Anda di halaman 1dari 2

PROFESIONALISME MILITER : PROFESIONALISASI TNI

Jejak Profesionalisme TNI

Reformasi ABRI (sebelum menjadi TNI) menjadi salah satu tuntutan para demonstran -
yang dimotori mahasiswa-- saat menumbangkan kekuasaan Orde Baru (Orba). Para
demonstran meminta militer tidak terlibat dalam politik. Kaum reformis menginginkan
pasukan berkonsentrasi dalam fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Militer harus
kembali ke barak.

Reformasi militer masuk menjadi paket tuntutan perubahan karena di era Soeharto,
militer sudah melangkah terlalu ''jauh''. Memasuki semua bilik yang seharusnya menjadi
ranah sipil. Tak hanya di eksekutif, para serdadu juga merambah legislatif. Bahkan di
bidang yudikatif, sejumlah hakim agung adalah perwira militer.

Keterlibatan militer yang terlalu jauh inilah yang membuat anatomi negara dalam bentuk
otoriter. ABRI bukan lagi menjadi alat negara yang mengabdi ke konstitusi, tapi menjadi
alat pemerintahan yang mengabdi kekuasaan. Karena itu, tuntutan reformasi militer
sudah tak bisa ditawar lagi begitu Soeharto lengser. Sama kuatnya dengan tuntutan
pemberantasan korupsi dan reformasi ekonomi.

Apakah TNI benar-benar bersedia meninggalkan dunia politik yang selama ini mereka
bungkus dengan legitimasi dwifungsi? Apakah TNI benar-benar siap menjadi institusi
yang hanya mengurus persoalan pertahanan seperti yang dikatakan Samuel Huntington
bahwa profesionalisme militer ditentukan oleh ketidakterlibatan mereka dalam
panggung politik. Militer semata-mata menjadi alat pertahanan negara.

Lewat buku Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI, Muhadjir Effendy


mengungkapkan anatomi keterlibatan militer dalam politik. Dengan melacak akar
sejarah embrio kelahiran militer Indonesia, buku ini berhasil menjawab pertanyaan
mengapa TNI di Indonesia menguasai intitusi sipil.

TNI masih enggan keluar dari ranah politik. Ini terlihat dengan masih dipertahankannya
institusi teritorial seperti Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil. Institusi militer di
daerah yang paralel dengan berbagai level di pemerintah daerah itu tetap berpotrensi
menjadi pintu gerbang militer untuk menjangkau bilik non-pertahanan.

Rupanya, tentara merasa berhak dalam mengelola persoalan non-militer karena ada
legitimasi masa lampau. Sejumlah momentum sejarah telah menempatkan angkatan
bersenjata merasa menjadi ''superior''. Misalnya, di awal kemerdekaan, para anggota
militer membangun pemerintahan sipil dengan cara menjadi kepala desa atau lurah.
Sebuah debut militer untuk mendapatkan pengakuan ''manunggal dengan rakyat''
sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang.

Konsepsi ''jalan tengah'' yang dilontarkan Jenderal Nasution memberi roh bagi militer
untuk memasuki wilayah sipil. Nasution menyebut militer tidak boleh hanya jadi
penonton dalam akrobatik panggung politik nasional. Dia menilai kristalisasi dwifungsi
TNI dengan pandangan bahwa, ''Posisi TNI bukanlah sekadar alat sipil seperti di
negara barat, tapi juga bukan rezim militer yang memegang kekuasaan. Dia adalah
sebagai kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat
lainnya'' (hlm. 222).

Jika Nasution memberi landasan ''moral'' bahwa militer tak boleh diam mengontrol
panggung politik, sedangkan Soeharto yang berkuasa di era Orba melakukan aplikasi
yang mendalam. Bila Nasution memberi spirit, Soeharto melegalisasi.

UU no. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan memberi basis legitimasi


kepada militer untuk berkiprah di bidang sosial politik. Soeharto yang merancang
sekaligus mengaplikasi aturan itu telah memberi lapangan seluas-luasnya kepada
militer untuk memainkan peran-peran politik, ekonomi, sosial, dan birokrasi dengan
bungkus dinamisator dan stabilisator.

Militer menikmati madu sebagai ''penguasa'' di era Orba, baik sebagai menteri, kepala
daerah, diplomat, dan berbagai jabatan sipil lainnya, hingga menguasai unit bisnis
pemerintah dan swasta. Inilah yang disebut kenikmatan yang sulit dilepas sebagian
petinggi militer. Sebuah langkah yang melebihi batas ''jalan tengah'' dan telah menjadi
syahwat politik dan ekonomi.

Langkah TNI melakukan reformasi internal seperti merombak nama ABRI menjadi TNI,
menghapus Fraksi TNI/Polri di parlemen maupun penghapusan Kasosspol (Kepala Staf
Sosial Politik) -kemudian diganti dengan Kaster (Kepala Staf Teritorial) - belum
memuaskan kelompok-kelompok yang menginginkan tentara cukup berada di barak.
TNI masih dianggap di luar rel.

Apalagi TNI menerjemahkan profesionalisme sangat berbeda dengan negara yang


menganggap militer hanya mesin perang. Simak pandangan Jenderal Ryamrizard
Ryacudu saat menjabat KSAD: ''Yang menyebut TNI profesional adalah parjurit yang
tidak hanya mahir perang dan menembak, tapi juga manunggal dengan rakyat dan
berada di tengah rakyat.''

Itulah sebabnya Ryamrizard menolak penghapusan komando teritorial yang dia sebut
sebagai bagian untuk manunggalnya TNI dengan rakyat.

Perbedaan pandangan Ryamrizard dengan kelompok yang menginginkan TNI kembali


ke barak, tak akan pernah selesai. Sebuah perdebatan yang tak akan menemukan
pintu tengah. Lewat buku ini Muhadjir Effendy tak hanya melacak jejak sejarah TNI
namun juga melihat persoalan di lapangan seperti rendahnya kesejahteraan prajurit,
doktrin serta kultur TNI. Dan, akhirnya penulis buku ini menemukan jawaban : bahwa
arah perkembangan profesionalisme TNI memang berbeda dengan negara lain. (*)

Anda mungkin juga menyukai