Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

"WAKAF, WASIAT, DAN SHODAQOH"

DISUSUN OLEH:
GUNAWAN
( 50800119034 )
HESRIANI
( 50800119036 )
MUHAMMAD ULUL AZMIR
( 50800119028)

JURUSAN MANAJEMEN HAJI DAN UMRAH


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2020/2021

KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah puji syukur penulis munajatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
Semoga Allah SWT meridhoi-Nya. Aamiin
            Makalah ini membahas tentang  “ Kewirausahaan Perspektif Islam “ . Semoga
makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah
disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membaca dan
mempelajarinya. Sebelumnya penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang dapat membangun demi
perbaikan di masa depan.
                                                                
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
A. WAKAF........................................................................................................................2
B. WASIAT.......................................................................................................................7
C. SHODAQOH..............................................................................................................11

BAB III PENUTUP.........................................................................................................13


A. KESIMPULAN...........................................................................................................13
B. SARAN.......................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala dan sebagai rahmat bagi
seluruh alam. Karena itu tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama
Islam yang mulia ini sebagai bukti bahwa Islam benar-benar rahmatan lil ‘alamin. “Dan
tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. A Maidah: 2)
Umat Islam adalah umat yang mulia, umat yang dipilih Allah untuk mengemban risalah, agar
mereka menjadi saksi atas segala umat. Tugas ummat Islam adlah mewujudkan kehidupan
yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka berada. Karena itu umat Islam
seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Bahwa kenyataan bahwa umat islam kini jauh dari kondisi ideal. adalah akibat belum mampu
mengubah apa yang dianugerahkan Allah pada umat islam belum dikembangkan secara
optimal. Padahal ummatislam memiliki banyak intelektual dan ulama, disamping potensi
sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah. Jika seluruh potensi itu dikembangkan
secara seksama. tentu diperoroleh hasil yang optimal. Pada saat yang sama , jika
kemandirian, kesadaran beragama dan ukhuwah islamiyah kaum muslimin juga makin
meningkat maka pintu-pintu kemungkaran akibat kesulitan ekonomi akan makin dapat
dipersempit.
Salah satu sisi ajaran islam yang belum ditangani secara serius adalah penanggulangan
kemiskinan dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dana pendayagunaan sedekah, infaq
dan wakaf dalam arti yang seluas-luasnya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW serta penerusnya dizaman-zaman islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Jelaskan apa pengertian wakaf dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah wakaf!
2. Jelaskan apa pengertian wasiat dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah wasiat !
3. Jelaskan apa pengertian sadaqah dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah sadaqah !

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian wakaf dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah wakaf.
2. Untuk mengetahui pengertian wasiat dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah wasiat.
3. Untuk mengetahui pengertian sadaqah dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah shodaqoh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. WAKAF
1. Pengertian dan Hukum Wakaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’, ialah
menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan
kemajuanIslam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak
diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya
saja.

a. Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:


Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya
untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta
tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa

· Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi
hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan
kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan
manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan,
ataupun diwariskan.

· Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas
kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat
dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu
Hanifahini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama
ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk
dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu
Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri

· Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari
harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut
walaupun sesaat
· Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang
berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara
macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap
utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis
dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya.
Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren,
panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan
sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang
yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang
diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan
dalam hadits:
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
(macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak
shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta
wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum
sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya
Umar telah mendapatkan sebidang tanah diKhaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW;
Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau
menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan
petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual
tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)

2. Syarat dan Rukun Wakaf


a. Syarat Wakaf
Syarat-syarat harta yang diwakafkan sebagai berikut:
· Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
· Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya,
“Saya
· wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini
disebut tanjiz
· Jelas mauqufalaihnya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang
diwakafkan (mauquf) itu
b. Rukun Wakaf
1. Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;
· kehendak sendiri
· berhak berbuat baik walaupun non Islam

2. Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;


· barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan
maupun dikemudian hari
· milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan ataumusya (bercampur dan
tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
· Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki
sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
· Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu
dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat
umum)

3. Harta yang Diwakafkan


Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai
sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi
bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai
hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan
lama dan bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:
a. Sebidang tanah
b. Pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. Bangunan masjid, madrasah, atau jembatan

Dalam Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah atau amal jariyah, yaitu
sedekah yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan
setelah meninggal sekalipun, selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits nabi
SAW:
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
(macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak
shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini diantaranya adalah karena
hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid, mushala (surau), madrasah,
pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf.
Bahkan banyak pula lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan
pondok-pondok pesantren yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.

Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya agar mau
mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan Islam. Hal ini dilakukan atas
persetujuan bersama serta atas pertimbangan kemaslahatan umat dan dana yang lebih
bermanfaat bagi perkembangan umat.

4. Tata cara perwakafan tanah milik


a. Calon wakif dari pihak yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang
dihadapan Pejabat Pembantu Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf
b. Untuk mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas
dan tegas kepada nadir yang telah disyahkandihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah
wakaf. Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya dalam bentuk
tertulis atau surat
c. Calon wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara
tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya
yang mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang
mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi
d. Tanah yang diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah milik.
Tanah yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa Saksi
ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya. Segera
setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf Tanah.

5. Surat yang harus dibawa dan diserahkan oleh wakif kepada PPAIW sebelum
pelaksananaan ikrar wakaf
Calon wakif harus membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat berikut.
a. sertifikat hak milik atau sertifikat sementara pemilikan tanah (model E)
b. Surat Keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan
kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu perkara dan dapat diwakafka
c. Izin dari Bupati atau Walikota c.q. Kepala Subdit Agraria Setempat

6. Hak dan Kewajiban Nadir


Nadir adalah kelompok atau bandan hukum Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan
dan pengurusan benda wakaf
a. Hak Nadir
· Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan
oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak
melebihi dari 10 % ari hasil bersih tanah wakaf
· Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan
jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.
b. Kewajiban Nadir
Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya,
antara lain:
· menyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
· memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya
· menggunakan hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakafnya.

7. Mengganti Barang Wakaf


Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya
tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh
diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat
dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut
dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti
barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap
dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan
barang yang diwakafkan tadi.
Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi
masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap
dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah
kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat
dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.

8. Pengaturan Wakaf
Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan
berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada
badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan
personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung
jawabnya.
Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang
mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum.
Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah cara yang
terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan
penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika
wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional,
kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.

9. Hikmah Wakaf
Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan perintah Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77
b. Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak terbatas
Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah dan untuk kepentingan
masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum muslimin. Mengenai hal ini,
rasulullad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya:
“Barangsiap yang tidak memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka
tidaklah ia dari golonganku.” (Al Hadits)
c. Mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi
Wakaf biasanya diberikan kepada badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial
kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih berikut ini.
“Kemaslahatan umum harus didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”
Adapun manfaat wakaf bagi orang yang menerima atau masyarakat adalah:
. dapat menghilangkan kebodohan
· dapat menghilangkan atau mengurangi kemiskinan.
· dapat menghilangkan atau mengurangi kesenjangan sosial.
· dapat memajukan atau menyejahterakan umat.[1]

B. WASIAT
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab, yaitu wasiat yang berarti “suatu ucapan atau pernyataan
dimulainya suatu perbuatan”. Biasanya perbuatan itu dimulai setelah orang yang
mengucapkan atau menyatakan itu meninggal dunia.
Para ulama pada umumnya sepakat bahwa pengertian wasiat ialah : pernyataan atau
perkataan seseorang kepada orang lain bahwa ia memberikan kepada orang lain itu hartanya
tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau memberikan manfaat sesuatu barang
kepunyaan setelah ia meninggal dunia. Seperti si A berwasiat kepada si B bahwa ia
memberikan B, sehingga B memiliki separuh harta A yang terletak di kota C bila ia telah
meninggal dunia. Setelah A meninggal dunia, B memiliki separuh tanah A yang terletak
dikota C.
Ada beberapa perbedaan antara wasiat dengan hibah. Pada hibah, pemilikan dari pemberian
itu terjadi setelah selesai pernyataan hibah diucapkan atau dinyatakan oleh yang
menghibahkan, sedangkan pada wasiat pemilikan itu baru terjadi setelah meninggal dunia
orang yang berwasia, bahkan jika orang yang menerima wasiat lebih dahulu meninggal dari
orang yang berwasiat, maka wasiat itu menjadi batal, kecuali jika ada perjanjian bahwa ahli
waris orang yang menerima wasiat boleh menerima wasiat itu. hibah hanya berupa pemberian
harta hak milik, sedangkan wasiat bentuk pemberiaannya lebih luas dari itu, boleh berupa
garta milik, pembebasan hutang, manfaat dan sebagainya. Hibah tidak boleh dibatalkan,
sedangkan wasiat dapat dibatalkan bila orang yang menerima wasiat lebih dahulu meninggal
dunia dari orang yang berwasiat.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan dan menjadi
dasar dari wasiat itu, yang dari padanya dipahami bahwa wasiat itu merupakan kewajiban
moral bagi seseorang untuk memenuhi hak orang lain atau kerabatnya, karena orang itu telah
banyak berjasa kepadanya atau membantu usaha dan kehidupannya, sedang orang itu tidak
termasuk orang atau keluarganya yang memperoleh bagian harta waris. Seakan-akan wasiat
itu merupakan penyempurnaan dari hukum waris yang telah disyariatkan.
Hadist-hadist yang berhubungan dengan wasiat di antaranya :
a. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata : Bahwasanya Rasullullah SAW. Bersabda : Tidak
pantas seorang muslim yang mempunyai suatu harta yang harus di wasiatkannya
membiarkannya dua malam, kecuali wasiatnya itu telah tertulis. (H.R Bukhari)
b. Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata : (Alangkah baiknya), andai kata orang mau menurunkan
wasiatnya ke seperempat, karena sesungguhnya Rasullullah bersabda :Sepertiga itu banyak
atau besar . (Muttafaqun’alaih).
Berbeda pendapat dengan para ulama tentang hukum wasiat. Ibnu Hazain berpendapat bahwa
wasiat itu wajib dilakukan oleh seorang yang mempunyai harta banyak atau sedikit. Pendapat
ini berasal dari pendapat Abdullah bin Umar, Thalhah, Zubair,Abdullah bin Aufa, Thawus,
Asy-Sya’bi dan Az-Zuhri. Mereka beralasan dengan arti lahir dari ayat 180 surat Al-Baqarah
di atas. Pada ayat itu terdapat perkataan “kutiba” (diwajibkan). Karena itu hukum berwasiat
itu adalah wajib.
Mazhab yang empat, yaitu Mazhdhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta golongan
Zya’ahZaidiyah berpendapat bahwa wasiat itu bukan wajib bagi orang yang mempunyai harta
banyak atau sedikit, tetapi hukumnya tidak sama bagi tiap-tiap orang. Hukumnya itu
disesuaikan dengan keadaan orang yang berwasiat dan orang atau yang akan menerima
wasiat.
Menurut mereka wasiat itu wajib dilakukan oleh setiap orang yang merasa bahwa dalam
hartanya itu terdapat hak orang lain atau hak sesuatu yang lain. Hak orang lain atau sesuatu
yang lain itu dirasakan ada karena ada sesuatu kewajiban yang belum terpenuhi, atau jasa
seseorang yang telah diberikan tanpa pamrih diwaktu berusaha atau dalam usaha mengatasi
hidup dan kehidupannya dan sebagainya. Jika tidak dilakukan wasiat itu hak orang lain itu
akan terlantarkan karena tidak ada jalan lain untuk memberikannya atau akan dirasakan
sebagai hutang yang belum terbayar di dunia maupun di akhirat. Contohnya ialah zakat yang
dirasa belum dibayar, kewajiban menunaikan ibadah haji yang belum terlaksana pada hal ia
adalah orang yang mampu, amanah atau harta orang lain yang dirasa tercampur dengan harta
sendiri, jasa orang lain yang belum diimbali atau belum sempurna diimbali dan sebagainya.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa wasiat itu haram hukumnya bila wasiat itu
menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain, seperti memberi kemudharatan kepada
ahli waris, berwasiat lebih seperti tiga dan sebagainya.
Wasiat yang menimbulkan kemudharatan itu termasuk perbuatan dosa besar, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas RA ,yang artinya :
“Wasiat yang menimbulkan kemudharatan itu termasuk perbuatan dosa besar. (HR. An
Nisa’i)
Termasuk wasiat yang haram ialah wasiat yang ada hubunganya dengan perbuatan maksiat,
seperti wasiat untuk membangun rumah ibadah selain rumah ibadah yang sesuai dengan
ajaran islam, wasiat utnk mendirikan pabrik menuman keras, wasiat untuk beternak babi, dan
sebagainya.
Menurut mereka wasiat itu makruh hukumnya, bila orang yang berwasiat itu mempunyai
harta yang sedikit, sedang ahli warisnya memerlukan harta itu, berwasiat memberikan harta
kepada orang fasik dan ia akan menggunakan harta itu untuk berbuat kefasikan dan
sebagainya
Hukum berwasiat itu mubah bagi orang kaya. Hartanya cukup untuk ahli warisnya dan cukup
pula untuk berwasiat kepada orang lain. Bahkan orang kaya itu sunah hukumnya bila ia
berwasiat menggunakan hartanya untuk menegakan agamanya Allah.

1. Rukun (unsur) wasiat


Dalam hal wasiat, ada beberapa unsure yang memenuhinya , diantaranya :
a. Sighat wasiat
Dalam hal ini , sighat wasiat memiliki arti kata-kata atau pernyataan yang di ucapkan oleh
orang-orang yang berwasiat kepada penerima wasiat. Sighat wasiat terdiri dari “ijab” dan
“qabul”. Yang dimaksud ijab ialah perkataan atau pernyataan yang di ucapkan oleh orang
yang berwasiat, sedangkan qabul ialah kata-kata yang di ucapkan oleh yang menerima wasiat
sebagai tanda penerimaan dan persetujuan.
Pemberian wasiat dapat diberikan kepada seseorang tertentu, tetapi dapat juga diberikan
untuk masjid, langgar, untuk mendirikan sekolah, untuk mendirikan rumah sakit dan
sebagainya, serta ijab dari yang berwasiat tidak memerlukan qabul. Pemilikan atau
pemindahan harta dapat terjadi ketika orang yang berwasiat meninggal dunia.

2. Orang yang berwasiat


Orang yang berwasiat hendaknya mempunyai kesanggupan melepaskan hartanya kepada
orang lain, baligh, berakal, menentukan sesuatu atas kehendaknya, sadar terhadap apa yang
dilakukannya. Menurut Imam Hanafi “jika ahli waris tidak menyetujui wasiat itu, maka
wasiat itu tetap dilakukan asalkan tidak melebihi 1/3 hartanya. Tidak boleh melebihi 1/3
hartanya di karenakan orang yang berwasiat tidak boleh meninggalkan ahli waris yang
miskin. Orang yang berwasiat yaitu tentunya adalah orang yang mempunyai harta lebih.

3. Orang yang menerima wasiat


Selain wasiat, orang yang menerima wasiatpun juga memiliki sayrat juga, diantaranya:
a. Ia bukan merupakan ahli waris orang yang berwasiat . seperti sabda NABI yang artinya “
tidak boleh berwasiat kepada ahli waris “.
b. Orang yang menerima wasiat itu orang tertentu, maksutnya orang yang mempunyai arti
yang sebenarnya pada waktu yang di wasiatkan.
c. Orang yang menerima wasiat tidak pernah membunuh oraang yang berwasiat kepadanya,
kecuali pembunuhan itu di benarkan oleh ajaran islam.
Abu hanifah dan muridnya berpendapat bahwa kesahan wasiat itu tergantung pada ahli
waris. Tidak di syaratkan bahwa orang yang berwasiat dan penerima wasiat sama-sama
beragama islam, boleh juga berwasiat kepada berlain agama.

4. Yang diwasiatkan
a. Harta yang diwasiatkan telah ada setelah orang yang berwasiat meninggal dunia dan
telah dapat dialihmilikkan kepada oaringyng menerima wasiat, sesuia dengan syarat yang
telah di tentukan.
b. Yang diwasiatkan haruslah harta yang suci, bias di manfaatkan oleh orang yang
menerimanya.
c. Jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang dimilikinya.
Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa yang di maksud dengan
sepertiga disini ialah sepertiga dari jumlah harta yang dimiliki setelah yang berwasiat
meninggal. Sedangkan Imam Malik berpendapat sepertiga itu ialah sepertiga dari jumlah
harta yang berwasiat waktu ia menyatakan wasiatnya.
Syarat wasiat yang lain yaitu mumayyiz, artinya orang yang berwasiat itu dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk serta orang yamng bukan inkar kepada
ALLAH SWT. Syarat ini di kususkan oleh Mazdhab Maliki. Apabila oaring yang menerima
wasiat seperti anak kecil, maka dapat diterima oleh wali atas namanya.

5. Yang membatalkan wasiat


a. Orang yang berwasiat itu mendapat sakit gila sampai ia meninggal.
b. Orang yang menerima wasiat meninggal dulu sebelum orang yang berwasiat.
c. Harta yang diwasiatkan itu habis ataupun musnah sebelum yang berwasiat itu meningal
dunia.

6. Wasiat itu di cabut oleh orang yang berwasiat.


Suatu wasiat dapat dicabut oleh pemberi wasiat tanpa memerlukan pertimbangan atau
persetujuan dari yang berwasiat, seperti :[6]
a. Yang berwasiat menjual harta yang diwasiatkannya kepada orang lain.
b. Yang berwasiat mengalihkan wasiatnya kepada orang lain.
c. Yang berwasiat menambah, mengurangi atau menukar harta yang diwasiatkan.

C. SHODAQOH
Secara etimologi, kata shodaqoh berasal dari bahasa Arab ash- shadaqah. Pada awal
pertumbuhan islam, shodaqoh diartikan dengan pemberian yang disunahkan (sedekah sunah).
Sedangkan secara terminologi shadaqah adalah memberikan sesuatu tanpa ada tukarannya
karena mengharapkan pahala dari Allah Swt.
Shodaqoh lebih utama apabila diberikan pada hari-hari mulia, seperti pada hari raya iduladha
atau idul fitri. Juga yang paling utama apabila diberikan pada-pada tempat-tempat yang
mulia, seperti di Mekkah dan Madinah.
Dari pengertian tadi, dapat diartikan bahwa shodaqoh merupakan ibadah yang sifatnya lentur.
Ia tidak dibatasi oleh waktu ataupun batasan tertentu. Dengan demikian tidak ada waktu
khusus untuk bersedekah. Begitu juga, dalam sedekah tidak ada batasan minimal. Nabi saw.
Bersabda: ”bersedekahlah walaupun dengan sebutir kurma, karena hal itu dapat menutup dari
kelaparan dan dapat menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”(HR. Ibnu
Mubarak).
Adapun pakar fiqh membagi beberapa contoh bersedekah ialah:
1. Memberikan suatu dalam bentuk materi kepada orang miskin.
2. Berbuat baik kepada orang lain
3. Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa.
4. Membantu orang yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpanginya.
5. Memberi senyuman kepada orang lain, dsb.
Bershadaqah berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki kepada pihak orang lain
secara ikhlas dan suka rela, dan karena semata-mata mengharapkan pahala dari Allah SWT.
firman Allah SWT.
"Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-
orang miskin, dan amil-amil Yang mengurusnya, dan orang-orang muallaf Yang dijinakkan
hatinya, dan untuk hamba-hamba Yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang
Yang berhutang, dan untuk (dibelanjakan pada) jalan Allah, dan orang-orang musafir (yang
keputusan) Dalam perjalanan. (Ketetapan hukum Yang demikian itu ialah) sebagai satu
ketetapan (yang datangnya) dari Allah. dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha
Bijaksana".
Shadaqah merupakan salah satu amal shaleh yang tidak akan terputus pahalanya, seperti
sabda Rasulullah SAW:
"Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga
perkara, shadaqahjariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendo'akan kedua
orang tuanya". (HR. Muslim)
Pemberian shadaqah kepada perorangan lebih utama kepada orang yang terdekat dahulu,
yakni sanak famili dan keluarga, anak-anak yatim tetangga terdekat, teman sebaya, dan
seterusnya.Dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut sedekah.Hukumshadaqah ialah sunnah.
1. Orang yang berhak menerima sedekah
2. Orang-orang nyang saleh atau orang-orang yang ahli dalam kebaikan.
3. Orang yang paling dekat dari kita.
4. Orang yang sangat membutuhkan.
5. Orang kaya, keturunan Bani Hasyim, Orang kafir, dan fasik.
6. Sedekah kepada jenazah[9]

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Bersedekah.


1. Harta yang disedekahkan bukan berupa barang yang haram, baik haram karena zat
barangnya, seperti daging babi dan minuman keras, maupun haram karena diperoleh dengan
cara yang tidak halal. Bersedekah dengan barang yang haram juga haram.
2. Barang yang akan disedekahkan hendaknya berkualitas baik. Sengaja memilih barang-
barang yang jelek atau rusak untuk disedekahkan hukumnya makhruh.
3. Hendaknya menghindari hal-hal yang dapat membatalkan sedekah. Hal–hal tersebut
dijelaskan dalam surah Al-baqarah ayat 264, ”wahai orang-orang yang beriman janganlah
kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaaan
penerima)”.
4. Memberikan sedekah dengan ikhlas semata-mata mengharap pahala dan keridaan Allah.
bersedekah karena pamer dan ingin mendapat pujian dari orang lain akan menjadikan
sedekah itu sia-sia dan tidak berpahal
5. Harta yang disedekahkan hendaknya berupa barang-barang yang tidak mudah rusak dan
dapat terus bermanfaat untuk waktu yang lama. Hal yang demikian disebut sadaqahjariyyah
(sedekah yang pahalanya mengalir terus). Artinya, selama benda tersebut masih memberikan
manfaat kepada orang lain, selama itu pula orang yang bersedekah akan terus mendapatkan
pahala.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari atas dapat kita tarik :
1. Waqaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’, ialah
menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan
kemajuanIslam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak
diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya
saja.
1. Wasiat
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab, yaitu wasiat yang berarti “suatu ucapan atau pernyataan
dimulainya suatu perbuatan”. Biasanya perbuatan itu dimulai setelah orang yang
mengucapkan atau menyatakan itu meninggal dunia.
2. Sadaqah
shadaqah adalah memberikan sesuatu tanpa ada tukarannya karena mengharapkan pahala dari
Allah Swt.

B. SARAN
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dalam
pembuatannya. Untuk itu kami memohon maaf apabila ada kesalahan dan kami sangat
mengharap kritik yang membangun dari pembaca agar kemudian pembuatan makalah kami
semakin lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada
umumnya, dan bagi kita semua pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://karyacombirayang.blogspot.com/2019/07/makalah-wakaf-hibah-wasiat-infaq-
dan.html?m=1

http://pemudamuslim-indonesia.blogspot.com/2012/11/sedekah-infaq-wakaf-dan-
wasiat.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai