Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang diampu
oleh
Dr. Siti Khabibah, M.Pd.,

Oleh :

Luthfia Laili A. 17030174086

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN MATEMATIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2020
A. Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari
sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Denga kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam
suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga
menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia
merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi belajar. Teori belajar behaviorisme sangat menekankan perilakau atau tingkah
laku yang dapat diamati. Teori-teori dalam rumpun ini sangat bersifat molekular, karena
memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul.
Para penganut teori behaviorisme meyakini bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh
kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang memberikan pengalaman-pengalaman
tertentu kepadanya. Behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat, yaitu tingkah
laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi didalam pikiran karena tidak dapat dilihat.
Skinner beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah
akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya (Semiawan, 2002:3). Menurut aliran psikologi
ini proses belajar lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik
tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu didalam diri siswa yang belajar.
Sebagaimana pada kebanyakan aliran psikologi belajar lainnya, behaviorisme juga melihat
bahwa belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku. Ciri yang paling mendasar dari
aliran ini adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi adalah berdasarkan paradigma S-
R (Stimulus Respon), yaitu suatu proses yang memberikan respon tertentu terhadap sesuatu
yang datang dari luar.
Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsur dorongan (drive). Pertama seseorang merasakan
adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kedua,
rangsangan atau stimulus. Kepada seseorang diberikan stimulus yang akan menyebabkannya
memberikan respons. Ketiga, adalah respons, di mana seseeorang akan memberikan reaksi
atau respons terhadap stimulus yang diterimanya dengan melakukan suatu tindakan yang
dapat diamati. Keempat, unsur penguatan atau reinforcement, yang perlu diberikan kepada
seseorang agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons lagi.
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara
stimulus dan respon. Seseorang telah belajar apabila ia telah dapat menunjukkan perubahan
tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut. Mengajar menurut pandangan ini yaitu memindahkan pengetahuan ke
orang yang belajar bukan menggali makna. Peserta didik diharapkan memiliki pemahaman
yang sama dengan pengajar terhadap pengetahuan yang dipelajari.
B. Ciri – Ciri Teori Behaviorisme
1) Mementingkan pengaruh lingkungan
2) Mementingkan bagian-bagian ( elementalistik )
3) Mementingkan peranan reaksi
4) Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar
5) Mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu
6) Mementingkan pembentukan kebiasaan, dan
7) Dalam pemecahan problem, ciri khasnya “trial and error”

C. Prinsip Teori Behaviorisme


1) Reinforcement and punishment
Menambahkan atau mengurangi rangsangan
2) Primary and Secondary
Kebutuhan pokok, rangsangan dari asumsi seseorang
3) Schedules of reinforcement
Rangsangan secara terjadwal
4) Contingency management
Berhubungan dengan kesehatan mental
5) Stimulus control in operant learning
Mengendalikan rangsangan untuk menghasilkan perilaku yang diharapkan
6) The elimination of responses
Penghapusan perilaku yang tidak diinginkan.
Pada intinya, teori behaviorisme adalah suatu teori yang menyatakan bahwa suatu
proses pembelajarn terjadi bila adanya stimulus. Pada teori behaviorisme tujuannya adalah
mencptakan stimulus respon sebanyak-banyaknya.

D. Tokoh – Tokoh Teori Behaviorisme


1) Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan / tindakan. Menjadi dasar terjadinya belajar
adalah adanya asosiasi antara kesan panca indera (sense of impression) dengan dorongan
yang muncul untuk bertindak (impuls to action) (Mukminan, 1997 : 8 dalam Nahar, N.I,
2016). Dalam hal ini teori behaviorisme yang lebih dikenal dengan nama contemporary
behaviorist ini memandang bahwa belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak
mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini
dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons yang tepat dari berbagai respons yang
mungin bisa dilakukan. Toeri ini menggambarkan bahwa tingkah laku siswa dikontrol
oleh kemungkinan mendapat hadiah external atau reinforcement yang ada hubungannya
antara respons tingkah laku dengan pengaruh hadiah. Dari eksperimen yang dilakukan

E.L. Thorndike kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui
bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan
(trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.

Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning” atau “selecting and
connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu
teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar
suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan
menggambar, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Teori koneksionisme
menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam
belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Menurut Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga
macam hukum belajar, yaitu :
1) The Law of Readiness (hukum kesiapan belajar)
Hukum kesiapan belajar ini merupakan prinsip yang menggambarkan suatu keadaan
si pembelajar (siswa) cenderung akan mendapatkan kepuasan atau dapat juga
ketidakpuasan. Dalam konteks ini, Mukminan (1997 : 9 dalam Nahar, N.I, 2016)
menyatakan bahwa ada 3 keadaan yang mungkin terjadi :
a) Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit
tersebut akan membawa kepuasan.
b) Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, tetapi tidak berkonduksi,
maka akan menimbulkan ketidakpuasan.
c) Jika suatu unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksakan untuk
berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpusan.
Proses belajar pada diri siswa akan terjadi jika anak berada dalam kondisi siap untuk
belajar (berinteraksi dengan lingkungan). Di antara indikator anak dalam kondisi siap
belajar adalah :
a) Anak dapat mengerti dan memahami orang lain (guru, teman, dan orang lain yang
ada di sekolah). Dalam kondisi seperti ini, anak tidak akan merasa asing, atau tidak
punya teman untuk meminta tolong, sebagaimana jika dia berada di rumah dekat
dengan orang tuanya.
b) Anak berani mengutarakan apa yang ada dalam benak pikiran atau keinginannya
(karena ada orang yang akan melindungi dan melayaninya, misalnya mau kencing ke
belakang, tidak punya alat tulis, bukunya ketinggalan, dan sejenisnya).
c) Anak dapat memahami dan mampu melakukan apa yang diperintahkan atau
diajarkan oleh gurunya.
2) The Law of Exercise (hukum latihan)
Hukum latihan ini mengandung 2 macam hukum, yaitu :
1) low of use, yaitu hubungan akan menjadi bertambah kuat jika ada latihan, dan
2) low of disuse, yaitu hubungan akan menjadi melemah atau terlupakan kalau latihan
dihentikan.
Hukum ini mengandung makna bahwa proses belajar pada diri anak (terampil jika
diminta mempraktikkan, dapat menjelaskan ketika ditanya, karena si anak sering
berlatih uji keterampilan atau senantiasa membaca), akan berhasil atau tidak berhasil
sangat ditentukan oleh seberapa banyak dan efektif latihan yang diterima. Semakin
sering dan banyak peserta didik melakukan latihan, akhirnya dia akan terampil
melakukannya. Semakin sering siswa membaca atau mengulangi materi yang
dipelajari, maka anak akan menjadi semakin tahu dan paham.
3) The Law of Effect (hukum pengaruh)
Hukum hasil ini mengisyaratkan bahwa makin kuat dan atau makin lemahnya suatu
hubungan sebagai akibat dari hasil respons yang dilakukan. Ini artinya hadiah yang
diterima anak atau prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih, akan berakibat
diulanginya atau dilanjutkannya respons atau perbuatan dimaksud. Sebabnya, adalah
karena apa yang ia lakukan dipahami sehingga akan dapat membawa hadiah atau
membawa keberhasilan.
Selain daripada itu Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a) Hukum Reaksi Bervariasi (multiple responses)
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error
yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon
yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b) Hukum Sikap (Attitude)
Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan
oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang
ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c) Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Pre-potency of Element)
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon
pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi
(selective response).
d) Hukum Response by Analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang
belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsurunsur yang telah dikenal ke situasi
baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e) Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi
yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit
demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

2) Teori Ivan Pavlop


Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori
pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal ini yang dikenang darinya hingga kini.
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang
ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan
netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan.
Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau
sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen yang dilakukan
Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana
gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan
maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru
akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.Bertitik tolak dari asumsinya
bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat
berubah sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen
dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki
kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki
manusia berbeda dengan binatang.
Eksperimen Pavlov:
Gambar 2. Percobaan Pavlop
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:

Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara
otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).

Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau
mengeluarkan air liur.

Gambar ketiga.Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air
liur (UCR) akibat pemberian makanan.

Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika
anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan
memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).

Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika bunyi
bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan
makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika
mendengar bunyi bel.

Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan
stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini
disebut dengan extinction atau penghapusan.

Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan


penghapusan sebagai berikut: a) Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa
lingkungan yang melalui kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik.
Contoh: makanan. b) Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat
netral dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah
stimulus netral yang di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan. c)
Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau
dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur. d) Respos terkondisi (CR), refleks
yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan CS dan US. Contoh: keluarnya air
liur akibat penggabungan bunyi bel dengan makanan.

Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak
lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah
adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan
dengan rangsang berkondisi. Dengan kata lain, gerakan-gerakan refleks itu dapat
dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat
dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur
ketika melihat makanan yang lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari
(conditioned refleks)-keluar air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi
tertentu.

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya:

1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses
perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian
menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita
memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut
teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue(terus-menerus). Yang
diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis.
3) Teori Skinner
Skinner adalah seorang psikolog dari Harvard yang telah berjasa mengembangkan teori
operant conditioning (kondisioning operan) yang dilandasi oleh adanya penguatan
(reinforcement). Menurut skinner pembelajaran berpusat pada tingkah laku dan
konsenkuensinya-konsenkuensinya. Skinner mendifinisikan belajar sebagai proses
perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang dicapai sebagai hasil belajar tersebut melalui
proses penguatan perilaku baru yang muncul yakni operant conditioning, hal ini dapat
mengakibatkan prilaku tersebut terulang kembali atau menghilang sesuai dengan
keinginan.

Dari eksperimen skinner menghasilkan hukum hukum belajar sebagai berikut :


1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut
akan menurun bahkan musnah.
Menurut Skinner sebagaimana dikutip oleh Saiful Sagala, dalam belajar ditemukan hal-
hal berikut.
1) Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons belajar
2) Respon si pebelajar
3) Konsekuensi yang bersifat menggunakan respon tersebut, baik konsekuensinya sebagai
hadiah maupun teguran atau hukuman (Syaiful Sagala: 14 dalam Suyono dan Hariyanto,
2014).
Skinner membedakan adanya dua macam respons, yaitu:
1) Respondent Response (reflexive response), yaitu respon yang ditimbulkan oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang-perangsang yang demikian itu yang disebut
eliciting stimuli, menimbulkan respon-respon yang secara relatif tetap, misalnya makanan
yang menimbulkan keluarnya air liur. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang
demikian itu mendahului respons yang ditimbulkannya.
2) Operant Responsen (instrumental response), yaitu respon yang timbul dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian
itu disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsangperangsang tersebut
memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi, perangsang yang
demikian itu mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang
telah dilakukan. Jika seorang belajar (telah melakukan perbuatan), lalu mendapat hadiah,
maka dia akan menjadi lebih giat belajar (responsnya menjadi lebih intensif/kuat).
Operant conditioning telah terbentuk bila dalam frekuensi tingkah laku operant
yang bertambah atau bila timbul tingkah laku operant yang tidak tampak sebelumnya.
Frekuensi terjadinya tingkah laku operant ditentukan oleh akibat dari tingkah laku itu
sendiri.Yang menentukan apakah operant tertentu akan terjadi atau tidaknya adalah
stimulus, stimulus ini memliki pengaruh melalui proses dikriminasi.
Jika suatu operant dikuatkan dengan hadirnya suatu stimulus namun tidak
dikuatkan ketika stimulus yang hadir berbeda, kecenderungan untuk merespon stimulus
kedua ketika dihadirkan secara bertahap akan mengalami ekstingsi, dan diskriminasipun
akan terbentuk. Diskriminasi itu sendiri adalah belajar memberikan respon terhadap suatu
stimulus dan tidak memberikan respon terhadap stimulus lain, walaupun stimulus itu
berhubungan dengan stimulus pertama, atau dengan menggunakan tanda-tanda atau
informasi untuk mengetahui kapan tingkah laku akan direinforced. Contoh, semua huruf,
angka, kata-kata, adalah diskriminasi stimulus. Seorang anak kecil belajar
mendiskriminasikan huruf B dan D.
Skinner memandang reward (hadiah) atau reinforcement (penguatan) sebagai unsur
yang paling penting dalam proses belajar. Kita cenderung untuk belajar suatu respons jika
diikuti oleh reinforcement (penguat). Skinner lebih memilih istilah reinforcement dari
pada reward, ini dikarenakan reward diinterpretasikan sebagai tingkah laku subjektif yang
dihubungkan dengan kesenangan, sedangkan reinforcement adalah istilah yang netral.
Penguat ini dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Penguat positif adalah rangsangan yang memperkuat atau mendorong suatu tindak
balas.
2) Penguat negatif adalah penguatan yang mendorong individu untuk menghindari suatu
tindakan balas tertentu yang tidak memuaskan.
Penguat berarti memperkuat, dalam penguat positif, frekuensi respons meningkat
karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding).Contoh, komentar guru
meningkatkan perilaku menulis murid, atau memuji orang tua yang mau hadir dalam rapat
orang tua dan guru mungkin akan mendorong mereka untuk kelak ikut rapat lagi.
Sedangkan dalam penguat negatif, frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan
penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Contoh, ayah mengomeli
anaknya agar mau mengerjakan PR, dia terus mengomel, akhirnya anak itu mendengarkan
omelan dan mengerjakan PR nya. Respon anak (mengerjakan PR) menghilangkan
stimulus yang tidak menyenangkan (omelan).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguat-penguat positif dan negatif
adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Sedangkan
dalam penguat negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau dihilangkan.
Keefektifan reinforcement dalam prilaku tergantung pada berbagai faktor, salah
satunya diantaranya adalah frekuensi atau jadwal pemberian reinforcement. Ada empat
macam pemberian jadwal reinforcement, yaitu:
1. Fixed Ratio, yaitu salah satu skedul pemberian reinforcement ketika reinforcement
diberikan setelah sejumlah tingkah laku. Contoh, seorang guru mengatakan “kalau
kalian dapat menyelesaikan sepuluh soal matematika dengan cepat dan benar, maka
kalian boleh pulang lebih dulu”.
2. Variable Ratio, yaitu sejumlah perilaku yang dibutuhkan untuk berbagai macam
reinforcement dari reinforcement satu ke reinforcement lain. Jumlah perilaku yang
dibutuhkan mungkin sangat bermacam-macam dan siswa tidak tahu perilaku mana
yang akan direinforcement. Contoh, guru tidak hanya melihat apakah tugas dapat
diselesaikan, tapi juga melihat kemajuan-kemajuan yang diperoleh pada tahaptahap
penyelesaian tugas tersebut.
3. Fixed Interval, yang diberikan ketika seseorang menunjukkan perilaku yang
diinginkan pada waktu tertentu. Contoh, setiap 30 menit sekali. 4) Variabel Interval,
yaitu reinforcement yang diberikan tergantung pada waktu dan sebuah respons
(Baharudin: 73-74 dalam Suyono dan Hariyanto, 2014).

4) Teori Robert Gagne


Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan Amerika yang terkenal dengan
penemuannya berupa condition of learning. Gagne pelopor dalam instruksi pembelajaran
yang dipraktekkannya dalam training pilot AU Amerika. Ia kemudian mengembangkan
konsep terpakai dari teori instruksionalnya untuk mendesain pelatihan berbasis komputer
dan belajar berbasis multi media. Teori Gagne banyak dipakai untuk mendesain software
instruksional. Gagne disebut sebagai Modern Neobehaviouris mendorong guru untuk
merencanakan instruksioanal pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat
dimodifikasi. Keterampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan kemampuan
yang lebih tinggi dalam hierarki ketrampilan intelektual. Guru harus mengetahui
kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari hal yang paling sederhana
dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal,
diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan
dan pemecahan masalah). Prakteknya gaya belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi
stimulus respon.
5) Teori Albert Bandura
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta berkebangsaan
Canada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial
serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang
menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah: 1. Perhatian,
mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat. 2. Penyimpanan atau proses
mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik. 3. Reprodukdi motorik, mencakup
kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik. 4. Motivasi, mencakup
dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai
prinsip sebagai berikut: 1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara
mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian
melakukannya. 2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai
yang dimilikinya. 3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan
tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Karena melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam
kerangka Teori Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya
perilaku agresi dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori
Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai
pendidikan secara massal.

E. Implikasi Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran Matematika


Topik Pembelajaran : Fungsi Kuadrat
Kegiatan Pembelajaran :
Sebelum memberikan pembelajaran guru menyiapkan bahan pelajaran tujuannya agar
target pencapaian dalam satu kompetensi dasar dapat dipenuhi. Guru menggunakan metode
ceramah, tanya jawab, mengerjakan. Dan dalam kegiatan pembelajaran guru memberikan
stimulus-stimulus dan siswa merespon stimulus yang guru berikan. Misalnya, seorang guru
menyampaikan materi fungsi kuadrat, guru menjelaskan bahwa fungsi kuadrat jika
digambarkan akan sesalu membentuk parabola. Guru memberikan stimulus berupa contoh
dari fungsi kuadrat yaitu bola yang dilempar keatas, gerakan rudal yang ditembakkan,
lintasan roket yang diluncurkan, lintasan bola yang ditendang. Dari contoh diatas, guru
menyampaikan bahwa dengan memanfaatkan pengetahuan mengenai parabola (fungsi
kuadrat), setiap gerakan dapat diperhitungkan untuk memperoleh hasil yang akurat.
Guru memberikan contoh soal yaitu gambarkan grafik fungsi dari persamaan kurva y=x2.
Siswa merespon dengan memperhatikan penjelasan dari guru. Lalu guru menjelaskan
jawabannya yaitu cara yang digunakan untuk menggambarkan grafik fungsi kuadrat
adalah: pertama buat tabel nilai, kedua letakkan koordinat yang diperoleh pada bidang
cartesius, ketiga hubungkan titik-titik tersebut sehingga terbentuk sebuah kurva yang
mulus. Setelah guru selesai menyampaikan materi, siswa diberi latihan soal oleh guru
sebagai tolak ukur dari materi yang sudah disampaikan. Latihan soal yang diberikan yaitu
menggambarkan grafik fungsi kuadrat pada bidang cartesius dan siswa menjelaskan
jawaban yang dikerjakannya. Jika siswa mampu menjawab soal dengan benar maka akan
ada penghargaan yang diberikan oleh guru misalnya nilai tambahan. Sedangkan siswa yang
belum bisa menjawab dengan benar maka harus memperbaiki dengan memberikan
hukuman yaitu latihan tambahan atau PR agar siswa terbiasa dan dapat memahami materi
yang telah disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Arsih. 2011. Karakteristik Siswa Sebagai Pijakan Dalam Penelitian dan Metode
Pembelajaran. Yogyakarta:Cakrawala Pendidikan. Vol. 30, No.1.
Dwijandono dan Sri Esti Wuryani. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Nahar, N. I. 2016. Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Proses Pembelajaran. Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial, vol. 1.
Sarlito W. Sarwono. 2002. Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.
Surakarta: PT Bulan Bintang.
Semiawan, Conny. R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini.
Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.
Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran : Teori dan Konsep Dasar.
Bandung:Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai