Anda di halaman 1dari 52

JURNAL SKENARIO 4.

1
TUTORIAL B BLOK 7

Disusun Oleh: Tutorial B

Wiga Octaviana A (162010101113)


Imroatul Mufliha (182010101140)
Galuh Prasasti Isbach (202010101009)
Varel Albany S (202010101024)
Stefany Meidina G. S. (202010101028)
Anganti sekar P. (202010101040)
David Lahindah S. (202010101059)
Livia Qoni’atus Syifa (202010101060)
Ayu Joyana Sri H. (202010101087)
Fitranda Kusiyanto T (202010101098)
Ferliana Nurmalita (202010101120)
Alyatul Himma (202010101129)
Ayu Diana Kartika P (202010101140)
Zalzabila Ariyanto (202010101148)

Dosen Pengampu :
dr. Pulong Wijang Pralampita,Ph.D

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER 2021
SKENARIO 4

TRAUMA DADA

❖ KLARIFIKASI ISTILAH

1. Memar

Alyatul Himma
202010101129
Memar adalah perubahan warna yang terjadi pada bagian kulit tertentu akibat
pecahnya pembuluh darah kecil yang ada di bawah kulit. Memar akan menimbulkan
warna kulit berubah menjadi kebiru-biruan atau kehitaman. Kondisi pecahnya
pembuluh darah dapat terjadi akibat adanya cedera traumatis seperti sayatan ataupun
benturan. Faktor yang mempengaruhi memar yaitu besarnya kekerasan, jenis benda
penyebab memar (karet, kayu, besi), usia, umur, dan kondisi tipe jaringan luka.

Sumber : Tilaar, N. Johannis, F.M. Djemi,T. 2020. Gambaran Perubahan Luka


Memar pada Suku Minahasa. e-CliniC. Vol 8(1) :177-180.

Imroatul Mufliha
182010101140
Memar merupakan perdarahan dalam jaringan bawah kulit akibat pecahnya
kapiler dan vena yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka memar adalah
luka tertutup di mana kerusakan jaringan di bawah kulit hanya tampak sebagai
benjolan jika dilihat dari luar. Memar ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau
kehitaman pada kulit. Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan di
daerah yang terbatas disebut hematoma. Letak, bentuk, dan luas luka memar
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti besarnya kekerasan, jenis benda penyebab
(karet, kayu, besi), kondisi dan jenis jaringan (jaringan ikat longgar, jaringan lemak),
usia, jenis kelamin, corak dan warna kulit, kerapuhan pembuluh darah, dan penyakit
(hipertensi, penyakit kardio vaskular, diathesis hemoragik).

Varel Albany Setyawan


202010101024
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit atau kutis akibat
pecahnya kapiler dan vena yang di sebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Memar
dapat diakibatkan oleh adanya tekanan atau pukulan, namun dapat juga timbul secara
spontan, yang dapat terjadi pada orang lanjut usia dan pada orang memiliki kelainan
pembekuan darah misalnya pada hemofilia.
Ekstravasasi darah berdiameter lebih dari beberapa millimeter disebut memar
atau kontusio, ukuran yang lebih kecil disebut dengan ekimosis dan yang terkecil
seukuran ujung peniti disebut dengan petekie. Berikut adalah faktor faktor yang
memengaruhi memar :
a) Kondisi da tipe jaringan luka.
b) Umur penderita
c) Tekenan pada trauma
d) Penyakit lainnya.

Sumber : Hariri, A. T., Moallem, S. A., Mahmoudi, M., Memar, B., & Hosseinzadeh,
H. (2010). Sub-acute effects of diazinon on biochemical indices and specific
biomarkers in rats: protective effects of crocin and safranal. Food and chemical
toxicology, 48(10), 2803-2808.

Galuh Prasasti Isbach (202010101009)

Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit atau kutis akibat pecahnya
kapiler dan vena yang di sebabkan oleh kekerasan benda tumpul Memar dapat
diakibatkan oleh adanya tekanan atau pukulan, namun dapat juga timbul secara spontan,
yang dapat terjadi pada orang lanjut usia dan pada orang memiliki kelainan pembekuan
darah misalnya pada hemofilia. Ekstravasasi darah berdiameter lebih dari beberapa
millimeter disebut memar atau kontusio, ukuran yang lebih kecil disebut dengan ekimosis
dan yang terkecil seukuran ujung peniti disebut dengan petekie.12
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Memar
1. Kondisi dan Tipe Jaringan Luka
Disaat darah dari pembuluh darah keluar dari pembuluh darah, harus ada tempat
yang cukup di luar pembuluh darah untuk darah yang keluar berakumulasi. Hal
ini menjelaskan mengapa memar terilhat pada jaringan yang longgar seperti
mata atau skrotum dan kejarangannya timbul pada telapak kaki ataupun telapak
tangan, dimana ada jaringan fibrous yang padat dan bidang fasia yang terbatas
yang mencegah akumulasi dari darah. Memar yang terjadi dengan tekanan yang
sama yang diberikan akan lebih kurang dibandingankan dengan daerah dimana
ada tulang yang bertindak sebagai landasan dengan kulit antara tulang dan
tekanan. Contohnya seperti kepala, dada dan tulang kering.
2. Umur Penderita
Pada anak-anak dan orangtua lebih mudah terkena memar. Volume dari darah
yang hilang ke jaringan dapat dipengaruhi oleh kerentanan pembuluh darah dan
koagulasi dari darah. Pada orang tua, kulit kurang fleksibel dan lebih tipis
karena terdapat sedikit lemak di bawah kulit sehingga efek bantalan kulit
menurun dan menyebabkan atrofi dermal. Sedangkan pada anak-anak lebih
mudah untuk terjadi memar daripada orang dewasa, karena jaringan yang lebih
lunak dan volume yang lebih kecil dari jaringan yang melindungi.
3. Tekanan pada trauma
Kerusakan dari pembuluh darah biasanya searah dengan besarnya tekanan yang
diaplikasikan : lebih besar tekanan yang diberikan, maka lebihbanyak pembuluh
darah yang rusak sehingga kebocoran dari darah juga semakin besar dan
menyebabkan makin besarnya memar yang terjadi.
4. Penyakit lainnya
Perdarahan dapat terjadi segera dan mungkin terus terjadi selama beberapa
menit atau bahkan sampai berjam-jam setelah cedera. Durasi perdarahan
tergantung pada kekerasan yang dialami, jenis jaringan yangterluka, waktu
pendarahan (untuk menilai fungsi platelet) dan waktu pembekuan (untuk
menilai konversi fibrinogen dan fibrin). Setiap orang mempunyai beberapa
variasi dalam kerentanan terhadap terjadinya memar, seperti mereka yang
mengalami obesitas atau menderita penyakit kronis misalnya pecandu alkohol
kronis, mempunyai jaringan subkutan yang lebih luas
Aspirin dan OAINS adalah penyebab tersering disfungsi trombosit. Aspirin
bekerja dengan melebarkan pembuluh darah dan melenyapkan keping darah
atau trombosit yang menyebabkan darah sulit untuk membeku. Dengan jumlah
trmbosit yang berkurang, memar akan semakin mudah terjadi.
Pada orang dengan kekurangan Vitamin C juga akan lebih mudah mengalami
memar karena vitamin C merupakan unsur penting dalam penyembuhan luka
dan pembentukan lapisan kolagen.
Sumber :
Damitrias, P. T., Bhima, S. K. L., & Dhanardhono, T. (2017). Hubungan kadar
lemak tubuh dengan perubahan warna memar yang dilihat dengan menggunakan
teknik fotografi forensik (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

5. Defek struktural

Ayu Joyana Sri Hartatik


202010101087
Menurut KBBI
Defek : Kerusakan atau cacat
Struktural : Kerkaitan dengan struktur
Defek struktural adalah kerusakan atau kelainan yang berkaitan dengan struktur. Pada
skenario dikatakan bahwa saat dipalpasi, ditemukan defek struktural di sekitar tulang
rusuk ke-5 dan ke-6, hal ini berarti ditemukan kerusakan pada struktur tulang rusuk
ke-5 dan ke-6 atau dapat dikatakan bahwa tulang rusuk ke-5 dan ke-6 mengalami
fraktur.
Sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia

Stefany Meidina Gabriela Sijabat


202010101028
Dalam bahasa Inggris, defect memiliki arti cacat. Dalam KBBI, Cacat yang
terkait dengan tubuh, memiliki arti kerusakan pada tubuh seseorang, baik badan
maupun anggota badan, baik kehilangan fisik, ketidaknormalan bentuk maupun
berkurangnya fungsi karena bawaan sejak lahir atau karena penyakit dan gangguan
lain semasa hidupnya sehingga timbul keterbatasan yang nyata untuk melaksanakan
tugas hidup dan penyesuaian diri. Sedangkan struktural dalam KBBI, artinya
berkenaan dengan struktur yang juga berarti susunan. Jadi, defek struktural dalam hal
ini adalah bentuk yang abnormal dari struktur atau susunan tubuh manusia.
6. Suara vesikuler

Wiga Octaviana Anggraeni


162010101113
Suara inspirasi yang lebih rendah dari ekspiratori. Terdengar nada rendah dan
lemah. Merupakan suara dasar di paru yang berasal dari bronchiolus respiratorius
sampai alveolaris, auskultasi normal di paru kanan dan kiri terdengar sama. Pada
keadaan patologis suara ini terdengar lemah jika ada krepitasi dan rongkhi halus.

Sumber : Lucito. 2015. Pengantar Pemeriksaan Fisik Paru. Semarang:Bagian


Penyakit dalam Fakultas Unissula.

Varel Albany Setyawan


202010101024
Beberapa suara yang biasanya dijumpai ketika melakukan proses auskultasi :

1) Suara Vesikular
Merupakan suara yang terdengar sebagai bunyi yang tenang, bernada rendah.
Suara ini terdapat pada paru yang normal, di mana suara inspirasi lebih keras dan
lebih tinggi nadanya serta 3x lebih panjang daripada ekspirasi. Suara vesikular
diproduksi oleh udara jalan nafas di alveol.
Suaranya menyerupai tiupan angin di daun-daunan. Antara inspirasi dan
ekspirasi , tidak ada bunyi nafas tambahan. Bunyi ini normalnya terdengar di seluruh
bidang paru, kecuali di atas sternum atas dan di antara skapula. Bunyi nafas vesikular
disertai ekspirasi yang memanjang dapat terjadi pada emfisema paru.

2) Suara Bronkial.
Bunyi bronkial terdengar biasanya terdengar lebih keras dan dengan nada yang
lebih tinggi dibandingkan bunyi vesikular. Turbulensi udara di dalam bronkus
kartilaginosa dapat menimbulkan bunyi pernafasan ini. Dibandingkan dengan bunyi
vesikuler, bunyi bronkial lebih kasar dan nadanya lebih tinggi.Bunyi pernafasan
bronkialhampir hilang seluruhnya ketika mereka melintasi sekat alveolus. Oleh karena
itu, mereka biasanya tidak terdengar di bagian perifer paru-paru normal.
Dalam keadaan normal, dapat terdengar di daerah interskapular, juga di atas
trakea. Biasanya, terdapat alveoli yang terisi eksudat atau konsolidasi tapi lumen
bronkus atau bronkial masih terbuka. Baik suara inspirasi maupun ekspirasi sama atau
lebih panjang dari inspirasi. Suara bronkial ini terdapat pada daerah konsolidasi atau
dibagian atas daerah efusi pleura.

3) Suara Bronkovesikula
Merupakan bunyi yang terdengar antara vesikular dan bronkial, di mana
ekspirasi menjadi lebih keras, lebih tinggi nadanya, dan lebih memanjang hingga
hampir menyerupai inspirasi. Bunyi ini dapat didengar pada tempat-tempat yang ada
bronkiolus besar yang ditutupi satu lapisan tipis alveolus. Suara ini secara spesifik
dapat didengar antara skapula dan pada kedua sisi sternum. Penyakit yang
menyebabkan misalnya adalah penyakit paru dengan infiltrat misalnya
bronkopneumonia, tuberkulosis paru.

4) Suara Amfotrik
Didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan berhubungan terbuka
dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol kosong.

Bunyi bronkial dan bronkovesikular yang terdengar di semua tempat di paru


menandakan keadaan patologi. Bunyi ini biasanya menunjukan area yang mengalami
konsolidasi pada paru (misalnya pnemuonia dan gagal jantung) dan membutuhkan
evaluasi lebih lanjut.
Kualitas dan intensitas bunyi napas ditentukan selama auskultasi. Jika aliran
udara menurun akibat obstruksi bronkial (atelektasis) atau ketika cairan (efusi pleural)
atau jaringan (obesitas) memisahkan saluran udara dari stetoskop, maka bunyi napas
akan menghilang atau tidak terdengar. Sebagai contoh, bunyi napas penderita
emfisema dapat samar bahkan tidak terdengar.

Sumber : Kapita Selekta Kedokteran Klinik.Edisi Terbaru. Tangerang :Binarupa


Aksara. 2009 16.
Sudoyo, Aru.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.
2006 17.
Anganti Sekar Pawestri
202010101040

Vesicular breath sounds are soft, low pitched, and are heard through inspiration
continue about one third of way through expiration

Characteristic :

1) Soft, low pitched, and rustling in quality

2) Inspiratory phase lasts longer than the expiratory phase with an inspiratory-
expiratory ratio (I:E) of about 2:1 during tidal breathing

3) Intensity of inspiration is greater than that of expiration

4) Inspiration is higher pitch than expiration

5) No pause between inspiration and expiration

Sumber :

Sarkar, M., Madabhavi, I., Niranjan, N., & Dogra, M. (2015). Auscultation of the
respiratory system. Annals of thoracic medicine, 10(3), 158–168.
https://doi.org/10.4103/1817-1737.160831
7. NRM

Imroatul Mufliha
182010101140
Nonrebreathing oxygen mask (NRM) mengalirkan oksigen dengan konsentrasi
oksigen 80-100% dengan kecepatan aliran 10-12 liter/menit. Pada prinsipnya, udara
inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi karena mempunyai 2 katup, 1 katup
terbuka pada saat inspirasi dan tertutup saat pada saat ekspirasi, dan 1 katup yang
fungsinya mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan membuka pada
saat ekspirasi. Indikasi : Pasien dengan kadar tekanan CO2 yang tinggi.

Ayu Diana
202010101140

Masker non rebreather mask (NRM) mirip dengan masker Hudson tadisional,
tetapi juga menggabungkan sistem katup sederhana sehingga aliran inspirasi puncak
dipenuhi dengan oksigen dari kantong reservoir daripada kebocoran udara di sekitar
masker. Masker ini digunakan pada lingkungan rumah sakit dan pra rumah sakit.

Selain itu, pada jurnal yang saya baca terkait pengaruh penggunaan NRM pada pasien
dengan cedera kepala sedang didapatkan kesimpulan bahwa

1) Nilai pH darah setelah terapi menggunakan non rebreather mask berada dalam
kondisi normal.

2) Nilai darah setelah terapi oksigen menggunakan non rebreather mask sebagian
besar berada di bawah normal.

3) Terjadi penurunan darah pada terapi oksigen menggunakan non rebreather mask.

Dengan demikian, NRM dapat digunakan untuk menurunkan darah.

Sumber :
Robinson, A. and A. Ercole. 2012. Evaluation of the self-inflating bag-valve-mask
and non-rebreather mask as preoxygenation devices in volunterrs. 2(5):e001785.
Availabe at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3488733/

Hendrizal, S. Saanin, H. Bachtiar. 2014. Pengaruh Terapi Oksigen Menggunakan


Non-Rebreather Mask Terhadap Tekanan parsial CO2 darah pada pasien cedera
kepala sedang. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(1):41-44.

8. Pemeriksaan FAST

Zalzabila Ariyanto
202010101148

FAST atau Focussed Assessment with Sonography in Trauma adalah


pemeriksaan ultrasound yang mampu digunakan untuk menilai hemoperitoneum dan
hemopericardium. FAST memiliki sensitivitas 85% - 96%. Indikasi dilakukannya
pemeriksaan eFAST adalah adanya trauma tumpul pada area abdomen atau thorax
dan adanya syok atau hipotensi yang tidak bisa dibedakan yang menjadi bagian dari
pemeriksaan Rapid Ultrasound for Shock and hypotension (RUSH). Tidak ada
kontraindikasi untuk pemeriksaan eFAST. Pemeriksaan eFAST dilakukan dengan
posisi pasien supinasi atau terlentang.

Sumber : Bloom, Benjamin A, and Ryan C Gibbons. “Focused Assessment with


Sonography for Trauma (FAST).” Nih.gov, StatPearls Publishing, June 2019,
www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470479/.

Ferliana Nurmalita
202010101120

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah FAST (Focused Abdomen with


Sonography for Trauma) guna untuk mendeteksi cairan bebas intraperitoneal dan
pericardial dalam kasus trauma, namun kurang tepat untuk mendeteksi cedera usus,
mesenterium, dan vesika urinaria, dimana CT merupakan modalitas yang tepat.
Keuntungan FAST yang paling penting yaitu US merupakan metode imejing bedside
yang cepat dan dapat diintegrasikan dalam resusitasi. Kemampuan ini sangat
membantu terutama pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dimana ahli
bedah traumatology dapat membuat keputusan klinik yang cepat.

FAST scan terdiri dari 6 posisi dasar dalam mendeteksi ada atau tidaknya
cairan pada rongga peritoneum dan pericardium. Mampu mendeteksi lebih dari 100-
250 ml cairan bebas.

Untuk mencari cairan abnormal “transduser” ditempatkan pada :

1) Subcostal atau Subxiphoid

2) Right Upper Quadrant (kuadran kanan atas)

3) Left Upper Quadrant (kuadran kiri atas)

4) Paracolic gutter (kanan dan kiri)

5) Regio Pelvis

Sumber : Tua B, Ellus.dr,dkk. Peranan Radiologi pada Trauma Tumpul Abdomen in :


Laporan Kasus Cedera Tumpul Hepar dan Ginjal. PPDSR FK UI, RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo. 2009. Jakarta.

Montoya J, Stawicki SP, Evans DC, Bahner DP, Sparks S, Sharpe RP, et al. From
FAST to E-FAST: an overview of the evolution of ultrasound based traumatic injury
assessment. Eur J Trauma Emerg Surg. 2015 Mar 14. [Medline].

Livia Qoni’atus Syifa


202010101060
Keunggulan dan Kekurangan Pemeriksaan USG (“FAST”)
1.Keunggulan :
● Pemeriksaan dikerjakan oleh dokter “emergency” maupun residen bedah.
● Tidak mahal, tidak invasive dan “portable”
● Dapat menilai toraks dan rongga retroperitoneal disamping rongga
peritoneum.
● Pemeriksaan serial dapat mendeteksi perdarahan yang terus berlangsung
dan meningkatkan ketepatan diagnostic.
● Menurunkan tindakan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan CT-
Scang.Pada wanita hamil yang mengalami trauma dapat menentukan
umur kehamilan dan kondisi janin.
2. Kekurangan :
● Untuk mendapatkan hasil positif diperlukan cairan intraperitoneal
minimal 70 cc dibandingkan DPL hanya 20 cc.
● Akurasinya tergantung pada kemampuan operator atau pembaca hasil dan
turun akurasinya bila pernah operasi abdomen.
● Secara teknik sulit untuk pasien gemuk dan ileus atau adanya emfisema
subkutis.
● Sensitifitasnya rendah untuk usus halus dan cedera pancreas.
● Tidak dapat menentukan dengan tepat penyebab hemoperitoneum.
● Meskipun bekuan darah memberikan gambaran yang khas, ia tidak dapat
dengan tepat menentukan jenis dari cairan bebas intraperitoneal.

Stefany Meidina Gabriela Sijabat


202010101028
Focused Assessment with Sonography in Trauma (FAST) adalah protokol
ultrasound yang dikembangkan untuk menilai hemoperitoneum dan hemoperikardium.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan sensitivitas antara 85% sampai 96% dan
spesifisitas melebihi 98%. Pada subset pasien trauma hipotensi, sensitivitas
pemeriksaan FAST mendekati 100%. Penyedia berpengalaman melakukan
pemeriksaan FAST dalam waktu kurang dari 5 menit, dan penggunaannya
mengurangi waktu untuk intervensi bedah, lama rawat pasien, dan tingkat CT dan
DPL. Saat ini, lebih dari 96% dari pusat trauma level 1 menggabungkan FAST ke
dalam algoritma trauma mereka seperti halnya Advanced Trauma Life Support
(ATLS). Baru-baru ini, banyak institusi telah memperkenalkan protokol Extended
FAST (eFAST) ke dalam algoritma trauma mereka. eFAST memeriksa setiap
hemitoraks untuk mengetahui adanya hemothoraks dan pneumotoraks.

Sumber :Bloom BA, Gibbons RC. Focused Assessment with Sonography for Trauma.
[Updated 2021 Jul 31]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470479/
❖ RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hubungan antara terseruduk sapi dengan terjadinya kesulitan bernafas
dan nyeri dada kanan ?

Fitranda Kusiyanto Taslim


(202010101098)
Pasien terseruduk sasi pada bagian thorax dextra. Terseruduk ini
mengakibatkan adanya trauma, bisa tajam atau tumpul. Untuk trauma tumpul yang
dihasilkan oleh hasil terseruduk ini dapat mengakibatkan terjadinya pulmonary
contusion. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada kapiler darah
sehingga bisa memungkinkan mengganggu pertukaran gas yang dapat berakibat pada
hipoksia. Kontusi pulmoner ini disebabkan suatu tekanan berlebihan yang datang
dengan tiba-tiba. Efek inersia yang timbul dalam thorax dapat terjadi karena
perbedaan densitas bagian tubuh, sehingga apabila diberikan gaya yang besar dapat
mengakibatkan perbedaan percepatan organ dalam tubuh, hal ini tentunya dapat
memberikan kerusakan yang berarti. Kerusakan yang timbul ini dapat menyebabkan
kekurangan ventilasi pada pasien, yang sesuai dengan gejala seperti takipnea,
takikardi, dan hardness of breathing.

Wiga Octaviana Anggraeni


(162010101113)
Pada skenario, trauma yang terjadi pada Pak Tarjo mengenai 2 costae
segmental (sekitar tulang rusuk ke-5 dan ke-6 di sisi kanan) dikarenakan trauma
tumpul karena terseruduk sapi. Trauma ini menyebabkan troraks tidak bisa bergerak
dengan adekuat. Ketika inspirasi, daerah sekitar thoraks yang sakit tidak akan
mengembang karena costae patah sehingga thoraks tidak akan tertarik ke dalam
karena adanya tekanan negatif di dalam rongga pleura dan saat ekpirasi costae yang
patah akan terdorong ke arah luar karena tekanan positif dari rongga pleura. Hal ini
menyebabkan terjadinya pernapasan paradoksal yang menyebabkan Pak Tarjo
cenderung tidak akan melakukan inspirasi dalam karena nyeri. Jika pasien tidak
inspirasi, akan menyebabkan turunnya tekanan oksigen dan naiknya tekanan
karbondioksida sehingga terjadilah hipoksemia yang bermanisfestasi ke sesak.
Pak tarjo juga keumungkinan mengalami kontusio yang merupakan
komplikasi dari flail chest yang merupakan edema di paru. saat terjadi kontusio terjadi
kerusakan utama pada kapiler paru sehingga darah dan cairan terakumulasi di jaringan
paru yang menyebabkan gangguan difusi yang menyebabkan turunnya oksigen
(hipoksemi), sehingga terjadi gangguan perfusi yang bermanifestasi sesak.

Sumber :
Bastos R, Calhoon JH, Baisden CE. Flail chest and pulmonary contusion. Semin
Thorac Cardiovasc Surg. 2008 Spring;20(1):39-45.
Thomas B. Perer dan Kevin C. King. 2021. Flail Chest. Hofstra Northwell: StatPearls
Publishing.

2. Bagaimana interpretasi TTV pasien?

Zalzabila Ariyanto
(202010101148)
Keadaan Umum : masih sadar, mampu mengikuti perintah dokter untuk
menggerakkan anggota tubuh.
Heart Rate = 90x/menit = normal
Respiration Rate = 35x/menit = takipnea, normalnya 12-20. takipnea menandakan
adanya gangguan pada respirasi. kesulitan bernapas akan mengakibatkan naiknya
respiration rate. kesulitan bernapas bisa disebabkan karena adanya fraktur atau
perdarahan atau adanya obstruksi jalan napas. secara patofisiologis syok merupakan
gangguan hemodinamik yang menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan
perfusi jaringan.
Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler
sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel
dan sangat kecilnya curah jantung. Gangguan faktor-faktor tersebut disbabkan oleh
bermacam-macam proses baik primer pada sistim kardiovaskuler, neurologis ataupun
imunologis. Diantara berbagai penyebab syok tersebut, penurunan hebat volume
plasma intravaskuler merupakan faktor penyebab utama. Terjadinya penurunan hebat
volume intravaskuler dapat terjadi akibat perdarahan atau dehidrasi berat, sehingga
menyebabkan yang balik ke jantung berkurang dan curah jantungpun menurun.
Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan
tidak optimal dan akhirnya menyebabkan syok. Pada tahap awal dengan perdarahan
kurang dari 10%, gejala klinis dapat belum terlihat karena adanya mekanisme
kompensasi sisitim kardiovaskuler dan saraf otonom. Baru pada kehilangan darah
mulai 15% gejala dan tanda klinis mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi nafas,
jantung atau nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan nadi,
kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin berkurang.

Sp02 98% = normal.


Tekanan Darah = 140/90 mmHg = Hipertensi. Dengan bertambahnya umur, maka
tekanan darah juga akan meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan
mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot,
sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku.

Sumber :
Hardisman. “Memahami Patofisiologi Dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update
Dan Penyegar.” Jurnal Kesehatan Andalas, vol. 2, no. 3, 2013, pp. 178–182.
Nuraini, Bianti. “RISK FACTORS of HYPERTENSION.” Risk Factors of
Hypertension J MAJORITY |, vol. 4, no. 5, Feb. 2015.

Galuh Prasasti Isbach


(202010101009)

a) TD 140/90 mmHg
Pasien termasuk lansia
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang munculnya oleh karena
interaksi berbagai faktor. Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah juga akan
meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan mengalami penebalan oleh
karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah
akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik
meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang pada
penambahan umur sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik
meningkat sampai dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung
menurun. Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada
usia lanjut terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan
tekanan darah yaitu reflex baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah
berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang dimana aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus menurun.6 Penurunan elastisitas pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer sebagai hasil temuan akhir
tekanan darah meningkat karena merupakan hasil temuan kali curah Jantung (HR x
Volume sekuncup) x Tahanan perifer.

Pendarahan
Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor penyebab
utama. Terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler dapat terjadi akibat
perdarahan atau dehidrasi berat, sehingga menyebabkan yang balik ke jantung
berkurang dan curah jantungpun menurun. Penurunan hebat curah jantung
menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan tidak optimal dan akhirnya
menyebabkan syok. Pada tahap awal dengan perdarahan kurang dari 10%, gejala
klinis dapat belum terlihat karena adanya mekanisme kompensasi sisitim
kardiovaskuler dan saraf otonom. Baru pada kehilangan darah mulai 15% gejala dan
tanda klinis mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi nafas, jantung atau nadi
(takikardi), pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan nadi, kulit pucat dan
dingin, pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin berkurang.

b) RR 35 x/menit

Peningkatan pernafasan juga dapat dipengaruhi oleh kecemasan. Sistem


endokrin tubuh yang diaktivasi kecemasan akan melepas hormon tiroksin dan
mengakibatkan meningkatnya frekuensi nafas. Kecemasan juga menyebabkan tubuh
melepaskan hormon epinefrin yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan
ingatan seseorang. Sebelum melakukan tindakan pencabutan, mahasiswa profesi akan
berada dalam kondisi konsentrasi. Hal ini menyebabkan tubuh dan otak memerlukan
banyak oksigen karena metabolisme tubuh mengalami peningkatan. Metabolisme
tubuh yang meningkat akibat kecemasan mengindikasikan bahwa tubuh memerlukan
oksigen lebih banyak. Paru akan menyerap lebih banyak oksigen sebagai respon agar
suplai oksigen di seluruh tubuh terpenuhi secara merata. Hal ini menyebabkan
peningkatan tanda vital berupa meningkatnya pernapasan.
Sistem saraf yang diaktivasi kecemasan akan menyebabkan terlepasnya
asetilkolin dari n. vagus. Asetilkolin akan berikatan dengan reseptor pada otot polos
bronkus dan mengakibatkan peningkatan frekuensi pernapasan

Sumber :

Arini, F. N., W. Adriatmoko, M. Novita, B. Mulut, F. K. Gigi, U. Jember, O. Forensik,


F. K. Gigi, dan U. Jember. 2017. Perubahan tanda vital sebagai gejala rasa cemas
sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi pada mahasiswa profesi klinik bedah
mulut rsgm universitas jember. E-Jurnal Pusat Kesehatan. 5(2):323–330.

Nuraini, B. 2015. Risk factors of hypertension. J Majority. 4(5):10–19.

Pemayun, T. P. D., & Suryana, K. (2019). Seorang penderita syok anafilaktik dengan
manifestasi takikardi supraventrikular. Jurnal Penyakit Dalam Udayana, 3(2), 41-45.

Anganti Sekar Pawestri


202010101040
Pemeriksaan tanda vital didapatkan nadi 90 x/menit; tekanan darah 140/90 mmHg;
SpO2 98% tanpa oksigenasi; dan frekuensi pernapasan 35 x/menit

Interpretasi :
• Heart rate 90 x/menit → range normal
• Tekanan darah 140/90 → hipertensi
Patofisiologi :
Trauma → pembuluh darah pecah → terjadi perdarahan → gangguan
hemodinamik → pembuluh darah mengalami vasokonstriksi sebagai
bentuk kompensasi → hipertensi
• SpO2 98% → range normal
• Respiratory rate 35 x/menit → takipneu

3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien?

Varel Albany Setyawan


(202010101024)

➢ INSPEKSI

Berdasarkan hasil isnpeksi,didapati hasil yaitu adanya memar dengan ukuran


10 kali 3 diatas dinding dada anterior. Sebenarnya jika dilhat secara lebih detail,hal
tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal :

1) Adanya frakture iga.

Golden Diagnosis

Nyeri tekan dada dan bertambah sewaktu batuk, bernafas dalam/bergerak, sesak
nafas,krepitasi, deformitas.

Definisi

❖ Fraktur pada iga (costae) merupukan kelainan tersering yang diakibatkan


trauma tumpul pada dinding dada
❖ Trauma tajam lebih jarang mengakbatkan fraktur iga, oleh karena luas
permukaan trauma yang sempit, schingga gaya trauma dapat melalui sela iga.

Etiologi

1) Trauma tumpul > penyebab tersering, biasanya akibat kecelakaan lalulintas.


kecelakaan pada pejalan kaki, jatub dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras
atau akibat perkelahian

2) Trauma tembus > luka tusuk dan luka tembak.

Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest, dimana
pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang letaknya
berurutan

Gejala dan Tanda

a) Nyeri tekan, crepitus dan deformitas dinding dada

b) Adanya gerakan paradoksal

c) Tanda-tanda insuffisiensi pernafasan : Cyanosis, tachypnea,

d) Kadang akan tampak ketakutan dan cemas, karena saat bernafas bertambah nyeri.

e) Periksa paru dan jantung,dengan memperhatikan adanya tanda-tanda pergeseran


trakea, pemeriksaan ECG, saturasi oksigen

f) Periksa abdomen terutama pada fraktur costa bagian inferior diafiagma, hati,
limpa,ginjal dan usus

g) Periksa tulang rangka: vertebrae, sterum, clavicula, fungsi anggota gerak

h) Nilai status neurologis: plexus bracialis, intercostalis, subclavia.

Diagnosis
❖ Sebanyak 25% dari kasus fraktur costae tidak terdiagnosis dan baru
terdiagnosis setelah timbul komplikasi, sperti hematothoraks dan
pneumothoraks.
❖ Nyeri dada : biasanya menetap pada satu titik, bertambah berat saat bernafas.

Bernafas --> Rongga dada mengembang ---> menggerakkan fragmen costae yang
patah ---> timbul gesekan ujung fragmen dengan jaringan lunak sekitar --- >
rangsangan nyeri

❖ Sesak napas atau batuk keluar darah --- > indikasi adanya komplikasi cedera
paru
❖ Mekanisme trauma

2) Akibat adanya kontusio paru

3) Adanya hematom atau penumpukan darah

➢ PALPASI
✓ Ditemukan emfisema subkutan dan defek struktural di sekitar tulang rusuk ke-5
dan ke-6 di sisi kanan, dengan gerakan paradoks dari bagian yang cedera.
✓ Emfisema subkutan dengan fraktur tulang rusuk terbentuk saat paru-paru rusak
dan udara menembus ke dalam jaringan subkutan. Jika pembuluh darah
interkostal rusak, maka mungkin ada perdarahan yang cukup banyak di rongga
pleura atau di jaringan lunak.Hal ini bisa saja terjadi karena adanya srudukan sapi
yang cukup keras.

➢ PERKUSI
❖ Pada perkusi, terdengar suara redup di daerah basal kanan.
❖ Hal tersebut bisa saja terjadi akibat adanya cairan atau benda padat ketika
melakukan perkusi.
❖ Jika dikorelasikan,bisa saja ini merupakan tanda adanya hematothoraks
❖ Hematotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber perdarahan
dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau pembuluh
darah besar. Jumlah perdarahan pada hematotoraks dapat mencapai 1500 ml,
apabila jumlah perdarahan lebih dari 1500 ml disebut hematotoraks masif
❖ Terjadinya hematotoraks biasanya merupakan konsekuensi dari trauma tumpul,
tajam dan kemungkinan komplikasi dari beberapa penyakit. Trauma dada
tumpul dapat mengakibatkan hematotoraks oleh karena terjadinya laserasi
pembuluh darah internal. Hematotoraks juga dapat terjadi, ketika adanya
trauma pada dinding dada yang awalnya berakibat terjadinya hematom pada
dinding dada kemudian terjadi ruptur masuk kedalam cavitas pleura, atau
ketika terjadinya laserasi pembuluh darah akibat fraktur costae, yang
diakibatkan karena adanya pergerakan atau pada saat pasien batuk

➢ AUSKULTASI
❖ Pada auskultasi dada, terdengar suara vesikuler di area basal kanan lebih
sedikit daripada di kiri
❖ Bisa saja terjadi adanya kontusio paru
❖ Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi
pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat.

Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam


jaringan paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan elastisitas normal.
Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam pertama setelah cedera,
berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus yang lebih serius [19]. Sebagai hasil
dari ini dan proses patologis lainnya, memar paru berkembang dari waktu ke waktu
dan dapat menyebabkan hipoksia.

Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan cairan kapiler


bocor ke dalam jaringan di sekitarnya. Membran antara alveoli dan kapiler robek;.
Kerusakan membran kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil menyebabkan darah
dan cairan bocor ke dalam alveoli dan ruang interstisial ( ruang sekitar sel) dari paru-
paru. Dengan trauma yang lebih parah, ada sejumlah besar edema, perdarahan, dan
robeknya alveoli. memar paru ditandai oleh microhemorrhages (pendarahan kecil)
yang terjadi ketika alveoli yang traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas dan
pembuluh darah.Darah awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan kemudian
edema terjadi oleh satu atau dua jam setelah cedera.
Sebuah area perdarahan di paru-paru yang mengalami trauma, umumnya
dikelilingi oleh daerah edema. Dalam pertukaran gas yang normal, karbon dioksida
berdifusi melintasi endotelium dari kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel
alveolar, oksigen berdifusi ke arah lain. Akumulasi cairan mengganggu pertukaran
gas,dan dapat menyebabkan alveoli terisi dengan protein dan robek karena edema dan
perdarahan.Semakin besar daerah cedera, kompromi pernafasan lebih parah,
menyebabkan konsolidasi.

Memar paru dapat menyebabkan bagian paru-paru untuk mengkonsolidasikan,


alveoli kolaps, dan atelektasis (kolaps paru parsial atau total) terjadi. Konsolidasi
terjadi ketika bagian dari paru-paru yang biasanya diisi dengan udara digantkan
dengan bahan dari kondisi patologis, seperti darah. Selama periode jam pertama
setelah cedera, alveoli di menebal daerah luka dan dapat menjadi konsolidasi. Sebuah
penurunan jumlah surfaktan yang dihasilkan juga berkontribusi pada rusaknya dan
konsolidasi alveoli, inaktivasi surfaktan meningkatkan tegangan permukaan
paru.Mengurangi produksi surfaktan juga dapat terjadi di sekitar jaringan yang
awalnya tidak terluka .

Radang paru-paru, yang dapat terjadi ketika komponen darah memasuki


jaringan karena memar, juga bisa menyebabkan bagian dari paru-paru rusak.
Makrofag, neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah bisa
memasuki jaringan paru-paru dan melepaskan faktor-faktor yang menyebabkan
peradangan, meningkatkan kemungkinan kegagalan pernapasan. Sebagai tanggapan
terhadap peradangan, kelebihan lendir diproduksi, berpotensi memasukkan bagian
dari paru-paru dan menyebabkan rusaknya paru-paru. Bahkan ketika hanya satu sisi
dada yang terluka, radang juga dapat mempengaruhi paru-paru lainnya akibat terluka
jaringan paru-paru dapat menyebabkan edema, penebalan septa dari alveoli, dan
perubahan lainnya.

Sumber :

Broderick SR. Hematotoraks: etiology, diagnosis, and management. Thorac SurgClin.


2013;23(1):89-96.

Noor Z, Lestari PP, editor. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. 2nd ed. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika; 2016
Stefany Meidina Gabriela Sijabat
(202010101028)

Di ruang gawat darurat, USG selalu diperlukan untuk penilaian yang


cepat kemungkinan adanya hemoperitoneum. Tujuan utama “USG Emergency” pada
trauma abdomen adalah menilai adanya cairan abnormal (cairan bebas) serta
menetapkan indikasi untuk dilakukan operasi. Saat ini Penggunaan Ultrasonografi
sebagai sarana diagnostic pada trauma lebih diperluas dengan mengarah kepada
penegakan diagnosis dengan cepat dan akurat dengan istilah “FAST” (Focused
Assessment Sonography for Trauma). Pemeriksaan Ultrasonografi (FAST)
diindikasikan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen baik dengan
hemodinamik stabil maupun tidak stabil. Ultrasonografi kurang peka untuk
identifikasi dan menentukan gradasi cedera organ solid, cedera usus, cedera
retroperitoneal. Pemeriksaan USG (“FAST”) dapat langsung dengan jelas
mendeteksi adanya cairan bebas intraperitoneal atau adanya “Cardiac Tamponade”.
Pemeriksaan FAST dikatakan positif jika ada cairan di peritonium,pericardium,dan
pleura

Indikasi:

● Trauma tumpul/Tajam abdomen/Thorax


● Hipotensi yang tidak dapat dijelaskan
● Trauma dalam kehamilan
● Dypsnea,curiga efusi pleura/perikardium

Sumber :
Bloom BA, Gibbons RC. Focused Assessment with Sonography for Trauma.
[Updated 2021 Jul 31]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470479/
Ayu Diana

(202010101140)

Kontusio paru adalah cedera pada jaringan parenkim paru tanpa adanya
laserasi atau struktur vaskular lainnya. Biasanya hasil dari (penyebabnya adalah
karena) trauma dada tumpul, trauma dada tembus, atau cedera ledakan (cedera
ledakan yang dulu terjadi pada perang dunia satu dan dua). Cedera ini dapat
menyebabkan gagal paru dan kematian sehingga harus segera ditangani dengan baik.

Kontusio paru dapat disebut juga dengan memar paru. Berdasarkan tingkat
keparahan memar paru dan cedera bersamaan lainnya, presentasi klinis dapat
bervariasi. Presentasi klinis antara lainnya adalah kesulitan bernapas dan batuk, area
dada yang terkena trauma (dan atau area dada yang terdapat memar) mungkin terasa
nyeri, suara napas dapat menurun pada auskultasi, hemoptisis juga merupakan gejala
yang dapat muncul (pada kasus yang parah).

Diagnosis banding pada pasien kontusio paru antara lainnya pneumonia,


hemotoraks, edema paru karena memiliki presentasi klinis yang serupa dan pada
pencitraan sebagai kondisi paru.

Sumber :Choudhary, S. D. Parija. M. D. Mendez. 2021. Pulmonary contusion. U.S.


StartPearls [Internet]:StartPearls Publishing LLC. Available at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558914/

4. Apa diagnosis dan diagnosis banding yang tepat bagi pasien tersebut ?

Ferliana Nurmalita
(202010101120)
Fototoraks adalah alat diagnostik lini pertama yang menyediakan informasi
tambahan dalam diagnosis dan evaluasi cedera toraks. Radiografi awal termasuk
penilaian cedera dan gangguan secara langsung atau berpotensi mengancam
kehidupan pasien. Terlepas dari keterbatasan metode berdasarkan temuan klinis,
dalam banyak kasus ahli bedah dapat memutuskan tentang perawatan bedah yang
tepat.
1) Flail chest adalah kondisi medis ketika beberapa tulang rusuk yang berdekatan
mengalami fraktur segmental secara unilateral atau bilateral terjadi di area costo-
chondral yang dapat berhubungan dengan / tanpa fraktur sternum. Frekuensi flail
chest sekitar 5%, dan kecelakaan di jalan raya. Pada kelainan ini, segmen dinding
toraks bergerak secara paradoks, selama fase inspirasi tertarik ke dalam,
sedangkan fase ekspirasi terdorong keluar, mencegah aliran udara ke sisi yang
terluka. Ciri khas : flail segment, pernapasan paradoksal, nyeri dada hebat saat
bernapas)

2) Emfisema subkutis terjadi saat udara masuk kedalam jaringan lunak maupun
jaringan dibawah kulit seperti dinding dada atau leher, tetapi dapat juga terjadi
pada bagian lain dari tubuh. Emfisema subkutis dapat terjadi melalui berbagai
macam proses, termasuk terjadinya trauma tumpul, trauma penetratif,
pneumotoraks barotrauma, infeksi, keganasan atau sebagai suatu komplikasi dari
prosedur bedah hingga bahkan dapat terjadi secara spontan.

3) Hematothorax. Hematotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber


perdarahan dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau
pembuluh darah besar. Jumlah perdarahan pada hematotoraks dapat mencapai
1500 ml, apabila jumlah perdarahan lebih dari 1500 ml disebut hematotoraks
masif. Sejauh ini penyebab paling umum dari hematotoraks adalah trauma, baik
trauma yang tidak disengaja, disengaja, atau iatrogenik. Ciri-ciri: perkusi redup,
fremitus menurun, gangguan hemodinamik sehinggan tekanan darahnya
menurum)

4) Kontusio paru. Kontusio paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum yang
berpotensi mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan berkembang
dari waktu daripada yang terjadi seketika. Kontusio paru adalah memar atau
peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat
kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat. Kontusio Paru menghasilkan
perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam jaringan paru-paru, yang dapat
menjadi kaku dan kehilangan elastisitas normal. Kandungan air dari paru-paru
meningkat selama 72 jam pertama setelah cedera, berpotensi menyebabkan
edema paru pada kasus yang lebih serius. Sebagai hasil dari ini dan proses
patologis lainnya, memar paru berkembang dari waktu ke waktu dan dapat
menyebabkan hipoksia. Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru
menyebabkan cairan kapiler bocor ke dalam jaringan di sekitarnya. Membran
antara alveoli dan kapiler robek.

Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang paling
umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada
dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim, edema
interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian paru.
Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner apabila pembuluh darah
besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
(adanya suara gurglingpada auskultasi), foto toraks, dan CT scan toraks. Kontusio
lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi mekanik.

Sumber : Broderick SR. Hematotoraks: etiology, diagnosis, and management. Thorac


SurgClin. 2013;23(1):89-96.

Stefany Meidina Gabriela Sijabat


(202010101028)

a) Pneumothorax
Pneumotoraks didefinisikan sebagai kumpulan udara di luar paru-paru tetapi
di dalam rongga pleura. Ini terjadi ketika udara terakumulasi antara pleura parietal
dan visceral di dalam dada. Akumulasi udara dapat memberikan tekanan pada paru-
paru dan membuatnya kolaps. Derajat kolaps menentukan gambaran klinis
pneumotoraks. Udara dapat masuk ke rongga pleura melalui dua mekanisme, baik
melalui trauma yang menyebabkan komunikasi melalui dinding dada atau dari paru
melalui ruptur pleura visceral. Ada dua jenis pneumotoraks: traumatis dan atraumatik.
Dua subtipe pneumotoraks atraumatik adalah primer dan sekunder.
Pneumotoraks spontan primer (PSP) terjadi secara otomatis tanpa peristiwa
pemicu yang diketahui, sedangkan pneumotoraks spontan sekunder (SSP) terjadi
setelah penyakit paru yang mendasarinya.Pneumotoraks traumatis dapat disebabkan
oleh trauma tumpul atau tembus. Pneumotoraks dapat diklasifikasikan lebih lanjut
sebagai sederhana, tegang, atau terbuka. Pneumotoraks sederhana tidak menggeser
struktur mediastinum, seperti halnya tension pneumotoraks. Pneumotoraks terbuka
adalah luka terbuka di dinding dada tempat udara masuk dan keluar.

Salah satu penyebab pneumotoraks karena trauma adalah trauma tembus atau tumpul
maupun patah tulang rusuk.

Gejala yang paling umum pada pneumothorax adalah nyeri dada dan sesak napas.
Pada pemeriksaan, pasien dengan pneumothorax tercatat mengalami gejala berikut:

✓ Ketidaknyamanan pernapasan

✓ Peningkatan frekuensi pernapasan

✓ Ekspansi paru asimetris

✓ Fremitus taktil berkurang

✓ Catatan perkusi hiperresonan

✓ Penurunan intensitas suara nafas atau tidak ada suara nafas

Sumber : McKnight CL, Burns B. Pneumothorax. [Updated 2021 Aug 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441885/
b) Hemothorax

Hemotoraks masif didefinisikan sebagai kumpulan lebih dari 1000 ml darah


dalam rongga pleura. Sebagian besar hemothoraks yang dilaporkan adalah akibat dari
patah tulang rusuk, parenkim paru, hemothorax spontan setelah pneumotoraks.
Hemotoraks kecil sampai sedang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik dan
hanya dapat dideteksi secara radiografi. Pada pasien kami, tingkat akumulasi darah di
rongga pleura cukup rendah dan butuh sekitar 24 jam untuk menjadi signifikan secara
klinis. Pembuluh darah besar mungkin telah terluka selama prosedur blok pleksus
untuk membentuk hemotoraks yang begitu besar. Pendarahan arteri subklavia yang
sembuh sendiri bisa menjadi alasannya karena kemungkinan tusukan pembuluh darah
pleura membentuk kumpulan besar seperti itu lebih kecil. Laporan kasus hemotoraks
masif seperti itu setelah kateterisasi vena sentral yang melibatkan kerusakan arteri
subklavia telah dilaporkan.

Tanda-tanda klasik dari hemitoraks adalah penurunan ekspansi dada, perkusi


redup dan suara napas berkurang pada hemitoraks yang terkena. Tidak ada deviasi
mediastinum atau trakea kecuali terdapat hemotoraks masif. Awalnya tanda-tanda
klinis ini mungkin tidak terlihat atau tidak ada pada pasien terlentang seperti yang
terjadi pada kasus kami. Dalam tanda-tanda radiografi untuk hemotoraks, Gavelli et al.
telah melaporkan bahwa dalam posisi tegak, perdarahan muncul sebagai meniskus
buram yang menumpulkan sudut kostoferikus dan kardiofrenikus.

Sumber : Singh, S. K., Katyal, S., Kumar, A., & Kumar, P. (2014). Massive
hemothorax: A rare complication after supraclavicular brachial plexus block.
Anesthesia, essays and researches, 8(3), 410–412. https://doi.org/10.4103/0259-
1162.143170

c) Flail Chest

Flail chest adalah kondisi traumatis pada thorax. Ini dapat terjadi ketika 3 atau
lebih tulang rusuk patah di setidaknya 2 tempat. Ini dianggap sebagai diagnosis klinis
karena setiap orang dengan pola fraktur ini tidak mengalami flail chest. Flail chest
muncul ketika cedera ini menyebabkan segmen dinding dada bergerak secara
independen dari sisa dinding dada. Flail chest dapat menyebabkan gangguan yang
signifikan pada fisiologi pernapasan. Gangguan fungsi pernapasan ini penting pada
pasien yang lebih tua atau yang memiliki penyakit paru kronis. Flail chest adalah
cedera penting dengan komplikasi yang signifikan. Flail chest biasanya berhubungan
dengan trauma dinding dada tumpul yang signifikan. Ini sering terjadi dalam
pengaturan cedera lain dan merupakan kondisi yang sangat menyakitkan.Kedua faktor
tersebut secara signifikan berkontribusi terhadap kesulitan dalam mengelola kondisi
ini. Flail chest sering unilateral tetapi bisa bilateral. Ini mungkin dicurigai berdasarkan
temuan radiografi tetapi didiagnosis secara klinis.

Trauma tumpul toraks menghasilkan 70 hingga 80% trauma yang terlihat pada
kecelakaan lalu lintas. 3 Penyebab lain cedera dada termasuk cedera alam dan
olahraga serta jatuh dari ketinggian. Fraktur iga menghasilkan 35 hingga 40% trauma
toraks, sedangkan flail chest merupakan 10 hingga 15%. Flail chest menunjukkan
setidaknya dua patah tulang dari setidaknya tiga tulang rusuk berturut-turut, yang
disebabkan oleh cedera thorax anterior atau lateral, atau fraktur sternum dan
dekomposisi beberapa sendi costochondral. Dalam sistem penilaian trauma, flail chest
dianggap sebagai salah satu kasus paling serius dan angka kematian bisa mencapai
40% dengan tambahan masalah serius ekstratoraks.

Gerakan flail chest disebabkan oleh gerakan paradoks yang ditandai dengan
kompresi segmen yang patah ke dalam saat inspirasi dan pergeseran ke luar saat
ekspirasi. Pada flail chest, area yang terkena tidak memiliki hubungan dengan struktur
tulang. 5 Sternal flail terjadi karena ketidakstabilan yang disebabkan oleh patah tulang
rusuk multipel bilateral atau pemisahan persimpangan costochondral di bagian
anterior. Gerakan paradoksal menciptakan gaya inspirasi negatif pada sisi flail chest
dengan atau tanpa pneumotoraks dan mencegah perluasan paru ipsilateral. Akibatnya,
karena pembengkokan vena cava superior dan inferior akibat perubahan gradien
tekanan intrapleural, aliran balik vena ke jantung berkurang, curah jantung menurun,
dan hipotensi, sinkop, dan kematian jantung mendadak dapat terjadi. Ini adalah
kondisi patofisiologis terpenting yang mempengaruhi hemodinamik. 1

Kapasitas residual fungsional menurun dengan defek ekspansi yang


disebabkan oleh gerakan paradoks dan akhirnya dan akibatnya, kolaps alveolar,
atelektasis, hipoksia/hipoksemia terjadi. Darah yang tidak teroksigenasi dikirim ke
sirkulasi perifer karena disfungsi alveolar, yang disebut sebagai "pirau A-V."
Perdarahan dan edema di daerah memar menyebar dalam 24 jam.

Pneumotoraks, hemotoraks, kontusio paru, pneumonia, dan atelektasis


merupakan komplikasi paru bersamaan yang mungkin ditemui pada pasien dengan
flail chest. 7 Hemotoraks masif atau kontusio paru merupakan penyebab utama
kematian dini pada flail chest, sedangkan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
sering menjadi penyebab kematian lanjut.

Kondisi lain
Flail chest terjadi secara terpisah pada kurang dari 40% kasus. Lebih sering
disertai dengan kontusio paru, hemo/pneumotoraks, cedera kepala, dan terkadang
cedera vaskular mayor. Segmen flail dinding dada akan berdampak negatif pada
respirasi dalam tiga cara: ventilasi yang tidak efektif, kontusio paru, dan hipoventilasi
dengan atelektasis. Ada ventilasi yang tidak efektif karena peningkatan ruang mati,
penurunan tekanan intratoraks, dan peningkatan kebutuhan oksigen dari jaringan yang
terluka. Memar paru di jaringan paru yang berdekatan hampir universal dengan flail
chest. Memar paru menyebabkan edema, perdarahan dan akhirnya mungkin memiliki
beberapa elemen nekrosis. Kontusio paru mengganggu pertukaran gas dan
menurunkan komplians.

Pemeriksaan
Selalu dengarkan suara napas bilateral kemudian palpasi nyeri, deformitas,
atau krepitasi. Periksa dada untuk memar atau pendarahan, tanda sabuk pengaman.
Pasien biasanya mengeluh nyeri dinding dada yang parah dan mungkin mengalami
takipnea dan belat atau insufisiensi pernapasan yang nyata.
Sumber :
Perera TB, King KC. Flail Chest. [Updated 2021 Jul 23]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534090/

Evman, S., Kolbas, I., Dogruyol, T., & Tezel, C. (2015). A Case of Traumatic Flail
Chest Requiring Stabilization with Surgical Reconstruction. The Thoracic and
cardiovascular surgeon reports, 4(1), 8–10. https://doi.org/10.1055/s-0035-1558433

d) Kontusio paru
Kontusio paru atau memar paru adalah cedera pada parenkim paru tanpa
adanya laserasi pada jaringan paru atau struktur vaskular lainnya. Biasanya hasil dari
trauma dada tumpul, gelombang kejut yang terkait dengan cedera dada tembus, atau
cedera ledakan. Cedera ini dapat menyebabkan gagal paru dan kematian.
Kontusio paru adalah cedera paru yang paling sering diidentifikasi (30%
hingga 75%) pada trauma tumpul dada dengan angka kematian 10-25%. Anak-anak
memiliki tulang dada yang lebih fleksibel, menghasilkan kekuatan besar yang
ditransmisikan ke jaringan paru-paru dan memar yang lebih parah secara signifikan
tanpa cedera eksternal yang jelas setelah trauma dada tumpul.

Patofisiologi
Kontusio paru menyebabkan cedera pada parenkim paru, menyebabkan
gangguan pada alveoli dan kapiler, mengakibatkan kebocoran darah dan cairan
interstisial lainnya (air dan serum) melintasi membran kapiler-alveolar ke jaringan
paru dan ruang alveolar. Cairan dalam ruang alveolar menyebabkan edema alveolar
dan penurunan jumlah surfaktan, yang menyebabkan kolaps alveolar dan atelektasis.
Penurunan komplians paru, ketidaksesuaian ventilasi-perfusi, dan pirau intrapulmonal
terjadi sebagai akibat dari memar. Ventilasi bagian paru yang terkena terganggu
karena udara beroksigen tidak dapat masuk ke dalam alveoli yang berisi cairan selama
inspirasi yang menyebabkan refleks vasokonstriksi dan penurunan perfusi,
mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia.

Gejala dan Tanda


Berdasarkan tingkat keparahan memar paru dan cedera bersamaan lainnya,
presentasi klinis dapat bervariasi. Ini mungkin hadir dengan kesulitan bernapas dan
batuk, sedangkan kasus ringan mungkin tanpa gejala. Area dada yang terkena
mungkin terasa nyeri. Suara nafas dapat menurun pada auskultasi. Pada kasus yang
parah, hemoptisis mungkin merupakan gejala yang muncul. Pada kasus yang parah,
pertukaran gas alveolar terganggu, mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia, yang
menyebabkan takipnea dan dispnea. Pada memar berat, gejala muncul dalam beberapa
jam, sedangkan pada cedera ringan, gejala dapat berkembang secara bertahap selama
24-48 jam.

Sumber :
Choudhary S, Pasrija D, Mendez MD. Pulmonary Contusion. [Updated 2021 Jul 22].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558914/
5. Bagaimana tatalaksana yang tepat sesuai dengan skenario tersebut?

Imroatul Mufliha
(182010101140)
Tatalaksana yang tepat bisa diberikan setelah diagnosis yang tepat, kronologi
yang mungkin terjadi yaitu pasien tertubruk sapi kemudian terjadi fraktur segmental
multiple pada costae atau nama lainnya adalah flail chest. kemudian fraktur tersebut
membuat perdarahan pada cavum pleura yang membuat pasien mengalami hemato
thorax. gambaran foto thorax yang opak menandakan adanya cairan pada cavum
pleura dan membuat pasien sulit bernafas, namun cairan tersebut bisa jadi cairan
eksudat/darah. kalau eksudat berarti efusi pleura dan apabila darah berarti hemato
thorax, tapi kemungkinan besar pada skenario ini hemato thorax. tindakan yang bisa
dilakukan yaitu thorakocentesis untuk mengeluarkan darah yang terjebak pada cavum
pleura. thorakocentesis dilakukan dengan cara menusuk dada dan mengeluarkan
cairan/darah pada cavum pleura. apabila pada saat di thorakocentesis perdarahan lebih
besar dari 1.5L dalam 1 jam pertama (hematothorax massive) maka harus dilakukan
operasi terbuka thorakotomi untuk mengeluarkan/menguras darah yang ada di cavum
pleura. untuk flail chest bisa dilakukan imobilisasi bagian costae yang fraktur dan
nyeri bisa diberikan NSAID untuk menghilangkan nyeri

Ayu Joyana Sri Hartatik


(202010101087)

Tatalaksana sesuai dengan diagnosis banding :


1) Flail Chest
Tatalaksana flail chest, yaitu dengan mempertahankan ventilasi yang memadai,
manajemen cairan, manajemen nyeri, dan manajemen dinding dada yang tidak stabil.
Ventilasi harus dijaga dengan oksigen dan ventilasi non-invasif bila memungkinkan.
Ventilasi mekanis invasif hanya digunakan jika metode lain gagal dan ekstubasi harus
dilakukan sedini mungkin. Penggunaan cairan yang bijaksana direkomendasikan di
sebagian besar pengaturan trauma dan penting pada flail chest karena memar paru-
paru hampir di mana-mana. Manajemen nyeri harus ditangani secara dini dengan blok
saraf atau anestesi epidural. Stabilisasi bedah dapat dipertimbangkan pada pasien
yang menjalani trakeostomi, pada pasien yang gagal melepaskan ventilator, dan pada
pasien yang status pernapasannya terus menurun meskipun telah dilakukan perawatan
lain. Pembedahan pada dasarnya menggunakan metallic wires untuk menstabilkan
ujung tulang rusuk yang retak.

2) Emfisema Subkutis
Tidak diperlukan penatalaksanaan khusus pada emfisema subkutis yang
bersifat ringan dan tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien. Emfisema
subkutis akan sembuh dalam waktu kurang dari 10 hari jika ditangani dengan tepat.
Pada emfisema subkutis derajat berat, terdapat beberapa pilihan pendekatan terapi
minimal invasif, seperti subcutaneous incision agar udara yang ada pada subkutis
dapat keluar, needles (ditusuk menggunakan jarum), hingga penggunaan drain atau
chest tubes.

3) Hematothorax
Prinsip penatalaksanaan hematotoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien,
menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga
pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan melakukan resusitasi
yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, serta dapat dilanjutkan dengan
pemberian analgesik serta antibiotik. Setelah hemodinamik pasien stabil dapat
direncanakan untuk pengeluaran cairan (darah) dari rongga pleura dengan
pemasangan chest tube yang disambungkan dengan water shield drainage dan
didapatkan cairan (darah). Pemasangannya selama beberapa hari untuk
mengembangkan paru ke ukuran normal. Adapun langkah-langkah dalam
pemasangan chest tube adalah sebagai berikut:

✓ Memposisikan pasien pada posisi trendelenburg (posisi tidur terlentang tetapi


posisi kepala lebih rendah dibandingkan dengan posisi kaki)
✓ Desinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan menggunakan alkohol
atau povidon iodine pada ICS V atau ICS VI mid axillary line anterior.
✓ Kemudian dilakukan anastesi lokal dengan menggunakan lidokain.
✓ Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line.
✓ Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan selanjutnya dihubungkan
dengan WSD (Water Sealed Drainage)
✓ Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube.
4) Kontusio Paru
Penatalaksanaan utama untuk kontusio paru dengan patency air way,
oksigenasi yang adekuat, dan kontrol nyeri. Hal yang pertama kali dilakukan
pada pasien dengan kontusio paru adalah menemukan luka memar yang
menyertai, mencegah cedera tambahan, dan memberikan perawatan suportif
sambil menunggu luka memar sembuh.

Sumber :
Kukuruza K, Aboeed A. Subcutaneous Emphysema. [Updated 2021 Jul 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542192/

Rendeki, S., & Molnár, T. F. (2019). Pulmonary contusion. Journal of thoracic


disease, 11(Suppl 2), S141–S151. https://doi.org/10.21037/jtd.2018.11.53

Perera TB, King KC. Flail Chest. [Updated 2021 Jul 23]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534090/

Mayasari D, Pratiwi A. Penatalaksanaan Hematotoraks Sedang Et Causa Trauma


Tumpul. 2017. Jurnal Agromedis Unila. 4(1). hlm. 37-42

Ferliana Nurmalita
(202010101120)
Initial Assessment adalah suatu penilian kondisi awal korban maupun pasien
yang dilakukan dengan cepat dan tepat. Sehingga dengan adanya initial assessment ini
penanganan korban maupun pasien bisa dilakukan secara maksial tanpa membuang-
buang waktu. Dalam initial assesmet ada tim yang bertugas memberikan penilaian
terkait kondisi korban maupun pasien. Biasanya penilaian initial assessment berdurasi
kurang dari 5 menit. Initial assessment digunakan dalam penanganan gawat darurat.
Dalam penilaian initial assessment ada 5 komponen yang harus dinilai, yaitu Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Exposure atau lebih dikenal ABCDE.
1). (Airway)

Apabila pasien memberi respon dengan suara normal maka jala napas itu normal
(paten). Tanda-tanda adanya obstruksi jalan napas atau jalan napas yang terganggu
adalah sebagai berikut :

● Adanya suara bising (seperti stridor)


● Sesak napas (kesulitan bernapas)
● Resirasi paradox
● Penurunan tingkat kesadaran
● Adanya suara mendengkur

Penanganan masalah Airway adalah :

● Head tilt and chin lift


● Pemberian oksigen
● Suction

2). B (Breathing)

Apakah ada sesak nafas ? pada komponen ini penilaian bisa dilakukan dengan
penilaian frekuensi respirasi, apakah normal ? Apakah lambat ? apalah terlalu cepat ?
Apakah tidak ada ? Apakah ada sianosis ? Berikut adalah penilaian yang perlu
dilakukan dalam tahap penilaian pernapasan :

1. Frekuensi
2. Adanya retraksi dinding dada
3. Perkusi dada
4. Auskultasi paru
5. Oksimetri (97%-100%)

Penanganan dalam maasalah pernapasan “

1. Berikan posisi yang nyaman


2. Menyelamatkan jalan napas
3. Pemberian bantuan napas/oksigen
4. Pemberian inhalasi
5. Pemberian Ventilasi Bag-Mask
6. Dekompresi ketegangan apabila ada pneumothorax

3). C (Circulation)

Pada penilaian sikulasi ini menitikberatkan pada penilaian tentang sirkulasi darah
yang dapat dilihat dengan penilaian sebagai berikut :

1. Warna kulit
2. Bekeringat
3. CRV (Capillary Refill time)<2 detik
4. Palpasi denyut nadi (60-100) menit
5. Auskultasi jantung (sistolik 100-140 mmHg)
6. Penilaian EKG

Penanganan masalah sirkulasi adalah sebagai berikut :

1. Menghentikan pendarahan (apabila ada)


2. Mengangkat kaki lebih tinggi dari kepala
3. Akses intravena
4. Pemberian infus saline

4). D (Disability)

Disability menilai tentang tingkat kesadaran, dapat dengan cepat dinilai menggunakan
metode AVPU :

1. A (alert) – Kewaspadaan
2. V (voice responsive) – Respon Suara
3. P (pain responsive) – Respon Rasa Nyeri
4. U (unresponsive) – Tidak Responsif
5. Reflex pupil terhadap cahaya
6. Kadar gula darah
7. Gerakan (movement)
Penanganan masalah disability adalah sebagai berikut :

1. Tangani jalan napas


2. Manajemen pernapasan
3. Manajemen sirkulasi
4. Pemulihan posisi
5. Manajemen glukosa untuk hipoglikemia

5). E (Exposure)

Adanya suatu trauma dapat mempengaruhi exposure, reaksi kulit, adanya tusukan dan
tanda-tanda lain yang harus diperhatikan. Dalam penilaian exposure dapat
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Eksposur kulit
2. Keadaan suhu tubuh

Penanganan masalah exposure adalah sebagai berikut :

1. Berikan perawatan untuk mengatasi trauma


2. Ceri penyebab utama

Sumber : Thim, T., Krarup, N. H. V., Grove, E. L., Rohde, C. V., & Løfgren, B.
(2012). Initial assessment and treatment with the Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure (ABCDE) approach. International journal of general medicine, 5,
117.

Varel Albany Setyawan

(202010101024)

➢ Berikut adalah tambahan primary survey yang dapat dilakukan ketika didapati
pasien frakture costae :

1) Pasang monitor EKG

2) Kateter urin dan lambung

3) Monitor laju nafas, analisis gas darah


4) Pulse oksimetri

5) Pemeriksaan rontgen standar

6) Lab darah

➢ Resusitasi fungst vital dan re-evaluasi

✓ Re-evaluasi penderita

❖ Penilaian respon penderita terhadap pemberian cairan awal

❖ Nilai perfusi organ (nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta
awasi tanda-tanda syok.

➢ Secondary survey

1) Anamnesis -→ AMPLE dan mekanisme trauma

2) Pemeriksaan fisik

✓ Kepala dan maksilofasial

✓ Vertebra servikal dan leher

✓ Thorax

✓ Abdomen

✓ Perineum

✓ Musculoskeletal

✓ Neurologis

✓ Recvaluasi penderita

➢ Rujukan Pasien

✓ Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih
memungkinkan untuk dirujuk.
✓ Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, dan kebutuhan penderita
selama perjalanan serta komunikasikan dnegan dokter pada pusat rujukan
yang dituju.

❖ Penatalaksanaan Kedaruratan

a) Cari tanda-tanda syok/perdarahan dan periksa ABC

1) Jalan Napas

Untuk mengatasi keadaan ini, penderita di miringkan sampai tengkurap.


Mandibula dan lidah ditarik ke depan dan dibersihkan faring dengan jari-jari.

2) Perdarahan pada luka

Cara paling efektif dan aman adalah dengan meletakkan kain yang bersih
(kalau bisa steril) yang cukup tebal dan dilakukan penekanan dengan tangan atau
dibalut dengan verban yang cukup menekan.

3) Syok

Syok bisa terjadi apabila orang kehilangan darahnya kurang lebih 30% dari
volume darahnya.Untuk mengatasi syok karena pendaharan diberikan darah (tranfusi
darah).

4) Cari trauma pada tempat lain yang beresiko (kepala dan tulang belakang, iga dan
pneumotoraks dan trauma pelvis)

Sumber :

Apley, A.G. (2010). Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya
Medika.
Ayu Diana

(202010101140)

Kebanyakan memar paru membutuhkan terapi suportif sampai sembuh.


Karena memar dapat berkembang secara bertahap selama 24 – 48 jam atau satu
hingga dua hari, pengawasan ketat perlu dilakukan. Tujuan terapi adalah untuk
mencegah insufisiensi pernapasan, kegagalan, dan komplikasi. Harus ada kontrol
nyeri yang tepat untuk mencegah splinting otot dada akibat cedera dan
memungkinkan ekspansi paru.

Perawatan suportif seperti drainase postural, suction, fisioterapi dada,


spirometri intensif dapat dicoba untuk mencegah adanya atelektasis. Ventilasi tekanan
positif menggunakan CPAP dan BiPAP mungkin dapat digunakan. [5] Sangat penting
untuk memberikan tekanan akhir positif ekspirasi minimum (PEEP) agar
mempertahankan paru-paru terbuka, dan mencegah barotrauma. Prone position pada
pasien dengan memar dapat mengurangi tekanan pada diafragma. Stabilisasi bedah
mungkin dapat dilakukan bila ditemukan adanya multiple fraktur tulang rusuk / flail
chest untuk memperbaiki mekanisme paru.

Sumber :

Choudhary, S. D. Parija. M. D. Mendez. 2021. Pulmonary contusion. U.S. StartPearls


[Internet]:StartPearls Publishing LLC. Available at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558914/

Galuh Prasasti Isbach (202010101009)


Thorax trauma severity score (TTSS) dapat menjadi alat diagnostik dalam memrediksi
kejadian ARDS (acute respiratory distress syndrome) pada kasus trauma tumpul toraks.
TTSS untuk mendeteksi adanya komplikasi pernafasan pada pasien multi trauma, namun
dengan akurasi yang tidak terlalu baik, yaitu sensitivitas 63% dan spefisitas 74%.
Keunggulan TTSS sebagai skor yang dapat memprediksi ARDS pada trauma tumpul
toraks disebabkan sistem penilaian yang meliputi penilaian anatomis (pleura, paru, dan
kosta), penilaian parameter fisiologik (PaO2/FiO2) dan juga karakteristik pasien (usia)
dipertimbangkan. Skor ini juga mudah dilakukan oleh klinisi sebagai skirining awal pada
pasien trauma tumpul toraks. Dianjurkan untuk menggunakan TTSS sebagai alat
diagnostik awal dalam memrediksi ARDS pada kasus trauma tumpul toraks. Deteksi dini
risiko ARDS merupakan penentu untuk dijadikan pemandu manajemen awal dan
keperluan ventilasi mekanik.
Teknik Pemberian Terapi Oksigen (O2)
Kriteria sebagai berikut:
a. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (O2) (FiO2) udara inspirasi.
b. Tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida (CO2).
c. Tahanan terhadap pernapasan minimal.
d. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen (O2).
e. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien.

Cara pemberian terapi oksigen (O2) dibagi menjadi dua jenis, yaitu
1) Sistem arus rendah
Volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan fraksi oksigen (O2)
(FiO2) 21%-90%, tergantung dari aliran gas oksigen (O2) dan tambahan asesoris
seperti kantong penampung. Alat-alat yang umum digunakan dalam sistem ini
adalah: nasal kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau dengan kantong
penampung dan oksigen (O2) transtrakeal. Alat ini digunakan pada pasien
dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar antara 300-700 ml pada orang
dewasa dan pola napasnya teratur.
2) Sistem arus tinggi
Pada sistem arus tinggi, adapun alat yang digunakan yaitu sungkup venturi yang
mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada perbandingan tetap dengan
aliran oksigen sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang tetap. Keuntungan dari alat ini adalah fraksi
oksigen (O2) (FiO2) yang diberikan stabil serta mampu mengendalikan suhu dan
humidifikasi udara inspirasi sedangkan kelemahannya adalah alat ini mahal,
mengganti seluruh alat apabila ingin mengubah fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan
tidak nyaman bagi pasien

Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah


a. Nasal kanul dan nasal kateter.
Nasal kanul dan nasal kateter merupakan alat terapi oksigen (O2) dengan sistem
arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul terdiri dari sepasang tube
dengan panjang + dua cm yang dipasangkan pada lubang hidung pasien dan tube
dihubungkan secara langsung menuju oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi
alternatif bila tidak terdapat sungkup muka, terutama bagi pasien yang
membutuhkan konsentrasi oksigen (O2) rendah oleh karena tergolong sebagai
alat yang sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Nasal kanul arus
rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 liter/ menit dengan
fraksi oksigen (O2) (Fi-O2) antara 24-44%. Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan fraksi oksigen (O2) (FiO2) secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Adapun keuntungan dari
nasal kanul yaitu pemberian oksigen (O2) yang stabil serta pemasangannya
mudah dan nyaman oleh karena pasien masih dapat makan, minum, bergerak
dan berbicara. Walaupun nasal kanul nyaman digunakan tetapi pemasangan
nasal kanul dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah
lepas, tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen (O2) lebih dari 44% dan
tidak dapat digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal. Nasal kateter mirip
dengan nasal kanul di mana sama-sama memiliki sifat yang sederhana, murah
dan mudah dalam pemakaiannya serta tersedia dalam berbagai ukuran sesuai
dengan usia dan jenis kelamin pasien. Untuk pasien anak-anak digunakan kateter
nomor 8-10 F, untuk wanita digunakan kateter nomor 10-12 F dan untuk pria
digunakan kateter nomor 12-14 F. Fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang dihasilkan
sama dengan nasal kanul.

b. Sungkup muka tanpa kantong penampung.


Sungkup muka tanpa kantong penampung merupakan alat terapi oksigen (O2) yang
terbuat dari bahan plastik di mana penggunaannya dilakukan dengan cara
diikatkan pada wajah pasien dengan ikat kepala elastis yang berfungsi untuk
menutupi hidung dan mulut. Tubuh sungkup berfungsi sebagai penampung
untuk oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2) hasil ekspirasi. Alat ini mam-pu
menyediakan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sekitar 40-60% dengan aliran sekitar 5-
10 liter/ menit. Pada penggunaan alat ini, direkomendasikan agar aliran oksigen
(O2) dapat tetap dipertahankan sekitar 5 liter/ menit atau lebih yang bertujuan
untuk mencegah karbon dioksida (CO2) yang telah dikeluarkan dan tertahan
pada sungup untuk terhirup kembali. Adapun keuntungan dari penggunaan
sungkup muka tanpa kantong penampung adalah alat ini mampu memberikan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal
kateter dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
berlubang besar sedangkan kerugian dari alat ini yaitu tidak dapat memberikan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan
karbon dioksida (CO2) jika aliran oksigen (O2) rendah dan oleh karena
penggunaannya menutupi mulut, pasien seringkali kesulitan untuk makan dan
minum serta suara pasien akan teredam. Sungkup muka tanpa kantong
penampung paling cocok untuk pasien yang membutuhkan fraksi oksigen (O2)
(FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal kateter dalam
jangka waktu yang singkat, seperti terapi oksigen (O2) pada unit perawatan
pasca anestesi. Sungkup muka tanpa kantong penampung sebaiknya juga tidak
digunakan. Pada pasien yang tidak mampu untuk melindungi jalan napas mereka
dari resiko aspirasi.

c. Sungkup muka dengan kantong penampung


Terdapat dua jenis sungkup muka dengan kantong penampung yang seringkali
digunakan dalam pemberian terapi oksigen (O2), yaitu sungkup muka partial
rebreathing dan sungkup muka nonrebreathing. Keduanya terbuat dari bahan
plastik namun perbedaan di antara kedua jenis sungkup muka tersebut terkait
dengan adanya katup pada tubuh sungkup dan di antara sungkup dan kantong
penampung. Sungkup muka partial rebreathing tidak memiliki katup satu arah di
antara sungkup dengan kantong penampung sehingga udara ekspirasi dapat
terhirup kembali saat fase inspirasi sedangkan pada sungkup muka
nonrebreathing, terdapat katup satu. arah antara sungkup dan kantong
penampung sehingga pasien hanya dapat menghirup udara yang terdapat pada
kantong penam-pung dan menghembuskannya melalui katup terpisah yang
terletak pada sisi tubuh sungkup. Sungkup muka dengan kantong penam-pung
dapat mengantarkan oksigen (O2) sebanyak 10-15 liter/ menit dengan fraksi
oksigen (O2) (FiO2) sebesar 80-85% pada sungkup muka partial rebreathing
bahkan hingga 100% pada sungkup muka nonrebreathing. 5,9 Kedua jenis
sungkup muka ini sangat dianjurkan penggunaannya pada pasien-pasien yang
membutuhkan terapi oksigen (O2) oleh karena infark miokard dan keracunan
karbon monoksida (CO).

d. Oksigen (O2) transtrakeal


Oksigen (O2) transtrakeal dapat mengalirkan oksigen (O2) secara langsung melalui
kateter di dalam trakea. Oksigen (O2) transtrakeal dapat meningkatkan
kepatuhan pasien untuk menggunakan terapi oksigen (O2) secara kontinyu
selama 24 jam dan seringkali berhasil untuk mengatasi hipoksemia refrakter.
Oksigen (O2) transtrakeal dapat menghemat penggunaan oksigen (O2) sekitar
30- 60-%. Keuntungan dari pemberian oksigen (O2) transtrakeal yaitu tidak ada
iritasi muka ataupun hidung dengan rata-rata oksigen (O2) yang dapat diterima
pasien mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan alat ini yaitu biayanya
yang tergolong tinggi dan resiko terjadinya infeksi lokal. Selain itu, ada pula
berbagai komplikasi lainnya yang seringkali terjadi pada pemberian oksigen
(O2) transtrakeal antara lain emfisema subkutan, bronkospasme, batuk
paroksismal dan infeksi stoma.
Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Tinggi Terdapat dua indikasi klinis untuk penggunaan
terapi oksigen (O2) dengan arus tinggi, di antaranya adalah pasien dengan hipoksia yang
memerlukan pengendalian fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan pasien hipoksia dengan
ventilasi yang abnormal. Adapun alat terapi oksigen (O2) arus tinggi yang seringkali
digunakan, salah satunya yaitu sungkup venturi. Sungkup venturi merupakan alat terapi
oksigen (O2) dengan prinsip jet mixing yang dapat memberikan fraksi oksigen (O2)
(FiO2) sesuai dengan yang dikehendaki.

Alat ini sangat bermanfaat untuk dapat mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen
(O2) rendah sekitar 24-35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) dan gagal napas tipe II di mana dapat mengurangi resiko
terjadinya retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus juga memerbaiki hipokse mia. Alat
ini juga lebih nyaman untuk digunakan dan oleh karena adanya pendorongan oleh arus
Sumber :
Soesanto, H., Tangkilisan, A., & Lahunduitan, I. (2018). Thorax Trauma Severity Score
sebagai Prediktor Acute Respiratory Distress Syndrome pada Trauma Tumpul
Toraks. JURNAL BIOMEDIK: JBM, 10(1).

6. Mengapa dokter memberikan oksigen NRM 10 liter /menit ?


Livia Qoni’atus Syifa
(20202010101060)
Nonrebreathing oxygen face mask (NRM) atau sungkup oksigen
nonrebreathing adalah alat untuk mengalirkan oksigen kecepatan rendah pada pasien
yang bisa bernapas spontan.Indikasi penggunaan non-rebreathing oxygen mask (NRM)
antara lain untuk pasien yang mengalami kondisi medis akut yang masih sadar penuh,
bernapas spontan, memiliki volume tidal yang cukup, serta memerlukan terapi
oksigen konsentrasi tinggi. Penggunaan non rebreathing mask sesuai dengan keadaan
pasien pada scenario yang masih sadar, orientasi baik, dan menanggapi perintah
dokter.
NRM dapat dipertimbangkan pada kelompok pasien yang perjalanan
penyakitnya sangat berpeluang membaik dengan intervensi segera, misalnya penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), edema paru akut, dan asthma berat; sehingga NRM
dapat membantu memperbaiki gejala klinis serta mengurangi risiko tindakan intubasi
jalan napas. Kemudian, pada pasien yang mungkin memiliki indikasi relatif untuk
menjalani tata laksana jalan napas tingkat lanjut namun masih menunjukkan refleks
protektif jalan napas yang baik, misalnya batuk dan muntah yang adekuat,
penggunaan NRM juga bisa dipertimbangkan.

Sumber :

British Thoracic Society Emergency Oxygen Guideline Group. BTS Guidelines for
oxygen use in adults in healthcare and emergency settings. 2015;72(November
2015):1–214. Available from: www.brit-thoracic.org.uk

Alyatul Himma

(202010101129)

Pemberian NRM 10L/menit dikarenakan pasien pada skenario di atas


mengalami trauma yang menyebabkan nadi 90x/menit dan frekuensi napasnya
35x/menit. Dalam pedoman untuk pemberian terapi oksigen (O2) berdasarkan
rekomendasi oleh American College of Che-st Physicians, the National Heart, Lung
and Blood Institute dikatakan disana bahwa pemberian terapi oksigen salah satu
indikasinya yaitu distress pernapasan yang mana RR >24x/menit. Selain itu pada
kasus di skenario ini memungkinkan termasuk ke dalam trauma mayor yang mana
salah satu tanda klinisnya yaitu RR >30x/menit. British Thoracic Society (BTS)
menyarankan agar NRM menjadi pilihan pertama metode terapi oksigen pada pasien
dalam perawatan di rumah sakit yang mengalami trauma mayor atau hipoksemia berat
tanpa faktor risiko gagal napas hiperkapnia. NRM sendiri suatu alat yang digunakan
dalam terapi oksigen pada pasien yang mengalami kondisi medis akut, masih sadar
penuh, bernapas spontan, memiliki volume tidal yang cukup, dan membutuhkan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi. Maka dari itu pasien di skenario ini diberi
terapi oksigen berupa NRM 10L/menit.
Sumber : Hartawan, I. 2017. Terapi Oksigen. Bali : FK Universitas Udayana. dan
British Thoracic Society Emergency Oxygen Guideline Group. BTS Guidelines for
oxygen use in adults in healthcare and emergency settings.

Anganti Sekar Pawestri


202010101040
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih dari fraksi oksigen di
ruangan (20- 21%). Pemberian terapi ini bertujuan untuk mengobati atau mencegah
gejala hipoksia serta mengurangi beban kerja jantung dan paru-paru.
1) Indikasi
a. Terapi Oksigen Jangka Pendek (short-term)
Terapi ini dibutuhkan pada pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya
pneumonia, PPOK eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular,
emboli paru. Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100%
dalam jangka pendek sampai kondisi membaik dan terapi spesifik diberikan

b. Terapi Oksigen Jangka Panjang (long-term)


Terapi ini paling banyak diberikan pada pasien PPOK. Penelitian mengatakan
bahwa pemberian oksigen secara kontinyu selama 4-8 minggu pada pasien PPOK
dapat menurunkan hematokrit, memperbaiki toleransi latihan dan dan
menurunkan tekanan vaskular pulmonar. Pada keadaan ini pemberian oksigen
harus dimulai pada konsentrasi rendah dan dapat ditingkatkan berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah, untuk mengoreksi hipoksemia dan menghindari
penurunan pH dibawah 7,26.

2) Metode Pemberian Terapi Oksigen


a) Sistem Aliran Rendah
(1) Kateter Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan oksigen
dengan konsentrasi 24-44 % tergantung pola ventilasi pasien. Bahaya : Iritasi
lambung, pengeringan mukosa hidung, kemungkinan distensi lambung,
epistaksis.
(2) Kanula Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan 02 dengan
konsentrasi 24 - 44 % tergantung pada polaventilasi pasien. Bahaya : Iritasi
hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus dan epitaksis
(3) Sungkup muka sederhana Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit menghasilkan 0
2 dengan konsentrasi 40 - 60 %. Bahaya : Aspirasi bila muntah, penumpukan
C02 pada aliran 02 rendah, Empisema subcutan kedalam jaringan mata pada
aliran 02 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
(4) Sungkup muka" Rebreathing " dengan kantong 02 Oksigen : Aliran 8-12
l/menit menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 - 80%. Bahaya : Terjadi
aspirasi bila muntah, empisema subkutan kedalam jaringan mata pada aliran
02 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
(5) Sungkup muka" Non Rebreathing" dengan kantong 02 Oksigen : Aliran
8-12 l/menit menghasilkan konsentrasi 02 90 %. Bahaya : Sama dengan
sungkup muka "Rebreathing".

b) Sistem Aliran Tinggi


(1) Sungkup muka venturi (venturi mask) Oksigen : Aliran 4 -14 It / menit
menghasilkan konsentrasi 02 30 - 55 %. Bahaya : Terjadi aspirasi bila
muntah dan nekrosis karena pemasangan sungkup yang terialu ketat.
(2) Sungkup muka Aerosol (Ambu Bag) Oksigen : Aliran lebih dan 10 V menit
menghasilkan konsentrasi 02 100 %. Bahaya : Penumpukan air pada aspirasi
bila muntah serta nekrosis karena pemasangan sungkup muka yang terialu
ketat.

Anda mungkin juga menyukai