Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang diampu
oleh
Dr. Siti Khabibah, M.Pd.,
Oleh :
E.L. Thorndike kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui
bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan
(trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning” atau “selecting and
connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu
teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar
suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan
menggambar, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Teori koneksionisme
menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam
belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Menurut Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga
macam hukum belajar, yaitu :
1) The Law of Readiness (hukum kesiapan belajar)
Hukum kesiapan belajar ini merupakan prinsip yang menggambarkan suatu keadaan
si pembelajar (siswa) cenderung akan mendapatkan kepuasan atau dapat juga
ketidakpuasan. Dalam konteks ini, Mukminan (1997 : 9 dalam Nahar, N.I, 2016)
menyatakan bahwa ada 3 keadaan yang mungkin terjadi :
a) Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit
tersebut akan membawa kepuasan.
b) Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, tetapi tidak berkonduksi,
maka akan menimbulkan ketidakpuasan.
c) Jika suatu unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksakan untuk
berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpusan.
Proses belajar pada diri siswa akan terjadi jika anak berada dalam kondisi siap untuk
belajar (berinteraksi dengan lingkungan). Di antara indikator anak dalam kondisi siap
belajar adalah :
a) Anak dapat mengerti dan memahami orang lain (guru, teman, dan orang lain yang
ada di sekolah). Dalam kondisi seperti ini, anak tidak akan merasa asing, atau tidak
punya teman untuk meminta tolong, sebagaimana jika dia berada di rumah dekat
dengan orang tuanya.
b) Anak berani mengutarakan apa yang ada dalam benak pikiran atau keinginannya
(karena ada orang yang akan melindungi dan melayaninya, misalnya mau kencing ke
belakang, tidak punya alat tulis, bukunya ketinggalan, dan sejenisnya).
c) Anak dapat memahami dan mampu melakukan apa yang diperintahkan atau
diajarkan oleh gurunya.
2) The Law of Exercise (hukum latihan)
Hukum latihan ini mengandung 2 macam hukum, yaitu :
1) low of use, yaitu hubungan akan menjadi bertambah kuat jika ada latihan, dan
2) low of disuse, yaitu hubungan akan menjadi melemah atau terlupakan kalau latihan
dihentikan.
Hukum ini mengandung makna bahwa proses belajar pada diri anak (terampil jika
diminta mempraktikkan, dapat menjelaskan ketika ditanya, karena si anak sering
berlatih uji keterampilan atau senantiasa membaca), akan berhasil atau tidak berhasil
sangat ditentukan oleh seberapa banyak dan efektif latihan yang diterima. Semakin
sering dan banyak peserta didik melakukan latihan, akhirnya dia akan terampil
melakukannya. Semakin sering siswa membaca atau mengulangi materi yang
dipelajari, maka anak akan menjadi semakin tahu dan paham.
3) The Law of Effect (hukum pengaruh)
Hukum hasil ini mengisyaratkan bahwa makin kuat dan atau makin lemahnya suatu
hubungan sebagai akibat dari hasil respons yang dilakukan. Ini artinya hadiah yang
diterima anak atau prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih, akan berakibat
diulanginya atau dilanjutkannya respons atau perbuatan dimaksud. Sebabnya, adalah
karena apa yang ia lakukan dipahami sehingga akan dapat membawa hadiah atau
membawa keberhasilan.
Selain daripada itu Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a) Hukum Reaksi Bervariasi (multiple responses)
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error
yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon
yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b) Hukum Sikap (Attitude)
Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan
oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang
ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c) Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Pre-potency of Element)
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon
pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi
(selective response).
d) Hukum Response by Analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang
belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsurunsur yang telah dikenal ke situasi
baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e) Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi
yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit
demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara
otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau
mengeluarkan air liur.
Gambar ketiga.Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air
liur (UCR) akibat pemberian makanan.
Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika
anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan
memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi
bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan
makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika
mendengar bunyi bel.
Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan
stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini
disebut dengan extinction atau penghapusan.
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak
lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah
adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan
dengan rangsang berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat
dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat
dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur
ketika melihat makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari
(conditioned refleks)-keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi
tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya:
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses
perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian
menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita
memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut
teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue(terus-menerus). Yang
diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis.
3) Teori Skinner
Skinner adalah seorang psikolog dari Harvard yang telah berjasa mengembangkan teori
operant conditioning (kondisioning operan) yang dilandasi oleh adanya penguatan
(reinforcement). Menurut skinner pembelajaran berpusat pada tingkah laku dan
konsenkuensinya-konsenkuensinya. Skinner mendifinisikan belajar sebagai proses
perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang dicapai sebagai hasil belajar tersebut melalui
proses penguatan perilaku baru yang muncul yakni operant conditioning, hal ini dapat
mengakibatkan prilaku tersebut terulang kembali atau menghilang sesuai dengan
keinginan.
Budiningsih, Arsih. 2011. Karakteristik Siswa Sebagai Pijakan Dalam Penelitian dan Metode
Pembelajaran. Yogyakarta:Cakrawala Pendidikan. Vol. 30, No.1.
Dwijandono dan Sri Esti Wuryani. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Nahar, N. I. 2016. Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Proses Pembelajaran. Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial, vol. 1.
Sarlito W. Sarwono. 2002. Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.
Surakarta: PT Bulan Bintang.
Semiawan, Conny. R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini.
Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.
Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran : Teori dan Konsep Dasar.
Bandung:Remaja Rosdakarya.