Anda di halaman 1dari 20

Newborn Auditory Brainstem Responses pada Anak dengan

Disabilitas Tumbuh Kembang

Christine F. Delgado · Elizabeth A. Simpson · Guangyu Zeng · Rafael E. Delgado


· Oren Miron

Abstrak

Penelitian ini mengintegrasikan antara data dari pusat data skrining pendengaran
pada bayi baru lahir dan pusat data disabilitas prasekolah, untuk menilai hubungan
antara auditory brainstem responses (ABR) yang dibangkitkan (click evoked)
pada bayi baru lahir terhadap disabilitas tumbuh kembang. Sampel dalam
penelitian ini termasuk anak-anak dengan keterlambatan tumbuh kembang (n =
2992), gangguan bicara/speech impairment (SI, n = 905), gangguan
bahasa/language impairment (n = 566), gangguan spektrum autisme/autism
spectrum disorder (ASD, n = 370), dan anak (subjek) pembanding (n = 128.181).
Kami membandingkan fase bentuk gelombang ABR, ukuran latensi pemrosesan
suara pada seluruh kelompok. Anak-anak dengan SI dan anak-anak dengan ASD
memiliki nilai fase newborn ABR yang lebih besar daripada kelompok
pembanding dan kelompok dengan keterlambatan tumbuh kembang. Bayi baru
lahir yang kemudian didiagnosis dengan SI atau ASD memiliki respon neurologis
yang lebih lambat terhadap rangsangan pendengaran, menunjukkan adanya
perbedaan sensorik saat lahir.

Kata kunci: Auditory brainstem response · Autism spectrum disorder · Speech


impairment · Developmental disabilities · Early identification

Pendahuluan

Lima belas persen anak-anak (usia 3-17) ditemukan mengalami defek


perkembangan (Boyle et al., 2011). Defisit-defisit yang mendasari terkait dengan
terjadinya defek perkembangan adalah adanya penyimpangan proses
perkembangan pranatal (Huang et al., 2016) sehingga, bayi baru lahir diharuskan
menjalani skrining/pemeriksaan untuk beberapa defisit tersebut. Misalnya,
skrining bayi baru lahir untuk gangguan pendengaran adalah hal yang umum
terjadi pada negara maju di seluruh dunia (Morton & Nance, 2006). Skrining ini
telah mengarah kita dalam identifikasi lebih awal. Juga, melalui intervensi dini,
skrining telah meningkatkan luaran bahasa, akademik, dan sosial pada anak-anak
(Joint Committee on Infant Hearing, 2019; Korver et al., 2010; McCann et al.,
2009; Patel & Feldman, 2011).

Auditory brainstem response (ABR), merupakan metode non-invasif yang


mengukur respon saraf pendengaran dan batang otak terhadap suara (Brama &
Sohmer, 1977), menghasilkan informasi tentang batang otak dan fungsi telinga
bagian dalam serta sirkuit yang menghubungkan struktur-struktur tersebut
(Gambar. 1; Hall, 2006). ABR digunakan untuk mengevaluasi gangguan
pendengaran, tidak hanya meliputi komponen-komponen konduktif dan
sensorineural (Mason & Herrmann, 1998; Morton & Nance, 2006), tetapi juga
menunjukkan harapan sebagai alat skrining sensorik untuk disabilitas lainnya
(Geva & Feldman, 2008). Menggunakan ABR, perbedaan neurologis dalam
menanggapi suara telah diidentifikasi pada anak-anak dan orang dewasa dengan
autism spectrum disorder (ASD) (Cohen et al., 2013; Dabbous, 2012; Fujikawa-
Brooks et al., 2010; Kwon et al., 2007 ; Maziade et al., 2000; Miron et al., 2016;
Miron et al., 2018; Rosenhall et al., 2003; Roth et al., 2012; Santos et al., 2017;
Talge et al., 2018; Tas et al., 2007; Thivierge et al., 1990; Wong & Wong, 1991),
defek intelektual (Ferri et al., 1986; Mochizuki et al., 1986), gangguan bicara
dan/atau bahasa (Abadi et al. , 2016; Gabr & Darwish, 2016; Gonçalves et al.,
2011; Mason & Mellor, 1984; Roth et al., 2012), gangguan proses belajar (King et
al., 2002), serta disleksia (Hornickel & Kraus, 2013). Sebagian besar penelitian
terkait defek tumbuh kembang ini menggunakan ABR suprathreshold yang
memberikan respon yang lebih menonjol dengan puncak yang lebih jelas
dibandingkan dengan skrining ABR. Meskipun data ABR yang dikumpulkan
melalui skrining pendengaran bayi baru lahir diperoleh pada tingkat stimulasi
yang lebih rendah (yang menghasilkan respon yang lebih kecil dan lebih luas),
data-data tersebut masih memberikan kumpulan data yang konsisten terkait
karakteristik latensi yang diketahui. Sehingga, kemampuan skrining pendengaran
newborn ABR untuk mendeteksi risiko defek perlu diteliti lebih lanjut, di mana
saat ini telah dilakukan terhadap sekitar 2 juta anak per tahun melalui skrining
pendengaran universal di Amerika Serikat saja.

Gambar 1. Ilustrasi latency delay ABR pada gelombang V di ASD yang


mendemonstrasikan konsep klasifikasi ASD berdasarkan latency delay.
Perbedaan-perbedaan gelombang disimulasikan untuk mewakili situasi skrining
yang ideal.

Data skrining pendengaran bayi baru lahir juga dapat menyediakan ABR, yang
diperoleh bertahun-tahun sebelum penegakan diagnosis defek tumbuh kembang
pada anak-anak. Dengan beberapa pengecualian (Cohen et al., 2013; Miron et al.,
2016, 2021), sebagian besar penelitian tentang ABR dan defek tumbuh kembang
yang telah dilakukan terhadap anak-anak berusia lebih tua dan orang dewasa,
seringkali dilakukan pasca defek tumbuh kembang telah didiagnosis. Selanjutnya,
penelitian terhadap bayi baru lahir telah difokuskan pada mereka yang berada di
unit perawatan intensif neonatal (NICU; Cohen et al., 2013; Miron et al., 2016)
atau hanya pada satu defek tumbuh kembang (misalnya, ASD; Miron et al.,
2021 ). Oleh karena itu, penelitian tambahan terhadap bayi baru lahir diperlukan
untuk menentukan sifat-sifat defisit yang ada saat lahir, serta potensi ABR sebagai
alat skrining bayi baru lahir untuk berbagai defek tumbuh kembang dalam
populasi yang lebih luas di luar NICU (Miron et al., 2021).

Untuk mengatasi kebutuhan ini, kami menggunakan sumber data sekunder


berskala besar untuk memeriksa pola ABR anak-anak dengan defek tumbuh
kembang. Pendekatan ini memungkinkan kami untuk mendapatkan sampel yang
lebih besar daripada penelitian sebelumnya, untuk memeriksa populasi umum dari
bayi baru lahir (termasuk bayi baru lahir yang sehat dan biasanya bertumbuh
kembang dengan baik, bukan hanya mereka yang berada di NICU), dan untuk
memeriksa berbagai luaran defek tumbuh kembang yang lebih luas, di luar ASD
saja. Kami berhipotesis bahwa bayi baru lahir yang terdiagnosis dengan defek
tumbuh pada saat usia prasekolah, seperti, memiliki latensi ABR yang lebih lama,
daripada bayi baru lahir yang tidak didiagnosis dengan defek tumbuh kembang
nantinya.

Mengidentifikasi perbedaan-perbedaan ABR di antara anak-anak dengan defek


tumbuh kembang memiliki potensi untuk tidak hanya menginformasikan
pemahaman kita tentang dasar-dasar biologis dari defek/kecacatan ini, tetapi juga
dapat mengarah pada pengembangan alat skrining defek tumbuh kembang untuk
bayi baru lahir. Memang, periode awal pascakelahiran merupakan waktu yang
sangat jarang dipelajari dalam ilmu tumbuh kembang, terutama untuk defek
perkembangan yang tidak memiliki gejala yang jelas hingga perkembangan
selanjutnya (Marschik et al., 2017). Mengidentifikasi bayi baru lahir dengan
peningkatan risiko defek tumbuh kembang di masa depan memungkinkan
tersedianya layanan intervensi dini, yang dapat mengarah pada keuntungan yang
lebih besar dan pada akhirnya meningkatkan luaran tumbuh kembang bagi anak-
anak (Barger et al., 2018; Committee on Children with Disabilities, 2001; Dawson
et al. , 2010; Dubois et al., 2014; Guralnick, 1997; Hebbeler et al., 2007; Huang et
al., 2006; McLean & Cripe, 1997; Nagy, 2011; National Research Council 2001;
Ward, 1999; Webb et al ., 2014). Skrining bayi baru lahir terkait disabilitas
perkembangan mereka juga berpotensi mengurangi disparitas ras dan etnis secara
substansial (Delgado & Scott, 2006; Magaña et al., 2012; Wiggins et al., 2020)
dengan cara menyediakan skrining dan identifikasi risiko dini untuk semua anak.
Metode

Kami mengintegrasikan dua kumpulan data sekunder untuk memeriksa ABR bayi
baru lahir dari anak-anak yang lahir antara tahun 2009 dan 2015, yang kemudian
didiagnosis dengan disabilitas tumbuh kembang. Studi ini telah disetujui oleh
Dewan Peninjau Institusional Universitas Miami.

Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir (Auditory Brainstem Response)

Data ABR, diperoleh dengan menggunakan Smart Screener-Plus2 (Intelligent


Hearing Systems Corp.) dari bayi (N = 144.993) yang lahir di Florida, diperoleh
dari basis data Soundata Pediatrix Medical Group (perusahaan MEDNAX®).
Pediatrix Medical Group adalah penyedia skrining pendengaran bayi baru lahir
terbesar di Amerika Serikat. Bayi baru lahir diskrining untuk gangguan
pendengaran mereka sebelum meninggalkan rumah sakit (biasanya dalam 2 hari
setelah lahir). Catatan skrining pendengaran bayi baru lahir berisi rekaman ABR
mentah, parameter akuisisi, dan respon otomatis dari sistem perekaman.

ABR diperoleh dengan menggunakan klik 100 s pada tingkat pendengaran normal
(nHL) 35 dB dan tingkat stimulasi simultan masing-masing 77 dan 79 Hz untuk
telinga kanan dan kiri. Perangkat pengujian menggunakan tingkat stimulasi yang
berbeda untuk setiap telinga, dengan tujuan untuk membedakan respon yang
berasal dari masing-masing telinga (Delgado & Lim, 2010). Analisis untuk telinga
kiri dan kanan dilakukan secara terpisah untuk memperhitungkan kemungkinan
efek tingkat stimulasi, oleh karena digunakannya tingkat stimulasi yang sedikit
berbeda untuk masing-masing telinga.

ABR suprathreshold tipikal terdiri dari tiga puncak (peaks) utama yang ditandai
menggunakan Angka Romawi I, III, dan V. Pada intensitas pengujian yang lebih
rendah (35 dB nHL) yang digunakan untuk menskrining bayi baru lahir, hanya
puncak V yang mungkin ditemukan, dan puncak ini mungkin sulit untuk
menunjukkan (pinpoint) yang akurat secara visual dan/atau konsisten di seluruh
rekaman. Oleh karena itu, kami menggunakan metode pengukuran fase otomatis
untuk menentukan latensi. Fase merepresentasikan sudut fase dari penundaan
(delay) grup respon, yang menunjukkan adanya latensi komponen puncak. Kami
menentukan fase menggunakan teknik Fast Fourier Transform (FFT) spektral
objektif (Hall, 2006). Sebagai ukuran latensi, fase dianalogikan dengan latensi
gelombang V (Miron et al., 2021).

Bayi sering menerima lebih dari satu uji pendengaran, karena berbagai faktor
termasuk keadaan bayi (menangis), vernix di saluran telinga, cairan di telinga
tengah, ataupun kondisi/suasana perekaman yang bising. Kami menggunakan data
ABR dari tes pendengaran pertama di mana bayi baru lahir menguji kedua telinga
dalam rekaman yang sama. Dalam kasus di mana bayi baru lahir tidak
melewati/lulus uji kedua telinga secara bersamaan, kami menggunakan data ABR
dari tes terakhir yang menghasilkan kelulusan (pass) untuk setiap telinga secara
individual.

Disabilitas Prasekolah

Kami memperoleh data defek tumbuh kembang prasekolah dari Department of


Education, Bureau of Exceptional Education and Student Services, Children’s
Registry and Information System (CHRIS) database. Database CHRIS berisi
rujukan, penyaringan, evaluasi, dan informasi kelayakan untuk anak-anak usia
prasekolah (3–5 tahun) di seluruh Florida yang dirujuk ke Florida Diagnostic and
Learning Resources System. Kami berfokus pada gangguan tumbuh kembang
yang paling sering dilaporkan, termasuk anak-anak yang diidentifikasi dengan
keterlambatan perkembangan/developmental delay (DD), gangguan bicara/speech
impairment (SI), gangguan bahasa/language impairment (LI), atau gangguan
spektrum autisme/autism spectrum disorder (ASD). Anak-anak dengan
pengecualian primer lainnya, termasuk gangguan pendengaran yang
mempengaruhi ABR, dieksklusikan dari penelitian ini. Anak-anak hanya dapat
memiliki satu pengecualian primer tertentu, yang mengakibatkan kelompok-
kelompok tersebut menjadi saling eksklusif satu sama lain. Diagnosis defek
tumbuh kembang didasarkan pada kriteria diagnostik yang ditentukan dalam
Florida Statutes and State Board of Education Rules (Florida Department of
Education, 2014). Ringkasan masing-masing disabilitas tumbuh kembang telah
dijabarkan di bawah ini. Deskripsi dan kriteria yang lebih rinci untuk eligibilitas
telah disediakan dalam segmen Materi Tambahan.

ASD mengacu pada berbagai kondisi, sering ditandai dengan adanya gangguan
dalam interaksi sosial, komunikasi, dan adanya pola perilaku, minat, atau aktivitas
yang berulang dan/atau stereotipik (American Psychiatric Association, 2013).
ASD mewakili spektrum gangguan yang mencakup Gangguan Autistik,
Gangguan Perkembangan Pervasif yang Tidak Ditentukan, Gangguan Asperger,
atau gangguan perkembangan pervasif terkait lainnya.

SI mengacu pada gangguan dalam produksi bunyi wicara/ujaran (produksi bunyi


wicara atipikal yang ditandai dengan subtitusi, distorsi, penambahan, atau
penghilangan yang mengganggu kejelasan, kelancaran (penyimpangan dalam
kontinuitas, kelancaran, ritme, atau upaya dalam komunikasi lisan), dan/atau suara
(produksi atipikal atau tidak adanya kualitas vokal, nada, kenyaringan, resonansi,
atau durasi fonasi). Gangguan wicara terutama bukan merupakan akibat dari
faktor-faktor yang berkaitan dengan usia kronologis, jenis kelamin, budaya, etnis,
atau kemampuan bahasa Inggris yang terbatas. Sebaliknya, LI mengacu pada
gangguan dalam satu atau lebih proses pembelajaran dasar yang terlibat dalam
memahami atau menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, termasuk fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, atau pragmatik.

Tidak seperti ASD, SI, dan LI, yang mengacu pada defek tumbuh kembang yang
spesifik, DD merupakan kategori kelayakan yang kurang spesifik, yang mana
hanya berlaku untuk anak-anak di bawah usia 3-9 tahun, tergantung pada negara
bagian yang menganutnya (6 tahun adalah batas usia untuk di Florida). Melewati
usia ini, anak-anak harus diidentifikasi dengan disabilitas yang lebih tradisional
agar tetap memenuhi syarat untuk memperoleh layanan pendidikan khusus. Di
Florida, defek tumbuh kembang paling sering terjadi, yang pada akhirnya akan
diidentifikasi oleh anak-anak dengan DD, adalah ketidakmampuan spesifik-
belajar atau defek intelektual (Delgado, 2009). Kategori kelayakan DD
memungkinkan anak-anak dengan keterlambatan perkembangan (adaptif atau
swadaya, kognitif, komunikasi, sosial/emosional, dan/atau fisik yang signifikan),
untuk menerima layanan pendidikan yang dibutuhkan tanpa perlu diberi
label/dicap disabilitas tertentu, karena memberi label tersebut kepada anak-anak
tersebut akan menyulitkan mereka (Bernheimer et al., 1993; Gallmore et al.,
1999). Anak-anak yang diidentifikasi dengan DD tidak memenuhi kriteria
diagnostik untuk kategori disabilitas lainnya.

Keterkaitan Data

Kami menautkan beberapa database menggunakan Layanan Terintegrasi


Microsoft SQL Server. Kami mencocokkan catatan dengan nama depan, nama
belakang, tanggal lahir, dan jenis kelamin anak menggunakan algoritme
probabilistik (Fuzzy Lookup Add-In for Excel, miscrosoft.com). Dalam metode
ini, setiap catatan (record) diberi skor kesamaan untuk setiap variabel yang cocok
(nama depan, nama belakang, tanggal lahir, dan jenis kelamin) berdasarkan
kesamaan antara catatan input dan catatan kecocokan yang memungkinkan
(possible). Nilai kesamaan berkisar dari 0 hingga 1, dengan 1 mewakili kecocokan
yang sempurna. Catatan dianggap sesuai jika tanggal lahir dan jenis kelamin
adalah pasangan yang sempurna (kesamaan = 1) dan salah satu (a) nama depan
dan nama belakang memiliki skor kesamaan > 0,9 atau (b) catatan ditentukan
untuk sesuai setelah peninjauan secara individu (mis, membandingkan nama
orang tua untuk membuat penentuan yang sesuai/cocok).

Kelompok disabilitas (ASD, DD, LI, dan SI) ditentukan menggunakan kode
pengecualian utama dalam database CHRIS. Kelompok pembanding terdiri dari
semua anak dengan data ABR yang tidak sesuai dengan database CHRIS. Setelah
pentautan data, kami melakukan de-identifikasi kumpulan data terintegrasi untuk
menjaga kerahasiaan data penelitian.

Partisipan

Catatan ABR tersedia untuk 144.993 anak. Catatan dieksklusikan (n = 11,979)


jika jenis kelamin tidak ditunjukkan, anak berusia > 28 hari pada saat tes ABR,
usia saat ABR tidak ditunjukkan, nilai fase ABR tidak ditunjukkan, atau catatan
terkait dengan catatan CHRIS tetapi anak tersebut tidak memiliki diagnosis
disabilitas perkembangan yang sesuai. Usia terbatas pada periode bayi baru lahir
karena ABR berkembang pesat segera setelah lahir (Moore et al., 1996; Skoe et
al., 2013).

Dataset terintegrasi final mengikutsertakan 133.014 anak (Tabel 1). Tingkat laki-
laki yang lebih tinggi dalam kelompok disabilitas ditemukan konsisten dengan
laporan sebelumnya di Florida (Departemen Pendidikan A.S., 2014). Usia rata-
rata pada saat pengujian ABR adalah 1,81 hari setelah lahir (SD = 3,00; kisaran:
0–28 hari) dengan 93% anak diuji dalam 3 hari setelah lahir dan 96% diuji dalam
1 minggu setelah lahir. Terdapat perbedaan usia pengujian ABR di antara
kelompok kami, F(4, 133.004) = 9,48, p <0,001, 2 <0,001. Uji Tukey’s Honestly
Significant Difference (HSD) mengungkapkan bahwa anak-anak dengan DD
ditemukan lebih tua pada saat uji ABR, dibandingkan dengan anak-anak pada
kelompok pembanding (p <0,001, 95% CI [0,17, 0,47]) dan kelompok SI (p <
0,001, 95% CI [0,19, 0,81]). Usia pada uji ABR juga berbeda menurut jenis
kelamin, F(1, 133.004) = 52,43, p<0,001, 2<0,001, karena laki-laki (Mage=1,87
hari, SD=3,08) lebih tua dari pada perempuan (Mage=1,74 hari, SD =2.91).
Terdapat 12.792 bayi dari unit perawatan intensif neonatal (NICU; 9,62%; lihat
Tabel 1 untuk persentase NICU di setiap kelompok disabilitas tumbuh kembang).
Uji independensi chi-kuadrat mengungkapkan perbedaan dalam proporsi bayi
NICU di seluruh kelompok disabilitas, 2(4) = 12,11, p = 0,017. Perbandingan Post
Hoc menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang berada di NICU, dibandingkan
dengan mereka yang tidak di NICU, lebih mungkin didiagnosis sebagai DD
daripada kelompok pembanding, 2(1) = 8,40, p = 0,004. Kami mendeteksi tidak
ada perbedaan lain dalam proporsi bayi baru lahir NICU antara kelompok
pembanding dan kelompok disabilitas lainnya (ASD: 2(1) = 1,12, p = 0,289; SI:
2(1) = 1,11, p = 0,292; 2(1 ) = 0,69, p = 0,407). Oleh karena itu kami mengontrol
usia bayi baru lahir dan memasukkan jenis kelamin dan status NICU dalam
analisis kami.
Tabel 1. Informasi demografi berdasarkan kelompok

Kami menyusun penelitian ini di atas penelitian sebelumnya, yang menggunakan


subset dari data ini (Miron et al., 2021). Studi saat ini memperluas studi
sebelumnya dengan memanfaatkan kumpulan data yang lebih besar serta dengan
memeriksa rekaman ABR untuk rentang disabilitas perkembangan yang lebih
luas, termasuk anak-anak dengan DD, SI, LI, dan ASD (sementara penelitian
sebelumnya hanya memeriksa ASD saja).

Analisis

Variabel dependen utama kami adalah fase ABR, yang kami eksplorasi dengan
dua 2x5 analisis kovarians (ANCOVAs), satu untuk setiap telinga, dengan
variabel independen antara subjek jenis kelamin (laki-laki, perempuan) dan
kelompok (perbandingan, ASD, DD, SI, LI). Kami memasukkan kovariat usia
pengujian ABR (dalam hari) dan status NICU. Menindaklanjuti efek utama yang
signifikan secara statistik, kami menggunakan tes HSD Tukey untuk
mengeksplorasi perbedaan (Mdifference) antara masing-masing kelompok.
Keuntungan dari uji ini adalah bahwa ia mengontrol tingkat kesalahan Tipe 1
yang meningkat karena beberapa perbandingan berpasangan (Tukey, 1949).
Akhirnya, kami menganalisis apakah nilai fase ABR memprediksi diagnosis
kecacatan dengan klasifikasi regresi logistik validasi silang sepuluh kali lipat.
Kami juga melakukan analisis ANCOVA dengan mengeksklusikan bayi baru lahir
di NICU dan efeknya ditemukan sama (lihat Bahan Tambahan); karena itu kami
mempertahankan semua bayi baru lahir dalam analisis primer kami.

Hasil

Dalam mengontrol usia, terdapat efek utama dari jenis kelamin, di mana fase ABR
lebih besar untuk pria daripada wanita di kedua telinga, ps<0,001 (Tabel 2, 3, 4).
Juga terdapat efek utama dari kelompok, di mana kelompok ASD dan SI memiliki
nilai fase ABR yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok pembanding di
kedua telinga, ps <0,001 (Gambar. 2). Lebih spesifik lagi, untuk telinga kanan,
anak-anak dengan ASD (Mdifference = 7,48, p <0,001, 95% CI [2,73, 12,24]) dan
SI (Mdifference = 6,32, p <0,001, 95% CI [3,28, 9,37]) memiliki nilai fase ABR
lebih besar sebagai bayi baru lahir daripada kelompok pembanding. Pola yang
sama juga diamati di telinga kiri: anak-anak dengan ASD (Mdifference = 5,80, p
<0,001, 95% CI [0,82, 10,79]) dan SI (Mdifference = 4,67, p <0,001, 95% CI
[1,48, 7,87] ]) memiliki nilai fase ABR yang lebih besar sebagai bayi baru lahir
daripada kelompok pembanding. Nilai fase untuk anak ASD dan SI tidak berbeda
satu sama lain (telinga kanan, p = 0,980, telinga kiri, p = 0,985). Selain itu, nilai
fase ABR telinga kanan pada bayi baru lahir yang kemudian didiagnosis ASD
(Mdifference = 5,84, p = 0,013, 95% CI [0,80, 10,87]) dan SI (Mdifference =
4,67, p = 0,002, 95% CI [1.21, 8.14]) lebih tinggi daripada mereka yang kemudian
didiagnosis dengan DD. Perbedaan tersebut tidak signifikan untuk telinga kiri (ps
> 0.10). Kami tidak mendeteksi efek lainnya, ps > 0,05.

Tabel 2. Statistik deskriptif untuk fase (dalam derajat) pada desain 2 (jenis
kelamin)×5 (kelompok)
Tabel 3. Hasil ANCOVA menggunakan fase telinga kanan sebagai variabel
terikat/dependen.

Tabel 4. Hasil ANCOVA menggunakan fase telinga kiri sebagai variabel


terikat/dependen.
Gambar 2. Fase sinyal untuk bayi baru lahir berjenis kelamin perempuan (atas)
dan laki-laki (bawah) dicatat untuk telinga kiri dan kanan untuk masing-masing
kelompok. Bilah kesalahan mencerminkan kesalahan standar rata-rata. *ps < 0,05.
Nilai fase secara konsisten lebih besar di telinga kanan dibandingkan dengan
telinga kiri untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan, mencerminkan tingkat
stimulasi berbeda yang digunakan untuk menguji setiap telinga. Oleh karena itu,
skala untuk sumbu Y berbeda untuk telinga kiri dan kanan demi mengakomodasi
perbedaan ini.

Mengingat perbedaan fase ABR antara kelompok ASD dan SI ditemukan bersifat
relatif terhadap kelompok pembanding, kami selanjutnya meneliti pentingnya
nilai fase ABR dalam memprediksi diagnosis kecacatan berdasarkan klasifikasi
regresi logistik validasi silang sepuluh kali lipat, termasuk fase ABR di kedua
telinga, jenis kelamin bayi, usia bayi, dan status NICU. Seleksi model
menggunakan fungsi yang dibuat khusus dalam paket R "caret" (Kuhn, 2020).
Kami menggabungkan grup ASD dan SI dalam memaksimalkan kekuatan
klasifikasi, untuk membedakan mereka dari grup pembanding pada kurva area
under the receiver operating characteristic (ROC). Untuk mengatasi masalah
kolinearitas antara nilai fase di telinga kanan dan kiri (r = 0,44), pertama-tama
kami memusatkan prediktor-prediktor ini, dan kemudian melakukan transformasi
komponen utama mereka. Kemudian, kami secara acak membagi sampel menjadi
satu set pelatihan (75%) dan satu set pengujian (25%). Model pelatihan
menggunakan set pelatihan dan kami mengukur kekuatan prediksi model terbaik
dengan set pengujian. Untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan antar kelas
(perbandingan 99%, 1% ASD dan SI), proses pengambilan sampel acak bawaan
dalam paket "caret" disesuaikan dengan ukuran kelas pada setiap langkah validasi
silang.

Model terakhir menunjukkan bahwa kelima prediktor berkontribusi terhadap


klasifikasi disabilitas (Tabel 5). Kami kemudian menguji kekuatan prediksi dari
model terlatih pada set pengujian. Uji McNemar menunjukkan bahwa kinerja
prediksi lebih baik daripada peluang, p <0,001. Hasilnya menunjukkan AUC 0,64
(95% CI [0,61, 0,67]), akurasi seimbang 0,62, sensitivitas 0,72, dan spesifisitas
0,51 (Gambar. 3). Selain itu, model akhir menunjukkan nilai prediksi positif 0,014
pada set pengujian, dengan tingkat prevalensi sampel 0,010, dan nilai prediksi
negatif 0,995, menggunakan kriteria 50% dalam klasifikasi. Temuan ini
menunjukkan adanya kinerja prediktif tingkat kecil hingga menengah. Model
terakhir meningkatkan sensitivitas prediksi (yaitu, kemampuan untuk mendeteksi
kasus ASD atau SI yang sebenarnya) sementara akurasi dan spesifisitas tetap
serupa dengan tebakan acak. Akurasi prediksi negatif—probabilitas prediksi
negatif (akurasi prediksi bahwa bayi berada dalam kelompok pembanding)—
adalah tinggi. Namun, akurasi prediksi positif — probabilitas prediksi positif
(keakuratan prediksi bahwa bayi berada dalam kelompok ASD atau SI) — adalah
rendah, yang kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat ASD dan SI dalam
sampel dan penggunaan kriteria klasifikasi kami yang minimal (0,50).
Tabel 5. Koefisien tidak terstandarisasi, kesalahan standar, dan signifikansi model
logistik terlatih untuk mengklasifikasikan ASD dan SI dari kelompok
pembanding.

Gambar. 3. Kurva receiver operating characteristic (ROC) yang memplot


sensitivity-true positive rate (TPR) di atas 1—specificity-false positive rate (FPR),
mengevaluasi daya prediksi dalam set pengujian. Garis putus-putus
mencerminkan kesempatan. Area di bawah kurva sama dengan 0,64. Titik optimal
menunjukkan titik potong optimal untuk set pengujian.

Diskusi

Temuan kami menunjukkan bahwa anomali neurologis dalam menanggapi suara


hadir segera setelah lahir untuk anak-anak dengan ASD dan SI, dan bahwa
perbedaan sensorik ini dapat dideteksi menggunakan metode skrining newborn
ABR. Hasil ini menambah daftar penelitian yang menunjukkan bahwa kelainan
neurologis yang terkait dengan ASD hadir pada bayi baru lahir (Cohen et al.,
2013; Karmel et al., 2010; Miron et al., 2016, 2021). Sama seperti ASD, kami
melaporkan, untuk pertama kalinya, bahwa keterlambatan latensi newborn ABR
adalah serupa untuk anak-anak yang kemudian diklasifikasikan dengan SI. Anak-
anak dengan ASD dan SI tampaknya memproses sinyal akustik pada tingkat
batang otak (brainstem) secara berbeda saat baru lahir dibandingkan dengan anak-
anak lain.

Defisit wicara dan bahasa merupakan salah satu ciri khas ASD. Gangguan
perkembangan otak anak-anak dengan ASD telah diidentifikasi di daerah kortikal
yang terkait dengan ASD serta di daerah yang terkait dengan komunikasi dan
bahasa (Stoner et al., 2014). Pemrosesan proses bicara dan kelainan produksi
bicara umum terjadi pada anak-anak dengan ASD (Russo et al., 2008, 2009;
Stroganova et al., 2020). Hasil penelitian kami menunjukkan beberapa kesamaan
neural pada seluruh gangguan tersebut di tingkat batang otak. Perubahan dalam
perkembangan batang otak dapat memiliki efek cascading pada perkembangan
otak yang dapat menyebabkan kecacatan seperti ASD dan SI (Dadalko & Travers,
2018; Geva et al., 2017; Inui et al., 2017). Selain itu, proses subkortikal dapat
berinteraksi dengan proses kortikal yang terkait dengan pemrosesan dan perhatian
pendengaran (Banai & Kraus, 2008). ABR adalah cara non-invasif yang efektif
untuk mengukur defisit jalur pendengaran. ABR mengukur pemrosesan otak
terhadap suara, terkait dengan pengembangan berbagai kemampuan, termasuk
penyandian suara ucapan dan komunikasi verbal, yang diteorikan sebagai defisit
inti dari ASD dan SI (Roth et al., 2012; Russo et al., 2009).

Penelitian sebelumnya menunjukkan perbedaan ABR untuk anak-anak dengan


gangguan bahasa (Gabr & Darwish, 2016; Mason & Mellor, 1984; Roth et al.,
2012), disabilitas intelektual (Ferri et al., 1986; Mochizuki et al., 1986), dan
gangguan belajar (Hornickel & Kraus, 2013; King et al., 2002); namun, studi ini
mengukur ABR pada anak yang berusia lebih tua dengan disabilitas
perkembangan yang telah teridentifikasi sebelumnya. Berdasarkan temuan kami,
anak-anak dengan LI tampaknya tidak menunjukkan perbedaan newborn ABR;
namun, perbedaan ini dapat berkembang kemudian selama masa bayi dan kanak-
kanak. Kami tidak memeriksa defek intelektual dan gangguan belajar tertentu,
karena jumlah kasusnya yang tidak mencukupi dalam sampel usia prasekolah
kami. Anak-anak dengan gangguan ini kemungkinan besar termasuk dalam
kelompok DD. Disabilitas intelektual dan gangguan belajar spesifik merupakan
dua klasifikasi kelayakan masa depan yang paling sering dinilai untuk anak-anak
prasekolah yang awalnya diidentifikasi dengan DD, yang mana terus menerima
layanan pendidikan khusus di sekolah dasar (Delgado, 2009; Delgado et al.,
2006). Dalam penelitian kami, anak-anak dengan DD memiliki latensi ABR yang
serupa dengan anak-anak dalam kelompok pembanding dan latensi ABR yang
secara signifikan lebih pendek (hanya telinga kanan) dibandingkan dengan anak-
anak dengan ASD atau SI. Terdapat kemungkinan bahwa kami tidak mendeteksi
perbedaan ABR untuk anak-anak dengan DD, karena anomali ABR yang terkait
dengan disabilitas intelektual dan gangguan belajar spesifik mungkin akan
berkembang kemudian. Atau, heterogenitas dalam jenis dan tingkat gangguan di
antara anak-anak dalam kelompok DD mungkin telah menghambat kemampuan
kami untuk mendeteksi perbedaan ABR. Anak-anak dengan DD kemudian
didiagnosis dengan berbagai defek tumbuh kembang, dan banyak anak kecil
dengan DD tidak lagi memenuhi kriteria untuk ditempatkan pada pendidikan
khusus di kelas tiga atau empat (Delgado, 2009; Delgado et al., 2006).

Baik faktor prenatal dan postnatal berkontribusi terhadap terbentuknya disabilitas


tumbuh kembang (Huang et al., 2016; Shultz et al., 2018). Studi terhadap hewan
dan patologi menunjukkan bahwa ASD memiliki dasar pada periode prenatal
dan/atau perinatal (Careaga et al., 2017; Nakagawa et al., 2019; Stoner et al.,
2014). Temuan kami juga mendukung asal prenatal dan/atau perinatal untuk
kejadian SI. Meskipun kami tidak mendeteksi perbedaan latensi ABR untuk LI,
dan DD relatif terhadap kelompok pembanding, defek tumbuh kembang seperti
ini kemungkinan besar berasal dari periode prenatal (Huang et al., 2016; Steer et
al., 2015) dan dapat dideteksi menggunakan penilaian neurologis lainnya
(misalnya, electroencephalogram (EEG) atau magnetic resonance imaging (MRI);
Lohvansuu et al., 2018). Namun, pengalaman pascakelahiran juga berkontribusi
terhadap kecacatan tumbuh kembang. Cedera otak, gizi buruk, paparan stres
tingkat tinggi, paparan racun lingkungan, perlakuan buruk, dan stimulasi yang
tidak memadai berdampak negatif terhadap perkembangan otak dan dapat
menyebabkan defek tumbuh kembang (Delgado & Ullery, 2018; Ergaz & Ornoy,
2011; Lozoff et al., 2006; Rosenbaum & Simon, 2016). Mendeteksi peningkatan
risiko defek tumbuh kembang pada bayi baru lahir dan bayi berusia muda sangat
ideal untuk mempersiapkan intervensi dini dan luaran yang menguntungkan.
Tetapi, pemantauan lanjutan tetap penting untuk dilakukan, karena faktor
pascakelahiran secara terus menerus memengaruhi perkembangan otak.

Usia rata-rata saat diagnosis bervariasi pada seluruh defek tumbuh kembang.
Meskipun ASD dapat didiagnosis secara akurat pada usia 14 bulan (Pierce et al.,
2019), usia rata-rata untuk diagnosis perkembangannya cukup terlambat, yaitu
pada usia 4 tahun (Baio et al., 2018; Brett et al., 2016). Tanda-tanda perilaku ASD
terkadang muncul sebelum usia 12 bulan (Cohen et al., 2013; Jones & Klin, 2013)
dan penilaian neurologis seperti EEG (Bosl et al., 2018; Dickinson et al., 2021)
dan MRI (Emerson et al., 2017; Hazlett et al., 2017) yang dilakukan pada tahun
pertama kehidupan dapat secara baik memprediksi bayi yang nantinya akan
memenuhi kriteria ASD. Meskipun menjanjikan, EEG dan MRI memakan waktu
dan berbiaya mahal, dan oleh karena itu, tidak layak digunakan sebagai alat
skrining ASD pada tingkat populasi. Karena skrining pendengaran bayi baru lahir
berbasis ABR sudah lazim di banyak negara, teknik ini memberikan peluang yang
ideal untuk mengevaluasi bayi untuk kelainan berbasis neurologis seperti ASD
dan SI. Meskipun analisis ROC kami tidak memenuhi ambang prediksi tradisional
untuk alat skrining klinis (Metz, 1978; Murphy et al., 1987), temuan kami
menunjukkan bahwa ukuran latensi newborn ABR, jika disempurnakan lebih
lanjut, memiliki potensi untuk meningkatkan tingkat prediksi bayi yang baru lahir
yang akan terus mengembangkan ASD dan SI. Misalnya, akurasi prediksi dapat
ditingkatkan dengan menggunakan intensitas dan tingkat stimulasi yang lebih
tinggi (Delgado, 2004) atau lebih banyak rangsangan "seperti-ucapan" (misalnya,
rangsangan suku kata daripada rangsangan klik, Russo et al., 2009) dengan ABR.
Jika berhasil, maka anak-anak yang diidentifikasi berisiko tinggi berdasarkan
temuan newborn ABR dapat dirujuk untuk menjalani evaluasi tambahan dan
dipantau secara ketat selama masa bayi. Evaluasi tambahan dapat mencakup alat
skrining yang ada, seperti evaluasi neurofisiologis (misalnya, EEG, MRI, dan/atau
magnetoencephalography (MEG)), biomarker (Celis et al., 2021), indikator
fisiologis (Bonnet Brilhault et al., 2018; Elder et al., 2008), serta indikator
perilaku awal (Cohen et al., 2013; Denisova & Zhao, 2017; Jones & Klin, 2013).

Meskipun integrasi dari kumpulan data sekunder memberikan informasi tentang


sampel besar yang sulit diperoleh dengan cara lain, prosedur ini memiliki
beberapa keterbatasan. Penggunaan kumpulan data sekunder membatasi
fleksibilitas metodologis dari penelitian kami (misalnya, kami terbatas pada
parameter akuisisi ABR yang tersedia) dan memberikan informasi yang cukup
terbatas (misalnya, tidak tersedianya rincian tambahan tentang faktor risiko atau
sifat atau tingkat keparahan kecacatan anak). Meskipun kami memeriksa
pengecualian primer, beberapa anak mungkin telah didiagnosis dengan lebih dari
satu defek tumbuh kembang (Rosenbaum & Simon, 2016). Studi di masa depan
harus memeriksa hubungan antara ABR dan defek komorbiditas. Sebagai contoh,
meskipun anak-anak dengan pengecualian gangguan pendengaran primer yang
teridentifikasi dieksklusikan dari penelitian, terdapat kemungkinan bahwa
beberapa anak memiliki gangguan pendengaran komorbiditas dengan
pengecualian primer yang berbeda. Juga, terdapat kemungkinan bahwa gangguan
pendengaran ringan mungkin belum teridentifikasi pada beberapa anak dalam
sampel usia prasekolah ini. Evaluasi ambang batas dan/atau frekuensi spesifik
ABR, yang dapat mengidentifikasi gangguan pendengaran ringan, bukan bagian
dari protokol skrining bayi baru lahir dalam penelitian ini. Selain itu, kami
mengalami kekurangan data tentang faktor risiko defek tumbuh kembang, seperti
prematuritas, riwayat keluarga, infeksi janin, gangguan pendengaran, serta
kelainan dan sindrom terkait (Joint Committee on Infant Hearing, 2019). Oleh
karena itu, penelitian di masa depan diperlukan untuk mengevaluasi peran faktor-
faktor risiko ini.

Kesimpulan

Kami menemukan bahwa anak-anak dengan ASD dan SI memiliki respon


neurologis yang lebih lambat terhadap bunyi klik saat baru lahir. Temuan kami
menunjukkan bahwa mungkin terdapat perbedaan sensorik saat lahir. Meskipun
belum siap untuk menjadi suatu alat pemeriksaan yang berdiri sendiri, perbedaan
neurologis dalam pemrosesan suara bayi baru lahir ini menunjukkan bahwa ABR
(yang merupakan tes skrining pendengaran pada bayi baru lahir yang umum
digunakan), dapat membantu dalam mengidentifikasi perbedaan pada bayi baru
lahir serta dalam hubungannya dengan tanda-tanda perilaku awal, serta dapat
memfasilitasi penegakan diagnosis ASD dan SI lebih dini. Pemahaman yang lebih
baik tentang mekanisme perkembangan defek tumbuh kembang akan membantu
dalam identifikasi lebih dini, intervensi yang lebih awal dan lebih baik, dan pada
akhirnya luaran yang lebih baik untuk anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai