Anda di halaman 1dari 6

TUGAS BAHASA DAERAH

ADAT PERNIKAHAN SUKU MAKASSAR

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

NAMA : KEISYAH NUR FADILLAH


KELAS : IX G
NISN : 0052123511
NO. URUT : 09

SMP NEGERI 1 BAJENG


2020/2021
Urutan Pernikahan Suku Makassar
Secara garis besar, perkawinan suku Makassar dipisahkan dalam tiga fase, yaitu:
sebelum akad nikah, akad nikah, dan setelah akad nikah. Setiap fase punya sub fase lagi yang
kadang kala memakan banyak waktu dan tenaga.

Hal pertama yang harus dilalui adalah proses yang disebut accini’ rorong. Di fase ini keluarga
pihak lelaki akan mencoba menyelidiki apakah ada kemungkinan mereka untuk masuk melamar
seorang anak gadis yang dianggap pantas dan setara untuk menjadi istri anak mereka. Proses
penyelidikan ini diikuti dengan proses yang disebut appesak-pesak atau meraba-raba. Seorang
perempuan yang dipercaya akan diutus untuk menyelidiki lebih jauh, apakah di anak gadis sudah
ada yang melamar atau belum.

Setelah semua dianggap aman, maka keluarga pihak lelaki akan datang untuk menyampaikan
maksud mereka secara resmi. Proses ini disebut ajjangang-jangang atau menerbangkan burung.
Satu delegasi yang biasanya berisi tiga atau empat orang dari keluarga lelaki akan datang dan
menanyakan secara resmi apakah keluarga lelaki bisa datang meminang atau tidak. Bila sudah
disetujui, maka selanjutnya proses akan masuk ke fase berikutnya. Delegasi tersebut akan
memberitahukan waktu kedatangan perwakilan mempelai pria untuk melamar.

Fase berikutnya disebut mange assuro atau datang melamar. Di fase ini serombongan delegasi
dari keluarga pihak lelaki datang secara resmi mengajukan lamaran kepada pihak keluarga
perempuan. Di acara ini disepakati jenis dan jumlah sunrang (mas kawin), doe’ balanja (uang
belanja atau kadang disebut uang panaik) dan tanggal pernikahan.
Fase berikutnya adalah appanaik leko’ caddi atau membawa daun sirih kecil. Di fase ini, wakil
dari keluarga lelaki akan datang membawa 12 bosara’ (besek atau bakul khas Bugis-Makassar).
Untuk keluarga bangsawan, bosara’ berjumlah 14. Bosara’ ini berisi barang hantaran berupa
beras segenggam, kelapa, gula merah, sirih, pinang dan kapur serta biasanya uang belanja yang
sudah disepakati serta cincin pengikat. Dengan selesainya fase ini berarti resmilah kedua calon
mempelai ini bertunangan. Keluarga keduanya kemudian akan menyampaikan berita ini ke
keluarga besar mereka serta kerabat dan tetangga.

Fase selanjutnya adalah appanaik leko’ lompo atau membawa daun sirih besar. Hampir sama
dengan fase sebelumnya, di fase ini rombongan dari keluarga lelaki akan datang membawa
bosara’ dan barang hantaran lain. Selain sirih, pinang, dan kapur, bosara’ juga akan berisi
tembakau, gula merah, kelapa, pisang, nenas, jeruk dan berbagai macam buah-buahan lainnya.
Hadir pula dalam hantaran itu berbagai macam kue-kue adat seperti cucuru’ bayao, se’ro-se’ro,
roko’ roko’ unti dan lain-lain. Sebagai pelengkap, dibawa pula berbagai macam perhiasan,
kebutuhan wanita dan alat-alat kecantikan. Di fase ini, rombongan dari keluarga calon mempelai
lelaki biasanya diiring alunan musik tradisional seperti gandrang, gong dan pui-pui.
Tiga hari sebelum hari perkawinan tiba, calon mempelai perempuan akan mengikut prosesi yang
disebut abbarumbung atau diasapi.  Prosesi ini dimaksudkan untuk membersihkan tubuh si
mempelai perempuan agar segar dan wangi di hadapan suaminya nanti.

Malam sebelum akad nikah, keluarga calon mempelai perempuan akan menggelar acara yang
disebut akkorontigi. Acara ini semacam pelepasan untuk si calon mempelai perempuan. Wakil
dari keluarga besarnya akan bergantian memberikan ramu-ramuan daun pacar di tangan si calon
mempelai perempuan. Di beberapa tempat acara ini juga dilengkapi dengan pembacaan barzanji
atau oleh orang Makassar disebut abbarazanji.

Dengan selesainya korontigi, maka selesai pula prosesi persiapan menyambut akad nikah.

Akad Nikah dan Nilekka


Tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Mempelai lelaki datang dengan diantar oleh rombongan
keluarga besarnya. Salah seorang pria akan ditugaskan untuk membawa sunrang atau mas kawin,
mendampingi sang mempelai. Rombongan ini juga dilengkapi dengan alunan musik tradisional.
Rombongan akan diterima oleh wakil dari mempelai perempuan di depan pagar atau di depan
tangga rumah. Setelah alunan musik yang disebut tunrung pakanjarak selesai, wakil mempelai
perempuan akan mendendangkan syair yang disebut pakkiyo bunting (pemanggil pengantin). Isi
syair ini sangat dalam dan filosofis, menggambarkan kebesaran hati keluarga mempelai
perempuan menerima si lelaki dan bagaimana mereka berharap keduanya akan menua bersama,
hingga maut memisahkan.
Salah satu isi pakkiyo bunting tersebut adalah:
Nampako ri ujung borikku, ri cappa pa’rasangangku, na kurappoiko cini, kutimbarangi ko
pangngai.
Artinya; Baru saja engkau tiba di ujung negeriku, di tepi kampungku, telah kuiringi kau dengan
pandanganku, kupersembahkan kasih sayang.

Setelah prosesi selesai, mempelai lelaki dan rombongannya dipersilakan masuk ke dalam rumah
dan acara akad nikah dimulai. Saat itu mempelai perempuan tidak dihadirkan. Mempelai
perempuan akan berada di dalam kamar, menanti kedatangan lelaki yang akan resmi menjadi
suaminya.

Setelah akad nikah selesai, mempelai lelaki akan dibawa ke kamar tempat perempuan yang
sekarang resmi menjadi istrinya telah menunggu. Namun, perjalanannya tidak akan mudah
karena akan ada beberapa orang yang menghalanginya termasuk penjaga pintu yang tidak mau
membukakan pintu. Si penjaga itu baru mau membuka pintu setelah salah seorang pendamping
mempelai lelaki memberinya uang. Ini disebut pannyungke pakke’bu’ atau pembuka pintu.
Setelah pintu terbuka, maka bertemulah dua insan yang telah sah menjadi pasangan suami dan
istri.
Namun, rentetan prosesi perkawinan suku Makassar belum selesai sampai di situ. Setelah semua
acara pernikahan selesai termasuk resepsi, maka kedua mempelai kemudian diarak ke rumah
keluarga mempelai lelaki. Prosesi ini disebut nilekka. Keduanya akan menghabiskan beberapa
malam di rumah keluarga mempelai lelaki sebelum akhirnya mereka berdua pamit (appala’
kana; Makassar). Si perempuan yang sekarang sudah resmi menjadi bagian dari keluarga besar si
lelaki akan menyerahkan sarung kepada mertuanya. Sarung ini sebagai persembahan menantu
kepada mertuanya dan dibalas pula oleh sang mertua dengan sarung.

Kedua mempelai akan tiba kembali di rumah mempelai perempuan, dan di sana akan diadakan
prosesi pamungkas yang bernama appakabajikang atau saling memperbaiki/menyempurnakan.
Setelah selesainya proses ini, maka berarti selesai sudah semua rangkaian perkawinan suku
Makassar.

Anda mungkin juga menyukai