Anda di halaman 1dari 7

Zalim - 1

1. DEFINISI ZALIM

Zhulm berasal dari Bahasa Arab yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam
Bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan berbuat zalim.

Menurut istilah, zalim berarti mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allah. Maka setiap
perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan zalim yang diharamkan, baik dengan
cara menambah atau mengurangi.

Lawan kata zhulm adalah adl. Adl dalam Bahasa Indonesia berarti berbuat adil.

2. ZALIM DALAM MUAMALAH

Semua syariat samawi mengharamkan kezaliman serta mewajibkan keadilan. Allah telah mengutus para
rasul serta membekali mereka dengan kitab-kitab agar mereka menegakkan keadilan terhadap hak-hak
Allah dan hak-hak manusia.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. (Qs. Al-Hadid: 25)

Untuk lebih menegaskan bahwa kezaliman diharamkan, maka Allah mengharamkan kezaliman atas diri-
Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman:

“Wahai hamba-hambaKu! Sesungguhnya Aku telah mengharamkan berbuat zalim atas diri-Ku dan juga
telah Aku haramkan kezaliman sesama kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zalim.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, haram hukumnya seseorang menzalimi orang lain sekalipun orang yang dizalimi adalah
non muslim.

Allah berfirman:

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adil lah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs. Al-Maidah: 8)

Diriwayatkan bahwa seorang Yahudi menagih hutangnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
berupa seekor unta yang pernah dipinjam Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia menagih hutangnya
dengan cara yang sangat kasar sehingga sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ingin
memukulnya. Melihat gelagat para Sahabatnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkan dia,
sesungguhnya pemilik hak memiliki alasan untuk berbuat demikian.”

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sebagian Sahabat membeli unta untuk membayar
hutang beliau. Setelah berusaha membeli unta yang sama umurnya dengan unta yang dipinjam namun
tidak mendapatkannya, mereka melaporkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang
ada hanyalah unta yang lebih bagus umurnya dari yang dipinjam.

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Belilah unta yang lebih bagus itu dan bayarkanlah.
Sesungguhnya orang yang paling baik adalah orang yang membayar hutang dengan yang lebih baik.” (HR
Bukhari dan Muslim)

Hadits diatas memberiikan pelajaran bahwa betapa Islam menjunjung tinggi keadilan. Sekalipun pemilik
hutang adalah seorang Yahudi yang merupakan musuh umat Islam lagi berlaku kasar kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dihadapan para Sahabatnya, akan tetapi Nabi tidak menzalimminya, bahkan
sebaliknya, beliau membayar hutangnya dengan pembayaran yang lebiih bagus dari barang yang
diambil. Akhlak mulia Rasulullah telah dipuji Allah dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya kamu berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qolam: 4)

Dr. Khalid As Sya’ya berkisah, seorang Syiah yang sangat benci dengan kelompok Sunni berubah menjadi
penganut Sunni saat menyaksikan tanya jawab dengan narasumber Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.
Syaikh ditanya “bagaimana hukumnya saya sebagai pejabat menghadapi 2 orang yang mengikuti tes
masuk kepegawaian. Yang 1 berasal dari kelompok non Sunni (Syiah) nilainya lebih bagus dari yang
berasal dari kelompok sunni, apakah saya boleh mendahulukan yang Sunni? ”

Syaikh menjawab, “tidak boleh engkau lakukan.” Allah berfirman:

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adil lah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs. Al-Maidah: 8)

Melihat keadilan yang berpancar dalam fatwa Syaikh tersebut, seorang Syiah yang semula benci
terhadap kaum sunni meninggalkan ajarannya dan berpindah ke Sunni yang murni mengikuti Al-Qur’an
dan hadits.

Mengingat muamalat adalah lahan subur untuk orang-orang yang lemah imannya, melakukan kezaliman
dan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil maka sangat penting mengetahui muamalat
yang mengandung unsur kezaliman karena banyak muamalat yang terbebas dari riba dan gharar akan
tetapi memiliki unsur kezaliman. Muamalat ini tetep diharamkan dan harta yang dihasilkan merupakan
harta haram.

Diantara bentuk muamalat yang diharamkan karena mengandung unsur kezaliman:

Menjual najis

Menjual barang-barang dan jasa yang diharamkan

Monopoli, korupsi, kolusi

Penipuan

Pemalsuan merk dagang, dan lain sebagainya.

Dalam pemaparan muamalat yang mengandung unsur kezaliman akan kami bagi kepada:
Kezaliman terhadap hak Allah

Kezaliman terhadap orang tertentu

Kezaliman terhadapp hak orang banyak

3. KEZALIMAN KEPADA HAK ALLAH

Diantara harta yang haram adalah harta yang bercampur dengan hak Allah yang tidak dibayarkan,
seperti zakat yang tidak ditunaikan. Tindakan ini adalah sebuah kezaliman terhadap hak Alllah dan harta
tersebut terhitung harta haram yang harus secepatnya dikeluarkan.

3.1 Harta Haram (Zakat yang Tidak Ditunaikan)

Allah telah menciptakan seluruh makhluk dan telah menjamin rizki mereka seluruhnya.

“Dan tidak ada suatu hewan melata pun di muka bumi melainkan Allah lah yang memberi rizkinya.” (Qs.
Hud: 6)

“Dan berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa, mengurus rizkinya sendiri, Allah lah yang
memberi rizki kepadanya dan kepadamu.” (Qs. Al-Ankabut: 60)

Sebagian manusia memperoleh rizkinya dari pengguna jasa mereka dalam bentuk upah. Mereka adalah
kaum buruh, pegawai dan orang upahan. Dan sebagian manusia mendapatkan rizkinya dari harga
barang yang mereka hasilkan, mereka adalah kaum produsen dan petani.  Dan ada sebagian manusia
yang mendapat rizkinya dari keuntungan selisih harga barang yang mereka beli dengan harga barang
yang mereka jual, mereka adalah kaum pedagang.
Dan juga ada sebagian manusia, rizki mereka bukan karena barang atau jasa yang mereka berikan
kepada pihak kedua akan tetapi karena status mereka sebagai kaum fakir dan miskin. Rizki mereka di
tangan orang-orang yang wajib zakat.

Ini tidak berarti Islam menganjurkan orang miskin untuk bermalas-malasan berpangku tangan dengan
alasan rizki mereka sudah ditentukan oleh Allah dalam harta orang-orang yang wajib zakat. Karena
status miskin yang dimaksud disini, orang yang sudah berusaha mencari rizki akan tetapi Allah
menakdirkan rizki mereka tidak mencukupi kebutuhan mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah
hadits ketika 2 orang datang meminta harta zakat dan nabi melihat mereka berbadan kuat, beliau
bersabda: “zakat tidak diperuntukkan bagi orang kaya, orang yang kuat dan mampu berusaha.” (HR. Abu
Daud dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.)

Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan
orang yang tidak mempunyai apa-apa yang tidak mau meminta.” (Qs. Al-Maarij: 24-25)

Ayat diatas menjelaskan bahwa zakat yang merupakan rizki para kaum lemah telah ditentukan Allah
persentasenya pada harta orang kaya, maka tidak cukup jika dikeluarkan sekehendak pemilik harta.

Bilamana diketahui bahwa zakat bagi fakir miskin sama artinya dengan upah bagi seorang pekerja dan
sama dengan harga barang yang diberikan pembeli kepada penjual maka sebagaimana Allah telah
mencela orang yang telah menggunnaakan jasa buruh namun menunda-nunda upahnya atau sama
sekali tidak diberikan, maka Allah juga mencela orang-orang yang menahan rizki kaum dhuafa.
Pencelaan terhadap orang yang menahan upah buruh dapat dicerna oleh logika dan naluri manusiawi.
Akan tetapi pencelaan terhadap orang-orang yang menahan rizki fakir miskin tidak demikian halnya.

Oleh karena itu Islam datang mewajibkan kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk
menunaikan zakat dan menjadikan kewajiban zakat sebagai salah satu rukun islam serta mengancam
dengan siksaan yang berat bagi orang yang tidak menunaikannya dikarenakan orang yang menahan
zakat telah mezalimi pihak kaum dhuafa yang tidak berani mengambil rizki mereka yang berada di
genggaman orang-orang yang kaya.

Sungguh kezailman yang besar jika kaum fakir tersebut tidur dengan perut lapar dan badan tidak
terbalut kain sedangkan rizki mereka telah ditentukan Allah pada harta orang-orang kaya di sekeliling
mereka cukup untuk memenui kebutuhan pokok mereka namun orang-orang kaya tersebut tidak
memberikannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya telah mewajibkan pada setiap harta orang-orang muslim yang kaya zakat yang
mencukupi untuk menutupi kebutuhan orang-orang miskin yang fakir dan tidaklah mereka kelaparan
dan tubuh mereka tidak berbalut pakaian melainkan karena orang-orang kaya tidak mengeluarkan
zakat,  ketahuilah sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka (orang-orang kaya
yang tidak berzakat) dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.” (HR. Tabrani, dishahihkan
oleh Al Haitamy)

Demi menjaga martabat dan harga diri kaum dhuafa, Allah tidak memerintahkan mereka untuk datang
meminta-minta atau dengan cara paksa mengambil hak mereka yang berada di tangan orang yang wajib
zakat. Akan tetapi Allah memerintahkan pihak yang berkuasa (pemerintah) untuk mengambil hak para
kaum dhuafa dari harta orang kaya dan menyerahkannya kepada mereka.

Allah berfirman:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka.” (Qs. At-Taubah: 103)

Perintah untuk menarik zakat dalam ayat diatas ditujukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
juga pemimpin pemerintahan Islam kala itu. Bila orang yang wajib zakat menunda menunaikan rizki fakir
miskin ini maka Islam menjatuhkan sanksi kepadanya dengan memerintahkan pihak berwenang untuk
menarik zakat dan menyita setengah hartanya. Penerapan sanksi dengan menyita setengah harta orang
yang enggan membayar zakat  merupakan qoul qodim Imam Syafi’i dan Madhzab Hambali. Sedangkan
jumhur ulama tidak menerapkan sanksi ini.

Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang enggan menunaikannya (zakat) maka akan kami tarik zakatnya dan menyita setengah
hartanya, hal ini merupakan ketetapan Rabb kami.” (HR. Abu Daud, sanad hadist ini hasan)

Jika orang-orang yang enggan menunaikan zakat berjumlah banyak dan membentuk sebuah kekuatan
maka darah pun boleh ditumpahkan dengan cara pemerintah memerangi mereka demi
memperjuangkan hak fakir miskin, sebagaimana dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq memerangi orang-orang
yang tidak membayar zakat. Dari keterangan diatas sangat jelas bahwa zakat yang tidak ditunaikan
merupakan harta haram karena harta zakat itu telah ditentukan Allah sebagai hak fakir miskin dan harta
haram ini akan mengotori bahkan memusnahkan harta yang bercampur dengan zakat yang tidak
ditunaikan.

Diriwayatkan bahwa Nabi bersada:

“Barangsiapa yang telah menunnaikan zakatnya niscaya hilang kotoran dari hartanya.” (HR. Tabrani,
sanad hasan)

Oleh : 4544-Bondan Prasetyo

© 2021, by TIM ETA Konsultan

Anda mungkin juga menyukai