Anda di halaman 1dari 16

Makalah K3

“Upaya Memutus Rantai Infeksi”

Disusun oleh:

M. Arwani NIM G2A221006

Agustina Wulandari Putri NIM G2A221028

Kusminah NIM G2A221032

Astri Wahyuningrum NIM G2A221033

Nikmah NIM G2A221036

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatNya kami bisa menyelesaikan sebuah makalah ini. Berikut ini penulis
mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Upaya Memutus Rantai Infeksi”, yang
menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita semua. Melalui kata pengantar ini
penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bilamana isi makalah ini ada
kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat kepada kita semua.
Semoga makalah ini bermanfaat. Aamiin

Semarang, 25 September 2021

Penulis

Kelompok 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, termasuk di
Indonesia. Infeksi yang terjadi di rumah sakit sekarang lebih dikenal dengan Healthcare-
Associated Infections (HAIs) dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah sakit
tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Untuk dapat melakukan pencegahan dan
pengendalian infeksi khususnya infeksi rumah sakit, perlu memiliki pengetahuan mengenai
konsep dasar penyakit infeksi. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah
Sakit dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan
yang bermutu. Dalam pemberian pelayanan yang bermutu, seorang petugas kesehatan harus
memiliki kemampuan untuk mencegah infeksi dimana hal ini memiliki keterkaitan yang
tinggi dengan pekerjaan karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Saat ini, masalah
infeksi makin banyak mendapat perhatian para ahli karena di samping dapat meningkatkan
morbiditas maupun mortalitas, juga menambah biaya perawatan dan obat-obatan, waktu dan
tenaga yang pada akhirnya akan membebani pemerintah atau rumah sakit, personil rumah
sakit maupun penderita dan keluarganya. Hal ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan
pembangunan bidang kesehatan yang justru menekankan peningkatan efisiensi pelayanan
kesehatan. Program pencegahan dan pengendalian infeksi sangat penting dilaksanakan di
rumah sakit untuk melindungi pasien, petugas, pengunjung, dan keluarga resiko tertular
HAIs. Upaya pencegahan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan pasien, salah satunya
dengan menerapkan standar operasional prosedur dalam setiap tindakan yang dilakukan
tenaga medis di rumah sakit.
Pencegahan merupakan aspek kesehatan yang sangat penting untuk memutus rantai
penularan suatu penyakit. Pelaksanaan pencegahan infeksi di rumah sakit belum dilakukan
dengan benar karena masih terdapat beberapa item pencegahan yang tidak dilakukan antara
lain audit kepatuhan hand hygiene secara menyeluruh dari uji kompetensi hand hygiene
petugas kesehatan. Kebersihan tangan dan kompetensi tenaga kesehatan merupakan dua hal
yang penting untuk mencegah terjadinya BSI pada pasien hemodialisis. Tangan dari petugas
kesehatan adalah pembawa mikroorganisme paling umum dari satu pasien ke pasien lain dan
dari lingkungan yang tercemar kepada pasien. Kebersihan tangan penting dalam tindakan
pencegahan karena lebih efektif dan biaya rendah, diperkirakan dengan melaksanakan
kebersihan tangan dapat mengurangi terjadinya HAIs.

B. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui definisi infeksi
2. Untuk mengetahui penyebab infeksi
3. Untuk mengetahui bagaimana tahap-tahap infeksi
4. Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi
5. Untuk mengetahui proses rantai penularan infeksi
6. Untuk mengetahui prinsip pencegahan infeksi
7. Untuk mengetahui strategi pencegahan dan pengendalian untuk memutus rantai
penularan infeksi

C. RUANG LINGKUP

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang selanjutnya disingkat PPI adalah upaya untuk
mencegah dan meminimalkan terjadinya infeksi pada pasien, petugas, pengunjung, dan
masyarakat sekitar fasilitas pelayanan Kesehatan (Rumah sakit).

Acuan makalah ini berdasarkan Permenkes no.27 tahun 2017, tentang kewaspadaan standart
dan kewaspadaan infeksi.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Infeksi
Berdasarkan Permenkes no.27 tahun 2017, pengertian Infeksi adalah suatu keadaan yang
disebabkan oleh mikroorganisme patogen, dengan/tanpa disertai gejala klinik. Infeksi Terkait
Pelayanan Kesehatan (Health Care Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs
merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk
infeksi dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi karena pekerjaan pada
petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan
Rantai Infeksi (chain of infection) merupakan rangkaian yang harus ada untuk menimbulkan
infeksi. Dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan efektif, perlu
dipahami secara cermat rantai infeksi.Kejadian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan dapat
disebabkan oleh 6 komponen rantai penularan, apabila satu mata rantai diputus atau dihilangkan,
maka penularan infeksi dapat dicegah atau dihentikan.
Enam komponen rantai penularan infeksi, yaitu:
a. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada manusia,
agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur dan parasit. Ada tiga faktor pada agen
penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu: patogenitas, virulensi dan
jumlah (dosis, atau “load”). Makin cepat diketahui agen infeksi dengan pemeriksaan
klinis atau -13- laboratorium mikrobiologi, semakin cepat pula upaya pencegahan dan
penanggulangannya bisa dilaksanakan.
b. Reservoir atau wadah tempat/sumber agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang-
biak dan siap ditularkan kepada pejamu atau manusia. Berdasarkan penelitian, reservoir
terbanyak adalah pada manusia, alat medis, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air,
lingkungan dan bahan-bahan organik lainnya. Dapat juga ditemui pada orang sehat,
permukaan kulit, selaput lendir mulut, saluran napas atas, usus dan vagina juga
merupakan reservoir.
c. Portal of exit (pintu keluar) adalah lokasi tempat agen infeksi (mikroorganisme)
meninggalkan reservoir melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih serta
transplasenta.
d. Metode Transmisi/Cara Penularan adalah metode transport mikroorganisme dari
wadah/reservoir ke pejamu yang rentan.
Ada beberapa metode penularan yaitu:
1) kontak: langsung dan tidak langsung,
2) droplet,
3) airborne,
4) melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah)
5) melalui vektor (biasanya serangga dan binatang pengerat).
e. Portal of entry (pintu masuk) adalah lokasi agen infeksi memasuki pejamu yang rentan
dapat melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih dan kelamin atau melalui kulit
yang tidak utuh.
f. Susceptible host (Pejamu rentan) adalah seseorang dengan kekebalan tubuh menurun
sehingga tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi
kekebalan adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang
luas, trauma, pasca pembedahan dan pengobatan dengan imunosupresan. Faktor lain
yang berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, pola
hidup, pekerjaan dan herediter.

Faktor lain yang berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status
ekonomi, pola hidup, pekerjaan dan herediter.
Jenis dan Faktor Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan atau “Healthcare-Associated
Infections” (HAIs) meliputi;
a. Jenis HAIs yang paling sering terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama rumah
sakit mencakup:
1. Ventilator associated pneumonia (VAP)
2. Infeksi Aliran Darah (IAD)
3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4. Infeksi Daerah Operasi (IDO)
b. Faktor Risiko HAIs meliputi:
1. Umur: neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan.
2. Status imun yang rendah/terganggu (immunocompromised): penderita dengan
penyakit kronik, penderita tumor ganas, pengguna obat-obat imunosupresan.
3. Gangguan/Interupsi barier anatomis:
 Kateter urin: meningkatkan kejadian infeksi saluran kemih (ISK).
 Prosedur operasi: dapat menyebabkan infeksi daerah operasi (IDO) atau “surgical
site infection” (SSI).
 Intubasi dan pemakaian ventilator: meningkatkan kejadian “Ventilator Associated
Pneumonia” (VAP).
 Kanula vena dan arteri: Plebitis, IAD ⁻
 Luka bakar dan trauma.
4. Implantasi benda asing :
 Pemakaian mesh pada operasi hernia.
 Pemakaian implant pada operasi tulang, kontrasepsi, alat pacu jantung.
 “cerebrospinal fluid shunts”. ⁻
 “valvular / vascular prostheses”.
5.Perubahan mikroflora normal: pemakaian antibiotika yang tidak bijak dapat
menyebabkan pertumbuhan jamur berlebihan dan timbulnya bakteri resisten terhadap
berbagai antimikroba.

B. Penyebab Infeksi
Gejala dari infeksi bervariasi, bahkan ada kondisi dimana infeksi tersebut tidak
menimbulkan sub klinis. Gejala yang ditimbulkan terkadang bersifat lokal (di tempat
masuknya mikoorganisme) atau sistematik (menyebar keseluruh tubuh).

Berikut adalah beberapa gejala yang timbul berdasarkan penyebabnya:


1. Bakteri: gejala yang ditimbulkan oleh infeksi bakteri bervariasi tergantung bagian tubuh
mana yang diinfeksi. Jika seseorang terkena infeksi bakteri di tenggorokan, maka ia akan
merasakan nyeri tenggorokan, batuk, dan sebagainya. Jika mengalami infeksi bakteri
pada perncernaan, maka ia akan merasakan gangguan pencernaan seperti diare,
konstipasi, mual atau muntah.
2. Virus: gejala yang ditimbulkan oleh infeksi tergantung dari tipe virus, bagian tubuh yang
terinfeksi, usia, dan riwayat penyakitnya. Gejala dari infeksi virus dapat mempengaruhi
hampir seluruh bagian tubuh. Gejala yang sering timbul biasanya flu, gangguan
pencernaan, bersin–bersin, hidung berair dan tersumbat, pembesaran kelenjar getah
bening, pembengkakan tonsil, atau bahkan turunya berat badan.
3. Jamur: kebanyakan jamur menginfeksi kulit, meskipun terdapat bagian tubuh lain yang
dapat terinfeksi seperti paru–paru dan otak. Gejala infeksi yang disebabkan oleh jamur
antara lain gatal, kemerahan, kadang terdapat rasa bakar, dan kulit bersisik.

C. Tahap Infeksi
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari tingkat
infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan proses perawatan
yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan meminimalkan penyakit.
Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan keperawatan yang diberikan. Berbagai
komponen dari sistem imun memberikan jaringan kompleks mekanisme yang sangat baik,
yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme asing dan sel-sel
ganas. Pada beberapa keadaan, komponen-komponen baik respon spesifik maupun
nonspesifik bisa gagal dan hal tersebut mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes. Orang-
orang yang mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan dari segi
hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-orang dengan kerusakan mayor
yang berhubungan dengan respon imun spesifik disebut hospes yang terimunosupres. Secara
umum proses atau tahap infeksi adalah sebagai berikut:
1. Tahap Inkubasi adalah waktu yang diperlukan dari saat masuknya pathogen (penyebab
penyakit) kedalam tubuah sampai mulai menimbulkan gejala pertama kali.
2. Tahap Prodomal adalah Interval dari awitan tanda dan gejala non spesifik (malaise,
demam ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini, mikroorganisme
tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih mampu menyebarkan penyakit ke orang
lain
3. Tahap Sakit klien adalah memanifestasikan tanda dan gejala yang speifik terhadap jenis
sakit
4. Tahap Pemulihan adalah interval saat munculnya gejala akut infeksi

D. Tanda - Tanda Infeksi


1. Kalor
Terdapat rasa panas dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan
pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37 OC
disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah
normal.
2. Dolor
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung
saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.
Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan
yang meradang.
3. Rubor
Terdapat kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami
peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai
darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi
lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut
hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut.
4. Tumor
Terdapat pembengkakan. Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian
besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-
jaringan interstitial
5. Functio laesa
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002).
Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum
diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang.
E. Proses Rantai Penularan Infeksi
Proses rantai penularan infeksi adalah sebagai berikut:
1. Agen/Penyebab Infeksi
Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus, jamur dan
protozoa. Mikroorganisme dikulit bisa merupakan flora transient maupun resident.
Mikroorganisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup
dan berbiak dikulit. Organisme transient melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan
objek atau orang lain dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan kecuali
dengan cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui
cuci tangan dengan sabun dan detergen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan
seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah
mikroorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit), kemampuan untuk
masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dalam host/pejamu.
2. Reservoir (sumber mikroorganisme)
Reservoir adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik berkembang
biak atau tidak adalah manusia, binatang, makanan, air, serangga dan benda lain.
Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, terutama dikulit, mukosa, cairan atau
drainase. Adanya mikroorganisme patogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan
penyakit pada hostnya. Sehingga reservoir yang didalamnya terdapat mikroorganisme
patogen bisa menyebabkan orang lain bisa menjadi sakit (carier). Kuman dapat hidup dan
berkembang biak dalam reservoir jika karakteristik reservoirnya cocok dengan kuman.
Karakteristik tersebut adalah air, suhu, ph, udara dan pencahayaan.
3. Portal of exit (jalan keluar)
Mikroorganisme yang hidup didalam reservoir harus menemukan jalan keluar untuk
masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi,
mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoirnya. Jika reservoirnya
manusia, kuman dapat keluar melalui saluran pencernaan, pernafasan, perkemihan,
genetalia, kulit, membrane mukosa yang rusak serta darah.
4. Cara penularan (transmisi)
a. Kontak (contact transmission)
1) Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik
pada saat pemeriksaan fisik, memandikan klien, dll.
2) Indirect/Tidak langsung:
b. Kontak melalui:
1) Objek (benda/alat). Dengan perantara: instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak
dicuci.
2) Droplet: partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek,
tdk bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut
contoh: Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib),
virus influenza, mumps, rubella.
3) Airborne: partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di udara, jarak penyebaran
jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis, virus campak,
varisela (cacar air), spora jamur.
4) Melalui Vehikulum: Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan
kehidupan kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu
yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan.
5) Melalui Vektor: Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat
menularkan kuman penyebab cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun
kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat,
pinjal/kutu, binatang pengerat
5. Portal masuk
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit
merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit
atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat masuk kedalam
tubuh melalui rute yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya
tahan tubuh memperbesar kesempatan patogen masuk kedalam tubuh.
6. Daya tahan hospes (manusia)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius.
Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen.
Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang
besar, infeksi tidak akan terjadi sampai individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah
mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh
terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress (fisik dan emosional), status nutrisi, terapi
medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.

F. Prinsip Pencegahan Infeksi


1. Antiseptik
Antiseptik adalah usaha mencegah infeksi dengan cara membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada kulit atau jaringan tubuh lainnya. Terdapat lima
momen atau lima waktu wajib hand hygiene yaitu:
a) Sebelum kontak dengan pasien  Melindungi pasien dari kuman yang anda bawa
b) Sebelum tindakan aseptis Juga untuk melindungi pasien
c) Setelah tindakan aseptis Melindungi anda dan lingkungan dari kuman
d) Setelah kontak dengan pasien Melindungi anda dan lingkungan dari kuman
e) Setelah meninggalkan lingkungan pasien Melindungi anda dan lingkungan dari
kuman
2. Aseptik
Aseptik adalah semua usaha yang dilakukan dalam mencegah masuknya mikroorganisme
ke dalam tubuh yang mungkin akan menyebabkan infeksi. Tujuannya adalah mengurangi
atau menghilangkan jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun
benda mati agar alat-alat kesehatan dapat digunakan dengan aman.
3. Dekontaminasi
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa petugas
kesehatan dapat menangani secara aman benda-benda (peralatan medis, sarung tangan,
meja pemeriksaan) yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh. Cara memastikannya
adalah segera melakukan dekontaminasi terhadap benda - benda tersebut setelah
terpapar/terkontaminasi darah atau cairan tubuh
4. Desinfeksi
Tindakan yang menghilangkan sebagian besar mikroorganisme penyebab penyakit dari
benda mati.
5. Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)
Suatu proses yang menghilangkan mikroorganisme kecuali beberapa endospora bakteri
pada benda mati dengan merebus, mengukus, atau penggunaan desinfektan kimia.
6. Mencuci dan membilas
Suatu proses yang secara fisik menghilangkan semua debu, kotoran, darah, dan bagian
tubuh lain yang tampak pada objek mati dan membuang sejumlah besar mikro organisme
untuk mengurangi resiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau menangani benda
tersebut (proses ini terdiri dari pencucian dengan sabun atau deterjen dan air, pembilasan
dengan air bersih dan pengeringan secara seksama).
7. Sterilisasi
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan semua mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit), termasuk endospora bakteri pada benda-benda mati atau
instrument.

G. Strategi Pencegahan dan Pengendalian untuk Memutus Rantai Penularan Infeksi

Pada tahun 1987 diperkenalkan sistem pendekatan pencegahan infeksi kepada pasien dan
petugas kesehatan, yaitu Body Substance Isolation (BSI) sebagai alternatif dari Kewaspadaan
Universal.Pendekatan ini difokuskan untuk melindungi pasien dan petugas kesehatan dari semua
cairan lendir dan zat tubuh (sekret dan ekskret) yang berpotensi terinfeksi, tidak hanya darah.Body
Substance Isolation (BSI) ini juga meliputi: imunisasi perlindungan bagi pasien dan staf fasilitas
layanan kesehatan yang rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara atau butiran lendir
(campak, gondong, cacar air dan rubela), termasuk imunisasi hepatitis B dan toksoid tetanus untuk
petugas, mengkajiulang instruksi bagi siapapun yang akan masuk ke ruang perawatan pasien
terutama pasien dengan infeksi yang ditularkan lewat udara (Lynch dkk, 1990). Sistem Body
Substance Isolation (BSI) lebih cepat diterima daripada sistem Kewaspadaan Universal karena lebih
sederhana, lebih mudah dipelajari dan diterapkan dan dapat diberlakukan untuk semua pasien,
tidak hanya pada pasien yang didiagnosis atau dengan gejala yang mungkin terinfeksi tetapi tetap
berisiko bagi pasien dan staf lainnya.
Kelemahan sistem ini antara lain: membutuhkan biaya tambahan untuk perlengkapan
pelindung terutama sarung tangan, kesulitan dalam perawatan rutin harian bagi semua pasien,
ketidak pastian mengenai pencegahan terhadap pasien dalam ruang isolasi serta penggunaan sarung
tangan yang berlebihan untuk -17- melindungi petugas dengan biaya dibebankan kepada pasien.
Keberadaan kedua sistem ini pada awal 1990 mengakibatkan fasilitas pelayanan dan petugas
kesehatan tidak dapat memilih pedoman pencegahan mana yang harus digunakan. Sehingga pada
beberapa rumah sakit telah diterapkan Kewaspadaan Universal, sedangkan yang lainnya
menerapkan Isolasi Zat Tubuh. Kebingungan yang terjadi semakin besar dimana rumah sakit dan staf
merasa telah menerapkan Kewaspadaan Universal, padahal sebenarnya mereka menerapkan Isolasi
Zat Tubuh dan sebaliknya, termasuk banyaknya variasi lokal dalam menginterpretasikan dan
menggunakan Kewaspadaan Universal dan Isolasi Zat Tubuh serta variasi kombinasi penggunaan
kedua sistem tersebut. Ditambah lagi dengan adanya kebutuhan untuk menggunakan kewaspadaan
tambahan bagi pencegahan penyakit yang ditularkan lewat udara (airborne), droplet dan kontak
badan, yang merupakan keterbatasan utama Isolasi Zat Tubuh (Rudnick dkk 1993). Pelaksanaan
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk melindungi
pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan kesehatanserta masyarakat
dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan
standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang memerlukan isolasi, maka akan diterapkan
kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan
transmisi.

1. KEWASPADAAN STANDAR
Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama, dirancang untuk diterapkan secara rutin
dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik yang
telah didiagnosis,diduga terinfeksi atau kolonisasi. Diterapkan untuk mencegah transmisi silang
sebelum pasien di diagnosis, sebelum adanya hasil pemeriksaan laboratorium dan setelah pasien
didiagnosis.Tenaga kesehatan seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang
sampah dan lainnya juga berisiko besar terinfeksi. Oleh sebab itu penting sekali pemahaman dan
kepatuhan petugas tersebut untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak terinfeksi.
Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11 (sebelas) komponen utama yang harus
dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan standar, yaitu kebersihan tangan, Alat Pelindung Diri
(APD),dekontaminasi peralatan perawatan pasien,kesehatan lingkungan, pengelolaan limbah,
penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas, penempatan pasien, hygiene
respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman dan praktik lumbal pungsi yang
aman. Kesebelas kewaspadaan standar tersebut yang harus di terapkandi semua fasilitas pelayanan
kesehatan, sebagai berikut:
1. KEBERSIHAN TANGAN
Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir bila
tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkohol (alcohol-based
handrubs) bila tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus selalu bersih dan terpotong
pendek, tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan cincin. Cuci tangan dengan sabun
biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir, dilakukan pada saat:
c. Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu darah, cairan tubuh
sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband, walaupun telah memakai sarung
tangan.
d. Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya yang bersih,
walaupun pada pasien yang sama.
Indikasi kebersihan tangan:
 Sebelum kontak pasien;
 Sebelum tindakan aseptik;
 Setelah terkena cairan tubuh pasien;
 Setelah kontak pasien;
 Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

Kriteria memilih antiseptik:

 Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara luas
(gram positif dan gram negative,virus lipofilik,bacillus dan tuberkulosis,fungiserta
endospore)
 Efektifitas
 Kecepatan efektifitas awal
 Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan - Tidak
menyebabkan iritasi kulit
 Tidak menyebabkan alergi Hasil yang ingin dicapai dalam kebersihan tangan adalah
mencegah agar tidak terjadi infeksi, kolonisasi pada pasien dan mencegah
kontaminasi dari pasien ke lingkungan termasuk lingkungan kerja petugas.
2. ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai berikut:
a. Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai petugas untuk
memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius.
b. APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung mata (goggle),
perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron, sandal/sepatu tertutup
(Sepatu Boot).
c. Tujuan Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran mukosa dari resiko pajanan
darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir dari pasien ke
petugas dan sebaliknya.
d. Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang memungkinkan tubuh atau
membran mukosa terkena atau terpercik darah atau cairan tubuh atau kemungkinan pasien
terkontaminasi dari petugas.
e. Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan.
f. Tidak dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan sambil menulis dan
menyentuh permukaan lingkungan.
JENIS-JENIS APD
1) Sarung tangan Terdapat tiga jenis sarung tangan, yaitu:
Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan tindakan invasif atau
pembedahan.
Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk melindungi petugas pemberi
pelayanan kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin
Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses peralatan, menangani bahan-
bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan permukaan yang terkontaminasi.
Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks karena elastis, sensitif dan
tahan lama serta dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Bagi mereka yang alergi
terhadap lateks, tersedia dari bahan sintetik yang menyerupai lateks, disebut ‘nitril’.
Terdapat sediaan dari bahan sintesis yang lebih murah dari lateks yaitu ‘vinil’ tetapi
sayangnya tidak elastis, ketat dipakai dan mudah robek. Sedangkan sarung tangan
rumah tangga terbuat dari karet tebal, tidak fleksibel dan sensitif, tetapi memberikan
perlindungan maksimum sebagai pelindung pembatas.
2) Masker Masker digunakan untuk melindungi wajah dan membran mukosa mulut dari
cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien atau permukaan lingkungan udara yang kotor
dan melindungi pasien atau permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat batuk
atau bersin. Masker yang di gunakan harus menutupi hidung dan mulut serta melakukan
Fit Test (penekanan di bagian hidung).
Terdapat tiga jenis masker, yaitu:
Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah penularan melalui droplet.
Masker respiratorik, untuk mencegah penularan melalui airborne.
Masker rumah tangga, digunakan di bagian gizi atau dapur.

Cara memakai masker:


 Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika menggunakan kaitan tali karet
atau simpulkan tali di belakang kepala jika menggunakan tali lepas).
 Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher. ⁻
 Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung dengan kedua ujung jari
tengah atau telunjuk.
 Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di bawah dagu dengan baik. ⁻
Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker telah melekat dengan benar.
Masker respirator/partikulat Pemakaian Respirator Partikulat Respirator partikulat
untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular respirator),
merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari
partikel berukuran
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Infeksi nosokomial atau Healthcare-associated infections (HAIs) merupakan masalah
serius dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, yang perlu mendapat perhatian khusus
dalam pelayanan rumah sakit secara keseluruhan. Upaya untuk mencegah kejadian infeksi
nosokomial yang penting adalah penerapan standar precaution baik bagi pasien, petugas,
lingkungan dan alat kesehatan, dengan tujuan untuk memutuskan rantai penularanya.
Pendidikan bagi tenaga kesehatan sangat mendukung dalam upaya pengendalian infeksi,
untuk itu pendidikan infeksi harus diberikan secara terus menerus

B. Saran
Setelah seorang perawat mendapatkan ilmu mengenai pengendalian infeksi ini, Sebaiknya
sebagai seorang perawat dapat mengetahui bagaimana cara mencegah infeksi agar tidak
terjadi penularan, dan perawat diharapkan juga dapat menanggulangi penyakit infeksi
tersebut dengan intensif.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf, M. (2016). Memutus Mata Rantai Penularan Konjungtivitas Bakteri Akut. Idea
Nursing Journal, Vol. VII No.2

Alvadri, Z. (2015). Hubungan pelaksanaan Tindakan Cuci Tangan Perawat dengan Kejadian
Infeksi Rumah Sakit di Rumah Sakit Sumber Waras Grogol. Jurnal Penelitian Ilmu
Keperawatan Universitas Esa Unggul, pp. 1-4

Ananingsih, P. D., & Rosa, E. M. (2016). Kepatuhan 5 Momen Hand Hygiene pada Petugas di
Klinik Cito Yogyakarta. Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit, 5(1), pp. 16-
24

Ballard, K. A. (2003). Patient Safety: A Shared Responsibility. Online Journal of Issue In


Nursing. Vol 8 No. 3 Damanik, S. M. dkk. (2012). Kepatuhan Hand Hygiene di Rumah Sakit
Immanuel Bandung. Jurnal Unpad, 1(1), pp. 1-13

Anda mungkin juga menyukai