Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH SHAKER EXERCISE TERHADAP KEMAMPUAN MENELAN

PADA PASIEN STROKE DENGAN DISFAGIA DI RUMAH SAKIT KOTA


MEDAN

No. Kriteria Jawab Pembenaran & Critical thinking


1 P Ya  Permasalahan yang sering muncul
(Patient/Clinica akibat stroke salah satunya adalah
l Problem) disfagia. Sekitar 33% sampai 73% dari
pasien stroke yang dilaporkan
mengalami disfagia. Disfagia adalah
gangguan yang menyebabkan kesulitan
mengunyah dan menelan makanan.
Kondisi ini dapat menyebabkan
komplikasi yang sangat serius seperti
pneumonia, aspirasi, dehidrasi, dan
malnutrisi, dan kadang-kadang dapat
menyebabkan kematian. Merehabilitasi
fungsi menelan pasien dengan disfagia
sangat penting, tidak hanya untuk
memastikan keselamatan medis dan
aktivitas fungsional pasien, tapi juga
untuk menjaga kualitas hidup mereka
(Kim et al, 2014).
2 I Ya  Latihan menelan langsung dengan
(Intervention) mengunakan makanan lunak adalah
salah satu cara yang digunakan untuk
melatih pasien stroke dengan disfagia.
Selain latihan menelan langsung
dengan mengunakan makanan lunak,
latihan menelan tidak langsung juga
dapat dilakukan pada pasien sroke
dengan disfagia, salah satu latihan
menelan tidak langsung yang dapat
meningkatkan fungsi menelan pada
pasein stroke dengan disfagia adalah
shaker exercise. Shaker exercise adalah
suatu rehabilitasi yang bertujuan untuk
memperkuat otot-otot suprahyoid di
leher yang saat menelan meningkatkan
gerakan ke atas dan ke depan dari
tulang hyoid dan laring sehingga terjadi
peningkatan pembukaan sfingter
esofagus bagian atas dan akan
memudahkan makanan untuk masuk
kesaluran pencernaan bagian bawah.
Hal ini juga diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh
(Rudberg et al, 2015).
3 C Ya  Penelitian ini dilakukuan untuk
(Comparasion) mengetahui efek shaker exercise pada
pasien kanker leher dan stroke dengan
disfagia dilakukan kepada sepuluh
pasien dimana enam pasien
mengalami kanker leher dan empat
pasien stroke, dengan menggunakan
metode Prospective pilot study dan
pengukuran pre dan post shaker
exercise. Hasilnya sembilan dari
sepuluh pasien mampu melakukannya
dan terdapat peningkatan skor
kemampuan menelan pada kedua
kelompok.

 Shaker exercise ini dilakukan agar


masalah disfagia orofaring dan
esophagus bisa teratasi sekaligus.
Kedua intervensi ini juga mudah untuk
dilakukan pada pasien sroke dengan
disfagia dan memiliki sedikit efek
samping di bandingkan dengan latihan
menelan yang dilakukan secara
langsung dengan menggunakan ice
cube yang dapat mencair dan nantinya
akan menimbulkan resiko aspirasi,
begitu juga dengan makanan yang
lunak seperti bubur sum-sum yang
masih mengandung air.

4 O Ya  Hasil menunjukkan bahwa rata-rata


(Outcome) kemampuan menelan sebelum
diberikan intervensi yaitu 85,38
dengan standart deviasi 3,118, dan
kemampuan menelan setelah diberikan
intervensi 92,50 dengan standart
deviasi 4,207. Hasil analisis
menunjukkan bahwa peningkatan
tersebut terdapat perbedaan yang
bermakna (p= 0,000). Hasil analisis
diatas menunjukkan adanya perbedaan
kemampuan menelan sebelum dan
setelah diberikan intervensi.

 Intervensi shaker exercise pada pasien


stroke yang mengalami disfagia
terbukti dapat meningkatkan
kemampuan menelan dan dapat
mencegah terjadinya komplikasi
langsung maupun tidak langsung
akibat disfagia. Pernyataan tesebut
sejalan dengan ismansyah (2008),
bahwa apabila disfagia tidak di
tangani segera akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran,
dehidrasi dan malnutrisi. Dalam
penatalaksanaan pasien stroke dengan
disfagia dibutuhkan pengkajian dan
observasi serta pemberian latihan
menelan secara dini agar otot-otot
menelan dapat bekerja secara
maksimal. Disfagia yang dialami oleh
pasien stroke dapat di pulihkan dalam
satu minggu perawatan dengan latihan
menelan secara rutin.
MASSAGE ABDOMINAL SEBAGAI TERAPI KOMPLEMENTER UNTUK
MENJAGA KETERATURAN POLA ELIMINASI DEFEKASI PADA PASIEN
DI RUANG ICU

NO KRITERIA PEMBENARAN
1. P (Patient/Clinical Problem) Konstipasi adalah salah satu masalah yang
sering dialami pasien kritis yang sedang
diruang ICU, hal ini sesuai dengan
penelitian Estri, dkk (2016). Menurut
Estri, dkk (2016) kejadian konstipasi di
ICU RS Panti Rapih terjadi setelah 3-4
hari perawatan dan setelah pemasangan
alat bantu pernafasan ventilasi mekanik
dan banyak terjadi pada usia lebih dari 40
tahun. Konstipasi adalah defekasi jarang
atau defekasi dua kali per minggu dan
kesulitan mengeluarkan feses (Lemone,
et.al., 2016; Priscilla, dkk; Smeltzer,
2013).
2. I (Intervention) Ada banyak cara yang dapat dilakukan
untuk penatalaksanaan pencegahan atau
penanganan masalah konstipasi, baik yang
bersifat farmakologi ataupun non
farmakologi. Salah satu tindakan non
farmakologi yang dapat dilakukan untuk
pencegahan konstipasi adalah massage
abdominal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa massage abdominal
dapatdigunakan sebagai terapi
komplementer untuk pencegahan
konstipasi.
3. C (Comparasion) Menurut Sinclair (2010), massage
abdominal dapat mencegah terjadinya
konstipasi dengan cara menstimulasi
sistem saraf parasimpatis sehingga
menurunkan tegangan otot abdomen
sehingga meningkatkan motilitas sistem
gastrointestinal, meningkatkan sekresi
gastrointestinal dan merelaksasi sfingter
sehingga melalui mekanisme kerja
tersebut akan mempermudah dan
memperlancar pengeluaran feses.
Menurut penelitian Ikaristi, Setyani dan
Estri (2014), massage abdominal
merupakan salah satu terapi komplementer
yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya konstipasi tanpa menimbulkan
efek samping. Dalam penelitian Estri, dkk
(2016) mengatakan bahwa massage
abdominal dengan tehnik efflurage selama
7 menit tebukti efektif dalam mengatasi
konstipasi yang disertai distensi abdomen.
Menurut Lamas et al(2011), massage
abdominal dengan tehnik efflurage
merupakan terapi komplementer yang
lebih efektif dan menimbulkan sensasi
relaksasi dan meningkatkan kenyamanan
bagi pasien. Menurut Kahraman dan
Ozdemir (2015), mengatakan bahwa
massage abdominal yang diberikan kepada
pasien yang terintubasi di ICU dapat
secara efektif dapat mengurangi volume
sisa lambung dan distensi perut.
4. O (Outcome) Hasil penelitian ini rata-rata skor pola
defekasi pada kelompok intervensi yaitu
sebesar 1,33 lebih tinggi dibandingkan
dengan pola defekasi pada kelompok
kontrol, yaitu sebesar 0,67. Hasil analisis
data perbedaan skor pola defekasi pada
kelompok kontrol dan intervensi
menunjukkan p value 0,025, hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh
pemberian massage abdominal terhadap
rata-rata pola defekasi pasien yang sedang
dirawat di Ruang ICU, hal tersebut
membuktikan bahwa tindakan
komplementer berupa massage abdominal
efektif untuk mengatasi masalah
konstipasi pada pasien yang sedang
dirawat di ICU.
PENGARUH RESUSITASI CAIRAN TERHADAP STATUS HEMODINAMIK
MEAN ARTERIAL PRESSURE (MAP) PADA PASIEN SYOK HIPOVOLEMIK
DI IGD RSUD BALARAJA
NO KRITERIA PEMBENARAN
1. P (Patient/Clinical Problem) Syok hipovolemik sampai saat ini
merupakan salah satu penyebab kematian
di negara-negara dengan mobilitas
penduduk yang tinggi. Angka kematian
pada pasien trauma yang mengalami syok
hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat
pelayanan yang lengkap mencapai 94%.
Sedangkan angka kematian akibat trauma
yang mengalami syok hipovolemik di
rumah sakit dengan peralatan yang kurang
memadai mencapai 64% (Diantoro, 2014).
2. I (Intervention) Mean Arterial Pressure (MAP) adalah
tekanan rata-rata di arteri pasien selama
satu siklus jantung. Hal ini dianggap
sebagai indikator yang lebih baik perfusi
ke organ vital dari tekanan darah sistolik.
Selain sebagai salah satu penanda
hemodinamik, fungsi lainnya adalah
sebagai salah satu penentu berhasilnya
resusitasi cairan. Penghitungan nilai ini
didapatkan dari rata-rata cardiac output
(CO) dikalikan dengan tahanan vaskuler
(SVR), yang dihitung dengan rumus MAP
= [(TD × 2) + TS]/3 dimana TD yaitu
Tekanan Diastole dan TS yaitu Tekanan
Sistole (Perman, 2015).
3. C (Comparasion) Berdasarkan hasil penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Hidayatulloh (2015)
menunjukkan bahwa nilai rata-rata MAP
sebelum resusitasi cairan sebesar 64.43
mmHg, sesudah resusitasi cairan nilai rata-
rata MAP sebesar 72.65 mmHg. Hasil uji
Wilcoxcon didapatkan nilai signifikansi
(p) 0.000 (<0.05), maka dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh resusitasi cairan
terhadap peningkatan MAP pada pasien
syok hipovolemik di IGD RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Begitu juga dengan
hasil penelitian Hastuti (2016) didapatkan
hasil pemberian cairan dapat
meningkatkan nilai MAP.
4. O (Outcome) Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan diperoleh hasil bahwa seluruh
responden memiliki nilai Mean Arterial
Pressure (MAP) dibawah normal (<70
mmHg) sebelum dilakukan resusitasi
cairan dan mengalami peningkatan nilai
Mean Arterial Pressure (MAP) setelah
dilakukan resusitasi cairan. Hasil
penelitian didapatkan bahwa resusitasi
cairan berpengaruh terhadap perubahan
status hemodinamik Mean Arterial
Pressure (MAP). Hasil ini menunjukkan
bahwa resusitasi cairan memiliki peran
kontribusi yang sangat penting dalam
upaya meningkatkan status hemodinamik
pada pasien syok hipovolemik.
PENGARUH KONSENTRASI EKSTRAK ETANOL BONGGOL NANAS
(Ananas Comosus (L.) Merr) TERHADAP APOPTOSIS KARSINOMA SEL
SKUAMOSA LIDAH MANUSIA

Patient Intervention Comparison Outcome


Pasien CA Penelitian Uji Hasil penelitian menunjukkan nilai
Lidah dilakukan sitotoksisitas IC50 esktrak etanol bonggol nanas
dengan dilakukan pada biakan karsinoma sel
menggunakan untuk skuamosa lidah. Penelitian ini juga
microplate 96 mengetahui menunjukkan terdapat hubungan
well penghambatan positif antara konsentrasi ekstrak
biakan sel etanol bonggol nanas dan apoptosis
karsinoma (r = 0,999, p<0,05)
skuamosa lidah
manusia Kesimpulan pada penelitian ini
terhadap adalah bahwa bonggol nanas
ekstrak etanol mampu menginduksi apoptosis dan
bonggol nanas. terdapat peningkatan persentase
apoptosis sel yang sebanding
dengan peningkatan konsentrasi
ekstrak etanol bonggol nanas.
PENGARUH TERAPI KOMBINASI PROGRESSIVE MUSCLE
RELAXATION DAN AROMATERAPI LEMON TERHADAP NYERI
PADA PASIEN KANKER
Nama Pengarang : Erna Melastuti, Rika Viyanti, Suyanto
Tahun : 2021
Jurnal : Jurnal Keperawatan dan Kesehatan Vol. 12 No. 2

TABEL PICO

P (Problem) Pada penelitian ini adalah untuk Mengetahui pengaruh


progressive muscle relaxation dan aromaterapi lemon
terhadap nyeri pada pasien kanker
Penatalaksanaan nyeri bisa dilakukan dengan tindakan
farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi nonfarmakologi
diantaranya yaitu progressive muscle relaxation dan
aromaterapi lemon
I (Intervensi) Jenis penelitian ini merupakan penelitian Pre Experiment
dengan menggunakan One Group With Pretest — Posttest
Design. Sampel terdiri dari 9 responden menggunakan
teknik noprobability sampling dengan metode purposive
sampling.
Instrument pada penelitian ini berupa Standar Operasi
Prosedur (SOP) progressive muscle relaxation dan
aromaterapi lemon. Sedangkan instrument yang digunakan
untuk mengukur intensitas nyeri yaitu Numeric Rating
Scale (NRS) yang terdiri dari skala angka 0 sampai 10.
C (Comparison) penelitian yang dilakukan oleh Widagdo tahun 2018,
menunjukkan sebagian besar responden sebelum diberikan
aromaterapi lemon dan relaksasi otot progresif terbanyak
pada skala nyeri sedang sebanyak 13 orang (86,7%)
sedangkan setelah diberikan aromaterapi lemon dan
relaksasi otot progresif terbanyak pada skala nyeri ringan
sebanyak 15 orang (100%). Hasil uji Wilcoxon
menunjukan progressive muscle relaxation dan aromaterapi
lemon berpengaruh dalam menurunkan intensitas nyeri
setelah kemoterapi dengan p value sebesar 0,001.
O (Outcome) Berdasarkan hasil penelitian uji yang digunakan yaitu uji
Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat kemaknaan
95%, didapatkan nilai p value 0,006 lebih kecil dari nilai
signifikan 0,05
Kesimpulannya terdapat pengaruh progressive muscle
relaxation dan aromaterapi lemon terhadap nyeri pada
pasien kanker dengan nilai p value 0,006. Kata Kunci :
Progressive muscle relaxation, aromaterapi lemon, nyeri,
kanker

Anda mungkin juga menyukai