Anda di halaman 1dari 12

ANATOMI RECTUM

A. Topografi Rectum

Rektum merupakan sebuah saluran yang berawal dari ujung usus besar dan berakhir di anus. Rektum berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum akan kosong karena tinja disimpan di tempat
yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum,
maka
timbul keinginan untuk buang air besar (defekasi).
Secara klinis topografi rectum sangat penting. Sisi dalam panggul bagian tulang diselubungi oleh fascia pelvis
parietalis. Bagian fascia pada sisi depan os sacrum disebut sebagai fascia presacralis. Selain itu, masing-masing
organ dikelilingi oleh jaringan ikat yang keseluruhannya merupakan fascia pelvis visceralis. Bagian fascia
mesorectale mengelilingi suatu rongga yang terisi lemak dan jaringan ikat yang berisi neurovascular rectum dan
nodus lymphiodeus regional.

B. Struktur Rectum
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal Panjangnya berkisa 10-
15 cm, dibagi menjadi 3, dimana 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis di depan os sakrum dan
os koksigius dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen. Struktur rektum
serupa dengan yang ada pada colon, tetapi dinding yang berotot lebih tebal dan membran mukosanya
memuat lipatan-lipatan membujur yang disebut kolumna Morgagni.

C. Musculoskeletal Rectum
Secara fungsional, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter, dikelilingi oleh
muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke
difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus,
dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia
luar.

D. Arteri Rectum

Rektum disuplai oleh arteri rektal superior (cabang dari arteri mesenterika inferior), arteri rektal tengah
(cabang dari arteri iliaka interna) dan arteri rektal inferior (cabang dari arteri pudenda interna dari arteri
iliaka interna).

E. Vena Rectum
Drainase vena rektum dilakukan oleh vena rektal superior, tengah dan inferior. Vena rektal superior
mengalirkan bagian atas rektum ke dalam sistem vena portal (melalui vena mesenterika inferior); di sisi lain,
vena rektal tengah dan inferior mengalirkan bagian bawah rektum ke vena iliaka interna (sirkulasi sistemik)
melalui vena pudenda interna.
F. Persyarafan Rectum

Plexus rectalis merupakan Sebagian dari plexus hypogastricus inferior dan berisi serabut saraf simpatis dan
parasimpatis yang sesuai
a. Serabut simpatis mengaktifkan M.sphincter ani internus, sehingga menjaga kontinensia. Serabut saraf
simpatis preganglioner mencapai rectum melalui plexsus mesentericus inferior.
b. Serabut saraf parasimpatis menggerakan peristaltik dan menghambat otot sphincter. Serabut saraf
parasimpatis preganglioner mencapai ganglia plexsus hypogastricus inferior melalui Nn. Splanchnici
pelvici.
HISTOLOGI HEPAR
A. Histologi Hepar

Sel-sel pada asinus hepar dibagi menjadi 3 zona oleh Rappaport berdasarkan sistem aliran darah di dalam
lobulus, yaitu: zona 1 yang menerima darah dari arteri hepatika dan vena porta pertama yang disebut zona
perifer atau periportal; zona 3 terletak di sekitar vena sentralis, disebut zona sentrilobuler; zona 2 (midzonal)
terletak di antara zona 1 dan zona 3 (Suriawinata & Thung, 2007). Sel-sel pada zona 1 merupakan sel yang
terdekat dengan pembuluh-pembuluh darah, sehingga sel-sel tersebut kaya akan nutrien dan oksigen, serta
sedikit metabolit-metabolit. Sel-sel pada zona 2 menerima darah dengan k&ungan nutrien dan oksigen yang
tidak sebanyak pada zona 1. Sel-sel pada zona 3 adalah sel-sel yang paling dekat dengan vena sentralis,
sehingga mengandung sedikit oksigen dan nutrien serta tinggi konsentrasi metabolitnya, akibatnya daerah
sekeliling vena sentralis lebih sering mengalami kerusakan (nekrosis) dibanding daerah perifer (Junquiera &
Carneiro, 2012)
B. Histologi Hepatosit
EMBRIOLOGI SISTEM PENCERNAAN (ORGANOGENESIS)
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian
atas kanalis ani. Selain itu endoderm usus belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan
uretra. Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka yaitu suatu rongga yang dilapisi oleh
endoderm yang bertemu langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan ini disebut membran
kloaka. Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu Septum urorektal, pada sudut
antara allantois dengan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah kaudal membagi kloaka menjadi: sinus
urogenitalis primitive pada bagian anterior dan kanalis anorektalis pada bagian posterior. Pada minggu ke-7
septum urorektal mencapai membran kloaka dan membentuk korpus perinealis. Membran kloaka kemudian
terbagi menjadi:
a. Membrana Urogenitalis (pada bagian depan).
b. Membrana analis (pada bagian belakang)
Sementara itu, membrana analis ini dikelilingi tonjolan-tonjolan mesenkim, dan pada minggu ke-8 selaput ini
terletak di dasar cekungan ektoderm, membentuk celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9 membrana
analis koyak sehingga rektum berhubungan dengan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm
yang diperdarahi oleh pembuluh darah yang juga memperdarahi usus belakang, yaitu Arteri mesenterika
inferior. Sedangkan sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ectoderm dan diperdarahi oleh Aa.
Rektales yang merupakan cabang dari arteri pudenda interna. Bagian pertemuan endoderm dan ektoderm,
disebut linea pektinata. Pada linea pektinata terjadi perubahan epitel dari epitel torak menjadi epitel berlapis
gepeng.
HEMATEMESIS
A. Pengertian
Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam
seperti teh yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. Warna hematemesis
tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar kecilnya
perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.
B. Etiologi
a. Kelainan esofagus
- Varises esofagus
Pembengkakan pembuluh darah (varises) pada lapisan kerongkongan. Apabila pembuluh darah
pecah, darah dapat keluar dari tubuh ketika muntah.
- Karsinoma esofagus
Kanker esofagus yang membuat dinding kerongkongan mudah berdarah.
- Sindrom Mallory – Weiss
Perdarahan akibat robekan pada esofagus atau lambung. Robekan mungkin disebabkan oleh tekanan
yang mendadak akibat batuk, cegukan, atau muntah berulang kali.
- Esofagitis dan tukak esofagus
Radang kerongkongan (esofagitis) akibat asam lambung yang sering naik sehingga merusak lapisan
kerongkongan.
b. Kelainan duodenum
Perdarahan pada duodenum umumnya disebabkan oleh duodenitis atau luka pada usus. Duodenitis
adalah radang pada lapisan duodenum yang kerap disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori atau
konsumsi obat pereda nyeri NSAID jangka panjang.
c. Kelainan lambung
- Gastritis Erisova Hemoragika
Hematemesi tidak massif dan timbul setelah penderita minum obat-obatan yang menyebabkan iritasi
lambung. Sebelum muntah penderita mengeluh nyeri ulu hati.
- Tukak lambung
Tukak lambung, yang ditandai dengan luka pada lapisan dalam lambung. Luka dapat mengeluarkan
darah sehingga penderita mengalami hematemesis.
- Karsinoma lambung
ATRESIA ESOFAGUS
A. Definisi
Atresia esofagus atau esophageal atresia adalah kelainan bawaan atau kondisi cacat lahir yang
menyebabkan pembentukan kerongkongan (esofagus) tidak normal. Kerongkongan yang seharusnya
menghubungkan mulut dengan perut sebagai jalan makanan atau minuman masuk ke dalam lambung tidak
terbentuk dengan sempurna, yaitu ada bagian yang terputus. Kondisi ini membuat makanan atau minuman
tidak bisa masuk ke dalam lambung dengan benar serta bisa mengganggu sistem pernapasan.
B. Epidemiologi
Secara global, angka insidensi atresia esofagus berkisar antara 1 untuk setiap 2500 hingga 4500 kelahiran
hidup. Atresia esofagus lebih banyak terjadi pada anak laki-laki, dengan presentasi laki-laki berbanding
perempuan 1,2:1. Berdasarkan hasil studi, negara Finlandia merupakan negara tertinggi penderita atresia
esofagus dengan angka insidensi 1 kasus untuk tiap 2500 kelahiran hidup.
C. Etiologi
Adanya hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya, menunjukkan bahwa lesi ini
terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang penyebab pastinya belum teridentifikasi.
Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan jelas. Kelainan
kromosom seperti trisomi 18 dan 21, adanya agen infektif seperti kekurangan vitamin A dan penggunaan
dosis tinggi pil kontrasepsi yang mengandung progesteron selama kehamilan diduga sebagai penyebab
atresia esofagus.
D. Sign and symptom
- Bayi mengalami kesulian bernapas
- Bayi sering batuk/tersedak saat menyusu
- Ada gelembung putih berbusa yang keluar dari mulut bayi
- Kulit bayi berwarna biru, terutama ketika sedang menyusu
E. Patofisiologi
Proses patofisiologi terjadinya gejala atresia esofagus dimulai sejak di dalam kandungan. Akibat saluran
esofagus yang tidak paten, janin tidak dapat menelan cairan amnion terutama pada keadaan atresia esofagus
tanpa fistula. Kondisi ini akan mengakibatkan komplikasi polihidramnion pada ibu.
Polihidramnion dapat meningkatkan risiko persalinan preterm. Selain itu, janin yang tidak dapat menelan
cairan amnion dengan baik akan mengalami kekurangan nutrisi untuk tumbuh kembangnya sehingga janin
akan bermanifestasi dengan kondisi intrauterine growth restriction (IUGR).
Setelah bayi dengan atresia esofagus lahir, bayi akan tampak mengeluarkan saliva secara berlebihan karena
saluran esofagus yang tidak paten sehingga saliva tidak dapat tertelan. Bila tanpa diketahui oleh orang tua
kemudian bayi disusui, maka bayi umumnya akan tersedak karena air susu hanya terkumpul pada pouch
atresia. Bila terdapat tracheoesophageal fistula (TEF) pada bayi, maka bayi akan mengalami risiko aspirasi
akibat air susu yang mengalir melalui TEF langsung ke paru-paru bayi.
F. Diagnosis
Diagnosis atresia esofagus sebaiknya ditegakkan sedini mungkin untuk meminimalkan komplikasi paru,
dapat ditegakkan baik pada prenatal maupun postnatal. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi pada ibu. Adanya temuan polihidramnion, berkurangnya cairan intraluminal
usus bayi dan ketidakmampuan mendeteksi lambung janin pada pemeriksaan ultrasonografi dapat
memberikan petunjuk awal atresia esofagus. Adanya pouch sign yang tampak sebagai bayangan echoik di
tengah janin pada usia 26 minggu kehamilan juga menunjukkan adanya atresia esofagus.
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien untuk menegakkan diagnosa postnatal dan
prenatal atresia esofagus adalah pemeriksaan rontgen dan ultrasonografi.
H. Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa tanda dan gejala atau manifestasi klinik pada atresia esofagus (Hochenberry, 2002):
- Salivasi dan drooling berlebihan
- Tiga tanda utama trakeoesofageal fistula: batuk, tersedak, sianosis
- Apnea
- Meningkatnya distress pernafasan setelah feeding
- Distensi abdomen
- Kebiruan pada kulit (sianosis) ketika diberi makan
- Batuk, gagging, tersedak ketika diberi makan
- Sulit untuk diberi makan
I. Tatalaksana
a. Tindakan sebelum operasi
Atresia esophagus ditangani dengan tindakan bedah. Persiapan operasi untuk bayi baru lahir mulai umur
1 hari antara lain:
- Cairan intravena mengandung glukasa untuk kebutuhan nutrisi bayi.
- Pemberian antibiotic broad-spectrum secara intra vena.
- Suhu bayi dijaga agar selalu hangat dengan menggunakan incubator, spine dengan posisi fowler,
kepala diangkat sekitar 45 derajat.
- NGT dimasukkan secara oral dan dilakukan suction rutin.
- Monitor vital signs.
b. Tindakan selama operasi
Pada prinsipnya tindakan operasi dilakukan untuk memperbaiki abnormalitas anatomi. Tindakan operasi
dari atresia esophagus mencakup.
- Operasi dilaksanakan dalam general endotracheal anesthesia dengan akses vaskuler yang baik dan
menggunakan ventilator dengan tekanan yang cukup sehingga tidak menybabkan distensi lambung.
- Bronkoskopi pra-operatif berguuna untuk mengidentifikasi dan mengetahui lokasi fistula.
- Posisi bayi ditidurkan pada sisi kiri dengan tangan kanan diangkat di depan dada untuk dilaksanakan
right posterolateral thoracotomy. Pada H-fistula, operasi dilakukan melalui leher karena hanya
memisahkan fistula tanpa memperbaiki esophagus.
- Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana fistula ditutup dengan cara diikat dan dijahit kemudian
dibuat anastomisis esophageal antara kedua ujung proximal dan distal dan esofagus.
c. Tindakan setelah operasi
Segera setelah operasi pasien dirawat di NICU dengan perawatan sebagai berikut
- Monitor pernafasan, suhu tubuh, fungsi jantung dan ginjal
- Oksigen perlu diberikan dan ventilator pernafasan dapat diberi jika dibutuhkan.
- Analgetik diberi jika dibutuhkan
- Pemeriksaan darah dan urin dilakukan guna mengevaluasi keadaan janin secara keseluruhan
- Pemeriksaan scaning dilakukan untuk mengevalausi fungsi esofagus
- Bayi diberikan makanan melalui tube yang terpasang lansung ke lambung (gastrostomi) atau
cukup dengan pemberian melalui intravena sampai bayi sudah bisa menelan makanan sendiri.
- Sekret dihisap melalui tenggorokan dengan slang nasogastrik
J. Komplikasi
Berikut adalah beberapa kemungkinan komplikasi atresia esofagus pada neonates, seperti:
- Kesulitan mengonsumsi makanan.
- Asam dari lambung naik kembali ke kerongkongan (GERD).
- Penyempitan kerongkongan karena jaringan parut yang muncul pasca-operasi
- Risiko kematian juga bisa terjadi jika air liur atau cairan lain masuk ke dalam paru-paru (pneumonia
aspirasi).
- Tracheomalacia.
Selain itu, bayi dengan atresia esofagus juga berpotensi untuk mengalami kelainan (cacat) pada bagian
tubuh lainnya
K. Prognosis
Prognosis pasien dengan atresia esofagus saat ini semakin membaik dipengaruhi oleh angka mortalitas yang
jauh menurun karena meningkatnya angka keberhasilan operasi serta perkembangan perawatan perioperatif
dan setelah operasi.

Anda mungkin juga menyukai