Anda di halaman 1dari 11

MATA KULIAH AIK

MAKALAH

NANGSI SAHRAIN
MOH.ROFI UMAR
ZULKIFLI HUSAIN

FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH GORONTALO
Kata pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

gorontalo, 3 oktober  2021

,
Teori Masuknya Islam ke Nusantara
 Kepastian kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada
kejelasan.Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu:
Teori Gujarat, TeoriMakkah, dan Teori Persia. Munculnya tiga teori yang berbeda
ini, disinyalir oleh Ahmad Mansur Suryanegara, akibat dari kurangnya informasi
yang bersumber dari  fakta peninggalan agama Islam di Nusantara. Inskripsi tertua
tentang Islam tidak menjelaskan tentang kapan masuknya Islam di Nusantara. Pada
Inskripsi tertua itu hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam,
Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi. Selain  itu  karena sulitnya memastikan
kapan masuknya Islam di Nusantara dihadapkan pada luasnya wilayah kepulauan
Nusantara (Suryanegara, 1995:73).   
 Ketiga teori tersebut berbeda pendapat mengenai: Pertama, waktu masuknya
Islam. Kedua, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat
pengambilan ajaran agama Islam. Dan ketiga, pelaku penyebar atau pembawa
Islam ke Nusantara.

A. Teori Gujarat
 Teori ini merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di
Nusantara. Dinamakan Teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-
13 M, dan pelakunya adalah pedagang India Muslim. Ada dugaan  bahwa peletak
dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L' Arabie et les Indes
Neerlandaises atau Revue de l'Histoire des Religious. Snouck Hurgronje lebih
menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan pada: Pertama, kurangnya
fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang India-Indonesia yang telah
lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera
memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.

b. Teori Makkah
            Teori ini dicetuskan oleh Hamka dalam pidatonya pada Dies Natalis
PTAIN ke-8 di Yogyakarta (1958), sebagai antitesis -untuk tidak mengatakan
sebagai koreksi- teori sebelumnya, yakni teori Gujarat. Di sini Hamka menolak
pandangan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13
dan berasal dari Gujarat. Selanjutnya Hamka dalam Seminar Sejarah Masuknya
Agama Islam di Indonesia (1963) lebih menguatkan teorinya dengan mendasarkan
pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke
Indonesia, kemudian diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Gujarat dinyatakan
sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai
tempat pengambilan ajaran Islam.
Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam baru masuk pada abad
13, karena kenyataanya di Nusantara pada abad itu telah berdiri suatu kekuatan
politik Islam, maka sudah tentu Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7
Masehi  atau pada abad pertama Hijriyah.     
            Guna dapat mengikuti lebih lanjut mengenai pendapat tentang masuknya
Islam ke Nusantara abad ke-7, perlu kiranya kita mengetahui terlebih dahulu
tentang peranan bangsa Arab dalam perdagangan di Asia yang dimulai sejak abad
ke-2 SM. Peranan ini tidak pernah dibicarakan oleh penganut teori Gujarat.
Tinjauan teori Gujarat menghapuskan peranan bangsa arab dalam perdagangan dan
kekuasaannya di lautan, yang telah lama mengenal samudera Indonesia dari pada
bangsa-bangsa lainnya.  

c. Teori Persia
 Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat
bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke
Gujarat, sedangkan waktunya  sekitar abad ke-13. Nampaknya fokus Pandangan
teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai
kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafi'i-nya. Teori yang terakhir ini
lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia
(Morgan, 1963:139-140). Di antaranya adalah:
 Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringayan Syi'ah atas
syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah
sebelah barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda
Husein untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari
bahasa arab.
 Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran
alHallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya
berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh Siti Jenar
yang hidup pada abad ke16 dapat mempelajarinya.
 Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk
tandatanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur`an tingkat awal:
Bahasa Iran                                                    Bahasa Arab
 jabar - zabar                                                    fathah
 jer - ze-er                                                        kasrah
p'es - py'es                                                       dhammah
          
Huruf Sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan Sin bergigi berasal dari
Arab.
 Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim
(1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai
kesamaan muthlak dengan teori Gujarat.
 Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi'i sebagai
madzhab utama di daerah Malabar. Di sini ada sedikit kesamaan dengan teori
Makkah, cuman yang membedakannya adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat di satu
pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan
kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzhab Syafi'i terhenti ke Malabar,
tidak berlanjut sampai ke pusat madzhab itu, yakni di Makkah.
Walaupun dari analisa perbandingan di atas ketiga teori tersebut lebih
menampakkan tajamnya perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu
yang bisa disimpulkan yakni, bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di
Nusantara melalui jalan damai (infiltrasi kultural), dan kedua, Islam tidak
mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan
Katolik.

A. Proses Awal Penyebaran Islam di Kepulauan Indonesia

Agama Islam masuk dan berkembang di Nusantara secara damai. Ada beberapa
sumber sejarah mengenai masuknya Islam ke Nusantara.
Abad ke-7 yang diberitakan dinasti Tang bahwa di Sriwijaya sudah ada
perkampungan muslim yang mengadakan hubungan dagang dengan Cina.
Abad ke-11 adanya makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1028 di
Leran, Gresik, Jawa Timur.
Abad ke-13 tepatnya tahun 1292 Marcopolo mengunjungi Kerajaan Samudra
Pasai.

Berdasarkan berita dari Marcopolo pada tahun 1292 dan cerita dari Ibnu Batutah
yang mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-14, maka diperkirakan
agama Islam sudah masuk di Indonesia sejak abad ke-13. Di samping itu, batu
nisan kubur Malik al Saleh yang meninggal tahun 1297 juga memperkuat bukti-
bukti bahwa pada saat itu telah terdapat kerajaan Islam di Indonesia.

Ada beberapa pendapat mengenai asal mula Islam masuk ke Nusantara.


Islam berasal dari Arab. Hal ini sesuai berita dari dinasti Tang, pedagang Arab
yang singgah di Sriwijaya untuk mengisi bahan bakar kemudian ke Cina.
Islam berasal dari Persia. Hal ini karena di Indonesia ada aliran tasawuf seperti di
Persia (Iran).
Islam berasal dari India (Gujarat) dengan alasan unsur Islam di Indonesia
menunjukkan kesamaan yang ada di India dan bentuk nisan Malik al Saleh
menyerupai bentuk batu nisan di India. Selain itu, ada tokoh yang beralasan dari
Gujarat. Kelompok ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje dan diikuti oleh J.P.
Moquute, R.A. Kern. Pendapat ini didasarkan pada:
a. akibat kemunduran dinasti Abbasiah Bagdad oleh Hulagu pada tahun 1258,
b. berita Marcopolo tahun 1292,
c. berita Ibnu Batutah pada abad ke-14,
d. nisan kubur Sultan Malik as Saleh yang berangka tahun awal Majapahit 1297,
e. kedatangan Islam hingga terbentuknya masyarakat muslim di Indonesia sejak
abad ke-13 berdasarkan pada ajaran tasawuf yang berasal dari Persia.

Islam menyebar di Indonesia melalui cara-cara berikut:


1. Melalui perdagangan
Pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India telah ikut
ambil bagian dalam jalan lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia
Barat, Asia Timur, dan Asia Tenggara, pada abad ke-7 sampai abad ke-16. Para
pedagang muslim yang akhirnya juga singgah di Indonesia ini, ternyata tidak
hanya semata-mata melakukan kegiatan dagang.

Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan Islam masuk ke


wilayah Indonesia. Pada abad kesembilan, orang-orang Islam mulai bergerak
mendirikan perkampungan Islam di Kedah (Malaka), Aceh, dan Palembang. Pada
akhir abad ke-12, kekuasaan politik dan ekonomi Kerajaan Sriwijaya mulai
merosot karena didesak oleh kekuasaan Kertanegara dari Singasari. Seiring dengan
kemunduran Sriwijaya, para pedagang Islam beserta para mubalignya semakin giat
melakukan peran politik dalam mendukung daerah pantai yang ingin melepaskan
diri dari kekuasaan Sriwijaya. Menjelang berakhirnya kerajaan Hindu-Buddha
abad ke-13 berdiri kerajaan kecil yang bercorak Islam, yaitu Samudra Pasai yang
terletak di pesisir timur laut wilayah Aceh. Kemudian pada awal abad ke-15 telah
berdiri Kerajaan Malaka. Sejak saat itu, Aceh dan Malaka berkembang menjadi
pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai dan banyak dikunjungi oleh para
pedagang Islam dan penduduk dari berbagai daerah terjadi interaksi yang akhirnya
banyak yang masuk Islam. Setelah pulang ke daerah asal, mereka menyebarkan
agama Islam ke daerahnya. Agama dan kebudayaan Islam dari Malaka menyebar
ke wilayah Sumatra Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Dalam
suasana demikian, banyak raja daerah dan adipati pesisir yang masuk Islam.
Contohnya, Demak (abad ke-15), Ternate (abad ke-15), Gowa (abad ke-16), dan
Banjar (abad ke-16).
2. Melalui perkawinan
Para pedagang muslim yang datang di Indonesia, ada sebagian di antara mereka
yang kemudian menetap di kota-kota pelabuhan dan membentuk perkampungan
yang disebut Pekojan. Perkawinan antara putri bangsawan dan pedagang muslim
akhirnya berlangsung. Perkawinan ini dilakukan secara Islam, yaitu dengan
mengucapkan (menirukan) dua kalimat syahadat. Upacara perkawinan berjalan
dengan mudah karena tanpa pentasbihan atau upacara-upacara yang panjang, lebar,
dan mendalam.

Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, diceritakan perkawinan antara Maulana


Iskhak dan putri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri,
sedangkan dalam Babad Cirebon diceritakan perkawinan putri Kawunganten
dengan Sunan Gunung Jati.

3. Melalui tasawuf
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik dan hal-hal
yang bersifat magis. Ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung
persamaan alam pikiran seperti pada mistik Indonesia–Hindu, antara lain, Hamzah
Fansuri, Nuruddin ar Raniri, dan Syeikh Siti Jenar.

4. Melalui pendidikan
Pendidikan dalam Islam dilakukan dalam pondok-pondok pesantren yang dise-
lenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama. Pesantren ini
merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam karena
merupakan tempat pembinaan calon guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama.
Setelah menamatkan pelajarannya di pesantren, murid-murid (para santri) akan
kembali ke kampung halamannya.

5. Melalui seni budaya


Dalam menyebarkan agama Islam, sebagian wali menggunakan media seni budaya
yang sudah ada dan disenangi masyarakat. Pada perayaan hari keagamaan seperti
Maulid Nabi, misalnya, seni tari dan peralatan musik tradisional (gamelan) dipakai
untuk meramaikan suasana. Sunan Kalijaga yang sangat mahir memainkan wayang
memanfaatkan kesenian ini sebagai sarana untuk menyampaikan agama Islam
kepada masyarakat, yaitu memasukkan unsur-unsur Islam dalam cerita dan
pertunjukannya. Senjata Puntadewa yang bernama Jimat Kalimasada, misalnya,
dihubungkan dengan dua kalimat syahadat yang berisi pengakuan terhadap Allah
dan Nabi Muhammad. Masyarakat yang menyaksikan pertunjukan Sunan Kalijaga
akhirnya mengenal agama Islam dan tertarik ingin menjadikan Islam sebagai
agamanya.
6. Melalui dakwah
Penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, sangat berkaitan dengan
pengaruh para wali yang kita kenal dengan sebutan wali sanga. Mereka inilah yang
berperan paling besar dalam penyebaran agama Islam melalui metode dakwah.

A.     Corak Islam Di Nusantara


1.      Masa Kesulthanan
Di daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha
seperti daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa,
Agama Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya
tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-
kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat Banjar
yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan di
kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam.
Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan
Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi
sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah
Banjar, di  berlakukannya hukum bunuh bagi orang murtad, hukum potong  tangan
untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina. Guna memadu
penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan
tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai
pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa
kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta
memasukkan syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama
tersebut dan akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan
yang berada di bawah kekuasaannya. Ini  seperti  ketika di pimpin oleh Sultan
Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah
kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan
lain sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan
dengan istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti
sebenarnya.
2.       Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah
pedagang-pedagang Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan
Inggris. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di
sepanjang pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan
dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat
urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat
kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai
pengalaman dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia
mengemukakan gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia.
Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
a.       Bidang agama murni atau ibadah
b.      Bidang sosial kemasyarakatan; dan
c.       Politik.

Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan


kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan,
pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu
dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori
reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak
bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum
Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam
membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan
tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
3.      Gerakan dan organisasi Islam
Akibat dari  “resep politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan
abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi
tiga tayangan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera,
politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun, ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan
begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan
menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan
membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di
Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia,
sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan
Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan
muncullah pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam
syarikat Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang
beragama Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat
dan pemerintahan  (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan
antara pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di
kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang
mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat
dua kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta
Ulama tradisional. Selama pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih
memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan nasionalis karena mereka
berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perantara
politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang
menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
a.       Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan
Pribumi zaman Belanda.
b.      Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia
menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
c.       Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam organisasi militer
untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin

Anda mungkin juga menyukai