Asuhan Keperawatan Rheumatoid Arthritis Tugas Kelompok Iii
Asuhan Keperawatan Rheumatoid Arthritis Tugas Kelompok Iii
Diajukan untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Keperawatan Bedah III diampu oleh
Disusun oleh:
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan
dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli
Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%.
Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%
(Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah dan
menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%,
Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%.
Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75%
dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta
wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-
laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah
seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa
provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu
32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
TINJAUAN TEORITIS
<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
2.5 Tatalaksana
2.5.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti,
namun berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk
mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian
Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314 wanita
penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah
rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot
sendi. Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain,
jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun
gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik
juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan
bekerja lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat
badan dengan diet makanan dan olahraga dapat mengurang
risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang
polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim.
Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang
mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan
pelumas pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian
diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat
memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar
sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang
disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan
bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA.
Sehingga salah satu upaya pencegahan RA yang bisa
dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif
maupun pasif. (Febriana, 2015).
2.5.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi,
rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada
pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan
inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat
inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin,
ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya.
Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan
tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari
proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD
yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas,
penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal
maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison
5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan
pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah
4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya.
Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang
diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang
bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip
replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014).
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai lini
ditingkatkan setiap pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,
17,5mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan
tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash