1
Nama Blok : 7 (Respirasi)
Koordinator Blok : dr. Wiwien Sugih Utami M.Sc.
Tema Skenario : Petani Tembakau Mengi
Pengampu Tutorial : dr. Pulong Wijang Pralampita Ph.D
Tanggal Tutorial : 20 September 2021
SKENARIO 5
PETANI TEMBAKAU MENGI
Pak Karso berumur 42 tahun, seorang petani tembakau sering mengeluh sesak nafas. Dia
mempunyai kebiasaan merokok tembakau lintingan dengan indeks Brinkman ringan.
Karena tidak tahan lagi maka Pak Karso pergi ke dokter puskesmas. Dari anamnesis
dokter didapatkan bahwa sesak mulai dirasakan sejak 5 tahun yang lalu dan semakin
memberat bila cuaca dingin. Ibu pak Karso punya riwayat sakit asma. Pak Karso
mengelola sendiri sawah tembakaunya setiap hari mulai dari menyemai bibit, menanam,
memupuk, menyemprot pestisida dan memanennya. Tembakau ini jenis tanaman yang
mudah rusak oleh hama sehingga pak Karso betul-betul memperhatikan kualitas tanaman.
Pemeriksaan fisik ditemukan demam subfebril, auskultasi terdengar ekspirasi memanjang
dan whizzing dikedua lapangan paru. Dokter menyimpulkan ada tanda-tanda obstruksi
pada saluran nafas.
Untuk memastikan diagnosis Pak Karso dianjurkan melakukan pemeriksaan EKG,
spirometri dan uji bronkodilator untuk melihat derajat obstruksi bronkus dan ada tidaknya
reversibilitas obstruksi bronkus Sementara untuk mengurangi sesak nafas dokter
memberikan bronkodilator dan obat lainnya dengan catatan bila tidak ada perbaikan maka
Pak Karso harus dirujuk ke Dokter Spesialis Paru. Pak Karso dianjurkan untuk berhenti
merokok agar penyakitnya tidak menjadi lebih parah.
KLARIFIKASI ISTILAH
1. Indeks Brinkman
Sumber : Amelia Rizky dkk,. 2016. Hubungan Derajat Merokok Berdasarkan Indeks Brinkman
dengan Kadar Hemoglobin. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Andalas.
2. Asma
Quirt, J., Hildebrand, K. J., Mazza, J., Noya, F., & Kim, H. (2018). Asthma. Allergy, asthma,
and clinical immunology : official journal of the Canadian Society of Allergy and Clinical
Immunology, 14(Suppl 2), 50. https://doi.org/10.1186/s13223-018-0279-0
Asma adalah serangan dispnea paroksismal berulang, disertai mengi akibat kontraksi
spasmodic bronki
Sumber :
Dorland, Newman. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta. EGC Medical
Publisher.Demam subferil
3. Demam subferil
Subfebris adalah kondisi pra-demam. Artinya, kenaikan suhu tubuh yang terjadi belum terlalu
signifikan sehingga jika dirasakan dengan sentuhan kulit baru akan terasa hangat, belum
panas.Rentang suhu subfebris bisa sedikit berbeda-beda menurut pengertian tiap ahli. Namun
umumnya, sesorang dikatakan mengalami kondisi ini apabila suhu tubuhnya berkisar antara
37,5°-38°C.
• Febris
Febris adalah kondisi demam, ketika tubuh sudah terasa panas dan suhunya terbaca di atas
38°C.
Kondisi demam pada orang dewasa sendiri biasanya tidak menandakan suatu gangguan yang
parah kecuali suhunya sudah naik hingga 39,4°C atau lebih.Namun pada anak-anak dan bayi,
naiknya sedikit suhu tubuh sudah bisa menandakan infeksi yang serius.
• Hiperpireksia
Hiperpireksia adalah kondisi demam paling parah saat suhu tubuh sudah terukur lebih dari
41,1°C. Kondisi ini sudah termasuk sebagai kegawatdaruratan medis, sehingga perlu segera
memperoleh perawatan.Jika dibiarkan, hiperpireksia akan menyebabkan kerusakan organ-
organ vital di tubuh dan berujung pada kematian.
Sumber :
Riandita, A 2012, ‘Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Demam Dengan
Pengelolaan Demam Pada Anak’ Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Salgado, PO, Silva, LCR, Silva, PMA, Chianca, T.C.M. 2016. ‘Physical methods for the
treatment of fever in critically ill patients : a randomized controlled trial’, Journal of School of
Nursing USP, 50(5), pp. 823-830.
Namun, kita juga harus mengetahui bahwa temperatur tubuh normal sepanjang harinya
mengalami fluktuasi yang disebut dengan variasi diurnal atau disebut juga sirkadian
temperature. Suhu tubuh paling rendah pada pukul 6.00 pagi, sekitar 37,2°C (98,9°F). Paling
tinggi pada pukul 6.00 sore, sekitar 37.7°C (99,9°F). Variasi normal berkisar 0,5°C – 1 °C,
dengan temperatur rektal lebih Tinggi 0,4 C. Suhu tubuh perempuan lebih tinggi dari laki-laki.
Kriteria suhu tubuh normal: 36,20 – 37,8°C (Kolberg) atau 36,5°C – 37,2°C (Nelwan). Pada
orang dewasa umur 18 – 40 thn: 36,8°C ± 0,4 °C. Suhu tubuh yang diukur di rektal dianggap
sebagai core temperature. Suhu tubuh normal manusia akan bervariasi dalam sehari. Seperti
ketika tidur, maka suhu tubuh kita akan lebih rendah dibanding saat kita sedang bangun atau
melakukan aktifitas. Pengukuran suhu yang diambil di bagian tubuh yang berbeda akan
memberikan hasil yang berbeda pula. Pengambilan suhu di bawah lidah (dalam mulut) normal
sekitar 37°C, sedangkan diantara lengan (ketiak) sekitar 36,5 °C, dan di rektum (anus) sekitar
37,5 °C. Pada keadaan demam bila pengambilan suhu tubuh melalui mulut (di bawah lidah) >
37,5 °C.
Sumber :
Zein, Umar. 2012. Buku Saku Demam. Medan: USU Press.
Sumber :
Syafria, F., Agus B., Bib P. 2014. Pengenalan Suara Paru-Paru dengan MFCC sebagai
Ekstraksi Ciri dan Backpropagation sebagai Classifier. J. Ilmu Komputer Agri-Informatika.
Vol 3 (1) : Hal : 28-37.
Bickley, LS (2013). BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik. Edisi ke 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Mengi mungkin terdengar tanpa bantuan stereoskop ketika suara keras, tetapi dalam
kebanyakan kasus, mengi diauskultasi dengan stetoskop.
Mengi dianggap sebagai produk dari getaran bergetar dari dinding saluran napas yang
menyempit, yang disebabkan oleh kecepatan aliran udara yang berkurang. Karakteristik suara
mereka termasuk seberapa keras mereka (yaitu, amplitudo), berapa lama mereka bertahan dan
seberapa kuat (yaitu, bernada tinggi) mereka terdengar. Percobaan fisiologis yang dilakukan
pada 1980-an mengidentifikasi penentu nada suara yang dihasilkan dalam tabung yang dapat
dilipat. Ditentukan bahwa nada mengi adalah cerminan dari kekakuan, ketebalan, dan
ketegangan longitudinal dinding saluran napas. Studi klinis selanjutnya menunjukkan bahwa
nada dan, terlebih lagi, durasi mengi adalah dua karakteristik yang berkorelasi baik dengan
tingkat keparahan obstruksi jalan napas. Derajat obstruksi bronkus juga sebanding dengan
jumlah saluran napas yang menghasilkan mengi. Jadi, amplitudo mengi yang diauskultasi tidak
berpengaruh pada keparahan obstruksi jalan napas. Pada akhir obstruksi jalan napas yang
sangat parah, jika aliran udara sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, maka tidak akan
terdengar suara mengi meskipun terjadi obstruksi jalan napas yang parah.
Bunyi paru lain yang dapat disalahartikan atau tumpang tindih dengan mengi adalah ronki dan
stridor. Rhonchi memiliki karakteristik yang mirip dengan mengi, dengan perbedaan utama
adalah frekuensi dominan yang lebih rendah
Sumber :
Patel PH, Mirabile VS, Sharma S. Wheezing. [Updated 2021 May 12]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482454/
5. Pemeriksaan EKG
1. Depolarisasi
Stimulasi menyebabkan kanal Na+ terbuka, sehingga Na+ masuk ke dalam sel. Setelah Na+
masuk, kanal Na+
Pada puncak potensial aksi, Sebagian ion K+ dikeluarkan dari sel melalui kanal K+ yang telah
terbuka.
2. Plateu
Hal yang membedakan sel kontraktil jantung dengan sel sel lain adalah kemampuannya untuk
mempertahankan depolarisasi, yaitu fase dataran (plateu).
Fase ini terjadi karena kanal ion Ca++ terbuka dengan lambat oleh sarkolema. Oleh karena itu,
jantung mengalami fase plateu, agar masuknya ion Ca++ masuk ke sarkoplasma bersamaan
dengan keluarnya ion K+ dari sel kontraktil.
Durasi dari fase plateu adalah sekitar 0,25 detik.
3. Repolarisasi
Repolarisasi terjadi karena pintu kanal Ca++ telah ditutup, sehingga tidak ada Ca++ yang
masuk, sedangkan kanal K+ telah terbuka seluruhnya, sehingga ion K+ keluar, dari sel,
terjadilah repolarisasi.
4. Periode refrakter
Masa refrakter terjadi ketika tidak adanya rangsangan lagi, atau rangsangan kedua tidak dapat
menimbulkan potensial aksi yang kedua.
Melalui paparan di atas, dapat dipastikan bahwa jantung memiliki kelistrikan yang dapat
direkam oleh alat elektrokardiografi.
Pemeriksaan elektrokardiografi mampu mendeteksi potensial aksi serabut otot jantung.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasangkan elektroda elektroda di permukaan tubuh
pasien. EKG tidak memerlukan mikroelektroda untuk dipasang lansung di permukaan jantung,
dikarenakan jantung memiliki potensial aksi yang sangat besar. Potensial aksi jantung yang
besar ini dapat juga dihantarkan melalui jaringan jaringan di sekitar jantung.
Alat EKG akan merekam potensial listrik jantung yang dihantarkan oleh jaringan di sekitarnya,
dan dicatat dalam bentuk diagram
Alat EKG memiliki beberapa lead yang dipasang di tempat tempat tertentu, seperti :
Lead I dipasangkan pada ekstremitas atas, yaitu kutub negatif dipasang di tangan kanan,
sedangkant kutub positif dipasang pada tangan kiri.
Lead II bagian kutub negatif dari elektroda dipasang pada pergelangan tangan, sedangkan
elektroda yang bagian negatif dipasangkan di kaki kiri
Lead III ketika kutub negatif dengan pergelangan tangan kiri dan kutub positif pada
pergelangan kaki kiri.
Sumber :
Irawati, L. 2015. Aktifitas listrik pada otot jantung. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2):596–599.
Ratna Kusumawati. 2019. Keterampilan pemasangan elektrokardiografi ( ekg ).
I(Elektrokardiografi):1–10..
Terdapat 3 Bipolar leads yang berfungsi menghubungkan dari lengan-lengan, kaki-lengan, dan
diantara keduanya. Kemduian 9 unipolar leads yang membentuk gambaran “3D” perjalanan
arus.
Lead yang dimaksud disini itu merupakan garis imajiner antara elektroda elektroda. 12 Lead
EKG itu dibentuk dari 10 pemasangan elektrod
6. Spirometri
Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi mekanik paru,
dinding dada dan otot-otot pernapasan dengan mengukur jumlah volume udara yang
dihembuskan dari kapasitas paru total (TLC) ke volume residu.
Spirometri merupakan metode untuk screening penyakit paru. Selain itu, spirometri juga
digunakan untuk menentukan kekuatan dan fungsi dada, mendeteksi berbagai penyakit saluran
pernapasan terutama akibat pencemaran lingkungan dan asap rokok.
1) Menilai status faal paru yaitu menentukan apakah seseorang mempunyai faal paru normal,
hiperinflasi, obstruksi, restriksi atau bentuk campuran.
2) Menilai manfaat pengobatan yaitu menentukan apakah suatu pengobatan memberikan
perubahan terhadap nilai faal paru
3) Evaluasi penyakit yaitu menilai laju perkembangan penyakit terdapat perbaikan atau
perubahan nilai faal paru.
6) Menentukan apakah seseorang mempunyai risiko ringan, sedang atau berat pada tindakan
bedah.
7) Menentukan apakah dapat dilakukan tindakan reseksi paru
Kontraindikasi Spirometri Kontraindikasi Spirometri terbagi dalam kontra indikasi absolut dan
relatif. Kontraindikasi absolut meliputi: Peningkatan tekanan intrakranial, Space Occupying
Lesion (SOL) pada otak, ablasio retina, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk dalam
kontraindikasi relatif antara lain: hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya, pneumotoraks,
angina pektoris tidak stabil, hernia skrotalis, hernia inguinalis, hernia umbilikalis, Hernia
Nucleous Pulposus (HNP) tergantung derajat keparahan, dan lain-lain.
Sumber :
(Bakhtiar & Tantri, 2019)Bakhtiar, A., & Tantri, R. I. E. (2019). Faal Paru Dinamis. Jurnal
Respirasi, 3(3), 89. https://doi.org/10.20473/jr.v3-i.3.2017.89-96
Ketika seseorang meniupkan udara pada spirometri tersebut,maka akam tampak hasil seperti
yang akan saya lampirkan berikut ini.
Sumber :
Saily, Setiahasti, dkk. Gambaran Faal Paru Dan Skoring Asthma Control
Test (ACT) Penderita Asma Rawat Jalan Di Poliklinik Paru RSUD Arifin
Achmad Pekan Baru. Jurnal Online Mahasiswa FK Vol 1, No 2, Oktober
2014
Lamb K, Theodore D, Bhutta BS. Spirometry. [Updated 2021 Aug 7]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560526/
7. Uji bronkodilatator
Sim, Y. S., Lee, J. H., Lee, W. Y., Suh, D. I., Oh, Y. M., Yoon, J. S., Lee, J. H., Cho, J. H.,
Kwon, C. S., & Chang, J. H. (2017). Spirometry and Bronchodilator Test. Tuberculosis and
respiratory diseases, 80(2), 105–112. https://doi.org/10.4046/trd.2017.80.2.105
Wiga Octaviana A 1620101113
Tes bronkodilatasi adalah tes untuk melihat responsivitas saluran nafas terhadap bronkodilator,
alat yang digunkan adalah spirometri. Spirometri merupakan pemeriksaan yang sangat penting
dalam menilai derajat obstruksi saluran nafas pasien. Cara lain untuk evaluasi respon terhadap
inhalasi bronkodilator adalah dengan membandingkan flow volume curve sebelum dan
sesudah Sumber : Anna Uyainah ZN dan Gurmeet Singh.2017.Tes Bronkodilatasi. Divisi
Respirologi dan Perawatan Penyakit Kritis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Sumber : Calverley PMA, Burge PS, Spence S, Anderson JA, Jones PW, for the ISOLDE
Study Investigators. Bronchodilator reversibility testing in chronic obstructive pulmonary
disease. Thorax 2018;58:659-64.
Responsivitas terhadap bronkodilator dinilai dengan cara yang hampir sama setelah pemberian
obat bronkodilator kerja cepat dan singkatUntuk menilai responsivitas bronkodilator dengan
benar, idealnya semua obat bronkodilator dihentikan, sehingga dapat ditentukan nilai awal
yang benar. Hal ini tetap berlaku untuk bronkodilator kerja singkat dan lama yang diberikan
melalui inhalasi, dan sama untuk seluruh obat yang diberikan secara oral seperti teofilin dan
antileukotrien.
FEV1 adalah indeks fungsi paru yang paling baik dinilai. Oleh sebab itu hubungan FEV1 dan
responsivitas terhadap bronkodilator dengan kondisi klinis atau prognosis telah banyak
dilaporkan. Perlu diingat bahwa peningkatan kecil pada FEV1 karena obat bronkodilator
mungkin disertai oleh penurunan resistensi saluran napas yang bermakna, dan pada kerja napas
yang viscous, yang mungkin relevan secara klinis. Selain itu, mungkin terdapat perbaikan
simptomatik tanpa perbaikan FEV1 yang signifikan.
2. Level FEV1 maksimal Terlepas dari peningkatan FEV1, penting untuk mempertimbangkan
level maksimal yang dicapai. Contohnya, apakah terdapat keterbatasan aliran udara residual
walaupun terdapat peningkatan FEV1 yang bermakna? Atau apakah obstruksi saluran napas
bertambah ringan meski peningkatan FEV1 cenderung kecil? Level FEV1 maksimal kurang
berhubungan dengan nilai awal, tonus bronkomotorik, atau bronkodilator yang telah digunakan
sebelumnya. Dalam mempertimbangkan terapi dengan kortikosteroid oral atau inhalasi,
penting sekali untuk melihat berkas medis pasien untuk menilai level maksimal FEV1 yang
dapat dicapai.
Sumber :
IndonesianJournal Chest & Critical Care Medicine I
8. Derajat dan reversibilitas obstruksi bronkus
Setelah itu, kita nilai bisa pake kuesioner mMRC dan juga CAT dan juga bisa diliat dari
eksaserbasinya
A :mMRC 0-1, CAT<10 dan, belum ada riwayat MRS (masuk rumah sakit) dan eksaserbasi
B : mMRC > dari sama dengan 2, CAT lebih dari sama dengan 10, belum ada riwayat MRS
dan eksaserbasi
C : mMRC 0-1, CAT<10 dan, CAT lebih dari sama dengan 10, eksaserbasi lebih dari sama
dengan 2, dan MRS lebih dari sama dengan satu
D : mMRC > dari sama dengan 2, eksaserbasi lebih dari sama dengan 2, dan MRS lebih dari
sama dengan satu
tujuan dari menentukan masuk klasifikasi apa itu buat nentuin treatment mana yang tepat
sesuai dengan kondisi pasien agar bisa mendapatkan prognosis yang baik, untuk
tatalaksananya sendiri
Grup A : bronkodilator
Grup B : LABA atau LAMA
Grup C : LAMA
Grup D : LAMA or LAMA + LABA or ICS LABA
Galuh Prasasti Isbach 202010101009
Derajat dan Reversibilitas Obstruksi Bronkus:
Derajat obstruksi serangan asma yang diukur dengan FEV1 tampak bahwa makin besar rasio
Th CD4 + / Tc CD8 + makin besar derajat obstruksi yang terjadi (makin rendah nilai FEV1 ).
Spirometri menunjukkan reversibilitas ≥ 15% atau FEV 1 ≤ 90%.
Derajat serangan asma ditentukan oleh nilai FEV 1 :
a) Ringan : FEV 1 ≥ 80 %
b) Sedang : FEV 1 ≥ 60 % ≤ 80 %
c) Berat : FEV 1 ≤ 60 %
Jumlah sel eosinofil darah tepi pada saat serangan mempunyai korelasi positif dengan derajat
berat asma. Rendahnya FEV1 atau beratnya derajat obstruksi pada serangan asma mempunyai
korelasi dengan makin rendahnya jumlah sel Tc CD8 + . Tetapi peniliti lain membuktikan
bahwa sel Tc CD8 + mempunyai peran penting dalam proses kerusakan yang terjadi pada
kematian karena asma. Kejadian ini ternyata berhubungan dengan adanya infeksi virus yang
mendahului serangan asmanya
Sumber :
Kusuma, H. M. S. C., K. H. Kalim, dan M. Muid. 2003. Asma dengan jumlah sel-sel inflamasi
darah tepi (the association between acute attack of asthma severety and the number inflamation
of peripheral blood cells). 142–147.
a) Sumbatan sebagian dari bronkus (by-pass valve obstruction = katup bebas). Pada sumbatan
ini inspirasi dan ekspirasi masih dapat terlaksana, akan tetapi salurannya sempit, sehingga
terdengar bunyi napas (mengi). Penyebab : benda asing di dalam bronkus, penekanan bronkus
dari luar, edema dinding bronkus.
b) Sumbatan bronkus ketika ekspirasi terhambat, atau katup satu arah (expiratory check-valve
obstruction = katup penghambat ekspirasi). Pada waktu inspirasi udara napas masih dapat
lewat, akan tetapi pada ekspirasi terhambat, karena kontraksi otot bronkus. Bentuk sumbatan
ini menahan udara di bagian distal sumbatan, dan proses yang berulang pada tiap pemapasan
mengakibatkan terjadinya emfisema paru obstruktif. Penyebab: benda asing di bronkus, edema
dinding bronkus pada bronkitis.
d) Sumbatan total (stop valve obstruction = katup tertutup), sehingga inspirasi dan ekspirasi
tidak dapat terlaksana. Akibat keadaan ini ialah atelektasis paru.
Sumber : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing
9. Bronkodilatator
Berdasarkan waktu kerjanya, bronkodilator dibagi menjadi dua, yaitu reaksi cepat dan reaksi
lambat. Bronkodilator reaksi cepat diberikan untuk seseorang yang mengalami gejala sesak
napas secara tiba-tiba. Sedangkan bronkodilator reaksi lambat biasanya ditujukan untuk
mengontrol gejala sesak napas pada penderita penyakit paru-paru kronis atau asma.
Sumber : Riley, C. M., & Sciurba, F. C. (2019). Diagnosis and Outpatient Management of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease: A Review. In JAMA -Journal of the American
Medical Association (Vol. 321, Issue 8, pp. 745–746). American Medical Association.
https://doi.org/10.1001/jama.2019.0131
Wiga Octaviana Anggraeni (162010101113)
Bronkodilator adalah jenis obat yang membuat pernapasan lebih mudah dengan memperbesar
otot-otot di paru-paru dan memperlebar bronkus. Sering digunakan untuk mengobati kondisi
jangka panjang di mana saluran udara bisa menjadi sempit dan meradang, seperti: asma –
kondisi paru-paru umum yang disebabkan oleh peradangan saluran udara, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) – penyakit paru-paru yang biasanya disebabkan oleh merokok yang
menyebabkan penyumbatan saluran udara, meskipun sebagian dapat diatasi dengan
pengobatan. Bronkodilator dapat berupa:
short-acting – digunakan sebagai bantuan jangka pendek dari serangan sesak napas yang tiba-
tiba dan tidak terduga, long-acting – digunakan secara teratur, untuk membantu mengontrol
sesak napas pada asma dan PPOK dan meningkatkan efektivitas kortikosteroid pada asma.
Sumber : Khaled Almadhoun dan Sandeep Sharma. 2021. Bronchodilators. Mery Fitzgerald
Hospital
Dorland, Newman. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta. EGC Medical
Publisher.
RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa pak Karso mengeluh sesak sejak 5 hari yang lalu dan memberat ketika cuaca
dingin?
Paparan udara yang sangat dingin dapat menginduksi perubahan saluran pernapasan
ataupun memicu keluhan.
sesak nafas ketika udara dingin mungkin salah satunya dapat disebabkan karena suatu asma
bronkiale. Asma merupakan suatu keadaan hipersensitifitas saluran pernafasan terhadap
alergen seperti udara dingin, debu, bulu binatang, asap, dll. Biasanya asma dapat
menyebabkan gejala seperti rasa sesak ketika terpapar suatu alergen misalnya udara dingin,
nafas berbunyi mengi, dada terasa berat, dan disertai dengan batuk berdahak
Menurut Maslan, Mims (2014) bahwa asma termasuk dalam penyakit kronis yang
mempengaruhi saluran udara dari paru-paru menyebabkan pembengkakan, sekresi lengket
(lendir), bronkospasme sehingga menjadi sesak napas. Kekambuhan asma ditandai dengan
batuk, wheezing, dan kesulitan bernapas (Nhs American Academy of Allergy Asthma and
Immunology, 2014).
D’Amato, Maria, Antonio Molino, Giovanna Calabrese, Lorenzo Cecchi, Isabella Annesi-
Maesano, and Gennaro D’Amato. 2018. “The Impact of Cold on the Respiratory Tract and
Its Consequences to Respiratory Health.” Clinical and Translational Allergy.
https://doi.org/10.1186/s13601-018-0208-9.
Dkk, Sutrisna Marlin. 2018. “Pengaruh Tehnik Pernafasan Butyeko Terhadap ACT.”
Jurnal Keperawatan Silampari 1.
Disini kita bisa highlight dibagian sesak napas sejak 5 tahun lalu dan berat Ketika cuaca
dingin. Dari scenario juga didapatkan bahwa pak karso memiliki prolonged expiration dan
suara wheezing saat respirasi, begitu juga dari kebiasaan merokok, paparan pestisida, dan
Riwayat ibu pak karso yang pernah mengalami asma. Maka kemungkinan besar yang
dialami oleh pak Karso yang pertama asma alergi, dari jurnal European Clinical
Respiratory berjudul Genetics of Asthma: an introduction for the clinician. Didapati bahwa
Riwayat orang tua yang salah satu dari keduanya mempunyai asma, memiliki persentase
sebesar 25% untuk diturunkan secara genetic. Pemicu yang dimiliki Pak Karso yaitu
apabila terkena cuaca dingin, hal ini bisa terjadi karena suhu yang dingin berarti udara
kering dan kelembaban menurun hal ini bisa mengiritasi saluran pernapasan. Paru-paru
juga bereaksi dengan cari konstriksi sehingga bisa men”trigger” terjadinya asma dan
menambah sesak napas dari Pak Karso. Kemudian penyakit sesak napas paru-paru yang
telah lama dialami oleh pak Karso, kemungkinan besar itu merupakan tanda dari PPOK
(Penyakit Pernapasan Obstruksi Kronis), obstruksi yang mungkin dimiliki oleh pak karso
tentunya dapat menurunkan laju pernapasan, contohnya ditandai dengan prolonged
expiration,, obstruksi ini dapat mengganggu pertukaran gas, sehingga kadar oksigen dalam
darah menurun, paru-paru harus meng-counter nya dengan meningkatkan usaha
pernapasan yang dapat berujung kepada sensasi dispnea.
Sumber :
Hashmi MF, Tariq M, Cataletto ME. Asthma. [Updated 2021 Aug 14]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430901/
Merokok merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi paru, juga dapat menderita
penyakit saluran pernapasan yang dapat diakibatkan oleh tembakau. Partikel asap rokok
dan zat iritan lainnya mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan napas dalam
membentuk faktor kemotaktik, pelepasan factor kemotaktik mengindeksi mekanisme
infiltrasi sel-sel kemotaktik pada paru yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru.
Merokok dapat menyebabkan hiperreaktivitas bronki (HBR), yaitu meningkatnya
kepekaan bronki dibandingkan saluran napas normal terhadap zat-zat yang merangsang
tidak spesiafik yang dihirup, sehingga mengalami penyakit saluran napas kronik yang
diakibatkan oleh kelainan reversible pada bronkus yang ditandai dengan adanya obstruksi
pada fungsi paru. Dua penyakit paru obstruktif yang sering menjadi masalah dalam
penatalaksanaannya adalah penyakit asma bronkial dan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Asma bronkial didefinisikan sebagai suatu sindrom klinik yang ditandai oleh
hipersensitivitas trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) adalah kelainan yang ditandai oleh uji arus ekspirasi yang abnormal dan
tidak mengalami perubahan secara nyata pada observasi selama beberapa bulan.
Sumber : Unicef. (2017). Pneumonia claims the lives of the world’s most vulnerable
children. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1001421
b) Eksaserbasi Asma
Eksaserbasi asma (serangan asma atau asma akut) adalah episode peningkatan progresif
dari sesak napas, batuk, wheezing, dada terasa berat, atau beberapa kombinasi dari gejala-
gejala tersebut. Hal ini ditandai dengan penurunan volume udara ekspirasi yang dapat
dinilai dengan pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (forced expiration
volume-1) atau arus puncak ekspirasi (peak expiration flow) pada pemeriksaan fungsi paru.
Eksaserabasi asma dapat dipicu oleh berbagai macam faktor pencetus seperti alergen,
infeksi, polusi udara, makanan serta paparan asap rokok. Paparan terhadap asap rokok
dapat memperburuk gejala asma dan menyebabkan eksaserbasi asma baik pada perokok
aktif mapun pasif. Asap rokok akan mempengaruhi inflamasi dan peningkatan
permeabilitas epitel saluran pernapasan. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang
dikarakteristikan dengan proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen
yaitu hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan. Inflamasi
kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang menyebabkan
proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling ini yang
menyebabkan terjadinya asma.
Sumber :
El Naser, F., Medison, I., & Erly, E. (2016). Gambaran Derajat Merokok Pada Penderita
PPOK di Bagian Paru RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2), 306–311.
https://doi.org/10.25077/jka.v5i2.513
Putra, S. P., Khairsyaf, O., & Julizar, J. (2013). Hubungan Derajat Merokok Dengan
Derajat Eksaserbasi Asma Pada Pasien Asma Perokok Aktif di Bangsal Paru RSUP DR.
M. Djamil Padang Tahun 2007 - 2010. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3), 170.
https://doi.org/10.25077/jka.v2i3.163
3. Apa Hubungan riwayat penyakit ibu Pak Karso dengan penyakit Pak Karso saat ini?
David Lahindah Stephanus 202010101059
Ibu dari Pak Karso memiliki riwayat asma, sedangkan Pak Karso adalah sorang perokok
aktif. Merokok ataupun menjadi perokok pasif itu sendiri telah menjadi pemicu timbulnya
asma pada sebagian besar orang yang berpenyakit asma.
Menurut WHO, di Indonesia terdapat 59% pria yang merokok, dan ada 3,7% wanita yang
merokok. Secara keseluruhan, penduduk Indonesia yang merupakan perokok adalah 31,5%
pada tahun 2001.
Apabila seseorang terpapar rokok, alat pernafasan pada orang dengan riwayat asma akan
terpicu, sehingga menimbulkan gejala gejala asma. Berikut ini adalah data antara
hubungan kebiasaan merokok dengan riwayat asma :
Berdasarkan data di atas, sebagian besar responedn yang menderita asma bukanlah
perokok, Sedangkan 30,24% dari responden merupakan perokok dan penderita asma,
sedangkan 8,61% dari responden merupakan mantan perokok dan penderita asma. Dari
data ini, sayangnya belum diketahui lebih jelas dari peneliti, apakah penderita asma yang
bukan perokok ini sebenarnya merupakan perokok pasif atau bukan.
Selanjutnya adalah hubungan antra data konsumsi rokok dengan asma
Dari data di atas, dapat diketahui bahwa responden yang merupakan perokok dengan
konsumsi lebih dari 20 batang per hari dan menderita asma adalah 39,37% dan perokok
yang menderita asma terbanyak adalah responden yang mengonsumsi rokok 11-20 batang
per harinya. Akan tetapi responden yang merokok 1-10 batang per hari, tidak ada yang
mengalami asma. Dari kedua data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Rokok
berhubungan erat dengan asma, sehingga Bu Karso bisa saja mengalami asma dikarenakan
Pak Karso adalah perokok aktif, sedangkan Bu karso adalah perokok pasif yang terkena
dampaknya. Sumber :
Suharmiati, S., L. Handajani, dan A. Handajani. 2012. Hubungan pola penggunaan rokok
dengan tingkat kejadian asma. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 13(4):394–404.
Akan tetapi, pada PPOK, defisensi antitripsin alfa-1 (AATD) yang merupakan penyakit
bawaan atau genetik yang dapat meningkatkan risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).
Sumber :
[Hashmi MF, Tariq M, Cataletto ME. Asthma. [Updated 2021 Aug 14]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430901/ ]
[Quirt, J., Hildebrand, K. J., Mazza, J., Noya, F., & Kim, H. (2018). Asthma. Allergy,
asthma, and clinical immunology : official journal of the Canadian Society of Allergy and
Clinical Immunology, 14(Suppl 2), 50. https://doi.org/10.1186/s13223-018-0279-0]
Asma adalah penyakit kronis anak yang paling umum di negara maju dan
prevalensinya telah meningkat di dunia selama 25 tahun terakhir. Ini adalah penyakit
kompleks dengan faktor risiko genetik dan lingkungan. Asma disebabkan oleh beberapa
gen yang berinteraksi, beberapa memiliki efek protektif dan yang lain berkontribusi pada
patogenesis penyakit, dengan masing-masing gen memiliki kecenderungannya sendiri
untuk dipengaruhi oleh lingkungan.
Studi sejarah keluarga, kembar, agregasi keluarga dan studi segregasi pada asma
telah meyakinkan dan menunjukkan bahwa penyakit ini memiliki komponen genetik yang
kuat . Kondisi asma yang dapat mendominasi di lokasi geografis yang berbeda, dan sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mungkin berbeda di antara populasi dan pada usia
yang berbeda. Namun, kemungkinan risiko berkembangnya asma paling besar adalah
ketika faktor risiko genetik dan lingkungan hadir secara bersamaan .
Pewarisan asma dan alergi tidak mengikuti pola pewarisan Mendel
klasik.Namun,sebagian besar asma atopik kemungkinan merupakan hasil dari berbagai
faktor genetik dan lingkungan yang saling berinteraksi 1 . Secara umum diyakini bahwa
asma disebabkan oleh beberapa gen yang berinteraksi, beberapa memiliki efek protektif
dan yang lain berkontribusi pada patogenesis penyakit, dengan masing-masing gen
memiliki kecenderungannya sendiri untuk dipengaruhi oleh lingkungan..
Berikut ini adalah beberapa kandidat gen dan SNP yang dipelajari secara ekstensif
terkait dengan asma, dengan referensi khusus untuk studi pada populasi India:
2.Interleukin-4 (IL-4)
Terletak pada kromosom 5 pada posisi q31 dengan 32675 bps, 10 ekson dan 9
intron. IL-4 adalah sitokin yang disekresikan oleh sel T penolong tipe 2 (sel TH-2) yang
merangsang produksi IgE dan menginduksi serangan yang diperantarai eosinofil terhadap
alergen 82 . Chiang et al 83 menetapkan bahwa polimorfisme dalam promotor IL-4
dikaitkan dengan asma dan merupakan pengubah penyakit dalam hal keparahan hiper-
responsif saluran napas (AHR). Sebanyak 16 polimorfisme diidentifikasi di IL4 , yang satu
di promotor (C-589T) dan lainnya di 5' wilayah yang tidak diterjemahkan (C-33T) dari
IL4telah diidentifikasi yang mempengaruhi kadar IgE serum total dan hiper-responsif
bronkus 84 . Nagarkati et al 85 menunjukkan bahwa promotor gen IL4 adalah invarian
pada populasi India dan Bijanzadeh et al 81 melaporkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara SNP IL-4 ini dan asma pada populasi India.
Kesimpulan
Asma adalah salah satu penyakit alergi yang paling serius dan menarik. Asma
berkumpul dalam keluarga dan merupakan penyakit multifaktorial yang kompleks dengan
keterlibatan komponen lingkungan dan genetik. Analisis silsilah awal kami
mengungkapkan bahwa pola pewarisan autosomal resesif menonjol pada asma;
kekerabatan orang tua 100 dan serum intracellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1) 101
secara signifikan terkait dengan asma, sedangkan sistem darah ABO 102 , IL-4 dan
ADAM33 varian gen spesifik 81 , dan serum E-selectin 101tidak berhubungan dengan
asma. Lebih dari 100 lokus telah dilaporkan terkait dengan asma dan ada juga indikasi
bahwa mutasi pada gen utama dapat menyebabkan asma. Karena semakin banyak
penelitian saat ini yang dilakukan dalam genetika asma, ada peningkatan daftar gen
kandidat penginduksi dan penghambat untuk asma. Ada lebih dari 100 kandidat gen di
setiap kromosom yang diidentifikasi memiliki hubungan dengan asma dan kekuatan
hubungan SNP ini dengan asma bervariasi di berbagai belahan dunia. Studi lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan fungsi yang tepat dari gen-gen ini, interaksi gen-gen dan
interaksi gen-lingkungan yang tidak diragukan lagi kompleks dan tetap sulit dipahami
untuk saat ini bahkan dengan studi asosiasi seluruh genom.
Studi lebih lanjut tentang asma dengan data dan alat genomik, untuk memetakan,
mengidentifikasi gen spesifik, dan SNP spesifik fenotipe akan membantu mengungkap
jalur yang terlibat dalam etiologi asma dan menggunakan farmakogenomik untuk
merancang obat yang lebih baik untuk rencana perawatan individual. Jadi dengan interaksi
yang bermanfaat antara peneliti yang terlibat dalam patofisiologi, epidemiologi, penelitian
klinis dan genetika asma, abad ini menjanjikan pemahaman yang lebih baik tentang
patologi, diagnosis, pencegahan, pengobatan dan pengelolaan asma.
Sumber :
Bijanzadeh, M., Mahesh, P. A., & Ramachandra, N. B. (2011). An understanding of the
genetic basis of asthma. The Indian journal of medical research, 134(2), 149–161.
4. Bagaimana hubungan dari pengelolaan sawah tembakau Pak Karso dengan penyakit Pak
Karso
Pada copd, inflamasi akan merangsang produksi mucus. sehingga produksi mucus akan
berlebih yang kemudian membuat mucosiliary clearance nya tidak bersih sehingga akan
terdapat penumpukan mucus yang menyebabkan penderitanya muncul gejala batuk secara
produktif.
produksi mucus yang berlebih juga menyebabkan obstruksi pada jalan nafasnya sehingga
akan mengganggu ventilasi yang menyebabkan oksigenasi pada darah tidak optimal
sehingga perfusi ke jaringan pun tidak optimal. Itu mengapa, pada penderita COPD mereka
cepat merasa kelelahan
Pada fase ekspirasi, jalan nafas akan cenderung lebih sempit, sehingga yang awalnya sudah
sempit karena produksi mucus yang berlebih akan semakin sempit lagi pada saat ekspirasi
sehingga akan membuat penderita kesulitan bernapas dan menggunakan otot nafas
tambahan. Penggunaan otot nafas tambahan ini juga menyebabkan mereka lebih suka
duduk pada posisi tripod sitting position dimana posisinya ini membungkuk dan lebih maju
kedepan.
Pada penderita COPD, mereka akan kesulitan bernafas sehingga menyebabkan
penderitanya ini mengalami pursed lip breathing yaitu pernapasan melalui hidung tetapi
dikeluarkan melalui mulut dengan sedikit mecucu sehingga akan menimbulkan wheezing
pada saat ekspirasi. nah selain itu, pada penderita COPD, jaringan jaringan pada paru akan
mengalami disfungsi yang menyebabkan penurunan elastic recoil, sehingga paru parunga
tidak bisa kembali pada posisi semula ( bisa mengembang tetapi tidak bisa kembali
mengempis ). Maka akan timbul hiperventilasi dan menyebabkan dadanya ini membentuk
seperti tong sehingga disebut sebagai barrel chest. Nah penderita copd, membutuhkan
waktu ekspirasi yang lebih lama dibandingkan orang normal yang lain
Sumber :
Fotedar, S., & Fotedar, V. (2017). Green Tobacco Sickness: A Brief Review. Indian journal
of occupational and environmental medicine, 21(3), 101–104.
https://doi.org/10.4103/ijoem.IJOEM_160_17
Dalam industri pertanian, paparan kerja terhadap aerosol organik dan anorganik
menyebabkan peningkatan risiko penyakit paru-paru di antara pekerja. Peningkatan
kesadaran akan risiko pernapasan dan peningkatan pemantauan lingkungan pertanian
diperlukan untuk membatasi risiko kesehatan paru pada populasi yang terpapar.
Pertanian produksi menghasilkan berbagai debu, uap dan asap yang dapat menyebabkan
gejala dan penyakit pernapasan. Contoh paparan meliputi: debu organik dari lumbung dan
kurungan ternak, debu biji-bijian, dan pestisida. Paparan ini dapat menyebabkan
peningkatan tingkat PPOK, asma, pneumonitis hipersensitivitas, penyakit paru interstisial,
dan kemungkinan kanker paru-paru.
PPOK
PPOK adalah penyakit paru obstruktif yang ditandai dengan peningkatan sesak napas,
batuk dan mengi. Menggunakan standar yang ditetapkan oleh Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK didiagnosis dengan spirometri dengan obstruksi
( rasio FVC/FEV 1 <70) yang tidak sepenuhnya reversibel dengan bronkodilator.
Meskipun sebagian besar PPOK disebabkan oleh merokok, hingga 30% PPOK disebabkan
oleh pajanan di tempat kerja. PPOK disebabkan oleh eksposur pekerjaan telah meningkat
morbiditas pernafasan, termasuk kualitas hidup yang rendah dan status fungsional. Paparan
pertanian yang dapat menyebabkan PPOK beragam. Dalam operasi pemberian makan
hewan terkonsentrasi, pekerja terpapar gas termasuk amonia dan hidrogen sulfida; debu
organik yang mengandung produk bakteri seperti peptidoglikan dan lipopolisakarida, spora
jamur dan partikel. Semua komponen ini dapat menyebabkan iritasi dan peradangan
saluran napas dan seiring waktu dapat menyebabkan penyumbatan saluran napas. Paparan
pertanian lainnya termasuk debu biji-bijian, partikel knalpot diesel, pestisida dan herbisida.
Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan hubungan sebab-akibat dari paparan pekerjaan
dan PPOK dengan menilai prevalensi penyakit dalam kelompok peternak sapi perah yang
tidak merokok. Dalam studi cross-sectional ini, peternak sapi perah ditemukan memiliki
peningkatan prevalensi gejala pernapasan termasuk batuk, dahak, dan dispnea,
dibandingkan dengan pekerja kantoran. Tingkat PPOK juga lebih tinggi; 10,7% peternak
sapi perah ditemukan menderita PPOK, dibandingkan 2,7% pada pekerja kantoran. Sebuah
survei yang dilakukan di Saskatchewan mengungkapkan peningkatan gejala pernapasan
(batuk kronis, dahak kronis, sesak napas, mengi) pada penduduk pedesaan yang terpapar
asap diesel, fungisida, jamur, atau debu.
Paparan pestisida langsung dan tidak langsung juga menimbulkan risiko penyakit
pernapasan jangka panjang termasuk PPOK. DDT (1,1,1-trikloro-2,2-bis[4-
klorofenil]etana) dilarang di seluruh dunia pada tahun 2004 (setelah penggunaan yang
dihentikan dan/atau pelarangan dimulai pada tahun 1970-an). Namun, hasil terbaru dari
Survei Tindakan Kesehatan Kanada menyoroti potensi efek berbahaya jangka panjang dari
bahan kimia ini yang dapat bertahan di tanah selama beberapa dekade [ 8 ]. Dalam laporan
ini, DDT atau produk penguraiannya DDE (1,1-bis-[4-chlorophenyl]-2,2-dichloroethene)
masih mudah terdeteksi di hampir semua peserta (tidak memilih untuk
penggunaan/paparan pestisida); sementara DDE kadar plasma dosis ketergantungan
berkorelasi dengan FEV 1 pengurangan.
Ada pembaur potensial yang penting untuk dipertimbangkan ketika menilai COPD dan
risiko kesehatan pernapasan lainnya dengan paparan pertanian. Status sosial ekonomi
adalah kemungkinan pembaur dalam literatur yang menganalisis pertanian dan efek
kesehatan paru, di mana temuan peningkatan penyakit pernapasan pada komunitas
pertanian dapat dikaitkan dengan status sosial ekonomi rendah
Asma
Pekerjaan pertanian dikaitkan dengan asma akibat kerja dan asma yang diperburuk oleh
pekerjaan. Asma akibat kerja disebabkan oleh kondisi di tempat kerja, sedangkan asma
yang diperburuk oleh pekerjaan adalah asma yang sudah ada sebelumnya yang diperburuk
oleh kondisi kerja. Asma muncul dengan batuk, mengi, dan sesak dada. Hal ini didiagnosis
dengan spirometri yang menunjukkan obstruksi yang benar-benar reversibel dengan
bronkodilator. Alergen udara dari berbagai asal (misalnya jamur, hewan) dapat
menyebabkan sensitisasi alergi dan asma pada pekerja pertanian. Investigasi yang sedang
berlangsung ditujukan untuk mendefinisikan paparan yang lebih baik yang dialami oleh
petani untuk mempelajari bagaimana paparan spesifik menyebabkan penyakit pernapasan.
Paparan pestisida juga dapat meningkatkan risiko asma. Dalam kohort AGRICAN French,
paparan tanaman kerja serta penggunaan pestisida dikaitkan dengan peningkatan risiko
asma alergi tetapi bukan asma non-alergi. Temuan Studi Kesehatan Pertanian
menunjukkan bahwa paparan pestisida tertentu, serta kegiatan pertanian tertentu
berbanding terbalik dengan risiko eksaserbasi pada pekerja dengan asma aktif, sementara
hubungan positif terlihat dengan paparan pestisida tertentu pada pekerja dengan asma serta
alergi. Survei Saskatchewan menemukan paparan fungisida menjadi prediktor signifikan
dahak kronis di antara penduduk pertanian. Dalam sebuah penelitian terhadap pekerja
pertanian remaja Mesir yang menerapkan insektisida organofosfat klorpirifos, aplikator
pestisida remaja memiliki prevalensi mengi yang dilaporkan lebih tinggi dibandingkan
dengan non-aplikator yang sesuai usia.
Pneumonitis hipersensitivitas
Pneumonitis hipersensitivitas (HP) juga dikenal sebagai paru-paru petani dan alveolitis
alergi ekstrinsik. Pasien biasanya datang dengan batuk kronis, dispnea saat beraktivitas,
kelelahan, anoreksia, dan penurunan berat badan. Tes fungsi paru menunjukkan restriksi
dan gangguan kapasitas difusi. CT scan mengungkapkan ground glass opacity yang tidak
merata di zona paru-paru tengah dan bawah serta mikronodul.
Fibrosis paru idiopatik adalah penyakit paru interstisial progresif yang tidak diketahui
asalnya. Ini muncul dengan peningkatan dispnea saat aktivitas selama beberapa tahun,
kadang-kadang dikaitkan dengan batuk kering. Terdengar ronki “Velcro” di atas lapang
paru bagian bawah. Hal ini didiagnosis dengan pembatasan pada PFT dan kapasitas difusi
yang terganggu bersama dengan fibrosis interstisial pada CT scan resolusi tinggi.
Penyakit paru interstisial lain yang baru-baru ini dikaitkan dengan paparan pertanian adalah
pneumokoniosis. Ditandai dengan peradangan dan fibrosis, pneumokoniosis akibat kerja
disebabkan oleh inhalasi debu anorganik, yang mengendap di paru-paru dan menyebabkan
peradangan alveolar dan remodeling jaringan paru-paru. Pneumoconiosis muncul dengan
sesak napas dan didiagnosis dengan adanya makula debu yang tidak merata atau nodul di
paru-paru yang terlihat pada rontgen dada. Pada tahun 2009, Schenker, dkk. melaporkan
temuan pneumokoniosis selama otopsi paru-paru pekerja pertanian laki-laki Hispanik
muda di California yang meninggal karena penyebab yang tidak terkait dengan kesehatan
pernapasan [ 30]. Dibandingkan dengan non-pekerja pertanian, individu-individu ini
memiliki prevalensi penyakit saluran udara kecil debu mineral yang jauh lebih tinggi,
patologi seperti bronkitis kronis, dan pneumokoniosis.
Kanker Paru-Paru
Hubungan antara paparan pertanian dan kanker paru-paru adalah kompleks dan
diperdebatkan. Dalam kohort Studi Kesehatan Pertanian, peningkatan hari paparan
pestisida diazinon seumur hidup di antara aplikator pestisida laki-laki berhubungan dengan
peningkatan risiko kanker paru-paru (RR = 1,60; p = 0,02) dengan tren serupa yang ada
berdasarkan hari paparan seumur hidup yang tertimbang intensitasnya. Mengenai subtipe
histologis kanker paru-paru, hari paparan seumur hidup secara signifikan terkait dengan
adenokarsinoma. Di sisi lain, analisis lain dari Health Study Pertanian juga menunjukkan
penurunan risiko kanker paru-paru dengan ternak dan produksi unggas
Sumber :
Nordgren, T. M., & Bailey, K. L. (2016). Pulmonary health effects of agriculture. Current
opinion in pulmonary medicine, 22(2), 144–149.
https://doi.org/10.1097/MCP.0000000000000247
Kemudian saat menyemprot pestisida, perlu ditanyakan kepada pak Karto memakai APD
seperti kacamata, sarung tangan, masker atau pelindung diri lainnya, kemudian perlu
ditanyakan arah penyemprotan. Penyemprotan yang benar adalah dengan searah arah angin
agar tidak banyak terhirup oleh tubuh.
Kemudian di skenario, disebutkan bahwa jenis tembakau yang digunakan merupakan jenis
yang mudah rusak, kemungkinan pak Karso tidak hanya memeberikan pestisida di
sawahnya tetapi juga menggunakan anti hama (insektisisda/ rodenstisisda sintetis).
Rodentisida jika terkena daerah superficial seperti kulit dan mata akan menyebabkan
iritasi, jika tertelan akan menyebabkan gangguan gastrointestinal karena mengandung
vitamin K reduktase yang berfungsi untuk koagulasi darah. Jika vitamin ini dihambat akan
menimbulkan perdarahan. Solusinya adalah menganti rodentisisda sintetis dengan bahan
campuran alami. Misalnya rodentisida alami dari papacin di pepaya, senyawa dari papacin
ini mempunyai enzim proteolitik yang dapat merusak protein di tikus sawah.
Sumber : Pramestuti dkk,. 2018. Rodentisida nabati papain pepaya (carica papaya L)
Sebagai Alternatif Pengendali Mencit. Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara.
WHO. Use and after effects of insecticides. CHEA special studies, No. 1:20. 1991
Auskultasi ekspirasi memanjang karena dokter memeriksa pasien pada bagian bronkus
b. Wheezing di kedua lapang paru
Wheezing / Mengi adalah manifestasi gejala dari setiap proses penyakit yang menyebabkan
obstruksi jalan napas. Mengi umumnya dialami oleh penderita asma tetapi juga dapat
terjadi pada individu dengan benda asing saluran napas, gagal jantung kongestif, keganasan
saluran napas, atau lesi apa pun yang menyebabkan penyempitan saluran napas. Mengi
dianggap sebagai produk dari getaran bergetar dari dinding saluran napas yang menyempit,
yang disebabkan oleh kecepatan aliran udara yang berkurang. Derajat obstruksi bronkus
juga sebanding dengan jumlah saluran napas yang menghasilkan mengi.
Sehingga,amplitudo mengi yang diauskultasi tidak mempengaruhi beratnya obstruksi jalan
napas. Pada akhir obstruksi jalan napas yang sangat parah, jika aliran udara sangat sedikit
atau tidak ada sama sekali, maka tidak akan terdengar bunyi mengi meskipun terjadi
obstruksi jalan napas yang parah.
Organofosfat adalah insektisida yang berupa ester asam fosfat atau asam tiofosfat.
Organofosfat memiliki struktur kimia dengan atom fosfor (P) yang berikatan ganda dengan
oksigen (O) atau sulfur (S) sehingga disebut phosphate atau phosporothioate (Guanovora
et al., 2016). Pestisida ini digunakan sebagai racun pembasmi serangga karena bersifat
toksik. Cara kerja organofosfat adalah menghambat penyaluran impuls saraf dengan cara
mengikat enzim asetilkolinesterase (AChE) sehingga tidak terjadi hidrolisis asetilkolin.
AChE merupakan enzim yang mengakhiri aksi rangsang neurotransmitter asetilkolin pada
sinapsis saraf.
Sumber :
Patel PH, Mirabile VS, Sharma S. Wheezing. [Updated 2021 May 12]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482454/
Rizal, A., L. Anggraeni, dan V. Suryani. 2006. Pengenalan suara paru-paru normal
menggunakan lpc dan jaringan syaraf tiruan back-propagation. Preceeding International
Seminar on Electrical Power, Electronics Communication, Control, and Informatics (
EECCIS 2006 ). 6–10.
Sandra, P. S. M. Hubungan Kadar Kolinesterase terhadap Faal Paru Petani yang Terpapar
Pestisida Organofosfat di Desa Sukorambi Kabupaten Jember.
Oleh karena itu, dokter harus memastikan pasiennya menderita asma atau PPOK. Dokter
perlu menguji FEV1/FVC pasien. Selanjutnya, doktermemberikan bronkodilator sebagai
pertolongan pertama. Setelah diberikan bronkodilator, dokter bisa menguji pasien dengan
spirometer. Apabila hasil FEV1/FVC di bawah 0,7, dapat dicurigai bahwa pasien
mengalami penyakit paru obstruktif kronis.
Sumber dari PPOK update gold 2017 oleh dr. Retna Dwi dan kuliah dari dr. Angga
mengenai Asma alergi.
mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung. Dapat digunakan untuk menilai kondisi
paru.
Spirometri adalah salah satu metode pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi dan
mendiagnosis kondisi paru-paru. Dalam pemeriksaan ini, dokter akan meminta Anda untuk
bernapas menggunakan alat yang disebut spirometer. Digunakan mengukur fungsi paru-
paru, khususnya jumlah dan/atau kecepatan udara yang dapat dihirup dan dihembuskan.
Spirometri merupakan pemeriksaan yang sangat penting dalam menilai derajat obstruksi
saluran nafas pasien. Di samping data-data lain seperti riwayat penyakit, rekam medis
sebelumnya, riwayat keluarga dan pekerjaan, pemeriksaan fisik, dan kesan klinis, data
spirometri juga memiliki andil dalam menentukan diagnosis dan terapi pasien.
Uyainah, Anna., Gurmeet Singh. 2017. “Tes Bronkodilatasi.” Indonesian Journal Chest &
Critical Care Medicine I
7. Obat apa yang mungkin diberikan dokter kepada pasien?
Dari skenario, pasien diduga menderita COPD maupun Asma, sehingga penanganan yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
Penanganan COPD
The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 2019 mendefinisikan PPOK
sebagai “penyakit umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala
pernapasan yang persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan
saluran napas atau alveolar, biasanya disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel
atau gas berbahaya.”. Pengobatan farmakologis untuk PPOK bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup (QOL) dan mengendalikan gejala sekaligus mengurangi
frekuensi eksaserbasi.
Ada lima langkah dalam pengelolaan asma kronis; pengobatan dimulai tergantung pada
tingkat keparahan dan kemudian meningkat atau menurun tergantung pada respons
terhadap pengobatan.[15]
Step 1: Kontroler yang dipilih adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan formoterol
sesuai kebutuhan.
Step 2: Kontroler yang lebih disukai adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah harian
ditambah agonis beta 2 kerja pendek sesuai kebutuhan.
Step 3: Kontroler yang lebih disukai adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan agonis
beta 2 kerja lama ditambah agonis beta 2 kerja pendek sesuai kebutuhan.
Step 4: Pengontrol yang disukai adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan agonis beta
2 kerja panjang ditambah agonis beta 2 kerja pendek sesuai kebutuhan.
Step 5: Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan agonis beta 2 kerja lama ditambah
antagonis muskarinik kerja lama/anti-IgE.
Sumber:
Candela, M., Costorella, R., Stassaldi, A., Maestrini, V., & Curradi, G. (2019). Treatment
of COPD: the simplicity is a resolved complexity. Multidisciplinary respiratory medicine,
14, 18. https://doi.org/10.1186/s40248-019-0181-8
Nici, L., Mammen, M. J., Charbek, E., Alexander, P. E., Au, D. H., Boyd, C. M., Criner,
G. J., Donaldson, G. C., Dreher, M., Fan, V. S., Gershon, A. S., Han, M. K., Krishnan, J.
A., Martinez, F. J., Meek, P. M., Morgan, M., Polkey, M. I., Puhan, M. A., Sadatsafavi,
M., Sin, D. D., … Aaron, S. D. (2020). Pharmacologic Management of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. An Official American Thoracic Society Clinical Practice Guideline.
American journal of respiratory and critical care medicine, 201(9), e56–e69.
https://doi.org/10.1164/rccm.202003-0625ST
Hashmi MF, Tariq M, Cataletto ME. Asthma. [Updated 2021 Aug 14]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430901/
• LABA
LABA are used in treatment for patients with asthma and COPD, often in conjunction with
inhaled corticosteroids. LABAs are generally added as second-line treatment in asthma that
has failed symptomatic relief with SABAs and ICS.
Example : salmeterol, formoterol
• SABA
SABA are the first-line medications for acute treatment in asthma symptoms and
exacerbations. They are also commonly used in conjunction with LABAs, inhaled
corticosteroids, or long-acting muscarinic agonists in treatment for COPD.
Example : salbutamol, terbutaline, levalbuterol, pirbuterol
• Ultra-LABA
Ultra-LABAs have the greatest duration of effect, up to 24 hours, and they have the
additional benefit of being a once-a-day treatment dosage. Example : Indacaterol,
Olodaerol
The combination of ICS with an inhaled long-acting β 2-agonist (LABA) has superseded
ICS monotherapy as the gold standard for the treatment of airways disease. ICS act by
binding to and activating specific cytosolic receptors (GR), which then translocate to the
nucleus where they regulate gene expression by either binding to DNA and inducing anti-
inflammatory genes or by repressing the induction of pro-inflammatory mediators.
Sumber :
Hsu E, Bajaj T. Beta 2 Agonists. [Updated 2021 May 28]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542249/
Hasan, S. S., Capstick, T., Zaidi, S. T. R., Kow, C. S., & Merchant, H. A. (2020). Use of
corticosteroids in asthma and COPD patients with or without COVID-19. Respiratory
Medicine, 170(May), 106045. https://doi.org/10.1016/j.rmed.2020.106045
M. Adcock, I., Marwick, J., Casolari, P., Contoli, M., Fan Chung, K., Kirkham, P., Papi,
A., & Caramori, G. (2010). Mechanisms of Corticosteroid Resistance in Severe Asthma
and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Current Pharmaceutical Design,
16(32), 3554–3573. https://doi.org/10.2174/138161210793797889