Anda di halaman 1dari 13

Kun & Arin

Karya : Dela Sinta

Karunasankara, lelaki yang lebih dikenal dengan nama Kun itu, mendesah frustrasi melihat
laptopnya sudah hancur di lantai. Sementara pelaku yang telah menjatuhkan laptopnya, hanya
menatap dengan senyum canggung tanpa mengucapkan kata maaf. Jangankan mengucap maaf,
tampak merasa bersalah pun, tidak.

“Kamu bisa jalan dengan benar, enggak sih?!” tanyanya kesal, namun yang diajak bicara hanya
cengar-cengir seraya menggaruk tengkuknya.

“Gue nggak sengaja, Kak, tadi gue buru-buru, salah lo sih buka laptop enggak ngira-ngira,
harusnya berhenti dulu, duduk, nggak sambil jalan gini,” katanya masih tanpa meminta maaf.

“Kamu sama sekali nggak minta maaf? Perlu kamu tahu, saya buru-buru karena beberapa menit
lagi saya harus ketemu dosen pembimbing yang hanya ngasih kesempatan bimbingan sebentar
dan kamu sudah mengacaukan semuanya,” kata Kun dengan amarah tertahannya. Ia
memandang kesal gadis dengan rambut yang disemir warna-warni bak pelangi itu.

Bagaimana tidak marah, jika ia belum sempat menyimpan teks skripsinya yang sudah ia buat
hingga bergadang semalam suntuk, namun berakhir mengenaskan seperti sekarang. Ia
mahasiswa tingkat akhir, dan ia sudah mengorbankan banyak hal untuk skripsinya itu.

“Ya maaf Kak, gue benar buru-buru, ada urusan penting yang mengharuskan gue pergi sekarang
juga. Besok deh, gue ganti laptop lo. Lo tungguin gue di sini, di jam ini, oke bye.” Gadis itu
melambaikan tangannya dan segera melangkahkan kakinya pergi dari sana, meninggalkan Kun
dengan mulut melongo lebar.

“Hei! Saya nggak butuh kamu ganti laptop saya, tapi kamu harus bertanggung jawab, kamu
bantu saya bilang ke dosbing soal skripsi saya yang kamu hilangin! Hei Rambut Pelangi!” Kun
berteriak keras hingga mengundang tanya dari pasang mata lain, namun yang dipanggil tampak
tak peduli, entah sengaja menulikan telinganya atau memang tidak dengar, punggungnya kian
menjauh dengan kakinya yang berlari.

“Astaga, laptop gue, skripsi gue ...,” laki-laki itu mengacak rambutnya, kesal, marah, dan
frustrasi bercampur menjadi satu, rasanya ia ingin menangis. “Gue harus bilang apa sama
dosen?”

Kun berjongkok, memastikan apakah laptopnya masih bisa dihidupkan atau tidak. Tapi, jika pun
bisa dihidupkan, skripsinya tetap tak terselamatkan. Ia belum sempat menyimpannya, kalau
sudah begini, alamat dirinya gagal diwisuda tahun ini. Dan benar saja, laptopnya sama sekali tak
menyala.

“God, laptop satu-satunya gue.”

Kun tahu, hari ini telah menjadi hari tersialnya.

****

Satu hari berselang dari kejadian laptop yang terjatuh itu, di tempat dan jam yang sama, Kun
menunggu gadis berambut warna-warni kemarin mendatanginya. Hari kemarin benar-benar
menjelma menjadi hari tersial baginya, ia dimarahi habis-habisan oleh dosen pembimbing yang
mengira dirinya berbohong dan hanya main-main dengan skripsinya, ia dituduh sengaja
membuang-buang waktu berharga sang dosen. Tentu saja ego Kun tersentil mendengar kata-
kata itu, oleh karenanya ia akan menuntut pertanggungjawaban. Dan mungkin jika ia ingat, ia
akan memarahi gadis itu.

Matanya memejam mendengar derap langkah yang dihasilkan dari tubrukan sol sepatu dan
lantai yang berlalu lalang di hadapannya. Tubuh Kun menyandar pada tiang penyangga yang
ada di koridor depan laboratorium kimia. Kaki kanannya mengetuk lantai, sementara yang
satunya tampak tenang. Tangannya bersedekap dada, sesekali meremas lengannya pelan,
untuk mengurai amarah yang sejak kemarin tak kunjung reda.
Ia sudah ada di sana semenjak limabelas menit yang lalu, namun gadis yang masih tak dia
ketahui namanya itu tak kunjung menampakkan diri, membuat Kun merasa bodoh karena
memercayai orang yang bahkan dari penampilannya saja sudah terlihat buruk.

Kun tidak mungkin mengecap orang buruk tanpa alasan, gadis kemarin itu mengecat rambutnya
dengan bermacam-macam warna, celana robek-robek yang tak layak pakai, baju kedodoran
dan juga lengan yang ditato. Ia ingat beberapa tatonya bergambar abstrak yang tak begitu jelas
objeknya dengan ukuran yang tak terlalu besar. Entah itu benar-benar tato atau bukan, yang
pasti gadis itu terlihat sama sekali bukan gadis baik-baik.

“Harusnya gue nggak percaya. Dia pasti bohong mau ganti laptop gue.” Kun mendesah
frustrasi, ia harus berpikir dua kali tentang laptopnya dan juga skripsinya yang sudah
berantakan.

“Udahlah, percuma juga gue tunggu. Dia nggak bakal datang.” Kun menegakkan badannya,
tangannya yang semula bersedekap dada, diturunkan, lantas ia masukkan ke dalam saku
celana. Dengan eskpresi keruh, ia mulai melangkahkan kakinya pergi.

“Kak!”

Baru dua langkah kakinya ia hela, teriakkan dari belakang terdengar memekakkan telinga.
Bukannya ia terlalu percaya diri atau bagaimana, tapi ia yakin panggilan itu ditujukan padanya.
Dan benar saja, ketika badannya sudah berbalik, ia melihat gadis pelangi itu berjalan cepat
menghampirinya yang memasang tampang datar.

“Kamu terlambat tujuh belas menit sembilan belas detik,” kata Kun dengan nada datarnya
yang dibalas cengiran si Rambut Pelangi.

“Maaf Kak, gue tadi ada urusan bentar. Maklum, orang sibuk,” katanya disertai canda, Kun
hanya berdeham, tampak tak peduli.

“Saya nggak peduli kamu lagi sibuk atau enggak, tapi kamu sudah buang-buang waktu saya.
Sekarang ganti laptop saya,” kata Kun.
Gadis itu tak mengatakan apa pun, namun ia memindah tas punggungnya ke depan dan
membuka resletingnya dengan cepat. Kun melirik penasaran, dan ketika resleting itu terbuka
sepenuhnya, dapat ia lihat sebuah laptop yang masih tampak baru namun tidak diberi wadah
dan juga beberapa kotak rokok di dalam sana. Kun mengernyit, ia mulai paham, urusan yang
gadis ini maksud, barangkali lantaran gadis itu baru menuntaskan aksi merokoknya. Dugaannya
semakin kuat, si Rambut Pelangi bukan gadis baik-baik.

“Ini Kak, persis sama punya lo kemarin. Biarpun wadahnya nggak ada, ini masih baru kok, gue
belinya kemarin, habis urusan gue selesai.” Gadis itu menjelaskan tanpa diminta. Tangannya
terulur, menyerahkan laptop tersebut ke hadapan Kun. Kun enggan menerima, ia takut laptop
di depannya itu, laptop curian. Penampilan sosok di depannya, tidak membuatnya yakin jika
orang ini merupakan orang baik-baik.

“Tenang Kak, ini gue beli pakai uang gue sendiri, kok, nggak usah takut begitu.” Si Rambut
Pelangi terkekeh menyaksikan ekspresi lucu lelaki di depannya tersebut. Meski masih ragu, Kun
menerima laptopnya.

“Thanks ya―“

“Nama gue Arin ...,” Gadis itu memotong cepat, “Iya sama-sama. Ya udah, Kak, gue pergi dulu,
ada urusan lain.” Tangannya melambai. Seperti kemarin, gadis itu meninggalkan Kun dalam
kondisi yang sama, mulut melongo dan tatapan yang terus tertuju pada punggung yang
menjauh.

“Dia orang buruk, tapi kenapa gue ngerasa dia orang baik-baik?” Satu pertanyaan muncul di
kepalanya, membuat pertanyaan lain ikut tercipta.

****

Hari masih begitu pagi, namun Kun sudah sampai di kampusnya, hari ini ia memiliki janji temu
dengan dosen pembimbingnya. Takut terlambat, ia memilih datang pagi-pagi sekali dan
menunggu di depan ruang sang dosen.
Ketika melangkah menuju ruang sang dosen, tanpa sengaja ia mendengar isak tangis dari lorong
menuju gudang. Ia berhenti sebentar, memindahkan tubuhnya ke sisi tembok, mengintip
seseorang yang tampak mendorong bahu temannya dan memojokkan sang teman yang
menangis ketakutan.

Salah satu dari orang itu ia tahu namanya, Arin, gadis yang sudah menjatuhkan laptopnya dan
membuat skripsinya melayang tempo lalu.

“Mana duitnya!” Arin menggertak. Gadis itu memukul pintu gudang dengan keras, sebagai
bahan gertakan yang membuat temannya mengkeret ketakutan dengan air mata yang terus
berlomba jatuh.

“Gu-gue nggak bawa,” jawabnya terbata.

“Halah, nggak usah bohong lo! Gue tanya, mana duitnya, kasih ke gue sekarang atau gue buat
wajah cantik lo ini udah nggak berbentuk?!” tegasnya, sambil mencengkeram bahu si Gadis
yang tak Kun ketahui namanya.

Kun bergidik ngeri, gadis bernama Arin itu benar-benar berandalan, untung saja ia tak lagi
berurusan dengan gadis itu. Sebenarnya ia bisa saja membantu gadis yang tengah dirundung
tersebut, namun saat ini dirinya terburu-buru. Ia tidak ada waktu untuk mengurusinya. Kun
tidak bisa mempertaruhkan skripsinya lagi. Memilih diam, ia pun berbalik dan melanjutkan
langkahnya dengan kepala yang mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan baru.

****

Sepertinya kesialan sangat bersahabat baik dengan Kun, laki-laki itu tak menyangka bahwa
motornya tiba-tiba mati dan kehabisan bensin, hal yang mengharuskannya menepikan motor ke
pinggir dan membuatnya terduduk lesu di trotoar. Ia tahu, tidak ada pom bensin terdekat dari
posisinya sekarang, begitu juga dengan toko yang menjual bensin eceran. Namun, Kun tadi
sudah menelepon temannya untuk membelikan dirinya bensin. Mungkin limabelas menit lagi
temannya datang.
Mata Kun menatap awas pada setiap benda beroda yang berlalu-lalang di depannya. Meski
agak padat, lalu lintas masih lancar. Orang-orang mematuhi peraturan lalu lintas dengan baik,
membuatnya tersenyum tanpa sadar. Kun menyukai kerapian, ia menyukai sesuatu yang
berjalan teratur.

Dahi laki-laki itu seketika berkerut, melihat sebuah motor matik dengan barang bawaan berupa
kardus yang diikat dengan karet di jok belakang tampak melaju kencang, sama sekali tak
mengindahkan lampu lalu lintas yang telah berubah merah. Kun mendengkus menyadari siapa
orang itu, si Rambut Pelangi, Arin.

Arin tampak tak menghiraukan keselamatannya dan keselamatan orang lain. Motornya dipacu
dengan cepat. Gadis itu benar-benar ugal-ugalan. Auranya selalu mengeluarkan aura negatif.
Melihatnya saja sudah membuat Kun kesal bukan main. Ia meringis melihat kepala motor Arin
nyaris berciuman dengan mobil sedan berwarna hitam yang melaju berlawanan arah. Bahkan,
umpatan dari pengendara mobil itu melengking, berdenging nyaring di indra pendengarnya.
Walau tahu kalau umpatan itu hanya tertuju pada Arin, tapi hatinya ikut berdenyut nyeri.

“Astaga, benar-benar orang buruk, gue enggak salah menilai orang,” komentar Kun dengan
senyum mirisnya.

Empat kali bertemu dengan Arin, selalu keburukan yang ia temukan. Pertama, gaya hidup gadis
itu tampak terlalu bebas, rambutnya diwarnai aneh, bertato. Kedua, gadis itu merokok. Ketiga,
gadis itu tukang buli. Keempat, Arin mengendarai motornya ugal-ugalan, tidak memedulikan
keselamatan orang lain. Mengetahui perkiraannya selama ini merupakan sebuah kebenaran,
entah mengapa tak membuat Kun lega. Ia hanya merasa ada sesuatu yang mengganjal di
hatinya.

Menghela napas, Kun bangkit dari duduknya, ketika melihat temannya datang seraya
membawa jerigen yang tentunya berisi bensin.

“Nggak sampai lima belas menit kan?” sapa temannya disertai kekehan, mau tidak mau Kun
ikut terkekeh.
“Lo kan emang sahabat terbaik gue.” Lalu keduanya tertawa bersamaan.

****

Kun sampai di rumahnya ketika langit mulai menggelap. Ia meletakkan helmnya di rak dan
mendapati sang ibu yang tampak rapi seolah akan pergi.

“Ibu mau ke mana jam segini?” tanyanya penasaran.

“Ke rumah sakit. Anaknya Budhe Wati masuk rumah sakit lagi. Kankernya makin parah,” jawab
ibunya.

“Ibu berangkat sendiri?” tanya Kun.

“Ya enggaklah, ini Ibu kan nunggu kamu. Minta antar. Bapakmu punggungnya lagi sakit. Ayo
berangkat, takut jam jenguknya habis.” Kun mengangguk. Kembali meraih helmnya.

“Budhe Wati kan belum daftar BPJS, bayarnya gimana tuh Bun? Biaya kemotrapi dan segala
tetek bengeknya 'kan mahal,” tanya Kun seraya melangkahkan kakinya keluar rumah. Ibu
mengekori, sebelumnya mengambil helm yang ada di sebelah helm sang putra.

“Untungnya ada yayasan khusus untuk anak penderita kanker yang mau menolong. Kemarin
ada pemilik yayasannya yang datang ke rumah Budhe Wati, bawa uang banyak buat berobat
Yuna. Duh, mana orangnya cantik, coba aja dia mau sama kamu, bangga Ibu punya mantu kayak
dia.” Ibunya bercerita tanpa melunturkan senyumnya. Kun mendengkus lirih, tak suka
mendengar ucapan sang Ibu.

“Bu, nggak usah ngomong macam-macam, mending cepetan berangkat,” sela Kun. Laki-laki itu
sudah mengeluarkan motornya dari garasi, bahkan sudah menghidupkannya.

Ibunya merengut, namun tak urung memakai helmnya dan menaiki motor Kun. “Kamu ini,
dibilangi orang tua selalu saja begitu.”

“Habisnya Ibu sih,” balas laki-laki itu tak acuh.

Kun memilih menjalankan motornya, menuju jalanan.


“Ke rumah sakit mana, Bu?” tanya Kun.

“Udah, nanti Ibu tunjukkin kalau udah di jalan raya,” jawab Ibunya. Kun mengangguk dan
menambah kecepatan motornya.

****

Motor Kun terus melaju, membelah jalanan yang cukup padat, hingga sampai di sebuah rumah
sakit yang ia dan sang Ibu tuju. Kun memarkirkan motornya. Lantas, dengan segera memasuki
rumah sakit. Ibunya yang sudah tahu di mana anak Budhe Wati di rawat, berjalan cepat menuju
ruangannya. Kun hanya mengekori.

Mereka tiba di ruang rawat anak Budhe Wati, di sana Kun dan ibunya disambut Wati yang
tampak menangis di pelukan sang suami. Sementara di sebelah mereka, berdiri sesosok gadis
yang tidak asing di ingatan Kun. Gadis itu Arin, orang yang baru mendapat predikat buruk
darinya siang tadi.

Kenapa gadis itu ada di sini? Batin Kun bertanya-tanya.

“Gimana Yuna, Ti?” Asri bertanya dengan nada khawatir. Wati dan suaminya menatap
kehadiran pasang anak dan ibu itu dengan senyum yang dipaksakan.

“Keadaannya buruk Sri, tadi siang Yuna masih minta dibawakan mainan, Nak Arin sudah datang
buru-buru membawakan Yuna mainan, dan tadi sudah sempet main sama Nak Arin, tapi sore
tadi tiba-tiba tubuhnya drop.” Wati menjawab terbata. Asri membungkam mulutnya, ikut sedih
dengan kondisi putri tetangganya tersebut.

Mendengar ucapan Budhe Wati, Kun tercengang. Jangan-jangan yang Ibunya maksud pemilik
yayasan itu, gadis di depannya ini? Tapi rasa-rasanya tidak mungkin. Dan jangan-jangan, ketika
ia melihat Arin menerjang lampu merah, karena gadis itu akan ke rumah sakit membawakan
Yuna mainan? Ya, barangkali benar begitu. Ah, Kun merasa bersalah telah berpikir yang tidak-
tidak tentang gadis ini.
Kun mengalihkan tatapannya pada gadis yang masih mewarnai rambutnya dengan warna
pelangi itu. Tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Untuk beberapa detik keduanya saling
bertatapan dan Arin melempar senyum pada Kun, yang entah mengapa membuat Kun gugup
bukan main.

Kontak mata keduanya terputus ketika Asri kembali berbicara. “Aku harap Yuna bisa sembuh,
Ti.” Harapan ibunya mungkin terdengar seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi semua
orang mengaminkannya.

“Bu Wati, Pak Yani, saya permisi dulu, mau ke ruangan sebelah, lihat anak-anak yang lain.”
Arin berpamitan, gadis itu tersenyum tipis. Wati dan Yani mengiyakan, Arin juga melempar
senyum pada ibu Kun yang juga dibalas senyum.

Lantas Arin pun pergi dari sana. Entah mengapa Kun ingin mengikuti gadis itu. “Bu, Kun mau ke
toilet dulu,” pamitnya. Sang ibu mengangguk sebelum duduk di sebelah Budhe Wati.

Setelah mendapat izin dari ibunya, Kun melangkahkan kakinya, pergi menuju arah Arin pergi
tadi. Ia melihat Arin di sana, di depan sebuah pintu, gadis itu tampak menghela napasnya
dengan berat, menyeka air mata yang keluar dari pelupuknya sebelum memasuki ruang itu. Kun
melangkahkan kakinya cepat, membuka pintu dan mengintip dari sana. Ia melihat Arin
menyapa riang empat anak berkepala plontos yang ada di ruangan tersebut. Pasien kanker. Kun
tahu itu.

“Gimana kabar kalian? Maaf ya, Kakak baru sempat datang,” katanya dengan lembut.

“Baik Kak. Kakak rambutnya jangan dihitamin ya, Dito suka warna-warninya.” Arin tampak
tersenyum, “Nggak bakal selama Dito maunya rambut Kakak warnanya begini.”

Kun terenyuh mendengar jawaban itu, lagi-lagi ia salah sangka. Arin mewarnai rambutnya
demikian dengan risiko dicap aneh oleh orang lain, nyatanya memiliki alasan yang begitu mulia.
Dan ia seenaknya menilai buruk. Ia tidak tahu bahwa Arin relawan untuk anak-anak penderita
kanker. Entah apa saja hal-hal mulia yang sudah gadis itu lakukan.
“Kak Arin, Kakak bawa spidol lagi? Ara mau gambar di tangan Kakak lagi. Gambar yang lusa Ara
buat nggak Kakak hilangin, kan ya?” tanya gadis kecil yang menyebut dirinya Ara itu.

Arin tersenyum, lantas menggeleng kecil dan memperlihatkan lengannya yang masih dipenuhi
gambar abstrak, “Ini gambarannya masih ada. Tapi sayangnya Kakak nggak bawa spidol, besok
ya Kakak bawa lagi.” Ara bersorak mendengar jawaban Arin.

Bukan tato. Harusnya Kun bisa membedakannya. Itu hanya gambaran spidol. Kun merasa
dirinya terlalu bodoh dan menutup mata. Ia hanya menilai orang lain dari sampulnya saja.

“Kakak, kapan Yogi sembuhnya? Yogi pengin balik ke rumah.” Anak lain menyahut. Dengan
telaten Arin menjawab.

Kun menarik pintu dan menutupnya kembali. Rasa bersalah menyerangnya telak. Mungkin
setiap tindakan yang gadis itu lakukan memiliki alasan tersendiri. Untuk rokok dan pembulian
kemarin, entahlah, ia tak yakin dengan itu. Kun menghela napas, dan memilih kembali ke
tempat ibunya.

****

Tiga hari semenjak kejadian di kampus, Kun masih kepikiran soal Arin, dan selama tiga hari ini ia
sama sekali belum bertemu gadis itu. Ia mendesah lesu seraya memandangi laptopnya yang
masih menyala. Keramaian kantin tak membuatnya terganggu untuk merevisi skripsinya.

“Gue masih kesel sama Arin, masa kemarin dia ngambil semua kotak rokok gue, sih Nan?”
curhat gadis yang duduk di belakangnya.

“Serius? Lah kurang ajar banget dia, 'kan lo sendiri yang beli rokoknya, ngapain main sita coba?”
Suara lain menyahut dengan nada kesal.

“Sok peduli dia, padahal kita temenan sama dia cuma karena dia kaya aja. Nah, makanya itu,
beli juga pakai duit sendiri. Masa dia bilang, kalau dia enggak mau gue sakit kanker paru-paru?
Ya 'kan kalau sakit gue juga yang ngerasain, ngapain dia yang repot.”

Kun mendengarkan dengan seksama.


“Si Arin bukan siapa-siapa lo, kenapa sok peduli gitu sih? Jujur aja gue juga nggak suka sama
Arin. Gue pernah pinjem duit ke dia, awalnya sih dia bilang santai aja bayarnya, tapi tempo lalu
dia tagih dong, sampai pojokin gue di pintu gudang. Gue sampai nangis gemeteran. Emang gila
itu anak.”

Mendengar ucapan gadis itu, tiba-tiba terngiang ucapan sang ibu. “Untungnya ada yayasan
khusus untuk anak penderita kanker yang mau menolong. Kemarin ada pemilik yayasannya
yang datang ke rumah Budhe Wati, bawa uang banyak buat berobat Yuna. Duh, mana
orangnya cantik, coba aja dia mau sama kamu, bangga Ibu punya mantu kayak dia.”

Kun menghela napasnya frutrasi, fakta apa lagi ini? Sebenarnya Arin itu malaikat apa iblis, sih?
Uang yang kemarin gadis itu tagih pasti untuk membayar biaya rumah sakit Yuna. Gadis itu
berbuat baik dengan peduli pada orang lain, tapi apa yang diterima? Malah gunjingan tak
bermutu. Rasa bersalah Kun kian menjadi. Seperti ia harus meminta maaf, walau Arin tidak tahu
bahwa ia pernah mengecap buruk gadis itu. Hanya dengan meminta maaf perasaan bersalah di
hatinya menghilang.

Nanti, ketika urusannya sudah selesai, ia akan mendatangi yayasan Arin dan meminta maaf
secara langsung, atau ia juga akan mendaftarkan diri sebagai relawan yang akan ikut menghibur
anak-anak penderita kanker di sana. Sepertinya, itu kegiatan yang menyenangkan.

****

Siang menjelang sore, Kun benar-benar merealisasikan niatannya. Ia mengunjungi alamat


yayasan milik Arin yang ia kantongi dari Budhe Wati. Kini, mahasiswa di semester akhir itu
melangkahkan kakinya di koridor, berniat menemui Arin yang katanya berada di ruang musik
untuk menghibur anak-anak.

Ketika sampai di ruangan yang dimaksud. Kun mendapati Arin tengah menyanyi di depan anak-
anak. Laki-laki itu mengetuk pintunya, membuat atensi seketika tertuju padanya, bahkan Arin
menghentikan nyanyiannya. Gadis itu tampak membulatkan mata mendapati kakak tingkatnya
berada di sana.
“Lho, Kakak yang waktu itu, kok di sini Kak?” tanya Arin. Ia meletakkan miknya di atas meja dan
berjalan mendekati pintu. Kun menggaruk tengkuknya, ternyata gadis ini tak mengenalnya,
padahal ia cukup populer di kampus.

“Ah iya, ada sesuatu yang mau saya bicarain,” katanya.

“Bicara apa, Kak?” tanya gadis itu dengan senyum manisnya.

“Ehm, di luar?” Gadis itu masih mempertahankan senyumnya, “Boleh. Sebentar, gue pamit ke
anak-anak dulu ya, Kak. Guys, Kakak keluar bentar ya, nanti kita lanjut nyanyi lagi.” Jawaban
'ya' yang diucapkan serempak memenuhi indra pendengaran Kun.

Lalu, Kun dan Arin keluar ruangan.

“Nama gue Kun, Karunasankara,” kata Kun mengawali ucapannya.

“Lo mau ngomong apa, Kak? Laptopnya enggak ada masalah, 'kan?” tanya gadis itu. Ia hanya
mengangguk mendengar Kun memperkenalkan namanya.

“Laptopnya baik-baik aja, kok. Saya cuma mau minta maaf ...”

“Minta maaf apa? Perasaan lo enggak berbuat salah sama gue.” Gadis itu memotong cepat.

“Ehm, saya udah buruk sangka sama kamu.” Mendengar jawaban Kun, tawa Arin seketika
merebak.

“Astaga, santai aja kali, Kak. Gue juga enggak tahu, lo enggak perlu minta maaf.” Arin
membalas di sela tawanya.

“Saya merasa bersalah aja, setelah saya minta maaf, rasanya udah plong.” Kun mengedikkan
bahunya.

“Iya, iya, gue maafin kok. Santai aja. Ya udah, kalau enggak ada yang perlu dibicarain lagi, gue
mau balik ke dalam,” ucap Arin yang hendak berbalik. Namun Kun segera menahan tangannya.

“Bentar, masih ada yang mau saya bicarain.” Alis Arin bertaut, dahinya berkerut bingung.
“Saya mau jadi relawan di sini.” Mata gadis di depannya itu seketika berbinar.

“Serius, Kak? Enggak bohong, 'kan? Tapi enggak digaji, lho.” Arin tampak antusias.

“Serius, namanya juga relawan, masa digaji? Saya mau seperti kamu yang membantu anak-anak
kurang beruntung seperti mereka. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki orang tua, bukan?
Saya ingin menjadi orang yang berguna,” kata Kun. Arin tersenyum lebar.

“Kakak nggak keberatan kalau sekarang, Kakak nari dan nyanyi bareng gue buat menghibur
mereka?” tanya Arin dengan antusias.

“Tentu.” Arin tersenyum lebar dan menarik tangan Kun kembali ke dalam ruangan itu lagi. Kun
merasakan jantungnya yang berdetak kencang, ketika tangannya bersentuhan dengan tangan
gadis itu.

Arin menyalakan musiknya, gadis itu mengajak anak-anak menari bersama. Kun mengikuti
gerakan Arin, walau dia tampak kaku, ia menikmati alunan musik dari lagu anak-anak tersebut.

“Saya nggak tahu kalau selama ini kamu orang baik,” kata Kun. Arin menolehkan kepalanya dan
tertawa.

“Ya emang berbuat baik harus diumbar-umbar gitu?” Kun terdiam dan menatap gadis itu
dengan takjub.

“Sepertinya saya mulai menyukai kamu,” ucapnya dengan mendekatkan wajahnya ke telinga
Arin.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai