Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG


KONTRUKTIVISME
MATA KULIAH:
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Yantoro, M.Pd.
Suci Hayati, S.Pd., M.Pd.
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2

AHMAD SOBARI (A1D120045)


SHINTA ISNAINI SYAFA’ATIN (A1D120050)
INGGRID RIA KINASIH (A1D120055)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
kemudahan sehingga kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Pendidikan Matematika.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan
bimbingan orang sekitar, diantaranya orang tua, dosen pengajar, dan teman-teman, sehingga kendala-
kendala yang kami hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca khususnya calon guru dan guru dapat memperluas materi
tentang Konstruktivisme dan Matematika yang akan diaplikasikan pada proses belajar mengajar.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. Kami sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pengajar, kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Jambi, April 2022


Penyusun

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii

BAB I....................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................1

1.3 Tujuan....................................................................................................................................1

BAB II...................................................................................................................................................3

PEMBAHASAN...................................................................................................................................3

2.1 Pengertian Konstruktivisme...................................................................................................3

2.2 Konstruktivisme Matematika.................................................................................................3

2.3 Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika................................................................4

2.4 Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika..........................................6

2.5 Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme dalam Matematika.....................................8

2.6 lmplikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika................................................9

BAB III................................................................................................................................................12

PENUTUP...........................................................................................................................................12

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................12

3.2 Saran....................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat konstruktivisme dapat digolongkan dalam filsafat pengetahuan, bagian dari filsafat
yang mempertanyakan masalah pengetahuan dan bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu.
Dewasa ini filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan, terutama
dalam proses pembelajaran.
Dalam konsep filsafat konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh
seorang guru kepada murid. Pengetahuan yang didapat murid bukanlah suatu perumusan yang
diciptakan oleh orang lain melainkan dibangun (konstruksi) oleh murid itu sendiri. Inilah
pergeseran nyata yang sesungguhnya sudah dirintis ketika dunia pendidikan kita dikenalkan
dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal terpenting.
Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan partisipasi murid.
Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan. Inilah knstruktivisme.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya yaitu :
1. Apa pengertian konstruktivisme?
2. Apa pengertian konstruktivisme matematika?
3. Bagaimana Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika?
4. Apa Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika?
5. Apa Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme dalam Matematika?
6. Bagaimana Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisannya yaitu :


1. Untuk mengetahui pengertian konstruktivisme.
2. Untuk mengetahui pengertian konstruktivisme matematika.
3. Untuk mengetahui tentang Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika.
4. Untuk mengetahui tentang Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika.
5. Untuk mengetahui contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme dalam Matematika.
6. Untuk mengetahui Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konstruktivisme

Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme berarti paham atau aliran.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan
mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus
diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi
melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan
kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan dalam perkembangan
pengetahuannya.
Teori-teori konstruktivis mengenai pembelajaran dipengaruhi oleh teori-teori
pengembangannya Piaget (1952, 1959) dan teori-teori pembelajaran sosialnya Vygotsky. Kajian
Piaget fokus pada pengalaman-pengalaman individu langsung yang menggerakkan pembelajaran
secara berurutan pada periode waktu tertentu untuk membangun pengetahuan perseptual, konkret
dan pada akhirnya abstrak. Kajian Vygotsky menekankan pentingnya interaksi socsal saat siswa
berpartisipasi dalam tugas tugas pembelajaran. Para pembelajar meningkatkan pemikiran mereka
sendiri dengan bersikap terbuka pada pandangan-pandangan dan wawasan-wawasan orang lain.

2.2 Konstruktivisme Matematika

Proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme sebagai berikut:


a. Menyiapkan benda–benda nyata untuk digunakan oleh para siswa
b. Memilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa
c. Memperkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan siswa untuk
menolak saran guru
d. Menciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya
e. Mengajak siswa untuk saling berinteraksi
f. Siswa diajak untuk berpikir dengan cara mereka sendiri
g. Memperkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun lamanya.
Dari proses pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme dapat
memberikan suatu solusi dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh siswa. (Dahar,
1989:160).
Belajar matematika menurut para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar matematika
melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Para
ahli konstruktivis merekomendasikan untuk menyediakan lingkungan belajar dimana siswa dapat
mencapai konsep dasar, ketrampilan, dan kebiasaan bekerja sama. Dari pernyataan beberapa ahli
konstruktivis diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika berdasarkan
konstruktivisme adalah pembelajaran yang harus melibatkan siswa aktif untuk mengkontroksi
pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan benda konkrit.

2.3 Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika

Dalam pembelajaran, guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru hanya membantu
agar informasi menjadi lebih bermakna dan relevan bagi siswa dengan menunjukkan kesempatan
kepada siswa untuk menggunakan strategi-strategi yang dimilikinya untuk belajar. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian Piaget (dalam Hermayani, 2008) berkesimpulan bahwa pengetahuan
dibangun dalam diri anak. Piaget juga mengatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sebagai
upaya keras pebelajar untuk mengorganisasikan pengalamannya dengan skema-skema atau
struktur kognitif yang telah ada sebelumnya pada anak itu sendiri. Lebih lanjut teori
konstruktivisme memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru
yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan menelusuri aturan-aturan tersebut jika tidak
sesuai lagi.
Beberapa ahli konstruktivis telah menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan
konstruktivisme. Confrey (dalam Suherman, 2003) menyatakan bahwa : Sebagai seorang
konstruktivis, ketika saya mengajarkan matematika, saya tidak mengajarkan siswa tentang
struktur matematika yang objeknya ada di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana
mengembangkan kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa
kuantitatif  yang saya percaya akan menyediakan suatu cara yang powerfull  untuk memahami
dunia, bagaimana merefleksikan lensa-lensa itu untuk menciptakan lensa-lensa yang lebih kuat,
dan bagaimana mengapresiasi peranan dari lensa dalam memainkan pengembangan kultur
mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan mereka untuk mengembangkan suatu alat intelektual
yaitu matematika. 
Hal ini tersebut di atas mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk
berfikir. Dimana fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berpikir
mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.
Suparno menyatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan bercirikan antara lain sebagai
berikut:
1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat,
dengar, rasakan dan alami. Konstruksi dalam hal ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia
punyai.
2. Konstruksi pengetahuan adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3.  Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan
pemikiran dengan memuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan,
melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4.  Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsag pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi
yang baik untuk memacu belajar. 
Ciri-ciri tersebut memberikan acuan bahwa dalam pembelajaran matematika setiap siswa
harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan mempunyai cara sendiri untuk mengerti serta
mengetahui kekhasan dalam dirinya termasuk keunggulan dan kelemahannya dalam memahami
sesuatu. Ini berarti siswa aktif berpikir, merumuskan konsep, dan mengambil makna. Peran guru
disini adalah membantu agar proses konstruksi itu berjalan agar siswa membentuk
pengetahuannya. Lebih lanjut Piaget (dalam Ratumannan, 2002) menegaskan bahwa pikiran
manusia mempunyai struktur yang disebut skemata atau struktur kognitif. Dengan skemata atau
struktur kognitif ini seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga
terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah penyusunan kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat,
Reseffendy (dalam Ratumanan, 2002)
Menurut Davis (dalam Hermayani, 2008) pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran
matematika berorientasi kepada:
1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2.  Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah pebelajar dihadapkan kepada “apa”.
3.  Informasi baru dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis
yang mentransformasikan, mengorganisasikan dan mengintepretasikan pengalamannya.
4.  Pusat pembelajaran adalah bagaimana pebelajar berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau
tulis. Sehinnga proses konstruksi pengetahuan terjadi di dalam benak siswa sendiri melalui
proses internalisasi.
Dengan kalimat lain, apabila suatu informasi (pengetahuan) baru diperkenalkan kepada
siswa dan pengetahuan tersebut sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya, maka
pengetahuan itu akan beradaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru.
Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak sesuai dengan struktur kognitif
siswa maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), kemudian struktur kognitif tersebut
direstrukturisasi kembali akan dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi
keseimbangan (equilibrium) (dalam Ratumanan, 2002)
Berdasarkan pengertian diatas, maka menurut pendekatan konstruktivisme dapat diartikan
bahwa belajar adalah proses pembentukan makna secara aktif oleh siswa sendiri terhadap
masukan sensori baru yang didasarkan atas struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya.

2.4 Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika

Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai
dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Dalam
matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau
konsep selanjutnya. Menurut konstruktivis secara substantif, belajar matematika adalah proses
pemecahan masalah. Evaluasi dalam pembelajaran matematika secara konstruktivis terjadi
sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assesment)
Selain itu, data kemampuan siswa dalam matematika harus memasukkan pengetahuan
tentang konsep matematika, prosedur matematika, kemampuan problem solving, reasoning dan
komunikasi. Sedangkan Nisbet (1985) menyatakan bahwa “tak ada cara tunggal yang tepat untuk
belajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar.” Namun demikian seorang guru dapat
menerapkan salah satu pendekatan yang cocok dengan mempertimbangkan kondisi siswa.
Seorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses mengetahui
akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang berpandangan bahwa
mengajar adalah suatu proses memfasilitasi suatu konstruksi, maka ia akan mengikuti model
negosiasi. Aktivitas guru dikelas dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran.
Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru diisyaratkan untuk
mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani
secara cukup perbedaan-perbedaan  individu siswa.
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies tahun 1995 menyatakan bahwa
“siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif dalam
cara-cara yang berbeda”. Lovitt dan Clarke, 1988 (dalam Suherman, 2003) menambahkan bahwa
“kualitas pembelajaran ditandai dengan berapa luas dalam lingkungan belajar:
 Mulai dari mana siswa ini berada.
 Mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda   dan cara yang berbeda.
 Melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar.
 Meminta siswa untuk menvisualkan yang imajiner….”
 Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran matematika
menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di dalam konstruktivisme
peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan
mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan) pengetahuan matematika sehingga diperoleh
struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran
dan guru senantiasa menjawab ‘dengan segera‘ terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.
Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam pembelajaran
matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi.
Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang
menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga penguasaan
konsepnya semakin kuat. Tidak hanya itu, implikasi pandangan konstruktivis dalam
pembelajaran matematika, guru akan bertindak sebagai mediator dan fasilitator yang membuat
situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa.
Siswa dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya berdasarkan
kecepatan dan kemampuannya sendiri. Dengan demikian diharapkan dapat memberi suatu
motivasi kepada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran dan menimbulkan
tangggapan positif terhadap matematika.

2.5 Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme dalam Matematika

Berikut ini adalah contoh pembelajaran pengurangan dasar bilangan. Alternatif rancangan
proses pembelajaran ini dapat saja disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi daerah dan
keadaan siswa di kelas. Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1. Pada tahap awal, Guru mengajukan masalah seperti berikut di papan tulis, di transparansi,
ataupun di kertas peraga.

Ardi memiliki 12 kelereng. 9 kelereng diberikan kepada adiknya.


Berapa kelereng yang dimiliki Ardi sekarang?

2. Guru bertanya kepada para siswa, berapa kelereng yang dimiliki Ardi pada awalnya?
Jawaban yang diinginkan adalah 12. Guru lalu menggambar di papan tulis, 12 buah kelereng
seperti gambar di bawah ini dengan menekankan bahwa 12 bernilai 1 puluhan dan 2 satuan
atau 12 = 10 + 2.
3. Guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan benda-benda
konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan 12 kelereng yang dimiliki Ardi.
4. Guru bertanya kepada siswa, berapa butir kelereng yang diberikan kepada adiknya dan
berapa sisa kelereng yang dimiliki Ardi sekarang? Biarkan siswa bekerja sendiri-sendiri atau
bekerja di kelompoknya untuk menjawab soal tersebut.
5. Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswa, seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Pada waktu diskusi kelompok, guru sebaiknya menawarkan alternatif
kedua ini kepada beberapa kelompok.

6. Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara mereka
mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara tersebut yang lebih mudah
digunakan.
7. Guru memberi soal tambahan seperti 13–9 dan 12–8. Para siswa masih boleh menggunakan
benda-benda konkret. Bagi siswa yang masih menggunakan alternatif pertama, sarankan
untuk mencoba alternatif kedua dalam proses menjawab dua soal di atas.
8. Guru memberi soal tambahan seperti 14–9 dan 13–8. Bagi siswa atau kelompok siswa yang
sudah dapat menyelesaikan soal ini tanpa menggunakan benda konkret dapat mengerjakan
soal-soal yang ada di buku.

2.6 lmplikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika

Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan akan terbentuk atau terbangun di dalam


pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar
pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya, belajar matematika merupakan
proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa sendiri melalui
transformasi pengalaman individu siswa. Di samping itu, pentingnya kemampuan memecahkan
masalah, terutama di saat para siswa sudah bekerja atau di saat mempelajari materi lain, akan
menuntut adanya perubahan proses pembelajaran di kelas-kelas.
Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah:
a. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
b. Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
b. Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
c. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
d. Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
e. Guru adalah fasilitator.
Berdasarkan penjelasan dan contoh di atas, implikasi konstruktivisme pada pembelajaran
matematika diantaranya adalah:
1. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak mesti diikuti dengan hasil yang bagus pada
siswanya. Setiap siswa harus mengkonstruksi (membangun) pengetahuan matematika di
dalam benaknya masing-masing berdasarkan pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam
benaknya. Setiap guru matematika tentunya sudah mengalami bahwa meskipun suatu materi
telah dibahas dengan sejelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswanya yang belum
ataupun tidak mengerti materi yang diajarkannya. Hal ini telah menunjukkan bahwa seorang
guru dapat mengajar suatu materi kepada siswanya dengan baik, namun seluruh atau sebagian
siswanya tidak belajar sama sekali.
2. Tugas setiap guru adalah memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan matematika dibangun
atau dikonstruksi para siswa sendiri dan bukan ditanamkan oleh para guru. Para siswa harus
dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam
kerangka kognitifnya. Karenanya, pembelajaran matematika akan menjadi lebih efektif bila
guru membantu siswa menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan
pembelajaran bermakna.
3. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan
para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat
para siswa untuk mendukung model – model itu. Karenanya, para guru harus mau bertanya
dan mau mengamati pekerjaan siswanya. Setiap kesalahan siswa harus menjadi umpan balik
dalam proses penyempurnaan rancangan proses pembelajaran berikutnya.
4. Pada konstruktivisme, siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk masing-
masing konsep matematika sehingga peranan guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”,
menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan matematika pada
siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-kontruksi mental yang diperlukan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jadi, konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan


bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri.
Pembelajaran matematika berdasarkan konstruktivisme adalah pembelajaran yang harus
melibatkan siswa aktif untuk mengkontroksi pengetahuannya sendiri melalui interaksi
dengan benda konkrit.
Pendekatan konstruktivisme dapat diartikan bahwa belajar adalah proses
pembentukan makna secara aktif oleh siswa sendiri terhadap masukan sensori baru yang
didasarkan atas struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya. Pembelajaran
matematika yang menggunakan pendekatan konstruktivis, maka strategi yang sesuai
dengan kondisi tersebut adalah dengan pemberian tugas rumah, karena dapat
memberikan suatu motivasi kepada siswa untuk memahami suatu konsep secara utuh
melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak hanya terpaku pada ruang
kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar.

3.2 Saran

Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-
jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti
materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat
mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya
tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti
dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para
siswa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirian bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa
harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru
kedalam kerangka kognitifnya.
Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan
dan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing
konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-
konstruksi mental yang diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai