Anda di halaman 1dari 2

1.

Sejarah Pilkada Serentak

INDONESIA sebenarnya pernah memiliki landasan konstitusi untuk melakukan pemilihan


kepala daerah langsung oleh rakyat. Ini terjadi ketika kita memberlakukan UUD Sementara
Tahun 1950 saat Indonesia berbentuk serikat (RIS), yakni lahirnya UU No 1 Tahun 1957.
Pasal 23 UU No 1/1957 menyebutkan, kepala daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang. Sebelum undang-undang tersebut ada, sementara kepala daerah dipilih
oleh DPRD.
Undang-undang untuk menjabarkan Pasal 23 itu dirancang atas pertimbangan bahwa kepala
daerah adalah orang yang dikenal baik oleh rakyat di daerahnya. Oleh karena itu, kepala daerah
harus dipilih langsung oleh rakyat.
Tampak bahwa UU No 1/1957 memberikan nuansa demokrasi, dalam arti membuka akses rakyat
berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah. Tetapi, seiring dengan dinamika politik kala itu,
dua tahun kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945.
Oleh karena itu, UUD Sementara tak berlaku lagi dengan segala konsekuensinya. Maka, sistem
pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh UU No 1/1957 baru bersifat introduksi dalam
pentas politik, mengingat secara empirik belum dilaksanakan.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor
6 Tahun 1959, mengatur mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Dengan
demikian, tampak jelas perbedaannya. UU No 1/1957 berlandaskan UUD Sementara dalam
sistem negara federal (RIS), sedangkan Penpres No 6/1959 dikeluarkan berdasarkan UUD 1945
dalam sistem negara kesatuan (NKRI).
Untuk lebih menguatkan sistem pemilihan kepala daerah agar tidak hanya berdasarkan Penpres,
lahirlah kemudian UU No 18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Dalam undang-
undang ini kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri
melalui calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas
kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin
terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara yang pengaturannya
berdasarkan peraturan pemerintah.
Konsekuensi dari sistem seperti itu, seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu
keputusan dari DPRD. Pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh presiden
(untuk gubernur) dan menteri dalam negeri (untuk bupati atau walikota). UU ini kemudian
disempurnakan oleh Orde Baru dengan lahirnya UU No 5 Tahun 1974.
Berdasarkan UU No 5/1974 itu, kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh Presiden
Soeharto. Kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat dan diajukan
oleh DPRD. Sebenarnya, pada masa itu kepala daerah bukanlah hasil pemilihan DPRD,
mengingat jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi
presiden untuk mengangkat siapa saja di antara para calon yang diajukan oleh DPRD itu. Sistem
ini dimungkinkan sesuai kebutuhan zaman waktu itu, agar pemerintah pusat mendapatkan
gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama dengan pemerintah pusat.
Zaman telah berubah. Reformasi adalah sebuah keniscayaan. UUD 1945 diamendemen. UU
Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pun lahir, untuk mengikuti perubahan UUD,
hingga kemudian keluar UU Nomor 32 tahun 2004. Semua UU dan peraturan dibuat atas nama
demokratisasi. Namun, mengingat demokratisasi ternyata lebih banyak keluar dari tujuannya
yakni menyejahterakan rakyat, evaluasi pun dilakukan, perubahan dilakukan lagi. Sistem
pemilihan kepala daerah diserahkan kepada DPRD

2. Kelebihan Pilkada Serentak

 Mampu menekan biaya pelaksanaan


 Mengatasi terjadinya konflik
 Mengurangi biaya-biaya kampanye
 Tidak menjamin terpilihya Kepala Daerah

3. Kelemahan Pilkada Serentak

 Membuat legislatif menjadi superior


 Membuat terjadinya kericuhan
 Sulit menghasilkan pemimpin terbaik
 Berpotensi terjadinya politik

4. Pemimpin

Anda mungkin juga menyukai