Anda di halaman 1dari 2

Ikhtiar Diri sebagai Cendekia Peradaban

Oleh : Ratu Aam Amaliyah

“Bu, menjadi orangtua itu sulit ya? Terlebih menjadi ibu dan seorang istri yang juga menjadi
teladan bagi seorang siswa di sekolah, merepotkan bukan?” – tanya seorang anak kepada
ibunya.

Pertanyaan di atas terlontar saat menyelami rutinitas seorang ibu di rumah yang sedikit
sedang mengadu karena lelah. Melihat, mengamati dan mendalami peran ibu yang juga tidak
meninggalkan beberapa peran lainnya membawa diriku pada sebuah kesimpulan bahwa
menjadi ibu itu tidak mudah. Menjadi seorang ibu, tidak menghilangkan peran lainnya atau
peran sebelumnya. Misal, peran sebagai seorang hamba Allah, istri, anak, menantu, saudara
ipar, dan makhluk sosial yang bermasyarakat. Luar biasa, sudah terbayang kan sekarang
bagaimana peranmu yang padat nantinya? Belum lagi bagi seorang ibu yang juga membagi
diri untuk orang lain, yang kumaksud disini memilih untuk terus berkarya.

Wanita itu sebagai tiangnya peradaban. Dalam rahimnya dan atas izin-Nya juga maka
lahirlah seorang cendekia peradaban baru yang disemogakan di kemudian hari menjadi
seorang pembaharu ‘nan unggul, namun tetap berakhlakul karimah. Melihat bagaimana Allah
memuliakan seorang wanita dengan cara ditinggikan derajatnya sebagai seorang ibu.

“Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus
berbakti pertama kali?’. Rasulullah memberikan jawaban dengan ucapan ‘Ibumu’ sampai
diulangi tiga kali, baru kemudian yang keempat Nabi mengatakan ‘Ayahmu’.” (H.R. Bukhari
dan Muslim)

Kemudian, ibu tersebut melemparinya dengan sebuah jawaban;


“Nggak kok teh, Insya Allah ada Allah yang akan mampukan.” – jawab ibu tersebut.

Apakah itu hanya sekadar sebuah jawaban yang dibalas untuk menenangkan anaknya atau
sebagai jawaban cepat tanpa makna saja? Sadar am, berdiam diri ‘nggak ngapa-ngapain’ dan
hanya sekedar meng-iyakan saja juga bukan jawaban yang tepat. Aku rasa itu sebuah
sindiran. Sindiran untuk mempelajari sebah ilmu persiapan diri. Sudah tahu kalau sulit, tapi
malah tak tahu diri dengan berdiam diri.
Sebentar, apakah tidak terlalu dini untuk mempelajari ilmu tersebut? Sinyal calon ayah saja
belum ada, kenapa harus belajar sekarang? Aduh gusti! Kamu ini siapa? Memang sudah tahu
kapan doi tiba mengetuk pintu rumah mengajak menikah? Hehehe, tertawa geli.

“Karena belum tahu, maka disuruh mencari tahu. Bukannya jadi sok tahu atas sesuatu,
sehingga menutup diri agar menjadi tahu.” – Disindir oleh kata sendiri.

Anda mungkin juga menyukai