Anda di halaman 1dari 8

TUGAS RESUME

ILMU TANAH HUTAN

Disusun Oleh :
Athaya Khansania Pambudi
215040301111005
Kehutanan – B

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
Faktor Yang Mempengaruhi Dinamika C-Organik

Tanah merupakan komponen paling penting untuk menyerap karbon dengan


serapan karbon 4,5 kali lebih banyak daripada yang disimpan dalam biomassa
terestrial, dan dalam tanah juga dapat menyajikan komponen yang paling
dinamis dan tidak diketahui dalam siklus karbon global (Jobbagy and Jackson,
2000). Jumlah SOC yang terkandung di dalam tanah adalah keseimbangan
bersih antara input karbon baik kualitas dan kuantitas dan output karbon dari
dalam tanah (Regnier et al., 2013).

Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi dinamika input karbon dan
dekomposisi, seperti jenis vegetasi dan produktivitas primer bersihnya (Ren et
al., 2012), sifat tanah (Tian et al., 2010), suhu (Davidson dan Janssens, 2006),
kelembaban (Ryan and Law, 2005), dan juga rezim gangguan seperti kebakaran
(Harden et al., 2000) dan juga adanya perubahan penggunaan lahan.

Berdasarkan penelitian, factor iklim sperti halnya suhu dan kelembaban, telah
dianggap sebagai salah satu kontrol utama pada proses dekomposisi karbon
organik. Keduanya mampu memberi kontribusi besar dari tanah terrestrial ke
atmosfer (Carvalhais et al., 2014; Chen et al., 2013)

Adanya berbagai macam jenis karbon organik tanah tergantung pada status
nutrisi tanah dan sifat seperti mineralogi lainnya, serta tekstur yang menentukan
produksi suatu biomassa. Tingginya nustrisi dapat menyerap sebagian besar
karbon organik. Selain jenis tanah, ternyata tekstur tanah berperan sebagai
stabilisasi karbon dan laju sekuestrasi tanah. Tingkat karbon rendah ditemukan
pada tanah yang berlempung hingga lempung berpasir.

Faktor lainnya yaitu adanya pH tanah. pH dipengaruhi oleh dekomposisi


organik melalui efek primer. Efek primer sendiri merupakan perubahan jangka
pendek dalam dekomposisi mikroba dalam organik tanah sebagai respon
terhadap pemasukan karbon yang labil. Utamanya dalam efek priming rizosfer,
sumber karbon organik labil yang berasal dari rizodeposit akar hidup berakibat
perubahan dalam mineralisasi karbon organic tanah pada antarmuka akar

Faktor selanjutnya yang paling mendominasi adalah kelembaban. Kelembaban


ini memiliki peran penting dalam penguraian karbon organik oleh
mikroorganisme. Pendistribusian ulang karbon organik dan emisi terkait
bergantung pula pada kondisi fisik lingkungan, termasuk kelembaban.
Keseimbangan stabilitas karbon dapat diperoleh dari daerah pori yang di
dalamnya terdapat agregat tanah, karena biasanya dalam agregat tanah terdapat
karbon organik.
Dinamika C Organik Tanah Pada Berbagai Hutan

Perubahan penggunaan lahan yang drastis telah dialami oleh hutan tropis selama
kurang lebih 50 tahun terakhir. Perubahan yang drastis dapat ditunjukkan dari
budidaya pergeseran tradisional ke penanaman yang terus menerus dan tak
kunjung selesai, serta penanaman perkebunan kelapa sawit menyebabkan
hilangnya bahan organik tanah dan mengalami penurunan pesat dalam
produktivitas tanaman di beberapa wilayah tropis.

Siklus karbon (C) di yang ada di dalam tanah di hutan tropis ini ditandai
dengan fluks C besar melalui membuang sampah sembarangan dan dekomposisi
mikroba (Vitousek dan Sanford Jr 1986; Fujii dkk. 2018). Begitupun adanya
berbagai macam efek dari perubahan penggunaan lahan pada saham SOC yang
tidak konsisten dan bervariasi, yang bergantung pada tahap sistem tanam atau
fallow dan tingkat gangguan atau praktik manajemen dan mengakibatkan
kebakaran dan pengolahan tanah liar. (Don et al. 2011).

Kebakaran yang terjadi pada tahun 1982–83 dan 1997–1998 di Kalimantan


Timur, Indonesia, mengakibatkan perubahan penggunaan lahan dari hutan
dipterocarp primer, padang rumput Imperata, kelapa sawit atau pohon kacang-
kacangan (Acacia mangium)perkebunan di padang rumput Imperata, dan hutan
sekunder alami yangdiregenerasi oleh spesies perintis Macaranga spp.

Penelitian oleh Fuji et al. (2019) Mengenai penggunaan lahan bahan organik
tanah, menghasilkan Padang alang alang. Karena input yang tinggi dari serasah
akar, penyimpanan karbon tanah dimaksimalkan hingga 10 tahun, tetapi
penyimpanan bahan organik tambahan adalah terbatas bahkan untuk sampai di
20 tahun. Demikian pula alang-alang yang menjadi perkebunan kelapa sawit
menyebabkan hilangnya bahan organik tanah paling besar. Perkebunan lain
seperti ilalang putih atau Acacia di hutan Makaranga dapat memaksimalkan
penyimpanan karbon tanah, karena dapat menghambat masukan serasah hutan
dan mengurangi aktivitas mikroba di tanah masam.

Pengasaman tanah yang termasuk drastis untuk nitrifikasi yang ditetapkan oleh
pohon Akasia kacang-kacangan dapat berkontribusi dengan akumulasi SOC
dengan cara membatasi aktivitas mikroba dari dekomposisi SOC yang berasal
dari padang rumput. Hasil yang didapatkan termasuk kontras dengan
kurangnya perbedaan tingkat dekomposisi sampah akar Macaranga antara
dipterocarp primer dan situs hutan Macaranga di mana perubahan pH tanah
lebih kecil dan juga dekomposisi substrat yang kaya akan lignin kurang sensitif
terhadap pengasaman tanah, dibandingkan dengan sampah akar rumput yang
kaya selulosa. Variasi waktu tinggal rata-rata soc yang berasal dari padang
rumput dan sampah akar Imperata di Akasia dan perkebunan kelapa sawit
menunjukkan bahwa dekomposisi bahan organik yang berasal dari padang
rumput dapat dipercepat dengan perubahan penggunaan lahan ke perkebunan
kelapa sawit.
Dampak Penggunaan Lahan dan Kebakaran Lahan Gambut Terhadap
Bahan Organik Tanah

Lahan gambut merupakan ekosistem yang bisa dibilang unik karena mampu
menyimpan sejumlah besar karbon (Page et al. 2010; Warren et al. 2017).
Lahan gambut juga memiliki kapasitas penampungan air yang cukup besar.
Namun, ekosistem gambut juga termasuk pada ekosistem yang rapuh karena
jika terjadi kerusakan kondisinya akan berubah drastis. Pengembangan saluran
di lahan gambut yaitu mengalirkan air dan mempercepat terjadinya oksidasi,
yang bisa meningkatkan emisi CO2 ke atmosfer (Gaveau et al. 2014; Van
Noordwijk et al. 2014; Marlier et al. 2015; Wilson et al. 2016). Hal yang
terjadi setelah lahan gambut mengering adalah rentannya terjadi kebakaran
lahan.

Provinsi Riau merupakan salah satu dari beberapa provinsi yang ada di
Indonesia yang paling sering terkena dampak kebakaran yang terjadi pada tahun
2015 (Harris et al. 2017; Prayoto dkk. 2017). Riau memiliki lahan gambut yang
cukup luas yaitu sebesar 4.062.420 ha, dimana 66,75% dari kawasan lahan
gambut tersebut telah dijadikan kawasan perkebunan kecil dan industri. Kondisi
lahan gambut yang ada pada Riau ini telah berubah secara drastis dikarenakan
intervensi dari manusia (Miettinen et al. 2016). Total wilayah lahan gambut
yang terbakar di Provinsi Riau yang terindikasi analisis hotspot dilaporkan
sekitar 90.709 km2 , yaitu sekitar 19,02% dari total wilayah terbakar di Pulau
Sumatera (Mietttinen dkk).

Beberapa sifat dari tanah di lahan gambut yang terbakar ada bervariasi, antara
empat jenis penggunaan lahan yaitu hutan sekunder, perkebunan kelapa sawit,
perkebunan karet, dan tanaman pertanian. Jenis penggunaan lahan yang secara
signifikan dapat mempengaruhi beberapa sifat tanah, diantara nya: pH, kadar
air, kepadatan massal dan kandungan P2O5. Namun, kandungan air adalah satu-
satunya variabel yang dipengaruhi oleh kedalaman gambut. Lapisan gambut
atas (0-50 cm) memiliki kadar air yang lebih rendah daripada lapisan gambut
bawah (50-100 cm). Sifat lain, seperti kandungan abu, bahan organik, C
organik, Ntotal,CEC, dan pirit, tidak dapat terpengaruh oleh jenis penggunaan
lahan gambut.

Masyarakat yang tinggal di daerah lahan gambut tersebut menggunakan lahan


gambut untuk dipakai pertanian seperti menanam kelapa sawit, karet dan
tanaman tunai. Meskipun telah diberikannya kebijakan larangan terbakar yang
diluncurkan oleh pemerintah daerah, hingga pertengahan tahun 2015 pun, api
masih digunakan dalam persiapan lahan untuk pertanian yang mana dapat
mengakibatkan sebuah kebakaran lahan.

Titik api dan kawasan kebakaran sering terjadi di Taman Nasional Teso Nilo,
Kabupaten Pelalawan ini ternyata didorong oleh aktivitas manusia. Banyak
yang masih menggunakan api sebagai senjata untuk merebut tanah. Program
dari WWF-Riau telah melaporkan bahwa terjadinya perambahan tanah telah
terjadi di Taman Nasional. Banyak masalah sosial yang dialami, seperti klaim
lahan yang juga telah ditemui sebagai akibat dari kebakaran berulang, hal
seperti ini juga sering ditemukan di bagian wilayah Indonesia yang lain.
(Purnomo et al. 2017; Cattau et al. 2016; Gaveau et al. 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Ramesh et al. (2019): Soil organic carbon dynamics: Impact of land use

changes and management practices: A review. Advances in Agronomy,


Volume 156.

Fujii et al. (2019): Effects of land use change on turnover and storage of soil

organic matter in a tropical forest.

Tata et al. (2018):Forest and land fires in Pelalawan District, Riau, Indonesia:

Drivers, pressures, impacts and responses.

Anda mungkin juga menyukai