Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

SEPSIS NEONATORUM

A. Pengertian
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik
dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum dapat berlangsung
cepat sehingga seringkali tidak terpantau, tanpa pengobatan yang memadai bayi dapat meninggal
dalam 24 sampai 48jam.(perawatan bayi beriko tinggi, penerbit buku kedoktoran, jakarta : EGC)
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat
minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600
kelahiran hidup (Bobak, 2005).
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik
dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis dapat berlangsung cepat sehingga
sering kali tidak terpantau tanpa pengobatan yang memadai sehingga neonatus dapat meninggal
dalam waktu 24 sampai 48 hari. (Surasmi, 2003)
Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi
selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan
sepsis bayi baru lahir. (DEPKES 2007)
Sepsis neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi dalam 28 hari pertama setelah
kelahiran. (Mochtar, 2005)
Dari beberapa pengertian diatas, kami menyimpulkan bahwa sepsis neunatorum adalah
infeksi berat karena bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan dan
dapat menyebabkan kematian.

B. Etiologi
Penyebab neonatus sepsis/sepsis neonatorum adalah berbagai macam kuman seperti
bakteri, virus, parasit, atau jamur. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri.
-          Bakteri escherichia koli
-          Streptococus group B
-          Stophylococus aureus
-          Enterococus
-          Listeria monocytogenes
-          Klepsiella
-          Entererobacter sp
-          Pseudemonas aeruginosa
-          Proteus sp
-          Organisme anaerobic

Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran.
Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat
bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat
mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif
rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya
menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter,
dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya
hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui
alat-alat seperti yang telah disebut di atas.
Bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila
tidak segera dirawat, kadang-kadang dapat megarah ke sepsis. Bakteriemia tersamar artinya
bahwa bakteria telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda
paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam. Hampir satu per tiga dari semua
bayi pada rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas dan penelitian
menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial di dalam darah.
Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus
bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun

Faktor- faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga
kelompok, yaitu :
1.      Faktor Maternal
a.       Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan terjadinya
infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi
rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi kulit
hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.
b.      Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang dari 20 tahun
atua lebih dari 30 tahun
c.       Kurangnya perawatan prenatal.
d.      Ketuban pecah dini (KPD)
e.       Prosedur selama persalinan.
2.      Faktor Neonatatal
a.       Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor resiko utama untuk
sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan.
Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga.
Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan
hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
b.      Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap
streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak
terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen
terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida.
Kombinasi antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan
penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c.       Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali lebih besar dari
pada bayi perempuan.

3.      Faktor Lingkungan


a.       ada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering memerlukan prosedur invasif,
dan memerlukan waktu perawatan di rumah sakit lebih lama. Penggunaan kateter vena/ arteri
maupun kateter nutrisi parenteral merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang
luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b.      Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada neonatus yang
melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan kolonisasi
spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.
c.       Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran mikroorganisme yang berasal
dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.
d.      Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan dalam tinjanya,
sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh E.colli.
        Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa
cara, yaitu :
1.      Pada masa antenatal atau sebelum lahir.
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk dalam
tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat
menembus plasenta antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza,
parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini, antara lain malaria, sipilis, dan toksoplasma.
2.      Pada masa intranatal atau saat persalinan.
          Infeksi saat persalinan terjadi karena yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai
korion dan amnion. Akibatnya, terjadi amniotis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui
umbilikus masuk dalam tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah
terinfeksi akan terinhalasi oleh bayi dan masuk dan masuk ke traktus digestivus dan traktus
respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain cara tersebut di atas
infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre lain saat bayi melewati jalan
lahir yang terkontaminasi oleh kuman. Beberapa kuman yang melalui jalan lahir ini adalah
Herpes genetalis, Candida albican,dan N.gonorrea.

3.      Infeksi paska atau sesudah persalinan.


Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari
lingkungan di luar rahim (misal melalui alat- alat : penghisap lendir, selang endotrakhea, infus,
selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi
dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomil. Infeksi juga dapat terjadi melalui luka
umbilikus (AsriningS.,2003)
C. Patofisiologi
Neonatus sangat rentan terhadap infeksi sebagai akibat rendahnya imunitas
non spesifik (inflamasi) dan spesifik (humoral), seperti rendahnya fagositosis,
keterlambatan respon kemotaksis, minimal atau tidak adanya imunoglobulin A dan
imunoglobulin M (IgA dan IgM), dan rendahnya kadar komplemen.
Sepsis pada periode neonatal dapat diperoleh sebelum kelahiran melalui plasenta dari
aliran darah maternal atau selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan amnion yang
terinfeksi.
Sepsis awal (kurang dari 3 hari) didapat dalam periode perinatal, infeksi dapat terjadi
dari kontak langsung dengan organisme dari saluran gastrointestinal atau genitourinaria
maternal. Organisme yang paling sering menginfeksi adalah streptokokus group B (GBS) dan
escherichia coli, yang terdapat di vagina. GBS muncul sebagaimikroorganisme yang sangat
virulen pada neonatus, dengan angka kematian tinggi (50%) pada bayi yang terkena
Haemophilus influenzae dan stafilokoki koagulasi negatif juga sering terlihat pada awitan awal
sepsis pada bayi BBLSR.
Sepsis lanjut (1 sampai 3 minggu setelah lahir) utamanya nosokomial, dan organisme
yang menyerang biasanya stafilokoki, klebsiella, enterokoki, dan pseudomonas. Stafilokokus
koagulasi negatif, baiasa ditemukan sebagai penyebab septikemia pada bayi BBLR dan BBLSR.
Invasi bakterial dapat terjadi melalui tampatseperti puntung tali pusat, kulit, membran mukosa
mata, hidung, faring, dan telinga, dan sistem internal seperti sistem respirasi, saraf, perkemihan,
dan gastrointestinal.
Infeksi pascanatal didapat dari kontaminasi silang dengan bayi lain, personel,
atau benda – benda dilingkungan. Bakteri sering ditemukan dalam sumber air, alat
pelembab, pipa wastafel, mesin penghisap, kebanyakan peralatan respirasi, dan kateter vena
dan arteri terpasang yang digunakan untuk infus, pengambilan sampel darah, pemantauantanda
vital. (Donna L. Wong, 2009).
Proses patofisiologi sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.
Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium perubahan
ambilan dan penggunaan oksigen terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik
yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complemen cascade menimbulkan banyak
kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik,
dan syok, yang mengakibatkan disseminatedintravaskular coagulation (DIC) dan kematian.
( Bobak, 2004).
Penderita dengan gangguan imun mempunyai peningkatan resiko untuk mendapatkan
sepsis nosokomial yang serius. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram negatif dapat ditiru
dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibodi
monoklonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septik. Bila komponen dinding sel
bakteri dilepaskan dalam aliran darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan
kekacauan fisiologis lebih lanjut.Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk
bakteri dan sitokin proradang memicu respon fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader)
mikroba. FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan
terjadinya ketidakseimbangan tonus vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan antara perfusi
dan kenaikan kebutuhan metabolik jaringan.
Syok didefinisikan dengan tekanan sistolik dibawah persentil ke-5 menurut umur atau
didefinisikan dengan ekstremitas dingin. Pengisian kembali kapiler yanng terlambat (>2 detik)
dipandang sebagai indikator yang dapat dipercaya pada penurunan perfusi perifer. Tekanan
vaskuler perifer pada syok septik (panas) tetapi menjadi sangat naik pada syok yang lebih lanjut
(dingin). Pada syok septik pemakaian oksigen jaringan melebihi pasokan oksigen.
Ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh vasodilatasi perifer pada awalnya, vasokonstriksi pada
masa lanjut, depresi miokardium, hipotensi, insufisiensi ventilator, anemia. (Nelson, 1999).
Septisemia menunjukkan munculnya infeksi sistemik pada darah yang
disebabkan oleh penggandaan mikroorganisme secara cepat atau zat-zat racunnya, yang
dapat mengakibatkan perubahan psikologis yang sangat besar. Zat-zat patogen dapat
berupa bakteri, jamur, virus, maupun riketsia. Penyebab yang paling umum dari
septisemia adalah organisme gram negatif. Jika perlindungan tubuh tidak efektif dalam
mengontrol invasi mikroorganisme, mungkin dapat terjadi syok septik, yang dikarakteristikkan
dengan perubahan hemodinamik, ketidakseimbangan fungsi seluler, dan kegagalan
sistem multipel. (Marilynn E. Doenges, 1999).
Melalui Air Ketuban           →          Bakteri              →                 Infeksi pada Ibu
                                                                ↓                                                         ↓
                                        Masuk kedalam tubuh janin       meningitis,oesteomelitis
                                                                  ↓                                                         ↓
resiko infeksi
                                                      Terjadinya Infeksi awal   
                                                                  ↓
                                                    Infeksi/Kuman menyebar
                                                                  ↓
                                                         Keseluruh tubuh janin

                         

Hipotalamus        Organ Hati             Organ pernafasan      Sistem Gastrointestinal 


             ↓                               ↓                                    ↓                                           ↓
Berespon menghasil    Erirtosit banyak           G3 sirkulasi O2                    Muntah, Diare
kan panas tubuh               Dilisis                             CO2                              Malas menghisap
             ↓                               ↓                                   ↓                                           ↓
Gangguan Volume cairan elektrolit
Hipertermia
                               Fungsi tidak optimal       Bayi akan sesak              
↓                               
Gangguan pola nafas
                                               ↓                
                                      Hiperbilirubin
                                               ↓
                                    Jaundice (ikterif)
                                               ↓
                                          Ke Otak
                                               ↓
                                        Enselopati
                                               ↓
                               Kemit ikterik(kejang)
                                              ↓
                                    resiko cedera

D. Manifestasi klinis
1.      Umum : panas, hipotermi, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema
2.      Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegali
3.      Saluran napas : apnea, dispnea, takipnea, retraksi, napas cuping hidung, merintih, sianosis.
4.      Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kulit marmorata, kulit lembab, hipotensi, takikardi,
bradikardia.
5.      Sistem saraf pusat : irritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum, pernapasan tidak
teratur, ubun-ubun menonjol,high-pitched cry
6.     Hematologi : ikterus,splenomegali, pucat, petekie, purpura, pendarahan.
(Kapita selekta kedokteran Jilid II,Mansjoer Arief 2008)
Gejala sepsis yang terjadi pada neonatus antara lain bayi tampak lesu, tidak kuat
menghisap, denyut jantungnya lambat dan suhu tubuhnya turun-naik. Gejala-gejala lainnya dapat
berupa gangguan pernafasan, kejang, jaundice, muntah, diare, dan perut kembung

Gejala dari sepsis neonatorum juga tergantung kepada sumber infeksi dan penyebarannya:
-          Infeksi pada tali pusar (omfalitis) menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari pusar
-          Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak menyebabkan koma,
kejang,opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun
-          Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau
tungkai yang terkena
-          Infeksi pada persendian menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan dan sendi yang
terkena teraba hangat
-          Infeksi pada selaput perut (peritonitis) menyebabkan pembengkakan perut dan diare berdarah
E. Pemeriksaan penunjang
-          Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan neutropemia dengan pergeseran ke kiri (imatur:
total seri granolisik > 0,2).
-          Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.
-          Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat mendeteksi
organisme.
-          DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan peningkatan neutrofil
immatur yang menyatakan adanya infeksi.
-          Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya inflamasi.

F. Prognosis
Pada umumnya angka kematian sepsis neonatal berkisar antara 10–40% dan pada meningitis 15–
50%. Tinggi rendahnya  angka kematian tergantung dari waktu timbulnya penyakit
penyebabnya, besar kecilnya bayi, beratnya penyakit dan tempat perawatannya. Gejala sisa
neurologik yang jelas nampak adalah  hidrosefalus, retardasi mental, buta, tuli dan cara bicara
yang tidak normal. Kejadian gejala sisa ini adalah sekitar 30 – 50% pada bayi yang sembuh dari
meningitis neonatal. Gejala sisa ringan seperti gangguan penglihatan, kesukaran belajar dan
kelainan tingkah laku dapat pula terjadi.

G. Komplikasi
-          Dehidrasi
-          Asidosis metabolic
-          Hipoglikemia
-          Anemia
-          Hiperbilirubinemia
-          Meningnitis
-          DIC.
H. Penatalaksanaan
-          Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24 jam i.v (dibagi
2 dosis untuk neonatus umur < 7 hari dibagi 3 dosis), dan Netylmycin (Amino
glikosida)dosis 7 1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2 dosis (hati-hati penggunaan
Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v harus diencerkan dan waktu
pemberian ½ sampai 1 jam pelan-pelan).
-          Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine, lengkap,
feses lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi
lumbal dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos
dada, pemeriksaan CRP kuantitatif).
-          Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas
darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
-          Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah
dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
-          Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap
abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau Meropenem
dengan dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15 mg/kg BB/per hari
i.v i.m (atas indikasi khusus).
-          Pemberian antibiotika diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya. Lama pemberian
antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21
hari.Pengobatan suportif meliputi : Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi
syok, koreksi metabolik asidosis, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma,
trombosit, terapi kejang, transfusi tukar

I. Pencegahan
a.       Pada masa antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi,
pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita ibu, asupan gizi yang memadai,
penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin,
rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
b.      Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptic, yang artinya dalam
melakukan pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan aseptik.Tindakan intervensi
pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan).
Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan
rujukan secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.
c.       Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal,
pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap bersih, setiap
bayi menggunakan peralatan tersendiri, perawatan luka umbilikus secara steril.
Tindakan invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik.
Menghindari perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan
larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan bayi
secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik. Semua personel
yang menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit
menular di isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui
pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. (Sarwono, 2004)

L. Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko tinggi terhadap infeksi (progesi dari sepsis ke syok sepsis) berdasarkan prosedur
invasif, pemajanan lingkungan (nasokomial).
2.      Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat infeksi atau
inflamasi
3.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam
4.      Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2
(Doenges, 2000)   
Rencana Keperawatan
1.      Resiko tinggi terhadap infeksi (progesi dari sepsis ke syok sepsis) berdasarkan prosedur invasif,
pemajanan lingkungan (nasokomial).
a. tujuan: Mengenali secara dini bayi yang mempunyai resiko menderita infeksi.
b. kriteria hasil: penularan infeksi tidak terjadi.
c. intervensi dan rasional
INTERVENSI RASIONAL
1.      1. Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai
1.      Isolasi luka linen dan mencuci tangan
indikasi adalah yang dibutuhkan untuk mengalirkan
luka, sementar pengunjung untuk
menguranagi kemungkinan infeksi.
2.      2. Cuci tangan sebelum dan sesudah
2.      Mengurangi kontaminasi ulang.
melakukaan aktivitas walaupun menggunakan
sarung tangan steril
3.      3. Dorong penggantian posisi , nafas dalama/ Bersihkan paru yang baaik untuk
batuk. mencegah pnemonia
4.      Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika
3.      Mencegah penyebaran infeksi melalui
memungkinkan proplet udaraa.
5.      5. Pantau kecendrungan suhu 4.      Demam ( 38,5OC- 40OC) disebabkan oleh
efek dari endotoksinhipotalkus dan
endofrin yang melepaskan pirogen.

2.      Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi
a. Tujuan       : setelah dilakukan tindakan 1x24 jam diharapkan suhu tubuh dalam keadaan normal
( 36,5-37 )        
b. Kriteria Hasil
-          Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu normal 36,5o-37o C)
-          Pasien mampu tidur dengan nyenyakPasien tidak kejang
-          hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
-          Nadi dan frekwensi napas dalam batas normal (Nadi neonatus normal 110-120 x/menit,
frekwensi napas neonatus normal 30-60x/menit)
c. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI RASIONAL
1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam Perubahan tanda-tanda vital yang
dan pantau warna kulit signifikan akan mempengaruhi proses
regulasi ataupun metabolisme dalam
tubuh.
2. Observasi adanya kejang dan dehidrasi Hipertermi sangat potensial untuk
menyebabkan kejang yang akan semakin
memperburuk kondisi pasien serta dapat
menyebabkan pasien kehilangan banyak
cairan secara evaporasi yang tidak
diketahui jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke dalam
kondisi dehidrasi.
3. Berikan kompres denga air hangat pada Kompres pada aksila, leher dan lipatan
aksila, leher dan lipatan paha, hindari paha terdapat pembuluh-pembuluh dasar
penggunaan alcohol untuk kompres. besar yang akan membantu menurunkan
demam. Penggunaan alcohol tidak
dilakukan karena akan menyebabkan
penurunan dan peningkatan panas secara
drastis.
Kolaborasi Pemberian antipiretik juga diperlukan
4. Berikan antipiretik sesuai kebutuhan jika untuk menurunkan panas dengan segera.
panas tidak turun.

3.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam
a.       tujuan: setelah dilakukan tindakan 1x24 jam diharapkan kebutuhan akan cairan terpenuhi dan
TTV dalm batas normal
b.      Kriteria Hasil
-          Bayi mampu menetek
-          BB pasien optimal
-          intake adekuat
-          Bayi mau menghabiskan ASI/PASI 25 ml/6 jam
c.       Intervensi dan Rasional
INTERVENSI RASIONAL
1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam Perubahan tanda-tanda vital yang
dan pantau warna kulit signifikan akan mempengaruhi proses
regulasi ataupun metabolisme dalam
tubuh.
2. Observasi adanya hipertermi, kejang dan Hipertermi sangat potensial untuk
dehidrasi. menyebabkan kejang yang akan semakin
memperburuk kondisi pasien serta dapat
menyebabkan pasien kehilangan banyak
cairan secara evaporasi yang tidak
diketahui jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke dalam
kondisi dehidrasi.
3. Berikan kompres hangat jika terjadi Kompres air hangat lebih cocok digunakan
hipertermi, dan pertimbangkan untuk pada anak dibawah usia 1 tahun, untuk
langkah kolaborasi dengan memberikan menjaga tubuh agar tidak terjadi hipotermi
antipiretik. secara tiba-tiba. Hipertermi yang terlalu
lama tidak baik untuk tubuh bayi oleh
karena itu pemberian antipiretik
diperlukan untuk segera menurunkan
panas, misal dengan asetaminofen.
4. Berikan ASI/PASI sesuai jadwal dengan Pemberian ASI/PASI sesuai jadwal
jumlah pemberian yang telah ditentukan diperlukan untuk mencegah bayi dari
kondisi lapar dan haus yang berlebih.
4.      Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2
a.       Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam dapat mengatur dan
membantu usaha bernapasan dan kecukupan oksigen.
b.      Kriteria Hasil:
-          Hipoksimia teratasi, mengalami perbaikan kebutuhan O2
-          Keluarga dapat memposisikan bayinya sesuai yang diajarkan perawat
-          Pernafasan 30 – 40 x/menit
-          Tidak ada pernafasan cuping hidung
-          Tidak ada tarikan otot bantu pernafasan
-          Tidak mengalami dispnea dan sianosis
d.      Intervensi dan Rasional

Intervensi Rasional
Pertahankan jalan nafas paten. Tempatkan Meningkatkan ekspansi paru-paro, upaya
pasienpada posisi yang nyamandengan kepala pernafasan
tempat tidur tinggi
Pantau frekuansi dankedalaman pernafasan. Pernafasan cepat atau dangkalterjadi karena
Catatpenggunaan otot aksesoris/ upaya untuk hipoksemia stress dan sirkulasi
bernafas endotoksin.hipovestilasi dan dispnea
merefleksikan mekanisme kompensasi yang
tida efektif dan merupakan indikasi bahwa
diperlukan dukungan ventilator.
Auskultasi bunyi nafas. Perhatikan krekels , Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi
mengi, area yang mengalami penurunan/ advevtisinus merupakan indicator dari kongesti
kehilangan ventilasi pulmonal/edema interstisial. Etelektasis
Catat munculnya sianosis sirkumoral Menunjukkan ogsigen sistemik tidak
adekuat/pengurangan perfusi
Selidiki perubahan pada sensorium, agitasi, Fungsi serebral sangat sensitive terhadap
kacau mental, perubahan kepribadian, penurunan oksigenasi
delirium, koma
Berikan o2 tambahan melalui jalur yang sesuai, Diperlukan untuk mengoreksi hipoksemia
misalnya kanula nasal, masker dengan menggagalkan upaya/progresi asidosis
respitorik
Tinjau sinar x dada Perubahan menunjukkan perkembangan/
resolusi dari komplikasi pulmonal, misalnya
edema.

Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama
melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien ( Santosa. NI,
1989;162 )

Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan
obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau
belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa
masalah selanjutnya ( Santosa.NI, 1989;162).
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik dan terencana tentang kesehatan pasien dengan
berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan . Dalam evaluasi tujuan tersebut terdapat tiga alternatif,
yaitu :
a.    Tujuan tercapai : pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
b.    Tujuan tercapai sebagian : pasien menunjukkan perubahan sebagian sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan.
c.    Tujuan tidak tercapai : pasien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali
DAFTAR PUSTAKA

A.H. Markum, 1996, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid I.Jakarta : Gaya Baru. 15 April
2012 10.00

Doenges (2000). Rencana asuhan keperawatan; pedoman untuk perencanaan dan


pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC. 15 April 2012 10.00

Marshall H. 1998.Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi Edisi 4.Kajarta:EGC. 16 April


2012 01.00

Ngastiyah 1997. Perawatan Anak Sakit.Jakarta:EGC. 16 April 2012 01.00

http://jatiarsoeko.blogspot.com/2012/01/makalah-askep-sepsis-neonatus.html

di akses tanggal 16 April 2012 01.00

Anda mungkin juga menyukai