Anda di halaman 1dari 7

BAB V

PEMBAHASAN

A. Hubungan Antara IMT Dengan Derajat Hipertensi Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bangetayu Kota Semarang.

Hasil penelitian bahwa responden pada lansia yang IMT normal jumlah

responden 105 dengan presentase (62.1%) pada lansia yang IMT kurang

jumlah responden 48 dengan presentase (28.4%), dan pada lansia dengan

IMT obesitas jumlah responden 16 dengan presentase (9.5%). Hasil analisa

Uji Spearmans pada IMT yaitu p value = 0.004 (<0.05), yang artinya ada

hubungan signifikan. Didalam penelitian ini responden cenderung makan-

makanan yang mengandung minyak, contohnya gorengan dan minum es serta

makanan yang berlemak sehingga dapat menyebabkan tidak konsistennya

IMT atau turun dan naiknya berat badan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulastri, dkk (2012) menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian hipertensi

dengan nilai p=0,049 (p<0,05) dan nilai OR= 1,82. Penelitian yang dilakukan

oleh Puspita, dkk (2013) mendapatkan bahwa perilaku yang mempunyai

hubungan dengan terjadinya hipertensi adalah IMT dengan nilai p=0,039

(p<0,05) dan nilai OR= 8,4.

Penelitian yang dilakukan oleh Handayani dan Sartika (2013)

mendapatkan bahwa Indeks Massa Tubuh memiliki hubungan yang signifikan

dengan Hipertensi. Faktor perilaku yang dapat menyebabkan jumlah kalori

yang masuk lebih ataupun kurang, jika kalori masuk berlebih maka

35
36

metabolisme tubuh dapat terganggu kalau tidak diimbangi dengan aktifitas

fisik. Tingginya lemak yang dikonsumsi akan meningkatkan resiko hipertensi

dan juga faktor yang berkaitan. Semakin besar massa tubuh akan

mempengaruhi peningkatan pasokan darah atau volume darah dalam tubuh

yang akan memasok oksigen dalam tubuh. Setelah itu pada dinding arteri

semakin menekan secara berlebih, sehingga jantung memompa semakin kuat.

Penyakit hipertensi akan terjadi pada kelompok IMT yang berlebih

akibat dari penyakit ini akan menimbulkan mekanisme seperti peningkatan

curah jantung, kenaikan volume tubuh serta peningkatan vascular perifer.

Faktor resiko yang sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi adalah IMT

dan juga dapat mempertambah perkembangan penyakit hipertensi.

Framingham mengatakan bahwa pada penelitian sebelumnya ditemukan

peningkatan mencapai 15% IMT berlebih dapat menyebabkan semakin

tingginya angka sistolik hingga 18% (Supariasa, 2012).

B. Hubungan Antara Aktifitas Fisik Dengan Derajat Hipertensi Di Wilayah

Kerja Puskesmas Bangetayu Kota Semarang.

Hasil penelitian bahwa responden pada lansia yang aktifitas fisik

sedang jumlah responden 70 dengan presentase (41.4%), pada lansia yang

aktifitas fisik berat jumlah responden 40 dengan presentase (23.7%), dan pada

lansia dengan aktifitas fisik ringan jumlah responden 59 dengan presentase

(34.9%). Hasil analisa Uji Spearmans pada aktifitas fisik dengan hipertensi

yaitu p value = 0.030 (<0.05), yang artinya ada hubungan signifikan.


37

Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan Andria

(2013) mendapatkan bahwa ada hubungan aktivitas olahraga dengan

hipertensi pada lansia, dimana nilai p=0,000 (p<0,05). Penelitian yang

dilakukan oleh Khomarun, dkk (2014) mendapatkan bahwa ada pengaruh

aktivitas fisik jalan pagi terhadap penurunan tekanan darah pada lansia.

Penelitian yang dilakukan oleh Atun, dkk (2014) mendapatkan bahwa

aktivitas fisik yang kurang dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, dengan

nilai p=0,035 (p<0,05) dan nilai OR=4,69.

Sering kali aktivitas fisik selalu dikaitkan halnya dengan proses

meningkatnya tekanan darah karena dapat menurunkan resiko hipertensi

ditahanan perifer dan menurunkan angka tekanan darah. Aktivitas fisik

seperti olahraga jogging, aerobik, dan bersepeda akan dapat menurunkan

tekanan darah saat dilakukan secara teratur. Namun juga bisa meningkatkan

kerja jantung. Pada organ tubuh yang jarang gerak akan cenderung beresiko

mengalami kenaikan berat badan. Berat badan dapat juga menaikan atau

menurunkan tekanan darah tergantung aktifitas fisik yang dilakukan

(Sulistiyowati, 2014).

Gerakan pada tubuh yang dilakukan secara teratur didapatkan dalam

penelitian akan menurunkan resiko kekakuan pada pembuluh darah ditubuh

dan juga akan meningkatkan kerja jantung menjadi kuat serta menurunkan

tekanan darah. Gerakan aktivitas fisik yang teratur memperkuat kerja jantung

dan dapat mempengaruhi hipertensi, serta frekuensi jantung menjadi semakin


38

turun. Jantung akan memompa lebih keras lagi saat aktifitas fisik dilakukan

(Andria, 2013).

Peningkatan yang terjadi saat hipertensi akan mengakibatkan strok,

jantung koroner, dan kenaikan pembuluh darah. Manfaatnya saat melakukan

gerakan aktifitas fisik maupun berolahrga dapat menguatkan kerja otot

jantung meskipun pada akhirnya akan mengistirahtkan denyut nadi,

pengingkatan HDL, serta dapat menurunkan resiko aterosklerosis (Cahyani,

2012).

Jika badan kita selalu bergerak maka jantung yang memompa darah

akan meningkat lebih banyak. Sedikit usaha akan membuat jantung

memompa lebih sedikit, semakin jantung memompa lebih sedikit semakin

menurun fungsi pompa jantung dipembuluh darah (Ratmayati, 2013).

C. Hubungan Antara Genetik Dengan Derajat Hipertensi Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bangetayu Kota Semarang.

Hasil penelitian bahwa responden yang dengan riwayat keturunan

jumlah responden 160 dengan presentase (94.7%), dan yang tidak

mempunyai riwayat keturunan responden 9 dengan presentase (5.3%). Hasil

analisa Uji Koefisien Kontingensi pada genetik dengan hipertensi yaitu p

value = 0.940 (<0.05), yang artinya tidak ada hubungan signifikan.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa faktor keturunan memiliki

peran penting yang akan menjadi penentu untuk menentukan seberapa besar

resiko genetik terahadap hipertensi, pada kenyataannya sudah terbukti bahwa

dapat dikatakan sebagai faktor resiko karena kejadian hipertensi lebih banyak
39

pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel

telur). Namun jika dibiarkan tanpa adanya penanganan dan intervensi lebih

lanjut atau terapi pada sifat genetik esensial, maka secara ilmiah akan

berkembang bersama lingkungannya sekitar 30-50 tahun timbul tanda dan

gejala (Dahlan, 2014).

Dalam pola hidup berkeluarga secara tidak langsung akan terkena

dampak atau paparan yang terjadi resiko hipertensi dalam tubuh. Saat

keluarga sudah mengetahui jika orang tua ada yang menderita hipertensi

segeralah memperiksakan diri atau cek kesehatan, serta memperbaiki pola

hidup yang sehat. Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian yang

dilakukan oleh Malonda, dkk (2012), menunjukan bahwa tidak ada pengaruh

riwayat keluarga dengan terjadinya hipertensi, dengan nilai p=0,254 (p>0,05).

Harianto dan Pratomo (2013) mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara

riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi dengan nilai p=0,03 (p<0,05).

D. Hubungan Antara Konsumsi Garam Dengan Derajat Hipertensi Di

Wilayah Kerja Puskesmas Bangetayu Kota Semarang.

Hasil penelitian bahwa responden yang mengkonsumsi garam <2400

jumlah responden 29 dengan presentase (17.2%), dan responden yang

mengkonsumsi garam >2400 jumlah responden 140 dengan presentase

(82.8%). Hasil analisa Uji Koefisien Kontingensi pada konsumsi garam

dengan hipertensi yaitu p value = 0.986 (<0.05), yang artinya tidak ada

hubungan signifikan. Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Malonda, dkk (2012), menunjukan bahwa tidak ada hubungan
40

yang bermakna antara asupan natrium dan kejadian hipertensi, dimana nilai

p=0,414 (>0,05). konsumsi garam yang berlebihan akan meretensi lebih

banyak air untuk mempertahankan pengeceran pada elektrolit. Peningkatan

pada pembuluh darah akan terjadi akibat bertambahnya volume darah dalam

tubuh, jika fleksibilitas asteroklerosis juga turun. Pada orang yang menderita

hipertensi ingin melakukan pencegahan maka orang tersebut harus

mengurangi konsumsi garam setidaknya 2/3 sendok teh sehari. Namun setiap

individu sensitivitas pengecapan yang dialami pun berbeda, sehingga rasa

pengecap pun berbeda. Jika pada lansia sering kali mereka tiak merasakan

indra pengecapannya yang mengakibatkan mereka tidak nafsu makan. Oleh

karena itu saat memasak mereka sering menambahkan banyak bumbu

kedalam masakannya. Volume darah meningkat karena mereka juga sering

mengkonsumsi roti dan biskuit yang justru menambah banyak garam dalam

tubuh.

Hal tersebut terjadi karena sebagian responden yang diteliti mengatakan

sudah jarang mengkonsumsi makanan yang asin atau mengandung banyak

natrium termasuk bumbu saat mereka masak. Umumnya responden sudah

banyak yang mengetahui pentingnya untuk membatasi konsumsi garam atau

natrium. Selain itu pada saat mereka masak, mereka jarang mencampurkan

bumbu penyedap rasa masakan seperti (MSG), kecap, dan saos botolan. Saat

mereka memasak makanan, masakan yang mereka campurkan lebih seringnya

berbahan alami yang diperoleh dari hasil kebun seperti jahe, kunyit, pala,

kemangi, sereh, dan bawah putih sebagai penyedap masakan mereka.


41

E. Keterbatasan Penelitian

Hambatan yang ditemui dalam penelitian ini adalah kesulitan pada saat

berkomunikasi, misalnya jika ada istilah yang sulit untuk dimengerti, maka

harus menggunakan bahasa yang sederhana. Sehingga dalam melakukan

wawancara untuk menanyakan jawaban responden harus berhati-hati dan

pelan-pelan, dengan bahasa yang lugas, dan mudah dipahami oleh lansia.

F. Implikasi Penelitian

Penelitian ini dapat dilakukan oleh para perawat dan tenaga kesehatan

lainnya untuk mengetahui cara pencengahan hipertensi dengan cara salah

satunya skrining di puskesmas terdekat, serta untuk menekan angka hipertensi

dikalangan lansia dan memberitahukan informasi tentang pentingnya menjaga

pola hidup sehat (lifestyle).

Anda mungkin juga menyukai