONGAN OBAT
Penggolongan obat secara luas didasarkan dasarkan beberapa hal, yaitu:
a) Jenis
b) Mekanisme kerja obat
c) Tempat atau lokasi pemakaian
d) Cara pemakaian
e) Efek yang ditimbulkan
f) Golongan kerja obat.

Penggolongan obat berdasarkan jenis


 Obat Bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Tempat penjualan di Apotek dan Toko Obat Berijin. Logo lingkaran berwarna
hijau dengan garis tepi berwarna hitam
 Obat Bebas Terbatas adalah obat yang dapat dibeli secara bebas tanpa menggunakan
resep dokter, namun mempunyai peringatan khusus saat menggunakannya. Tempat
penjualan di Apotek dan Toko Obat Berijin. Contoh : CTM, klorfeniramin maleat
(antialergi). Logo lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Pada obat bebas terbatas, selain terdapat tanda lingkaran biru, diberi pula tanda
peringatan untuk aturan pakai obat sehingga obat ini aman digunakan untuk
pengobatan sendiri. Tanda peringatan terdiri dari 6 (enam) macam berupa empat
persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam, yaitu sebagai berikut:
 Obat Keras adalah obat yang hanya boleh dibeli menggunakan resep dokter. Tempat
penjualan di Apotek. Contoh : Amoksisilin (antibiotik). Logo lingkaran berwarna
merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K di tengah menyentuh garis tepi.
 Obat-obatan yang tergolong paling berbahaya adalah golongan narkotika dengan
simbolnya seperti tanda plus berwarna merah atau dikenal dengan lambang 'Palang
Medali Merah'. Narkotika adalah obat-obatan yang berasal dari tanaman ataupun
tidak, baik berupa sintesis maupun semi sintetis. Narkotika dapat menyebabkan
pengaruh bagi orang yang mengonsumsinya, seperti mengurangi rasa sakit dan nyeri,
menurunkan atau merubah tingkat kesadaran, mati rasa, serta menimbulkan efek
ketergantungan.

Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat


Mekanisme kerja obat dibagi menjadi 5 jenis penggolongan yaitu:
Obat yang bekerja pada penyebab penyakit, misalnya penyakit akibat bakteri atau
mikroba, contoh: antibiotik.
Obat yang bekerja untuk mencegah kondisi patologis dari penyakit, contoh: vaksin dan
serum.
Obat yang menghilangkan simtomatik atau gejala, meredakan nyeri, contoh: analgesik.
Obat yang bekerja menambah atau mengganti fungsi-fungsi zat yang kurang, contoh:
vitamin dan hormon.
Obat yang bersifat placebo, yaitu obat yang tidak mengandung zat aktif, khususnya
diperuntukkan bagi pasien normal yang menganggap dirinya dalam keadaan sakit,
contoh: aqua pro injeksi dan tablet placeb

Penggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian, dibagi menjadi (2)


golongan yaitu:
Obat dalam yaitu obat-obatan yang dikonsumsi peroral, contoh: tablet antibiotik,
parasetamol tablet
Obat luar yaitu obat obatan yang dipakai secara topical atau tubuh bagian luar, contoh :
sulfur, dan lain-lain.
Penggolongan obat berdasarkan cara pemakaian, dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu:
 Oral: Obat yang dikonsumsi melalui mulut kedalam saluran cerna, contoh: tablet,
kapsul, serbuk, dan lain-lain.
Rektal: Obat yang dipakai melalui rektum, biasanya digunakan pada pasien yang tidak
bisa menelan, pingsan, atau menghendaki efek cepat dan terhindar dari pengaruh pH
lambung, First Past Effect (FPE) di hati, maupun enzim-enzim di dalam tubuh
Sublingual: Pemakaian obat dengan meletakkannya dibawah lidah, sehingga masuk ke
pembuluh darah efeknya lebih cepat, contoh: obat hipertensi, tablet hisap, hormon-
hormon
Parenteral: Obat yang disuntikkan melalui kulit ke aliran darah, baik secara intravena,
subkutan, intramuskular, intrakardial.
Langsung ke organ, contoh intrakardial
Melalui selaput perut, contoh intra peritoneal

Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan, dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Sistemik: Obat atau zat aktif yang masuk ke dalam peredaran darah.
Lokal: Obat atau zat aktif yang hanya berefek atau menyebar atau mempengaruhi
bagian tertentu tempat obat tersebut berada, seperti pada hidung, mata, kulit, dan lain
lain.

Penggolongan obat berdasarkan kerja obat antibiotik


antiinflamasi
anti hipertensi
anti konvulsan
anti koagulasi
anti histamin
psikotropika
anti jamur/anti fungi
Jenis Antibiotik :
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:
a) Golongan Aminoglikosida
Diantaranya adalah Amikasin, Gentamisin, Kanamisin, Neomisin, Netilimisin, Paromisin,
Sisomisin, Streptomisin, dan Tobramisin.

b) Golongan Beta-Laktam
Diantaranya golongan Karbapenem (Ertapenem, Imipenem, Meropenem), Golongan
Sefalosporin (Sefaleksin, Sefazolin, Sefuroksim, Sefadroksil, Seftazidim), Golongan Beta-
Laktam Monosiklik, dan Golongan Penisilin (Penisilin, Amoksisilin).

c. Golongan Glikopeptida
Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.

d. Golongan Poliketida
Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin),
golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin,
klortetrasiklin).

e. Golongan Polimiksin
Diantaranya polimiksin dan kolistin.

f. Golongan Kuinolon (fluorokuinolon)


Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan
trovafloksasin.

g. Golongan Streptogramin
Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin.

h. Golongan Oksazolidinon
Diantaranya linezolid dan AZD2563.
i. Golongan Sulfonamida
Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim

C. MENGGUNAKAN OBAT DALAM PERAWATAN GIGI DENGAN DOSIS YANG


RASIONAL
Penggunaan obat dikatakan rasional menurut WHO apabila pasien menerima obat yang
tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan untuk jangka waktu
yang cukup, dan dengan biaya yang terjangkau baik untuk individu maupun masyarakat.
Konsep tersebut berlaku sejak pertama pasien datang kepada tenaga kesehatan, yang meliputi
ketepatan penilaian kondisi pasien, tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat
dosis, tepat cara dan lama pemberian, tepat informasi, dengan memperhatikan keterjangkauan
harga, kepatuhan pasien, dan waspada efek samping. Pasien berhak mempertanyakan hal-hal
itu kepada tenaga kesehatan. Oleh karena itu, penggunaan obat rasional meliputi dua aspek
pelayanan yaitu pelayanan medik oleh dokter dan pelayanan farmasi klinik oleh apoteker.
Untuk itu perlu sekali adanya kolaborasi yang sinergis antara dokter dan apoteker untuk
menjamin keselamatan pasien melalui penggunaan obat rasional.
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak cukup besar dalam
penurunan mutu pelayanan kesehatan dan peningkatan anggaran pemerintah yang
dialokasikan untuk obat. Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara medik. Penggunaan obat tidak rasional dapat terjadi di
fasilitas pelayanan kesehatan maupun di masyarakat. Hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor
yang di antaranya, regulasi, kompetensi tenaga kesehatan, pasien itu sendiri, pihak industri,
manajemen pengelolaan obat di tempat kerja dan sistem. Kementerian Kesehatan telah
melakukan berbagai strategi peningkatan penggunaan obat rasional. Dalam rangka
pengendalian resistensi antimikroba, misalnya, telah dilakukan pembatasan penyediaan
antimikroba (khususnya antibiotika) melalui kebijakan Formularium Nasional (Fornas),
penetapan standar dan pedoman terkait penggunaan antibiotika. Selain itu, telah dilakukan
pula edukasi dan pembinaan masyarakat melalui peningkatan peran tenaga kesehatan,
penyebaran informasi melalui berbagai media, workshop dan seminar.

D. MENGINDETIFIKASI EFEK SAMPING OBAT


Setiap obat yang digunakan secara rutin dapat menghasilkan efek samping yang
mempengaruhi setiap organ dan sistem tubuh. Hal ini juga dapat terjadi pada mulut dan
jaringan sekitarnya seperti gusi, jaringan pendukung gigi (periodontal) lidah, kelenjar liur,
dan jaringan lunak dalam mulut. Efek samping yang sering ditemui adalah pembengkakan
gusi. Obat-obatan yang dapat memicunya antara lain obat anti-konvulsi (epilepsi), obat
imunosupresan, antihipertensi, dan kontrasepsi oral. Pembengkakan gusi ini biasanya tanpa
rasa sakit kecuali bila terjadi infeksi, dan biasanya bengkak akan hilang bila pemakaian obat
dihentikan.
Obat hisap antiseptik, obat kumur, pasta gigi yang mengandung formalin dan
komponen herbal, dan obat anestesi (bius) lokal dapat menyebabkan stomatitis atau
peradangan pada jaringan lunak mulut. Kebiasaan sebagian orang yang meletakkan obat
seperti aspirin dan kokain di dasar mulut juga dapat menyebabkan ulserasi atau luka terbuka.
Ada beberapa obat yang dapat menyebabkan produksi air liur terganggu, sehingga mulut
terasa kering (xerostomia). Di antaranya adalah obat antihipertensi (clonidine), antihistamin,
amphetamine, dan obat-obatan antikolinergik. Berkurangnya aliran air liur ini dapat
meningkatkan risiko karies dan bakteri infeksi karena air liur memiliki efek self-cleansing
yang membilas rongga mulut dari kotoran dan bakteri. Penggunaan obat kumur yang
mengandung alkohol juga dapat menyebabkan xerostomia.
Perubahan warna gigi dan jaringan lunak mulut (diskolorisasi) juga dapat terjadi
dengan pemakaian obat-obatan dan bahan tertentu dalam jangka panjang. Antibiotik
tetrasiklin jangka panjang menyebabkan gigi berwarna abu-abu, terutama bila diberikan saat
kehamilan akan mempengaruhi pembentukan gigi pada janin yang sedang dikandung. Karena
efek samping ini tetrasiklin sudah jarang digunakan. Pemakaian obat kumur chlorhexidine
secara rutin jangka panjang dapat menyebabkan jaringan lunak berwarna kecoklatan.
Demikian juga kebiasaan minum kopi, teh, dan makanan dan minuman lain yang
mengandung zat pewarna juga dapat menyebabkan perubahan warna pada gigi.
Dapat disimpulkan bahwa kita sebagai pasien atau konsumen perlu tahu apa saja
kandungan yang terdapat dalam obat-obatan yang dikonsumsi. Komposisi dan efek samping
obat perlu diketahui sebelum mengonsumsinya. Satu contoh caranya adalah dengan pro aktif
bertanya kepada dokter saat diresepkan suatu obat, atau membaca petunjuk yang tertera
dalam kemasan secara seksama.

E. MENGIDENTIFIKASI / MENGHINDARI BAHAYA PEMBERIAN OBAT


Untuk pencegahan kesalahan pengobatan pada pasien ada banyak cara yang dapat
digunakan dengan menggunakan teknologi informasi. Teknologi informasi memiliki potensi
untuk mengurangi kesalahan pengobatan. salah satu yang dianjurkan adalah penggunaan
Computerized Physician Order Entry ( CPOE). CPOE merupakan suatu sistem pencatatan
perintah/order medikasi dari dokter yang berbasis teknologi komputer. Perintah ini kemudian
ditransmisikan kepada berbagai departemen dan staf medis yang bertanggungjawab atas
pelaksanaan perintah seperti laboratorium, farmasi, radiologi dan bidang keperawatan. Sistem
ini mempunyai banyak keunggulan terutama di bidang efisiensi dan keamanan pengobatan.
Melalui sistem ini dokter, perawat dan apoteker bekerja secara bersama-sama dalam proses
medikasi untuk mengurangi kesalahan pengobatan (medication error). Hal ini terjadi karena
dengan CPOE, setiap tenaga kesehatan dapat mengakses data riwayat medikasi seorang
pasien. Perawat merupakan salah satu faktor kunci kesuksesan dari pelaksanaan CPOE. Oleh
karena itu, perawatan pasien dengan CPOE merupakan sebuah proses tim, dimana semua
anggotanya terlibat untuk meningkatkan kesehatan pasien maka perawat dituntut untuk lebih
meningkatkan kemampuan kolaboratifnya terutama dibidang komunikasi, pengetahuan serta
teknologi informasi.
Dalam sistem ini, CPOE ini memberikan keuntungan anatara lain 1) mengurangi
tingkat keterlambaran dalam proses keperawatan, 2) mengurangi kesalahan interpretasi
tulisan tangangan, 3) memungkinkan input data dariunit-unit pelayanan ataupun dari tempat
lain, 4) menyediakan fasilitas pengecekan atas pemberian dosis yang tidak tepat, 5)
menyederhanakan inventaris dan proses penagihan, 6) dengan penggunaan CPOE prescribing
sistem sinyal dosis dan pemeriksaan interaksi terdeteksi secara otomatis, misalnya memberi
tahu pengguna bahwa dosis yang digunakan terlalu tinggi dan berbahaya serta bisa juga
memberi tahu pengguna bahwa obat-obat yang digunakan dapat mengganggu kesehatan.
Selain itu, sistem ini juga meningkatkan efiseiensi dan keamanan dari proses pemberian obat
serta mengurangi kesalahan pemberian obat oleh perawat.
Solusi teknologi informasi untuk meningkatkan proses tatacara pemberian obat dan
mengurangi kejadian kesalahan pemberian obat adalah dengan Barcode Medication
Administration System. Teknologi barcode secara otomatis akan melakukan cek 5 benar pada
saat perawat melakukan scan tanda pengenal, dan mengidentifikasi tanda pengenal pasien
(gelang pengenal) untuk mengakses profil pengobatan pasien dan memverifikasi nama obat,
pasien, dosis, waktu dan cara pemberian yang tepat. Pengecekan ini dilakukan untuk satu kali
pemberian obat, disamping tempat tidur pasien, sebelum obat diberikan. Proses kerja
penggunaan barcode medication administration system meliputi: (1) scan tanda pengenal agar
dapat mengakses sistem barcode, (2) mengambil obat di area penyimpanan, (3) cek label obat
sesuai dengan BCMA, (4) scan medication barcode, (5) scan tanda pengenal pasien
dipergelangan tangan, (6) memberikan obat, (7) dokumentasi.
F. PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN OBAT
Perawat harus terampil dan tepat saat memberikan obat, tidak sekedar memberikan pil
untuk diminum (oral) atau injeksi obat melalui pembuluh darah (parenteral), namun juga
mengobservasi respon klien terhadap pemberian obat tersebut. Pengetahuan tentang manfaat
dan efek samping obat sangat penting dimiliki oleh perawat. Perawat memiliki peran yang
utama dalam meningkatkan dan mempertahan kesehatan klien dengan mendorong klien untuk
lebih proaktif jika membutuhkan pengobatan. Perawat berusaha membantu klien dalam
membangun pengertian yang benar dan jelas tentang pengobatan, mengkonsultasikan setiap
obat yang dipesankan dan turut serta bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan
tentang pengobatan bersama dengan tenaga kesehatan lain. Perawat dalam memberikan obat
juga harus memperhatikan resep obat yang diberikan harus tepat, hitungan yang tepat pada
dosis yang diberikan sesuai resep dan selalu menggunakan prinsip 12 benar, yaitu:
1. Benar Klien
Klien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa identitas klien, dan meminta
klien menyebutkan namanya sendiri. Beberapa klien akan menjawab dengan nama
sembarang atau tidak berespon, maka gelang identifikasi harus diperiksa pada setiap klien
pada setiap kali pengobatan. Pada keadan gelang identifikasi hilang, perawat harus
memastikan identitas klien dan meminta klien menyebutkan namanya sendiri. Beberapa klien
akan menjawab dengan nama sembarang atau tidak berespon, maka gelang identifikasi harus
diperiksa pada setiap klien pada setiap kali pengobatan. Pada keadan gelang identifikasi
hilang, perawat harus memastikan identitas klien sebelum setiap obat diberikan. Dalam
keadaan dimana klien tidak memakai gelang identifikasi (sekolah, kesehatan kerja, atau
klinik berobat jalan), perawat juga bertanggung jawab untuk secara tepat mengidentifikasi
setiap orang pada saat memberikan pengobatan.

2. Benar Obat
 Klien dapat menerima obat yang telah diresepkan oleh seorang dokter, dokter gigi,
atau pemberi asuhan kesehatan yang memiliki izin praktik dengan wewenang dari
pemerintah. Perintah melalui telepon untuk pengobatan harus ditandatangani oleh
dokter yang Perintah pengobatan mungkin diresepkan menelepon dalam waktu 24
jam. Komponen dari perintah pengobatan adalah : (1) tanggal dan saat perintah
ditulis, (2) nama obat, (3) dosis obat, (4) rute pemberian, (5) frekuensi pemberian, dan
(6) tanda tangan dokter atau pemberi asuhan kesehatan. Meskipun merupakan
tanggung jawab perawat untuk mengikuti perintah yang tepat, tetapi jika salah satu
komponen tidak ada atau perintah pengobatan tidak lengkap, maka obat tidak boleh
diberikan dan harus segera menghubungi dokter tersebut untuk mengklarifikasinya
( Kee and Hayes, 1996 ).
 Perawat bertanggungjawab untuk mengikuti perintah yang tepat
 Perawat harus menghindari kesalahan yaitu dengan membaca label obat minimal 3x:
1) Pada saat melihat botol atau kemasan obat
2) Sebelum menuang atau mengisap obat
3) Setelah menuang atau mengisap obat
 Memeriksa apakah perintah pengobatan lengkap dan sah
 Mengetahui alasan mengapa klien menerima obat tersebut
 Memberikan obat-obatan tanda: nama obat, tanggal kadaluarsa

3. Benar Dosis Obat


 Dosis yang diberikan klien sesuai dengan kondisi klien.
 Dosis yang diberikan dalam batas yang direkomendasikan untuk obat yang
bersangkutan.
 Perawat harus teliti dalam menghitung secara akurat jumlah dosis yang akan
diberikan, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: tersedianya obat dan
dosis obat yang diresepkan atau diminta, pertimbangan berat badan klien
(mg/KgBB/hari), jika ragu-ragu dosis obat harus dihitung kembali dan diperiksa oleh
perawat lain.
 Melihat batas yang direkomendasikan bagi dosis obat tertentu.

4. Waktu Pemberian
 Pemberian obat harus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
 Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus diberikan. Dosis
obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari, seperti b.i.d ( dua kali
sehari ), t.i.d ( tiga kali sehari ), q.i.d ( empat kali sehari ), atau q6h ( setiap 6 jam ),
sehingga kadar obat dalam plasma dapat dipertahankan. Obat-obat dengan waktu
paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu yang tertentu.
 Pemberian obat harus sesuai dengan waktu paruh obat (t1/2). Obat yang mempunyai
waktu paruh panjang diberikan sekali sehari, dan unutk obat yang memiliki waktu
paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu tertentu.
 Pemberian obat juga memperhatikan diberikan sebelum atau sesudah makan atau
bersama makanan.
 Memberikan obat seperti kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi mukosa lambung
bersama-sama dengan makanan.
 Menjadi tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadwalkan
untuk memeriksa diagnostik, seperti tes darah puasa yang merupakan kontraindikasi
pemeriksaan obat.

5. Benar Cara Pemberian


 Memperhatikan proses absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan memadai.
 Memperhatikan kemampuan klien dalam menelan sebelum memberikan obat-obat
peroral.
 Menggunakan teknik aseptic sewaktu memberikan obat melalui rute parenteral.
 Memberikan obat pada tempat yang sesuai dan tetap bersama dengan klien sampai
obat oral telah ditelan.

6. Benar Dokumentasi
Pemberian obat sesuai dengan standar prosedur yang berlaku di rumah sakit. Dan selalu
mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan serta respon klien
terhadap pengobatan.

7. Benar Pendidikan Kesehatan Perihal Medikasi Klien


Perawat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan pendidikan kesehatan pada
pasien, keluarga, dan masyarakat luas terutama yang berkaitan dengan obat seperti manfaat
obat secara umum, penggunaan obat yang baik dan benar, alasan terapi obat dan kesehatan
yang menyeluruh, hasil yang diharapkan setelah pemberian obat, efek samping dan reaksi
yang merugikan dari obat, interaksi obat dengan obat dan obat dengan makanan, perubahan-
perubahan yang diperlukan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari selama sakit dan
sebagainya.

8. Benar Hak Klien untuk Menolak


Klien berhak untuk menolak dalam pemberian obat. Perawat harus memberikan inform
consent dalam pemberian obat.
 Hak Klien Mengetahui Alasan Pemberian Obat
Hak ini adalah prinsip dari memberikan persetujuan setelah mendapatkan
informasi ( Informed concent ) , yang berdasarkan pengetahuan individu yang
diperlukan untuk membuat suatu keputusan.
 Hak Klien untuk Menolak Pengobatan
Klien dapat menolak untuk pemberian suatu pengobatan . Adalah tanggung
jawab perawat untuk menentukan , jika memungkinkan , alasan penolakan dan
mengambil langkah – langkah yang perlu untuk mengusahakan agar klien mau
menerima pengobatan . Jika suatu pengobatan dtolak , penolakan ini harus segera
didokumentasikan. Perawat yang bertanggung jawab, perawat primer, atau dokter
harus diberitahu jika pembatalan pemberian obat ini dapat membahayakan klien,
seperti dalam pemberian insulin. Tindak lanjut juga diperlukan jika terjadi perubahan
pada hasil pemeriksaan laboratorium , misalnya pada pemberian insulin atau warfarin.

10. Benar Pengkajian


Perawat selalu memeriksa ttv sebelum pemberian obat.
11. Benar Evaluasi
Perawat selalu melihat atau memantau efek kerja dari obat setelah pemberiannya.

12. Benar Reaksi terhadap Makanan


Obat memliki efektivitas jika diberikan pada waktu yang tepat. Jika obat itu harus
diminum sebelum makan (ante cimum atau a.c) untuk memperoleh kadar yang diperlukan
harus diberi satu jam sebelum makan misalnya tetrasiklin dan sebaiknya ada obat yang harus
diminum setelah makan misalnya indometasin.
Reaksi dengan Obat Lain
Pada penggunaan obat seperti chloramphenicol diberikan dengan omeprazol penggunaan
pada penyakit kronis.

Anda mungkin juga menyukai