Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF

KEMATIAN DAN MENJELANG AJAL


DALAM AKHIR KEHIDUPAN

Disusun oleh :
1. MUDAFIQOH AWALIYATUL K. (P13374205160)
2. SITI LILYA MA’RIFAH (P1337420516056)
3. YUNITA NUR FAJARWATI (P13374205160)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG
2019
A. Definisi Kematian dan Menjelang Ajal
Definisi kematian adalah kematian otak yang terjadi jika pusat otak
tertinggi yaitu korteks serebral mengalami kerusakan permanen. Dalam kasus ini,
ada aktivitas jantung, kehilangan fungsi otak permanen, dimanifestasikan secara
klinis dengan tidak ada respon terarah terhadap stimulus eksternal, tidak ada
refleks sefalik, apnea, dan elektrogram isoelektrik minimal selama 30 menit tanpa
hipotermia dan keracunan oleh depresan sistem saraf pusat (Stedman, 2000).
Secara etimologi death berasal dari kata death atau deth yang berarti
keadaan mati atau kematian. Sedangkan secara definitive, kematian adalah
terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja
otak secara permanen. Ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang tentang definisi
kematian, yakni:
 Kematian
 Kematian otak,yakni kerusakan otak yang tidak dapat pulih
 Kematian klinik, yakni kematian orang tersebut ( Roper,2002 ).
Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital,
akhir dari kehidupan manusia. Lahir, menjelang ajal, dan kematian bersifat
universal. Meskipun unik bagi setiap individu, kejadian-kejadian tersebut bersifat
normal dan merupakan proses hidup yang diperlukan (Kozier, 2010).
Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan yang merupakan proses
menuju akhir. Konsep menjelang ajal dibentuk seiring dengan waktu, saat
seseorang tumbuh, mengalami berbagai kehilangan, dan berpikir mengenai
konsep yang konkret dan abstrak (Kozier, 2010).
B. End of Life Care (EOL Care)
1. Perawatan Hospice
Perawatan hospice berfokus pada pemberian dukungan dan perawatan
bagi orang yang menjelang ajal dan keluarganya, dengan tujuan memfasilitasi
kematian yang tenang dan terhormat. Perawatan hospice berdasarkan pada
konsep holistik, menekankan perawatan untuk lebih meningkatkan kualitas
hidup daripada pengobatan, mendukung klien dan keluarga melalui proses
menjelang ajal, dan mendukung keluarga melalui proses berkabung. Mengkaji
kebutuhan keluarga klien sama pentingnya dengan merawat klien yang
mendapatkan perawatan hospice. Kondisi klien biasanya memburuk dan
perhatian harus difokuskan pada pemberi perawatan untuk memastikan bahwa
mereka mendapatkan dukungan dan sumber-sumber jika hal ini terjadi.
Apabila tim hospice bertemu secara teratur, kebutuhan ini dapat didiskusikan
dan intervensi dimulai. Kebutuhan fisik biasanya tampak jelas, tetapi tanda
emosional dan perilaku sering kali tidak terlihat jelas. Pengkajian yang baik
dan evaluasi berkelanjutan dapat membantu menunjukkan kapan waktu
dibutuhkannya modifikasi atau perubahan.
Prinsip perawatan hospice dapat dilaksanakan di berbagai lingkungan,
yang tersering adalah di rumah dan di unit berbasis rumah sakit (atau panti
werda). Layanan berfokus pada pengontrolan gejala dan penatalaksanaan
nyeri. Umumnya klien memenuhi syarat untuk perawatan hospice atau
mendapat manfaat asuransi hospice jika disertifikasi oleh seorang dokter
untuk meninggal dalam 6 bulan. Perawatan hospice selalu diberikan oleh
sebuah tim yang terdiri atas professional kesehatan untuk memastikan layanan
perawatan yang lengkap.
Perawatan hospice berfokus pada hal-hal berikut ini:
- Klien dan keluarga sebagai unit perawatan.
- Perawatan rumah yang terkoordinasi dengan tetap tersedianya tempat tidur
rumah sakit.
- Mengontrol gejala (fisik, sosiologis, psikologis, dan spiritual).
- Pelayanan langsung oleh dokter.
- Fasilitas medis dan keperawatan tersedia setiap saat.
- Tindak lanjut proses kehilangan setelah kematian.
Dalam hospice, perawatan yang diberikan juga lebih berfokus pada perawatan
orang yang sedang menghadapi kematian daripada berfokus pada upaya
memenuhi kebutuhan fisiologis mereka. Beberapa peranan perawat, antara
lain:
 Perawat Menyelenggarakan Pelayanan Psikososial
Klien pada akhir kehidupan mengalami suatu variasi gejala psikologis,
misalnya: kecemasan, depresi, perubahan bentuk tubuh, penyangkalan,
ketidakberdayaan, ketidakberdayaan, ketidakyakinan, dan isolasi (Caroll-
Johnson, Gorman, dan Bush, 2006).
Klien mengalami kesedihan yang mendalam karena tidak mengetahui
atau tidak menyadari aspek dari status kesehatan atau pengobatan
mereka. Sediakan Informasi yang dapat membantu klien memahami
kondisi mereka, perjalanan penyakit mereka, keuntungan dan kerugian
dari pilihan pengobatan, serta nilai-nilai dan tujuan mereka untuk
menjaga otonomi klien yang diganggu oleh ketidaktahuan akan
penanganan masa depan atau ketidakyakinan tentang tujuan pengobatan
(Weiner dan Roth, 2006)
 Meningkatkan Martabat dan Harga Diri Klien
Perihal martabat melibatkan penghormatan diri positif seseorang,
kemampuan untuk menanamkan dan mendapatkan kekuatan dari arti
hidup individu itu sendiri, dan bagaimana individu diobati oleh pemberi
layanan.
Perawat meningkatkan harga diri dan martabat klien dengan
menghormatinya sebagai individu seutuhnya dengan perasaan, prestasi,
dan keinginan untuk bebas dari penyakit (Chochinov, 2002). Sangat
penting bagi perawat untuk memberikan sesuatu yang klien hormati
kewenangannya, pada saat yang sama memperkuat komunikasi antar-
klien, anggota keluarga, dan perawat. Berikan keleluasan selama
prosuder keperawatan, dan sensitif ketika klien dan keluarga
membutuhkan waktu sendiri bersama.
 Menjaga Lingkungan yang Tenang dan Nyaman
Lingkungan yang nyaman, bersih, menyenangkan membantu klien untuk
beristirahat, mempromosikan pola tidur yang baik dan mengurangi
keparahan gejala.
 Mempromosikan Kenyaman Spiritual dan Harapan
Bantu klien membuat hubungan dengan praktik spiritual atau komunikasi
budaya mereka. Klien merasa nyaman ketika mereka memiliki asuransi
bahwa beberapa aspek kehidupan mereka akan melampaui kematian.
Dengarkan secara teratur harapan-harapan klien dan temukan cara untuk
membantu mereka mencapai tujuan yang mereka inginkan.
 Melindungi Terhadap Keterbelakangan dan Isolasi
Banyak klien dengan penyakit terminal takut untuk mati seorang diri.
Kesendirian membuat mereka jadi ketakutan dan merasa putus asa.
Perawat dalam suatu institusi harus menjawab panggilan klien dengan
cepat dan memeriksa klien sesering mungkin untuk meyakinkan mereka
bahwa seseorang berada didekatnya (Stanley,2002).
 Mendukung Keluarga
Anggota keluarga dari klien yang menerima pelayanan paliatif
dipengaruhi oleh tantangan pemberian layanan dan berduka. Kurangnya
informasi merupakan masalah yang banyak dilaporkan anggota keluarga
klien yang sekarat (Kristjanson dan Aoun, 2004). Mereka membutuhkan
dukungan perawat, petunjuk, dan edukasi selama mereka merawat orang
yang mereka cintai.
 Membantu Membuat Keputusan Akhir Kehidupan
Klien dan anggota keluarga sering menghadapi keputusan pengobatan
yang kompleks dengan pengetahuan yang terbatas, perasaan takut atau
bersalah yang tidak terselesaikan. Anjurkan klien untuk
mengkomunikasikan dengan jelas keinginannya terhadap perawatan
akhir kehidupan sehingga anggota keluarga dapat bertindak sebagai
pengganti yang tepat ketika klien tidak dapat lagi berbicara untuk
dirinya sendiri.

2. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif berfokus pada perawatan gejala klien, yang
penyakitnya tidak lagi berespons terhadap penanganan yang berfokus pada
pengobatan. Perawatan ini dapat berbeda dari perawatan hospice, dalam hal
klien tidak yakin tengah menjelang ajal. Perawatan hospice dan paliatif dapat
mencakup perawatan menjelang kematian yaitu perawatan yang diberikan
dalam beberapa minggu terakhir sebelum kematian.
Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai dari
medis, perawatan, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual, sehingga secara
praktis, prinsip dasar perawatan paliatif dapat dipersamakan dengan prinsip
pada praktek medis yang baik.
Prinsip dasar perawatan paliatif (Rasjidi, 2010):
1. Sikap Peduli Terhadap Klien
Termasuk sensitivitas dan empati. Perlu dipertimbangkan segala aspek
dari penderitaan klien, bukan hanya masalah kesehatan.
Pendekatan yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor
karakteristik, kepandaian, suku, agama, atau faktor individual lainnya
tidak boleh mempengaruhi perawatan.
2. Menganggap Klien Sebagai Seorang Individu
Setiap kliien adalah unik. Meskipun memiliki penyakit ataupun gejala-
gejala yang sama, namun tidak ada satu klien pun yang sama persis
dengan klien lainnya. Keunikan inilah yang harus dipertimbangkan dalam
merencanakan perawatan paliatif untuk tiap individu.
3. Pertimbangan Kebudayaan
Faktor etnis, ras, agama, dan faktor budaya lainnya bisa jadi
mempengaruhi penderitaan klien. Perbedaan-perbedaan ini harus
diperhatikan dalam perencanaan perawatan.
4. Persetujuan
Persetujuan dari klien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan
dimulai atau diakhiri. Mayoritas klien ingin dilibatkan dalam pengambilan
keputusan, namun dokter cenderung untuk meremehkan hal ini. Klien
yang telah diberi informasi memadai dan setuju dengan perawatan yang
akan diberikan akan lebih patuh mengikuti segala usaha perawatan.
5. Memilih Tempat Dilakukannya Perawatan
Untuk menentukan tempat perawatan, baik klien dan keluarganya harus
ikut serta dalam diskusi ini. Klien dengan penyakit terminal sebisa
mungkin diberi perawatan di rumah.
6. Komunikasi
Komunikasi yang baik antara dokter dan klien maupun dengan keluarga
adalah hal yang sangat penting dan mendasar dalam pelaksanaan
perawatan paliatif.
7. Aspek Klinis: Perawatan yang Sesuai
Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan stadium dan prognosis dari
penyakit yang diderita klien. Hal ini penting karena pemberian perawatan
yang tidak sesuai, baik itu lebih maupun kurang, hanya akan menambah
penderitaan klien. Pemberian perawatan yang berlebihan berisiko untuk
memberikan harapan palsu kepada klien. Demikian jugs perawatan yang
dibawah standar akan mengakibatkan kondisi klien memburuk.
Hal ini berhubungan dengan masalah etika yang akan dibahas kemudian.
Perawatan yang diberikan hanya karena dokter merasa harus melakukan
sesuatu meskipun itu sia-sia adalah tidak etis.
8. Perawatan Komprehensif dan Terkoordinasi Dari Berbagai Bidang Profesi
Perawatan paliatif memberikan perawatan yang bersifat holistik dan
integratif, sehingga dibutuhkan sebuah tim yang mencakup keseluruhan
aspek hidup klien serta koordinasi yang baik dari masing-masing anggota
tim tersebut untuk memberikan hasil yang maksimal kepada klien dan
keluarga.
9. Kualitas Perawatan yang Sebaik Mungkin
Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan berkelanjutan.
Perawatan medis yang konsisten akan mengurangi kemungkinan
terjadinya perubahan kondisi yang tidak terduga, dimana hal ini akan
sangat mengganggu baik klien maupun keluarga.
10. Perawatan yang Berkelanjutan
Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal hingga akhir
merupakan dasar tujuan dari perawatan paliatif. Masalah yang sering
terjadi adalah klien dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain sehingga
sulit untuk mempertahankan kontinuitas perawatan.
11. Mencegah Terjadinya Kegawatan
Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan teliti untuk mencegah
terjadinya kegawatan fisik dan emosional yang mungkin terjadi dalam
perjalanan penyakit. Klien dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya
mengenai masalah-masalah yang sering terjadi, dan membentuk rencana
untuk meminimalisasi stres fisik dan emosional.
12. Bantuan Kepada Sang Perawat
Keluarga klien dengan penyakit lanjut seringkali rentan terhadap stres
fisik dan emosional, terutama apabila pasien dirawat di rumah, sehingga
perlu diberikan perhatian khusus kepada mereka mengingat keberhasilan
dari perawatan paliatif juga tergantung dari sang pemberi perawatan itu
sendiri.
13. Pemeriksaan ulang
Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien, mengingat
pasien dengan penyakit lanjut kondisinya akan cenderung menurun dari
waktu ke waktu.
Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif (Kep. Menkes No:
812/Menkes/SK/VII/2007)
1. Persetujuan Tindakan Medis/Informed Consent Untuk Klien Paliatif
Klien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan
paliatif. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan
kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Meskipun pada umumnya hanya tindakan
kedokteran (medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada
perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan
informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan
diutamakan klien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota
keluarga terdekatnya. Waktu yang cukup agar diberikan kepada klien untuk
berkomunikasi dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal klien telah tidak
kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya atas nama pasien.
2. Tim Perawatan Paliatif
Sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan klien
pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau bolehvatau tidak
boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun
(advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa
yang bolehatau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk
seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan
pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan
dijadikan panduan utama bagi tim perawatan paliatif. Pada keadaan
darurat, untuk kepentingan terbaik klien, tim perawatan paliatif dapat
melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat
diberikan pada kesempatan pertama.
3. Resusitasi/Tidak Resusitasi Pada Klien Paliatif
Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat
dibuat oleh klien yang kompeten atau oleh tim perawatan paliatif.
Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat klien
memasuki atau memulai perawatan paliatif. Klien yang kompeten memiliki
hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang
dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan
tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau
dalam bentuk informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.
Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak
resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis.
Namun demikian, dalamkeadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu
yang layak dan patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga
terdekat dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk pengesahannya.
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila klien
berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan
menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti
ilmiah pada saat tersebut.
4. Perawatan Klien Paliatif Di ICU
Pada dasarnya perawatan paliatif klien di ICU mengikuti ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas. Dalam
menghadapi tahap terminal, tim perawatan paliatif harus mengikuti
pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-
supporting.
5. Masalah Medikolegal Lainnya Pada Perawatan Klien Paliatif
Tim perawatan paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan
oleh pimpinan rumah sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di
rumah klien. Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus
dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan yang
memperhatikan keselamatan klien tindakan-tindakan tertentu dapat
didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih.
Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.

C. Proses Pada Klien Menjelang Ajal Dan Setelah Kematian


1. Perawatan Klien Menjelang Ajal
Tujuan utama untuk klien yang menjelang ajal adalah
mempertahankan kenyamanan fisiologis dan psikologis, dan mencapai
kematian yang damai dan bermartabat, yang mencakup mempertahankan
kontrol personal dan menerima penurunan status kesehatan. Beberapa
tindakan perawatan terhadap klien menjelang ajal, yang dapat dilakukan
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan Untuk Perawatan Di Rumah
Individu yang menghadapi kematian mungkin memerlukan
bantuan untuk menerima bahwa mereka harus bergantung pada orang lain.
Beberapa klien yang menjelang ajal hanya memerlukan sedikit perawatan;
sementara yang lain memerlukan perhatian dan layanan berkelanjutan.
Individu memerlukan bantuan, agar menghadapi kematian dengan baik,
dalam merencanakan periode ketergantungan. Mereka perlu memikirkan
apa yang akan terjadi dan bagaimana serta di mana mereka ingin
meninggal.
Sebuah faktor utama dalam menentukan apakah seseorang ingin
meninggal di fasilitas perawatan kesehatan atau di rumah adalah
ketersediaan pemberi perawatan yang mau dan mampu merawat. Apabila
orang yang menjelang ajal ingin meninggal di rumah dan keluarga atau
orang lain dapat memberikan perawatan untuk mempertahankan
pengendalian gejala, perawat harus memfasilitasi rujukan ke layanan
hospice. Staf hospice dan perawat kemudian akan melaksanakan
pengkajian menyeluruh pada rumah dan keterampilan pemberi perawatan.
b. Memenuhi Kebutuhan Fisiologi Klien Yang Menjelang Ajal
Kebutuhan fisiologis orang yang menjelang ajal berkaitan dengan
perlambatan proses tubuh dan ketidakseimbangan homeostatik. Intervensi
terdiri atas tindakan kebersihan diri; pengendalian nyeri; meredakan
kesulitan pernapasan; membantu pergerakan, nutrisi, hidrasi, dan
eliminasi; dan memberikan tindakan yang terkait dengan perubahan
sensori.
Pengendalian nyeri sangat penting guna memungkinkan klien
mempertahankan sebagian kualitas hidup dan aktivitas mereka sehari-hari,
seperti makan, bergerak, dan tidur. Banyak obat telah digunakan untuk
mengontrol nyeri pada penyakit terminal: morfin, heroin, metadon, dan
alkohol. Biasanya dokter menentukan dosis, tetapi opini klien harus
dipertimbangkan; klien adalah satu-satunya orang yang paling menyadari
toleransi nyeri personalnya dan fluktuasi keadaan internal. Karena
biasanya dokter meresepkan kisaran dosis untuk obat nyeri, perawat
menggunakan penilaian mereka untuk menentukan jumlah dan frekuensi
pemberian obat nyeriguna meredakan nyeri klien. Karena penurunan
sirkulasi darah, analgesik diberikan melalui infus intravena, sublingual,
rektal, atau transdermal dan bukan subkutan atau intramuskular. Klien
yang mendapat obat nyeri narkotik juga memerlukan implementasi suatu
protocol untuk mengatasi konstipasi yang diinduksi opioid.
c. Menyediakan Dukungan Spiritual
Dukungan spiritual memiliki makna penting dalam menghadapi
kematian. Walaupun tidak semua klien menganut keyakinan atau
kepercayaan agama tertentu, sebagian besar memiliki kebutuhan untuk
memaknai kehidupan mereka, terutama saat mereka mengalami penyakit
terminal.
Perawat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa
kebutuhan spiritual klien diberikan, baik melalui intervensi langsung
ataupun dengan mengatur akses ke individu yang dapat memberikan
perawatan spiritual. Perawat perlu menyadari kenyamanan diri mereka
sendiri dengan isu-isu spiritual dan meyakinkan kemampuan mereka
untuk berinteraksi secara suportif dengan klien. Perawat memiliki
tanggung jawab untuk tidak memaksakan agama atau keyakinan spiritual
mereka pada klien, tetapi berespon terhadap klien sesuai dengan latar
belakang klien dan kebutuhannya. Keterampilan komunikasi adalah
keterampilan yang paling penting dalam membantu klien menyampaikan
kebutuhan dan dalam membentuk rasa peduli dan percaya.
Intervensi spesifik dapat mencakup memfasilitasi ekspresi
perasaan, berdoa, meditasi, membaca, dan berdiskusi dengan rohaniawan
yang tepat atau penasihatspiritual. Sangat penting bagi perawat untuk
membina hubungan interdisiplin yang efektif dengan spesialis pendukung
spiritual.
d. Mendukung Keluarga
Aspek terpenting dalam menyediakan dukungan untuk anggota
keluarga dari klien yang menjelang ajal melibatkan penggunaan
komunikasi terapeutik untuk memfasilitasi ekspresi perasaan mereka. Saat
tidak ada apapun yang dapat membalikan proses menjelang ajal yang tidak
dapat dihindari, perawat dapat memberi perawatan yang empati dan penuh
perhatian. Perawat juga berperan sebagai seorang guru, dengan
menjelaskan apa yang sedang terjadi dan apa yang dapat diharapkan oleh
keluarga. Karena efek stres saat melalui proses berduka, anggota keluarga
mungkin tidak menyerap apa yang dikatakan dan perlu mendapatkan
informasi secara berulang. Perawat perlu memiliki perilaku yang tenang
dan sabar.
Anggota keluarga harus didorong untuk berpartisipasi dalam
perawatan fisik orang yang menjelang ajal sebanyak yang mereka
inginkan dan yang mereka mampu lakukan. Perawat dapat menyarankan
mereka membantu saat memandikan, berbicara atau membacakan cerita
bagi klien, dan memegang tangan klien. Namun perawat tidak boleh
memiliki harapan spesifik untuk partisipasi anggota keluarga. Mereka
yang merasa tidak mampu berada bersama dengan orang menjelang ajal
juga memerlukan dukungan dari perawat dan dari anggota keluarga lain.
Mereka harus ditunjukkan tempat menunggu yang tepat jika mereka
berharap untuk tetap dekat dengan klien.
Setelah klien meninggal, keluarga harus didorong untuk melihat
jenazah, karena itu telah terbukti memfasilitasi proses berduka. Mereka
dapat mengambil sejumput rambut sebagai kenang-kenangan. Anak-anak
harus dilibatkan dalam peristiwa seputar kematian jika mereka ingin
melakukannya.
e. Membantu Klien Meninggal Dengan Terhormat
Perawat perlu memastikan bahwa klien diperlakukan dengan
terhormat, yaitu dengan rasa hormat dan penghargaan. Klien menjelang
ajal sering kali merasa bahwa mereka telah kehilangan kontrol atas
kehidupan mereka sendiri dan atas kehidupan itu sendiri. Membantu klien
meninggal dengan terhormat mencakup mempertahankan rasa
kemanusiaan mereka, sesuai dengan nilai, keyakinan dan budaya mereka.
Dengan memberi tahu pilihan yang tersedia untuk klien dan orang
terdekatnya, perawat dapat mengembalikan dan mendukung perasaan
kontrol. Beberapa pilihan yang dapat di buat klien adalah lokasi perawatan
(mis., rumah sakit, rumah, atau hospice), waktu perjanjian dengan
professional kesehatan, jadwal aktivitas, penggunaan sumber-sumber
kesehatan, dan waktu kunjungan dari kerabat dan teman.
Klien ingin dapat mengatur kejadian-kejadian sebelum meninggal
sehingga mereka dapat meninggal dengan damai. Perawat dapat
membantu klien menentukan prioritas fisik, psikologis, dan prioritas sosial
mereka. Individu yang menjelang ajal sering kali berjuang lebih untuk
mendapat pencapaian diri dibandingkan perlindungan diri, dan mungkin
perlu menemukan makna sembari melanjutkan kehidupan saat menderita.
Sebagian dari tantangan perawat kemudian adalah mendukung harapan
dan keinginan klien.

2. Pengkajian Tanda Kematian


Pengkajian tanda kematian dibagi menjadi tiga tahapan yaitu sebagai berikut :
a) Tanda-Tanda Klinis Menjelang Kematian
1) Kehilangan Tonus Otot
- Relaksasi otot wajah (mis., rahang dapat turun).
- Sulit berbicara.
- Sulit menelan dan secara bertahap kehilangan refleks muntah.
- Aktivitas saluran gastrointestinal menurun, yang pada akhirnya
disertai dengan mual, akumulasi flatus, distensi abdomen, dan
retensi feses, terutama jika narkotik atau penenang diberikan.
- Kemungkinan inkontinensia kemih dan rektal akibat penurunan
kontrol spinkter.
- Penurunan pergerakan tubuh.
2) Perlambatan Sirkulasi
- Sensasi berkurang.
- Bercak dan sianosis pada ekstremitas.
- Kulit dingin, pertama di kaki dan kemudian di tangan, telinga, dan
hidung (namun klien dapat merasa hangat jika terdapat
peningkatan suhu tubuh).
- Perlambatan dan perlemahan denyut nadi.
- Penurunan tekanan darah.
3) Perubahan Respirasi
- Pernapasan cepat, dangkal, tidak teratur, atau lambat tidak normal;
napas berisik, disebut sebagai lonceng kematian, karena
berkumpulnya lender di kerongkongan; pernapasan melalui mulut;
membran mukosa oral kering.
4) Kerusakan Sensori
- Pandangan kabur.
- Kerusakan sensasi atau indera perasa dan pencium.
b) Tanda-Tanda Klinis Saat Meninggal
1) Pupil mata melebar.
2) Tidak mampu untuk bergerak.
3) Kehilangan reflek.
4) Nadi cepat dan kecil.
5) Pernapasan chyene-stoke dan ngorok.
6) Tekanan darah sangat rendah.
7) Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
c) Tanda-Tanda Klinis Meninggal
1) Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2) Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3) Tidak ada reflek.
4) Gambaran mendatar pada EKG.
3. Perawatan Setelah Kematian
a. Perawatan Klien Yang Meninggal
Rigor mortis adalah kekakuan tubuh yang terjadi sekitar 2 sampai
4 jam setelah kematian. Rigor mortis terjadi akibat kurangnya adenosin
trifosfat (ATP), yang menyebabkan otot berkontraksi, yang pada akhirnya
dapat mengakukan sendi. Rigor mortis mulai di otot involunter ( jantung,
kandung kemih, dan sterusnya), kemudian berkembang ke kepala, leher,
dan batang tubuh, dan akhirnya mencapai ekstremitas.
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh secara bertahap setelah
kematian. Saat sirkulasi darah berakhir dan hipotalamus berhenti
berfungsi, suhu tubuh turun sekitar 10C per jam sampai suhu tubuh
mencapai suhu kamar. Secara bersamaan, kulit kehilangan elastisitasnya
dan dapat dengan mudah terkelupas saat melepaskan balutan dan plester
perekat.
Setelah sirkulasi darah berhenti, sel darah merah hancur,
melepaskan hemoglobin yang mengubah warna jaringan sekitar.
Pengubahan warna ini, yang disebut sebagai livor mortis, tampak di area
tubuh terbawah atau area tubuh yang tergantung.
Personel keperawatan mungkin bertanggung jawab untuk
perawatan tubuh setelah kematian. Perawatan pascamortem harus
dilakukan sesuai dengan kebijakan rumah sakit atau lembaga. Karena
perawatan tubuh dapat dipengaruhi oleh hokum agama, perawat harus
mengkaji agama klien dan berupaya keras untuk mengikuti hukum
agamanya dalam perawatan tubuh. Apabila keluarga atau teman pasien
yang telah meninggal berharap untuk melihat jenazah, sangat penting
untuk membuat lingkungan terlihat bersih dan menyenangkan serta
membuat jenazah tampak alami dan nyaman. Semua perlengkapan, sprei
kotor, dan peralatan harus disingkirkan dari sisi tempat tidur. Beberapa
lembaga mengharuskan semua slang di dalam tubuh tetap terpasang; di
lembaga lain slang mungkin dipotong antara 2,5 cm dari kulit dan
diplester di tempat; di lembaga lain semua slang harus dilepaskan.
Ada 3 tahapan proses tindakan dalam perawatan klien yang
meninggal yaitu:
1. Tindakan di Luar Kamar Jenazah
a. Mencuci tangan sebelum memakai sarung tangan.
b. Memakai pelindung wajah dan jubah.
c. Luruskan tubuh jenazah dan letakkan tubuh jenazah dalam posisi
terlentang dengan tangan di sisi atau terlipat dada.
d. Tutup kelopak mata dan/atau ditutup dengan kapas atau kassa;
begitu pula mulut, hidung dan telinga.
e. Beri alas kepala dengan kain handuk untuk menampung bila ada
rembesan darah atau cairan tubuh lainnya.
f. Tutup anus dengan kassa dan plester kedap air.
g. Lepaskan semua alat kesehatan dan letakkan alat bekas tersebut
dalam wadah yang aman sesuai dengan kaidah kewaspadaan
universal.
h. Tutup setiap luka yang ada dengan plester kedap air.
i. Bersihkan tubuh jenazah dan tutup dengan kain bersih untuk
disaksikan oleh keluarga.
j. Pasang label identitas pada kaki.
k. Cuci tangan setelah melepas sarung tangan.
2. Tindakan di Kamar Jenazah
a. Lakukan prosedur baku kewaspadaan universal yaitu cuci tangan
sebelum mamakai sarung tangan.
b. Petugas memakai alat pelindung:
1) Sarung tangan karet yang panjang (sampai kesiku).
2) Sebaiknya memakai sepatu boot sampai lutut.
3) Pelindung wajah (masker dan kaca mata).
4) Jubah atau celemek sebaiknya yang kedap air.
c. Jenazah di mandikan oleh petugas kamar jenazah yang telah
memahami cara membersihkan /memandikan jenazah.
Alat dan Bahan:
1) Tempat mandi
2) Ember besar berisi air
3) Gayung
4) Air sabun
5) Sampo
6) Sisir
7) Cotton bud
8) Washlap
9) Handuk
10) Kain panjang 2 potong
Prosedur Memandikan:
1) Angkat jenazah ke tempat mandi.
2) Lepaskan pakaian yang melekat pada badan.
3) Siramlah badan bagian kanan, basuhlah anggota badan ketika
berwudhu.
4) Siramlah badan yang kiri.
5) Siramlah seluruh badan.
6) Gosok-gosok dengan sabun, siram 3-5 kali.
7) Miringkan mayat gosok-gosok dengan sabun dan siram 3-5
kali.
8) .Jangan memaksakan mengeluarkan kotoran dari perut mayat.
9) Siram dengan kapur barus yang dicairkan.
10) Keringkan dengan handuk.
11) Tutup denan kain (ingat pada waktu memandikan aurat jangan
terlihat).
d. Bungkus jenazah dengan kain kafan atau kain pembungkus lain sesuai
dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
3. Tahap Mengkafani
Alat dan Bahan:
a) Kain kafan pria ±15 m, wanita ±12 m
b) Kapas
c) Parfum
d) Kapur barus
e) Tikar
f) Pinggir kain kafan ±2 cm di sobek sepanjang kain (12 m untuk wanita
dan 15 m untuk pria) a, sisa kain kita sebut b
g) Ukur panjang jenazah dengan kain a lebihkan ±2 jengkal, dengan
ukuran tadi potong-potong kain b menjadi 6 potong
h) Potongan kain a dipotong-potong menjadi 10 bagian (8 bagian selebar
bahu sampai ujung lengan terbentang, 2 potong selebar ujung lengan
ke ujung lengan yang dibentangkan
i) Ambil sepasang potongan kain b, jelujur dengan salah satu ujung
bertumpuk seperti trapezium
j) Selanjutnya tali di bawah tikar dan tali di bawah kafan tikar
k) Kain kafan 3 lapis (diatasnya ditaburi kapur barus dan parfum)
l) Kemudian lipat yang rapih
Prosedur Mengkafani
a) Kain kafan yang sudah disiapkan di gelar.
b) Angkat jenazah, letakkan diatas kain kafan.
c) Sisir rambutnya.
d) Untai 3 untaian untuk perempuan.
e) Siapkan rok gamis kerudung untuk perempuan.
f) Aurat ditutup dengan kapas.
g) Angkat kain penutup.
h) Oleskan bubuk kapur barus dan parfum.
i) Lipat kain kafan lapis atas, seterusnya sampai yang ketiga.
j) Ikat dengan simpul ikatan yang kiri.
k) Gulung dengan tikar dan lipat.
l) Masukkan dalam keranda, jenazah siap di sholatkan. Setelah selesai di
kafani jenazah diantarkan kepada keluarganya.

Beberapa pandangan tentang kematian dari agama-agama yang terkemuka di


dunia, yaitu di antaranya :
1. Konsep Bimbingan Spiritual Pada Pasien dan Keluarga Menjelang Ajal
a) Agama Kristen
Dalam agama Kristen terdapat berbagai aliran-aliran. Dua aliran
yang paling utama adalah agama Katolik dan agama Protestan. Dalam
ajaran agama Katolik Roma mati itu hanya suatu perpisahan untuk waktu
sementara. Setelah kematian akan muncul kehidupan yang abadi dan
Tuhan.Tuhan itu baik hati dan mengampuni semua dosa dan kesalahan.
Seorang katolik yang baik tidak usah takut menghadapi kematian, karena
setelah kematian akan ada kehidupan yang lebih baik. Yang penting
dalam untuk seorang pasien Katolik adalah bahwa ia memperoleh
kesempatan untuk Sakramen orang sakit, yang juga dinamakan
Pembalseman orang sakit. 
Dalam agama Protestan, terdapat berbagai perbedaan pandangan
terhadap penyakit dan kematian. Contoh:
 Penyakit dan kematian adalah sebagai akibat dari dosa Adam.
Seseorang dengan sadar harus memilih Tuhan, dan dapat mengetahui
dan merasa bahwa ia dapat masuk dalam kerajaan Allah setelah ia
meninggal.
 Penyakit adalah suatu penguasaan iblis atas diri kita dan melalui doa
diusahakan agar iblis itu keluar.
 Penyakit adalah suatu hukuman yang dijalani manusia karena
kesalahannya.
b) Agama Islam
Penyakit dalam agama Islam adalah suatu gangguan
keseimbangan sebagaimana yang dimaksud oleh Allah.Sebab-sebab dari
gangguan ini dapat dicari baik dalam kekuatan yang meguasai alam
semesta maupun yang berasal dari kuasa-kuasa manusia. Kematian bagi
orang-orang islam berarti suatu pemindahan dari kehidupan karena suatu
situasi menuggu sampai akhir zaman. Dan pada saat itu akan tiba masa
pengadilan bagi semua orang. Orang islam pada saat pengadilan itu boleh
percaya akan kebaikan-kebaikan Allah. Orang islam percaya bahwa di
dalam kuburan akan datang dua malaikat yang akan menanyakan masalah
kepercayaannya.
c) Tradisi Yahudi
Menurut tradisi Yahudi orang-orang mati akan bangkit pada akhir
jaman. Disamping itu tradisi Yahudi mengenal banyak peraturan-
peraturan yang berhubungan dengan fase akhir kehidupan manusia.
d) Agama Hindu
            Bagi orang-orang yang beragama Hindu dikatakan bahwa penyakit
adalah akibat dari dewa-dewa yang marah atau kuasa-kuasa yang lain.
Penyakit harus dihindari dan dilawan dengan cara membawa
persembahan-persembahan bahan melalui pembacaan mantera. Setelah
kematian maka manusia akan kembali muncul di bumi baik dalam bentuk
manusia atau binatang (reinkarnasi), sampai rohnya menjadi sempurna.  
2. Prosedur Bimbingan Spiritual pada Pasien dan Keluarga Menjelang Ajal
Jika kondisi pasien kritis, dokter akan secara resmi menuliskan namanya di 
daftar kritis. Kemudian keluarga dan pemuka agama akan diberitahu.
a. Jika pasien Katolik tampak sedang menyongsong ajal, seorang pendeta
harus dipanggil untuk melakukan sakramen orang sakit. Akan lebih baik
jika keluarga hadir dan meninggalkan ruangan pada saat dilakukan
pengakuan dosa. Penganut agama Katolik dan keluarga menganggapnya
sebagai suatu keistimewaan karena memiliki kesempatan untuk mengaku
dosa ketika masih memiliki kemampuan. Banyak pasien yang sembuh
dengan sempurna, tetapi harapan ini tidak boleh mencegah penerimaan
sakramen. Pendeta akan memutuskannya setelah berdiskusi dengan
keluarga.
b. Sementara hampir semua agama lainnya tidak memiliki ritual khusus
seperti sakramen ini, oleh sebab itu pemberian privasi pada pasien dan
keluarga adalah hal yang penting. Privasi tidak berarti membiarkan pasien
dan keluarganya sendirian tetapi juga tetap melanjutkan perawatan yang
ditugaskan pada anda yang dengan perilaku yang tenang dan menghargai.
c. Pembacaan kitab suci, jika diminta, dapat menjadi bantuan spiritual untuk
melalui saat kritis. Bersikap sopan dan beri privasi jika pemuka agama
pasien berkunjung.
3. Keyakinan dan Budaya dalam Perawatan Jenazah
Setiap agama memiliki beragam budaya dan keyakinan dalam merawat
jenazah:
a. Muslim
Jika pasien muslim meninggal:
1) Setelah kematian, tubuh dianggap sebagai milik Allah SWT.
2) Pakailah sarung tangan untuk menghindari kontak langsung dengan
tubuh. Tubuh harus menghadap Mekkah (Timur) dan kepala harus
berbalik ke arah bahu kanan sebelum rigor mortis.
3) Anda mungkin sisir rambut, meluruskan tungkai, menghapus peralatan
dan menutupi tubuhnya dengan kain putih, tapi keluarga akan ingin
melakukan cuci dari tubuh.
4) Pos pemeriksaan mayat hanya dibolehkan jika hukum memerlukan itu.
5) Masalah donasi organ, keluarga mungkin setuju atau tidak.
6) Umat Islam selalu dikubur dalam waktu 24 jam dari kematian.
b. Hindu
Jika pasien hindu meninggal:
 Jenazah mungkin harus dibaringkan di lantai.
 Pendeta akan mengikatkan benang sekitar leher atau pergelangan tangan
(jangan dilepaskan).
 Keluarga akan memandikan jenazah sebelum dikramasi.
c. Yahudi
Jika pasien yahudi meninggal:
 Jenazah dimandikan oleh anggota penguburan.
 Dan seseorang harus berada di dekat jenazah untuk yahudi ortodoks dan
konservatif.
d. Kristen
Jika pasien kristen meninggal:
 Ritual sangat beragam diantara kelompok mungkin memberikan
komuno terakhir.
 Memilih penguburan daripada kremasi.
4. Perawatan Pada Keluarga
Bagan kepemimpinan pada perawatan paliatif tidak berbentuk kerucut,
melainkan lebih berbentuk lingkaran dengan pasien sebagai titik sentral.
Kunci keberhasilan kerja interdisiplin bergantung pada tanggung jawab setiap
anggota tim, sesuai dengan kemahiran dan spesialisasinya, sehingga setiap
kali pimpinan berganti, tugas profesi masing masing tidak akan terganggu.
Keberhasilan keperawatan paliatif pada pasien lanjut usia akan menjadi
pengalaman dan akan meningkatkan kekuatan tim untuk upaya
penanggulangan gejala yang sama pada pasien yang lain.
Tugas tim perawatan paliatif sebagai penyeimbang di antara keduanya.
Keluarga pasien adalah subjek suasana tegang dan stres, baik fisik maupun
secara psikologis, serta ketakutan dan kekhawatiran kehilangan orang yang
dicintainya. Dari pengamatan yang dilakukan, di peroleh hasil bahwa
sikap/kebutuhan keluarga adalah:
1. Ingin membantu klien sepenuhnya.
2. Ingin mendapat informasi tentang kematian.
3. Ingin selalu bersama klien.
4. Ingin mendapatkan kepastian bahwa klien tetap nyaman.
5. Ingin mendapat informasi tentang perkembangan lanjutan usia.
6. Ingin melepaskan/ mencurahkan isi hati.
7. Ingin mendapatkan dukungan dan pendampingan anggota keluarga atau
kerabat lain.
8. Ingin diterima mendapat bimbingan, dan dukungan dari para petugas
medis atau perawat.
Pengamatan tersebut di dukung dengan beberapa pernyataan,
meyakinkan bahwa keluarga menempatkan diri dalam posisi segalanya bagi
klien. Yang juga perlu diselenggarakan adalah manajemen dalam keluarga,
untuk mengatur giliran jaga, mengatur pendanaan, memenuhi kebutuhan
fasilitas klien, dan lain lain. Pada kenyataannya, klien dapat di ajak diskusi
untuk dimintai pertimbangannya. Dampak positifnya adalah klien merasa
dianggap dan dihargai walaupun fisiknya tidak berdaya. Kelelahan fisik dan
psikis pada anggota keluarga sering mengakibatkan penurunan kualitas
pelayanan perawatan di rumah. Bila hal ini terjadi, sebaiknya untuk sementara
waktu klien “dititipkan” di rumah sakit memberi kesempatan kepada keluarga
untuk beristirahat. Dukungan pada keluarga saat masa sulit sangat penting,
yaitu:
1. Pada saat perawatan.
2. Pada saat mendekati kematian.
3. Pada saat kematian.
4. Pada saat masa duka.
Beban sulit di rasa berat bila klien di rawat. Namun, hal tersebut akan
menimbulkan keseimbangan bila lanjut klien meninggalkan dan adanya rasa
puas karena keluarga telah memberikan sesuatu yang paling berharga bagi
klien, termasuk kehangatan keluarga. Kedekatan dengan klien akan tetap
berkesan bagi keluarga yang di tinggalkanya.
Hal yang terakhir ini terungkap pada saat kunjungan masa duka oleh
anggota tim perawatan paliatif. Silaturahmi dapat berlanjut dalam bentuk
kesediaan keluarga lanjut usia sebagai relawan. Dapat di simpulkan bahwa
perawatan tim paliatif merupakan suatu proses perawatan yang cukup
kompleks. Pendekatan holistik (menyeluruh) terhadap klien dengan
mengikutsertakan keluarga klien akan menyentuh faktor fisik, psikis, sosial,
spiritual, dan budaya klien. Keberhasilan program tidak dapat di jamin tanpa
kemantapan dokter dan tim paliatif dalam kualitas ilmu, kualitas karya, dan
kualitas perilaku, serta pertimbangan etika dalam pelaksanaannya.

D. Asuhan Keperawatan Pada Klien Menjelang Ajal Dan Setelah Kematian


1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah sakit dengan
penyakit yang sama.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit yang sama dengan
klien.
2. Head To Toe
Perubahan fisik saat kematian mendekat:
a. Pasien kurang rensponsif.
b. Fungsi tubuh melambat.
c. Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja.
d. Rahang cendrung jatuh.
e. Pernafasan tidak teratur dan dangkal.
f. Sirkulasi melambat dan ektremitas dingin, nadi cepat dan melemah.
g. Kulit pucat.
h. Mata memelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya.
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga
pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal
dengan tenang dan damai. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit
yang mengancam hidup kedalam empat fase, yaitu:
 Fase Prediagnostik: terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko
penyakit.
 Fase Akut: berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
 Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya. pasti
terjadi.
 Klien dalam kondisi terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik,
psikologis, maupun social-spiritual.
Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain:
a. Problem Oksigenisasi: Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan
cheyne stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental: Agitasi-
gelisah, tekanan darah menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi
ireguler.
b. Problem Eliminasi: Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat
peristaltic, kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi
konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau
kondisi penyakit (mis Ca Colon), retensi urin, inkopntinensia urin terjadi
akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya: Trauma
medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau
kondisi penyakit mis gagal ginjal.
c. Problem Nutrisi dan Cairan: Asupan makanan dan cairan menurun,
peristaltic menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan
pecah-pecah, lidah kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan,
dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
d. Problem Suhu: Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai
selimut.
e. Problem Sensori: Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat
mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, pendengaran
menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran
berkurang, sensasi menurun.
f. Problem Nyeri: Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan
secara intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan
kecemasan dan meningkatkan kenyamanan.
g. Problem Kulit dan Mobilitas: Seringkali tirah baring lama menimbulkan
masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi
yang sering.
h. Problem Psikologis: Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami
banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam
hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi atau
barrier komunikasi.
i. Perubahan Sosial-Spiritual: Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi
akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat
memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan.
Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan
kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai.
Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan,
ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
3. Diagnosis Keperawatan
1. Ansietas kematian berhubungan dengan mengalami proses menjelang
ajal. (Nanda, Domain 9, 00147, hal. 355)
2. Duka cita berhubungan dengan antisipasi kehilangan hal yang bermakna
(mis., kepemilikan, pekerjaan, status). (Nanda, Domain 9, 00136, hal.
360)
3. Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen pengobatan yang rumit
(Nanda, Domain 9, 00125, hal. 365)
4. Keputusasaan berhubungan dengan penurunan kondisi fisiologis (Nanda,
Domain 6, 00124, hal. 284)
4. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosis I
Ansietas kematian berhubungan dengan mengalami proses menjelang ajal.
(Nanda, Domain 9, 00147, hal. 355)
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan Umum: Kematian Yang Nyaman (NOC, hal. 598)
Tujuan Khusus: Tingkat Kecemasan (NOC, hal. 598)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan ansietas klien
berkurang, dengan kriteria hasil (NOC, hal. 126)
1) Afek tenang menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
2) Lingkungan fisik menjadi skala 5 (tidak terganggu).
3) Posisi yang nyaman menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
4) Relaksasi otot menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
5) Dukungan dari keluarga menjadi skala 5 (tidak terganggu).
6) Kehidupan spiritual menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
Intervensi
a) Pengurangan Kecemasan (NIC, hal. 319):
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien.
3. Pahami situasi krisis yang terjadi dari perspektif klien.
4. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan, dan
prognosis.
5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi
ketakutan.
6. Dorong keluarga klien untuk mendampingi klien dengan cara yang
tepat.
7. Berikan objek yang menunjukkan perasaan aman.
8. Dengarkan klien.
9. Puji atau kuatkan perilaku yang baik secara tepat.
b. Diagnosis II
Duka cita berhubungan dengan antisipasi kehilangan hal yang bermakna
(mis., kepemilikan, pekerjaan, status). (Nanda, Domain 9, 00136, hal. 360)
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Tujuan Umum: Respon Berduka Komunitas (NOC, hal. 607)
Tujuan Khusus: Menahan Diri dari Kemarahan (NOC, hal. 607)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan duka cita
klien berkurang, dengan kriteria hasil (NOC, hal. 316)
1) Mengidentifikasi kapan merasa marah menjadi skala 4 (sering
dilakukan).
2) Mengidentifikasi kapan merasa frustasi menjadi skala 4 (sering
dilakukan).
3) Mengidentifikasi tanda-tanda awal marah menjadi skala 5 (dilakukan
secara konsisten).
4) Mengidentifikasi situasi yang dapat memicu marah menjadi skala 4
(sering dilakukan).
5) Mengidentifikasi alasan perasaan marah menjadi skala 4 (sering
dilakukan).
6) Mengekspresikan kebutuhan dengan cara yang konstruktif menjadi
skala 4 (sering dilakukan).
7) Mencurahkan perasaan negatif dengan cara yang tidak mengancam
menjadi skala 5 (dilakukan secara konsisten).
Intervensi
Fasilitasi Proses Berduka (NIC, hal. 108):
1. Identifikasi kehilangan.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi reaksi awal terhadap kehilangan.
3. Dukung klien untuk mengekspresikan perasaan mengenai kehilangan.
4. Dengarkan ekspresi berduka.
5. Dukung klien untuk mendiskusikan pengalaman kehilangan sebelumnya.
6. Buat pernyataan empatik mengenai duka cita.
7. Berikan instruksi dalam proses fase berduka, dengan tepat.
8. Dukung kemajuan untuk melalui tahap berduka pribadi.
9. Bantu mengidentifikasi strategi-strategi koping pribadi.
10. Libatkan orang yang penting bagi klien untuk mendiskusikan dan
membuat keputusan dengan tepat.
c. Diagnosis III
Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen pengobatan yang rumit
(Nanda, Domain 9, 00125, hal. 365)
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Tujuan Umum: Kepercayaan Mengenai Kesehatan: Kontrol yang Diterima
(NOC, hal. 625)
Tujuan Khusus: Penerimaan: Status Kesehatan (NOC, hal. 625)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan
ketidakberdayaan klien dapat teratasi, dengan kriteria hasil (NOC, hal. 349):
1) Menghilangkan konsep kesehatan personal sebelumnya menjadi skala 4
(sering dilakukan).
2) Mengenali realita situasi kesehatan menjadi skala 5 (dilakukan secara
konsisten).
3) Melaporkan harga diri yang positif menjadi skala 4 (sering dilakukan).
4) Mempertahankan hubungan menjadi skala 5 (dilakukan secara konsisten).
5) Menyesuaikan perubahan dalam status kesehatan menjadi skala 4 (sering
dilakukan).
6) Mengekspresikan kedamaian dari dalam diri menjadi skala 5 (dilakukan
secara konsisten).
7) Menunjukkan kegembiraan menjadi skala 5 (dilakukan secara konsisten).
Intervensi
Dukungan Pengambilan Keputusan (NIC, hal. 93)
1. Tentukan apakah terdapat perbedaan antara pandangan klien dan
pandangan penyedia perawatan kesehatan mengenai kondisi klien.
2. Informasikan pada klien mengenai pandangan-pandangan atau solusi
alternatif dengan cara yang jelas dan mendukung.
3. Bantu klien mengidentifikasi keuntungan dan kerugian dari setiap
alternative pilihan.
4. Bangun komunikasi dengan klien sedini mungkin sejak klien masuk ke
unit perawatan.
5. Fasilitasi percakapan klien mengenai tujuan perawatan.
6. Fasilitasi pengambilan keputusan kolaboratif.
7. Hormati hak-hak klien untuk menerima atau tidak menerima informasi.
8. Berikan informasi sesuai permintaan klien.
d. Diagnosis IV
Keputusasaan berhubungan dengan penurunan kondisi fisiologis (Nanda,
Domain 6, 00124, hal. 284)
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Tujuan Umum: Harapan (NOC, hal. 623)
Tujuan Khusus: Partisipasi Dalam Keputusan Perawatan Kesehatan (NOC,
hal. 623)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan keputusasaan
klien dapat teratasi, dengan kriteria hasil (NOC, hal. 327):
1) Mencari informasi yang terpercaya menjadi skala 5 (secara konsisten
menunjukkan).
2) Mendefinisikan pilihan yang tersedia menjadi skala 4 (sering
menunjukkan).
3) Menentukan pilihan yang diharapkan terkait dengan outcome kesehatan
menjadi skala 4 (sering menunjukkan).
4) Identifikasi prioritas outcome kesehatan menjadi skala 5 (secara konsisten
menunjukkan).
5) Negosiasi perawatan yang diinginkan menjadi skala 5 (secara konsisten
menunjukkan).
6) Monitor hambatan untuk mencapai outcome menjadi skala 4 (sering
menunjukkan).
Intervensi
Inspirasi Harapan (NIC, hal. 119)
1. Bantu klien dan keluarga untuk mengidentifikasi area dari harapan dalam
hidup.
2. Informasikan pada klien mengenai apakah situasi yang terjadi sekarang
bersifat sementara.
3. Kembangkan daftar mekanisme koping klien.
4. Ajarkan pengenalan realitas dengan mensurvei situasi dan membuat
rencana ke depan.
5. Bantu klien mengembangkan spiritualitas diri.
6. Jangan memalsukan hak yang sebenarnya.
7. Fasilitasi kaitan antara kehilangan personel klien dengan gambaran
dirinya.
8. Libatkan klien secara aktif pada perawatannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Kozier,B.(2004). Fundamentals of Nursing: Concepts, process, and practice (ed.7).


Prentice Hall, New Jersey.
Kubler-Ross.E.(1998).On Death and Dying: Kematian Sebagai Bagian Kehidupan.
(W. Anugrahani, Penerj.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. ( Karya asli
diterbitkan tahun 1969)
Roper,N.(2002). Prinsip-prinsip keperawatan. Yayasan Essentia Madica, Yogyakarta
Johnson, M., et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey:
Upper Saddle River
Mc Closkey, C.J., et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). New
Jersey: Upper Saddle River
Herdman, T. Heather. et all. 2015. Panduan Diagnosis Keperawatan NANDA 2015-
20017. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai