Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama manusia masih hidup di bumi, tentunya senantiasa dikelilingi oleh banyak
permasalahan akibat interaksi yang dilakukan sebagai makhluk sosial dan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Kemajuan zaman serta pembangunan nasional juga memicu
hadirnya pertikaian demi mendapatkan kemajuan masing-masing pihak. Dapat dikatakan
bahwa dunia Bisnis menjadi peran timbulnya suatu permasalahan sampai kepada suatu
sengketa. Untuk penyelesaian Sengketa ini terdiri atas dua cara yakni melalui Litigasi dan
Non Litigasi.
Litigasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan
informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi
permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga. Sedangkan  Jalur litigasi
adalah penyelesaian masalah hukum melalui jalur pengadilan. Umumnya, pelaksanaan
gugatan disebut litigasi. Gugatan adalah suatu tindakan sipil yang dibawa di pengadilan
hukum di mana penggugat, pihak yang mengklaim telah mengalami kerugian sebagai
akibat dari tindakan terdakwa, menuntut upaya hukum atau adil. Terdakwa diperlukan
untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika penggugat berhasil, penilaian akan diberikan
dalam mendukung penggugat, dan berbagai perintah pengadilan mungkin dikeluarkan
untuk menegakkan hak, kerusakan penghargaan, atau memberlakukan perintah sementara
atau permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan. Orang yang memiliki
kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi non-yudisial yang disebut sadar
hukum.
Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non-
litigasi ini dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian perkara diluar
pengadilan ini  diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Pertama, dalam
penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas
dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan. Kedua, dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa Alternatif Penyelesaian Perkara
(Alternatif Dispute Resolution) adalah  lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur  yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara negosiasi, mediasai, konsiliasi dan arbitrase. Atas dasar latar
belakang inilah, penulisan makalah ini diberi judul “Sengketa dan Cara
Penyelesaiaannya”.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
 Apakah yang dimaksud dengan Sengketa?
 Bagaimanakah cara Penyelesaian Sengketa secara Litigasi dan Non Litigasi?
 Bagiamanakah penerapannya dalam sebuah kasus?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah dalam penulisa makalah ini, maka tujuan daripada
penulisan ini adalah:
 Untuk mengetahui definisi dari Sengketa
 Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa baik secara Litigasi dan Non Litigasi
 Untuk mengetahui penerapan penyelesaian sengketa salam sebuah kasus

BAB II
ISI
A. Pengertian Sengketa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI),
pengertian sengketa adalah 1) sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat;
pertengkaran; perbantahan. 2) pertikaian; perselisihan. 3) perkara (dalam pegadilan).
Menurut Nurnaningsih Amriani, sengketa merupakan perselisihan yang terjadi antara
para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam perjanjian tersebut. Sedangkan menurut Takdir Rahmadi, sengketa
adalah situasi dan kondisi dimana orang-orang saling mengalami perselisihan yang
bersifat factual maupun perselisihan menurut persepsi mereka saja.
Sengketa adalah kondisi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak
lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan tersebut kepada
pihak kedua. Apabila suatu kondisi menunjukkan perbedaan pendapat, maka
terjadilah apa yang dinamakan sengketa tersebut. Dalam konteks hukum khususnya
hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi
antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah
dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Sehingga
dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak,
karena tidak dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan atau dipenuhi namun
kurang atau berlebihan yang akhirnya mengakibatkan pihak satunya dirugikan.
Sengketa yang timbul antara para pihak harus diselesaikan agar tidak menimbulkan
perselisihan yang berkepanjangan dan agar memberikan keadilan dan kepastian
hukum bagi para pihak. Secara garis besar bentuk penyelesaian sengketa dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu jalur litigasi maupun jalur non-litigasi.
B. Penyelesaian Sengketa secara Litigasi dan Non Litigasi
1. Penyelesaian Sengketa secara Litigasi
Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan definisi
mengenai litigasi, namun dapat dilihat di dalam Pasal 6 ayat 1 UU 30/1999
tentang Arbitrase yang pada intinya mengatakan bahwa sengketa dalam bidang
perdata dapat diselesaikanpara pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa litigasi merupakan
proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan yang mana setiap pihak
bersengketa memiliki hak dan kewajiban yang sama baik untuk mengajukan
gugatan maupun membantah gugatan melalui jawaban.
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa
melalui Lembaga pengadilan. Menurut Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H.
dalam bukunya yang berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa mengatakan bahwa
litigasi merupakan penyelesaian sengketa secara konvensional dalam dunia bisnis
seperti dalam bidang perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan
gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya. Proses litigasi menempatkan para pihak
saling berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi
merupakan sarana akhir (ultimum 12 Bunyi Pasal 6 ayat (1), “Sengketa atau beda
pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki kelebihan dan kekurangan.
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu keputusan
yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama
karena menghasilkan suatu putusan win-lose solution. Sehingga pasti akan ada
pihak yang menang pihak satunya akan kalah, akibatnya ada yang merasa puas
dan ada yang tidak sehingga dapat menimbulkan suatu persoalan baru di antara
para pihak yang bersengketa. Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang
lambat, waktu yang lama dan biaya yang tidak tentu sehingga dapat relative lebih
mahal.
Proses yang lama tersebut selain karena banyaknya perkara yang harus
diselesaikan tidak sebanding dengan jumlah pegawai dalam pengadilan, juga
karena terdapat tingkatan upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak
sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia
yaitu mulai tingkat pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi,
Kasasi di Mahkamah Agung dan yang terakhir Peninjauan Kembali sebagai upaya
hukum terakhir. Sehingga tidak tercapai asas pengadilan cepat, sederhana dan
biaya ringan.
2. Penyelesaian Sengketa secara Non Litgasi
Rachmadi Usman, S.H., M.H. mengatakan bahwa selain melalui litigasi
(pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui jalur non-
litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut dengan Alternative Dispute
Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia biasanya disebut dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut APS). Terhadap penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (di Indonesia dikenal dengan nama APS) telah
memiliki landasan hukum yang diatur dalam UU 30/1999 tentang Arbitrase.
Meskipun pada prakteknya penyelesaian sengketa di luar pengadilan
merupakan nilai-nilai budaya, kebiasaan atau adat masyarakat Indonesia dan hal
ini sejalan dengan cita-cita masyarakat Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Cara penyelesaian tersebut adalah dengan
musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan. Misalnya dalam forum
runggun adat yang menyelesaikan sengketa secara musyawarah dan
kekeluargaan, dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat setempat dikenal adanya Lembaga hakim perdamaian yang secara
umum berperan sebagai mediator dan konsiliator tepatnya di Batak Minangkabau.
Oleh sebabitu, masuknya konsep ADR di Indonesia tentu saja dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia. Pembahasan mengenai APS semakin ramai
dibicarakan dan perlu dikembangkan sehingga dapat mengatasi kemacetan dan
penumpukan perkara di Pengadilan. Istilah APS merupakan penyebutan yang
diberikan untuk pengelompokan penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Ada yang mengartikan APS sebagai Alternative
to Litigation yang mana seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, termasuk arbitrase merupakan bagian dari APS. Pasal 1 Angka (10)
UU 30/1999 tentang Arbitrase merumuskan bahwa APS sendiri merupakan
Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli . Sedangkan APS
sebagai Alternative to Adjudication meliputi penyelesaian sengketa yang bersifat
konsensus atau kooperatif. Namun dalam perkembangan dan pemberlakuan
khususnya di Indonesia terdapat 6 (enam) APS diuraikan sebagai berikut:
1) Konsultasi
Konsultasimerupakansuatutindakan yang bersifat personal
antarasuatupihaktertentu, yang disebutdengankliendenganpihak lain yang
merupakanpihakkonsultan, yang
memberikanpendapatnyakepadaklientersebutuntukmemenuhikeperluan dan
kebutuhankliennyatersebut. Peran
darikonsultandalampenyelesaiansengketatidaklahdominan,
konsultanhanyamemberikanpendapat (hukum), sebagaimana yang diminta
oleh kliennya, yang
untukselanjutnyakeputusanmengenaipenyelesaiansengketatersebutakandiambil
sendiri oleh para pihak,
meskipunadakalanyapihakkonsultandiberikesempatanuntukmerumuskanbentu
k-bentukpenyelesaiansengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersengketatersebut.
Denganadanyaperkembangan zaman,
konsultasidapatdilakukandengansecaralangsungmaupundenganmenggunakante
knologikomunikasi yang telahada.
Konsultasidapatdilakukandengancaraklienmengajukansejumlahpertanyaankep
adakonsultan. Hasil konsultasiberupa saran yang tidakmengikatsecarahukum,
artinya saran tersebutdapatdigunakanatautidak oleh klien,
tergantungkepentingan masing-masing pihak.  
2) Negosiasi
Negosiasiadalahsaranabagipihak-pihak yang
bersengketauntukmendiksusikanpenyelesaiannyatanpaketerlibatanpihakketiga.
Menurut KBBI (KamusBesar Bahasa Indonesia),
negosiasidiartikansebagaipenyelesaiansengketasecaradamaimelaluiperundinga
nantarapihak-pihak yang bersengketa.
Melaluinegosiasi para pihak yang bersengketadapatmelakukansuatu
proses penjajakankembaliakanhak dan kewajiban para pihak yang
bersengketadengansuatusituasi yang sama-samamenguntungkan,
denganmelepaskanataumemberikankelonggaranatashak-
haktertentuberdasarkan pada asas timbal balik. Kesepakatan yang
telahdicapaikemudiandituangkansecaratertulisuntukditandatangani dan
dilaksanakan oleh para pihak.
Namun proses
negosiasidalampenyelesaiansengketaterdapatbeberapakelemahan. Yang
pertamaialahketikakedudukan para pihak yang tidakseimbang. Pihak yang
kuatakanmenekanpihak yang lemah. Yang keduaialah proses
berlangsungnyanegosiasiacap kali lambat dan bisamemakanwaktu yang lama.
Yang ketigaialahketikasuatupihakterlalukerasdenganpendiriannya.
3) Mediasi
Mediasiadalahintervensiterhadapsuatusengketa oleh pihakketiga
(mediator) yang dapatditerima, tidakberpihak dan netralsertamembantu para
pihak yang
berselisihmencapaikesepakatansecarasukarelaterhadappermasalahan yang
disengketakan. MenurutRachmadi Usman,
mediasiadalahcarapenyelesaiansengketadiluarpengadilanmelaluiperundingan
yang melibatkanpihakketiga (mediator) yang bersikapnetral dan
tidakberpihakkepadapihak-pihak yang bersengketasertaditerimakehadirannya
oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Mediator bertindaksebagaifasilitator. Hal inimenunjukkanbahwatugas
mediator hanyamembantu para pihak yang
bersengketadalammenyelesaikanmasalah dan
tidakmempunyaikewenanganuntukmengambilkeputusan. Mediator
berkedudukanmembantu para pihak agar dapatmencapaikesepakatan yang
hanyadapatdiputuskan oleh para pihak yang bersengketa. Mediator
tidakmemilikikewenanganuntukmemaksa,
tetapiberkewajibanuntukmempertemukan para pihak yang bersengketa.
Mediator harusmampumenciptakankondisi yang kondusif yang
dapatmenjaminterciptanyakompromidiantarapihak-pihak yang
bersengketauntukmemperolehhasil yang salingmenguntungkan.

4) Konsiliasi
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan melalui seorang atau beberapa
orang atau badan (komisi konsiliasi) sebagai penegah yang disebut konsiliator
dengan mempertemukan atau memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai. Konsiliator ikut
serta secara aktif memberikan solusi terhadap masalah yang diperselisihkan.
5) Penilaian Ahli
Pendapatahlimerupakansuatu pandangan, keputusan atau taksiran yang
terbentuk di dalam pikiran mengenai suatu persoalan terntentuyang bersifat
teknis sesuai dengan bidang keahliannya
6) Arbitrases
Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian konflik atau sengketa
perdata yang dilakukan di luar peradilan. Penyelesaian konflik melalui metode
arbitrase diatur oleh pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 TentangArbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Apabila ingin menyelesaikan masalah dengan cara arbitrase, kedua belah
pihak yang bersengketa sebelumnya harus sepakat. Mereka juga diharuskan
menunjuk satu pihak penengah yang disebut dengan arbiter. Selanjutnya,
mereka wajib membuat
perjanjiantertulisatashasildariperundinganmereka.Perjanjiantertulishasilarbitra
sedisebut juga denganklausularbitrase.
Perjanjiantertulistersebutmerupakanhasil yang
bersifatmengikatantarakeduabelahpihak yang bersengketa.

C. Contoh Penerapan Penyelesaian Sengketa


Dalam penulisan makalah ini, contoh kasus yang diangkat ialah terkait
penyelesaian Sengketa melalui Non-Litigasi yaitu Arbitrase.
Kronologis Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas:
1. Kerjasama antara Pertamina dan Karaha Bodas Company. Pengembangan
energi panasbumi dimulai sejak tahun 70-an di daerah Kamojang yang pada
saat itu baru dibangun oleh Pertamina, Pertamina sebagai salah salah satu
usaha milik negara yang mempunyai hak untuk mengembangkan energi
geothermal terus berusaha untuk mengembankan energi tersebut, Pada tahun
1994, pertamina mengadakan kontrak kerjasama dengan pihak investor lisrik
swasta yaitu Karaha Bodas Co. LLC dibawah kontrak joint operation contrak
(JOC) sedangkan PLN sebagai pembeli nantinya dibawah kontrak Energy
sales contrak (ESC) dengan Karaha Bodas Company. Pertamina dan Karaha
Bodas Co. LLC mengadakan pengembangan energi panasbumi di Karaha
Bodas (Garut) dan Telaga Bodas (Tasikmalaya), dimaksudkan nantinya dapat
menghasilkan energi yang ramah lingkungan dan bersih.
2. Kesepakatan Kerjasama Antara Pertamina dan Karaha Bodas Company. Pada
saat ini, perusahaan swasta yang beropasi di kebanyakan lapangan
gheothermal dibawah kontrak operasi gabungan dengan Pertamina yang
mengalokasikan 4% dari pendapatan operasional bersih ke Pertamina dan
tambahan 34% dari pendapatan operasi netto ke pemerintah. Berdasarkan
Keppres Nomor 45 Tahun 1991 menggariskan dua jalur alternatif untuk
pengembangan energi geothermal di Indonesia. Pertama Pertamina atau
kontraktor operasi gabungannya mengembangkan dan mengoperasikan
lapangan uap aja, penjualan uap ke PLN atau ke pihak lain untuk
membangkitkan listrik. Kedua memungkinkan Pertamina atau kontraktornya
membangkitkan listrik sebagaimana mereka mengembangkan dan
mengoperasikan lapangan uap, listrik yang dihasilkan di jual ke PLN atau ke
konsumen lain. Dari penetapan ini lahir dua perjanjian yaitu :
a. Kontrak Operai Gabungan (JOC) Suatu JOC adalah perjanjian legal antara
kontraktor dan pertamina yang mewakili pemerintah. Pertamina
bertanggung jawab untuk menajemen operasi dan kontraktor bertanggung
jawab untuk produksi energy geothermal dari daerah kontrak, konvensi
energy menjadi listrik atau mengirimkan geothermal atau listrik. JOC
memungkinkan operasi untuk 42 tahun, termaksud produksi selama
30tahun, kontrak kepemilikan- operasi selama 30 tahun. Dan listrik dijual
pada tingkat kontrak penjualan energy, yang normalnya dengan denominal
dalam dolar dan menjadi kewajiban PLN untuk membeli listrik pada dasar
ambil atau bayar dalam jangka waktu 30 tahun;
b. Kontrak Penjualan Energi (ESC)
Satu ESC atau bagian integral dari JOC, adalah perjanjian antara
kontraktor dan supplier dari uap geothermal, Pertamina sebagai penjual,
dan PLN sebagai pembeli energi geothermal. Dibawah kesepakatan ini,
periode produksi untuk mengirimkan energi geothermal dari masing-
masing unit, jangka waktu ESC adalah 43 tahun.
3. Timbulnya Kasus Pertamina dan Karaha Bodas Company. Kasus cukup
menarik dan menyita perhatian masrakat internasional yaitu kasus antara
Pertamina Vs KBC, yang terlihat jelas gesekan kepentingan nyaris berbeda
antara keduanya, terlebih perusahaan karaha bodas merupakan perusahaan
perseroan yang didirikan berdasarkan aliran-aliran modal baik dari dalam
maupun dari luar, dimana tujuan perusahaan ini lebih mengutamakan profit
oriented dan sisi lain perusahaan nasional atau Pertamina lebih mengutamakan
kepentingan nasional, ini bagaikan api dalam sekam, setiap saat dapat terbakar
dan dapat merugikan kedua belah pihak. Dengan adanya kehadiran investasi
ke Indonesia otomatis harus tunduk pada semua sistem hukum politik negara
tuan rumah, artinya perusahaan harus mematuhi aturan investasi di Indonesia.
Tetapi hal ini tidak berlaku bagi perusahaan trannasional seperti Karaha Bodas
Company yang mempunyai saham yang lebih besar atau utuh 100%, sehingga
pengambilan kebijakan dipengaruhi oleh pemegang saham terbesar, ini
menimbulkan kepentingan negara tuan rumah menjadi perioritas kedua.
Sayangnya sampai saat ini aturan hukum internasional yang berlaku umum
untuk mengatur aktivitas perusahaan transnasional belum dibuat, hal ini sudah
pasti akan berpotensi muncul konflik antara kedua subjek hukum ini, yaitu
antara Pertamina dan Karaha Bodas Company.
4. Latar Belakang Terjadinya Kasus Pertamina dan Karaha Bodas Company.
Karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi Internasional Monetery Fund
(IMF), pada tanggal 20 September 1997, Presiden melalui Keppres Nomor 39
Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah,
BUMN Swasta yang berkaitan dengan Pemerintah / BUMN. Keppres tersebut
menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi
pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997, melalui Kepres Nomor 47 Tahun
1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1998
pada tanggal 10 Januari 1988 Proyek kembali ditangguhkan. Pada tanggal 22
Maret 2002 pemerintah melalui Keppres Nomor 15 Tahun 2002, berniat
melanjutkan proyek tersebut. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 216K/31/MEM/2002 tentang
Penetapan Status Proyek PTLP Karaha dari ditangguhkan menjadi diteruskan.
Akhirnya, KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi
ke Arbitrase Jenewa (Swiss) sesuai dengan tempat yang dipilih oleh para
pihak dalam JOC. Pengadilan arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember
2000 membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada
KBC. Kurang lebih US$ 270.000.000. dengan rincian, Pertamina harus
membayar denda yang dihitung dari nilai ganti rugi US$ 111,1 juta dan
hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan (opportunity lost) US$ 150
Juta, ditambah dengan bunga 4% pertahun sejak 2001. Pertamina dan PLN
selanjutnya melanggar kewajiban kontrak mereka terhadap KBC. Walaupun
keputusan badan arbitrase internasional sudah ditetapkan, tetapi Pertamina
telah menolak untuk membayar kewajiban legalnya. Dalam merespon ini KBC
melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk melaksanakan Putusan
Arbitrase Jenewa di Pengadilan beberapa negara dimana aset dan barang
Pertamina berada, kecuali di Indonesia, yaitu:
 Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta US District Court for The
Southern Distric of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa.
 Pengadilan Hong Kong, memutuskan mengabulkan permohonan sita
jaminan KBC terhadap aset dan barang milik Pertamina di Singapura.
 Pengadilan Singapura, KBC meminta semua aset anak perusahaan
Pertamina yang berada di Singapura termasuk Petral. d. Pada tanggal 30
Januari 2004, KBC meminta Hakim New York untuk menahan aset
Pertamina dan Pemerintah RI hingga 1,044 miliar dolar USA. Permintaan
tersebut ditolak, dan Hakim menetapkan agar Bank Of America (BOA)
dan Bank Of New York melepaskan kembali dana sebesar US$ 350 Juta
kepada pemerintah RI. Yang tetap ditahan adalah dana 15 rekening
adjudicated account di BOA sebesar US$ 296 Juta untuk jaminan.
Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk membatalkan
putusan arbitrase Jenewa berdasarkan dua alasan. Pertama, Pertamina dan
KBC telah menentukan seat arbitrase Jenewa dibuat di Swiss. Kedua,
putusan Arbitrase Jenewa dibuat di Swiss. Namun sayang, proses ini tidak
diteruskan karena keengganan Pertamina membayar uang deposit. Selain
meminta pengadilan Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase, upaya
hukum lainnya yang dilakukan oleh Pertamina adalah meminta penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan yang oleh KBC
diminta untuk melakukan eksekusi serta melakukan upaya hukum
pembatalan putusan arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Indonesia
(Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) pada tanggal 14 Maret 2002. Namun
tuntutan Pertamina yang dilakukan pada tanggal 14 maret 2002 kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang bertujuan untuk menghapus
ganjaran arbitrase dan mencegah kegiatan peradilan lain untuk
melaksanakan keputusan tersebut bergerak maju, Sangat menyalahi
semangat serta surat persetujuan kontrak Pertamina, seperti halnya aturan
arbitrasi komosi PBB untuk perdagangan internasional (aturan
UNCITRAL), serta konvensi perserikatan bangsa-bangsa untuk
pengakuan dan pelaksanaan ganjaran Arbitrase luar negeri (konvensi new
York), yang telah ditandatangani oleh Indonesia.
5. Kondisi dan Perkembangan Kasus Antara Pertamina dan KBC. Kondisi
perseteruan antara Pertamina Vs KBC semakin seru, apalagi pada tanggal 27
Agustus 2007 majelis hakim yang diketua Henry Swantoro mengabulkan
gugatan tertulis Pertamina dan memerintahkan KBC untuk tidak melakukan
tindakan apa pun, termaksud eksekusi putusan arbitrase dan menetapkan
denda sebesar US$ 500 ribu perhari apabila KBC tidak mengindahkan
larangan tersebut. Tentu saja itu ditanyakan oleh Rambun Tjaja (pengacara
KBC di Indonesia) : “Berdasarkan putusan arbitrase, bentuk pembatasan
harusnya permohonan bukan gugatan, dan yang berhak mengajukan
pembatalan itu adalah arbitrase”. Keluarnya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat itu memang membuat perkara ini tambah seru, sebab menurut
pengadilan distrik texas, Pertamina dianggap melecehkan pengadilan
(contemp of court). Pertimbangan majelis hakim bahwa keputusan arbitrase
internasional dianggap telah melampaui kewenangan arbitrase sendiri. Majelis
hakim juga menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai
wewenang megadili kasus gugatan Pertamina untuk membatalkan hasil
arbitrase internasional. Karena pada butir ketiga keputusan tersebut.Majelis
hakim berpendapat bahwa keputusan arbitrase sangat memungkinkan dengan
menggunakan yurisdiksi Indonesia sehingga kasus KBC harus menggunakan
hukum berlaku di Indonesia (berdasarkan Konvensi 1958 yaitu New York
Convention). Sehari setelah keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam
jumpa pers pihak KBC akan mengajukan kasasi ke mahkamah agung
berkaitan dengan kekalahan mereka dari Pertamina di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, karena menganggap kepusan tersebut tidak sah dan tidak
memiliki kekuatan hukum dan pihak KBC juga menilai keputusan tersebut
meremehkan dasar hukum perdagangan internasional. Kata Bishop selaku
pemegang saham mayoritas karaha menyatakan “putusan tersebut merupakan
sesuatu yang berbahaya dalam perjanjian tentang konflik komersial” sehingga
seolah tak ada lagi perlindungan bagi penanam modal diindonesia.

Anda mungkin juga menyukai