Anda di halaman 1dari 6

Nama : Frando N Sambonu

Nim : 462018126
Stase : Pediatric

PR 1: apa definisi cairan Kristaloid, Koloid, Hipertonis, Hipotonis, Isotonis sebutkan contoh
cairannya. Minimal 3 halaman Word, kumpl sabtu Pagi Sebelum jam 09.00 WIB

1. Cairan kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).
Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam
ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit
(Suta, 2017).
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan
ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial (Salam, 2016).
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan
(volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan
berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan
garam fisiologis (Structures, 2018).
Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya : hipotonis, isotonis dan hiperonis
- Hipotonis :
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan
kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik,
konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan
berpindah dari intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis:
Dextrose 5% dalam air, ½ normal Saline (Kushartono & Setiati, 2011).
osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh
darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas
rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju.
Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien
cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia
(kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang
membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh
darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan
intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45%
dan Dekstrosa 2,5% (Puspitosari et al., 2016).
- Isotonis :
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian
cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif
dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) (Suta, 2017).
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia
memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama;
tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi
perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel.
Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Efek samping yang
perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada
jumlah pemberian yang besar. Contoh larutan kristaloid isotonis: Ringer
Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS (Sunatrio,
2014).
- Hipertonis :
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik,
konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan
tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek samping
dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan
hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½
Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan
Dextrose 5% dalam RL.
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik”
cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi
edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan Hipotonik.
Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate,
Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin (Veranita et al.,
2020).
2. Cairan koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit
cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi
darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar
(misalnya pada luka bakar) (Sunatrio, 2014). Ukuran molekulnya (biasanya protein)
cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam
pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh
darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien
daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih
sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari
pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus.
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan
tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang
intravaskular.
Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:
- Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5% dan 25%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus
hepatitis dan virus lainnya.
- Koloid Sintetik :
a. Dextran, Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat
molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang
intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek samping terkait yang
meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal,
gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah.
b. Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml larutan
ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan
sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu 8 hari.
Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai
koloid untuk resusitasi cairan jumlah besar
c. Larutan gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen
sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan
koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari
gelatin adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi
hemodilusi normovolemik.
Tabel 1. “Perbandingan Kristaloid dan Koloid.”
Sifat Koristaloid Koloid
Berat molekul Lebih kecil Lebih besar
Lebih lama dalam sirkulasi
Distribusi Lebih cepat: 20-30 menit
(3-6 jam)
Faal hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
Penggunaan Dehidrasi Perdarahan masif
Diberikan 2-3x jumlah
Koreksi perdarahan Sesuai jumlah perdarahan
perdarahan

Tabel2. “Perbandingan Kristaloid dan Koloid”


Kristaloid Koloid
Kegunggulan 1. Lebih mudah tersedia dan 1. Ekspansi volume plasma
murah tanpa ekspansi interstitial
2. Komposisi serupa dengan 2. Ekspansi volume lebih
plasma (Ringer asetat/ringer besar
laktat) 3. Durasi lebih lama
3. Bisa disimpan di suhu kamar 4. Oksigenasi jaringan lebih
4. Bebas dari reaksi anafilaktik baik
5. Komplikasi minimal 5. Insiden edema paru
dan/atau edema sistemik
lebih rendah
Kekurangan 1. Edema bisa mengurangi 1. Anafilaksis
ekspansibilitas dinding dada 2. Koagulopati
2. Oksigenasi jaringan terganggu 3. Albumin bisa memperberat
karena bertambahnya jarak depresi miokard pada
kapiler dan sel pasien syok
3. Memerlukan volume 4 kali
lebih banyak
Daftar Pustaka

Kushartono, H., & Setiati, T. (2011). Kristaloid dan Koloid. Buku Ajar Pediatrik Gawat
Darurat, 153–161.
Puspitosari, M. S., Wujoso, H., & Judin, M. (2016). PERBEDAAN PENGARUH ANTARA
KRISTALOID DAN KOLOID TERHADAP PERUBAHAN ELEKTROLIT (Na, K,
Cl). Jurnal Kesehatan, 9(1), 32. https://doi.org/10.23917/jurkes.v9i1.3404
Salam, S. H. (2016). Dasar-dasar terapi cairan dan elektrolit. Bahan Kuliah FK Unhas, 2, 1–
21.
Structures, M. B. (2018). Jenis Cairan Infus. 1–5.
Sunatrio, S. (2014). Resusitasi Cairan. 47–55.
Suta, P. D. D. (2017). Terapi Cairan. Bagian/Smf Ilmu Anestesi Dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana Rsup Sanglah, 4.
Veranita, W., Wibowo, A. E., & Rachmat, R. (2020). Jurnal Sains dan Kesehatan. Jurnal
Sains Dan Kesehatan, x(x), 418–421.

Anda mungkin juga menyukai