Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK

Diajukan untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Caring dan Spiritualitas Karya

Disusun oleh:

Yeni Juhaeni 30121120011K


Feti Syaptiah 30120120012K
Lukisa Wijayanti 30120120010K
Rinda Novita Widyanti 30120120015K
Irlan Agung Wiguna 30120120023K

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

2021
1. Definisi Peran

Secara etimologi peran berarti sesorang yang melakukan tindakan yang


dimana tindakan tersebut diharapkan oleh masyarakat lain. Artinya setiap
tindakan yang dimiliki setiap individu memiliki arti penting untuk sebagian
orang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 2) peran diartikan sebagai
bagian yang dimainkan dalam suatu kegiatan dalam adegan film, sandiwara
dengan berusaha bermain baik dan secara aktif dibebankan kepadanya. Selain
itu di KBBI juga menyebutkan peranan merupakan tingkah seorang pemain
yang memiliki sifat yang mampu menghasilkan dan menggerakan sesuatu hal
yang baik ke dalam sebuah peristiwa.
Peran merupakan perpaduan antara berbagai teori, orientasi maupun
disiplin ilmu yang digunakan dalam dunia sosiologi, peran merupakan istilah
yang biasanya digunakan dalam dunia teater yang mana seorang aktor harus
bermain sebagai tokoh tertentu dan membawakan sebuah perilaku tertentu,
dalam hal ini posisi seorang aktor tersebut disamakan dengan posisi seorang
masyarakat dan keduanya memiliki posisi yang sama (Sarlito, 2015: 215).
Sedangkan menurut (Merton(Raho, 2007: 67) peran didefinisikan sebagai
pola tingkah laku yang diharapkan oleh masyarakat dari seseorang yang
menduduki status tertentu, dalam hal ini juga berkaitan dengan hubungan
berdasarkan peran yang dimiliki seseorang yang menduduki status sosial
tertentu.
Jenis Peran
Mengacu pada penjelasan di atas, peran dapat dibagi menjadi tiga jenis.
Menurut Soekanto (2012: 214), adapun jenis-jenis peran adalah sebagai
berikut:
1) Peran Aktif
Peran aktif adalah peran seseorang seutuhnya selalu aktif dalam
tindakannya pada suatu organisasi. Hal tersebut dapat dilihat atau diukur dari
kehadirannya dan kontribusinya terhadap suatu organisasi.
2) Peran Partisipasif
Peran partisipasif adalah peran yang dilakukan seseorang berdasarkan
kebutuhan atau hanya pada saat tertentu saja.
3) Peran Pasif
Peran pasif adalah suatu peran yang tidak dilaksanakan oleh individu.
Artinya, peran pasif hanya dipakai sebagai simbol dalam kondisi tertentu di
dalam kehidupan masyarakat.

2. Definisi Spiritualitas
Menurut Florance Nightingale, spiritualitas adalah suatu dorongan yang
menyediakan energi yang dibutuhkan untuk mempromosikan lingkungan rumah
sakit yang sehat dan melayani kebutuhan spiritual sama pentingnya dengan
melayani kebutuhan fisik (Delgado, 2005; Kelly, 2004).
Spiritualitas merupakan faktor penting yang membantu individu mencapai
keseimbangan yang diperlukan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan,
serta beradaptasi dengan penyakit (Potter & Perry, 2010).
Spiritual menurut Hidayat (2006) adalah suatu yang dipercayai oleh seseorang
dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), yang
menimbulkan suatu kebutuhan atau kecintaan terhadap Tuhan, dan permohonan
maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Spiritual adalah keyakinan dalam
hubunganya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Sebagai contohnya
adalah seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha
Kuasa (Hamid, 2008).

3. Peran Manusia dengan Dirinya Sendiri


Manusia berusaha mengenal dirinya dan mengenal alam semesta. Ia ingin lebih
tahu siapa dirinya dan bagaimana alam semesta. Disinilah letak persoalan mendasar
hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Manusia yang tidak mengenal dirinya
dengan baik mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menerima dirinya apa
adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Pengenalan
dan penerimaan diri yang baik akan menentukan sikap dan tindakannya baik
terhadap sesama, Tuhan maupun lingkungannya. Segala sesuatu yang diciptakan
Tuhan di muka bumi ini mempunyai kaitan, hubungan dan saling ketergantungan.
Barang siapa mengenal dirinya, sungguh dia akan mengenal Tuhannya, sebab
dengan pengenalan itu, manusia mengetahui bahwa selain Tuhan, tidak ada makhluk
lain yang bisa menciptakan dirinya dan alam semesta ini menuju kesempurnaan.

4. Peran Manusia dengan Sesamanya


Manusia berperan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang dapat
dibedakan melalui hak dan kewajibannya. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena
manusia merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu
dengan masyarakatnya terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan.
Oleh karena itu, harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam
mencapai kebahagiaan bersama. Masyarakat merupakan wadah bagi para individu
untuk mengadakan interaksi sosial dan interelasi sosial. Interaksi merupakan
aktivitas timbal balik antarindividu dalam suatu pergaulan hidup bersama. Interaksi
yang dimaksud berproses sesuai dengan perkembangan jiwa dan fisik manusia
masing-masing serta sesuai dengan masanya. Dengan demikian, tidak setiap
kumpulan individu merupakan masyarakat. Dalam kehidupan sosial terjadi
bermacam-macam hubungan atau kerjasama, antara lain hubungan antarstatus,
persahabatan, kepentingan, dan hubungan kekeluargaan. Sebagai makhluk sosial,
manusia dikaruniai oleh Sang Pencipta antara lain sifat rukun dengan sesama
manusia.
Relasi manusia dengan sesamanya seringkali menjadi sangat fungsional dan
dilandasi oleh kepentingan yang sifatnya semu. Persahabatan pun dibangun atas
dasar kepentingan tersebut. Sfat egoisme manusia menjadikan manusia tidak
menghargai manusia dan kemanusiaan sebagai karya cipta Allah yang mulia. Anda
harus menyadari bahwa orang lain bukanlah ancaman terhadap pribadi Anda. Anda
harus mengakui sesama sebagai “Engkau” yang dipanggil bersama membangun
relasi personal. Aku menjadi aku karena engkau. Dan Engkau tampil bagi saya
sebagai suatu “rahmat” (Marthin Buber). Oleh karena itu, sikap dasar yang ideal
dalam kehidupan bersama adalah cinta yang hakikatnya merangkum segala-galanya
dan mendasari sikap solidaritas dan subsidiaritas antarsesama manusia. Anda
dipanggil membangun hubungan berdasarkan sikap saling menghormati dan dengan
disertai kerelaan melayani Tuhan dan sesama.

5. Peran Manusia dengan Lingkungannya


Sang Pencipta memberi kuasa kepada manusia untuk menaklukkan alam agar
manusia dapat hidup, dan kehidupan manusia tetap ada dan terus berlangsung.
Manusia tidak bisa hidup tanpa menggunakan segala sesuatu yang ada pada alam.
Ketergantungan manusia-alam atau alam-manusia, menjadikan manusia
menggunakan hasil alam untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Manusia-
alam atau lingkungan hidup-manusia, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.
Dalam perkembangannya, sebagai upaya menaklukan alam, manusia
mengeksploitasi serta mengeksplorasi alam untuk mencapai keingingan dan
tujuannya. Sifat dan sikap egois dan keserakahan, pada umumnya telah mendorong
manusia mengeksploitasi alam sehingga keharmonisan ekosistem menjadi
terganggu dan rusak. Manusia menjadi lupa bahwa ulahnya akan menghancurkan
lingkungan tempat ia berada. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memandang bahwa alam merupakan objek yang perlu dieksploitasi sehingga
sumber daya alam habis dikeruk untuk kepentingan segelintir manusia.
Keseimbangan alam dirusak, kekayaan alam dieksploitasi dengan tanpa batas dan
tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Keteraturan ekosistem menjadi rusak
akibat penetrasi manusia. Karena itu, alam bereaksi terhadap tindakan manusia,
hingga mengakibatkan kehancuran hidup dan kesengsaraan manusia.
Ketika manusia berdosa, keharmonisan hubungan tersebut menjadi rusak,
termasuk lingkungan hidup. Pemberdayaan alam, tidak terbatas pada pemenuhan
kebutuhan manusia, melainkan dibutuhkan kebijakan pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable develovment). Relasi manusia dengan alam tidak
sekedar hubungan fungsional. Relasi manusia dengan alam dapat menghantar
manusia dalam pengalaman religius yang membuat manusia semakin mensyukuri
keindahan alam dan keagungan Allah sang pencipta alam semesta.

6. Peran Makhluk Spiritual dengan Tuhan


Manusia seratus persen tergantung pada Allah namun sekaligus seratus persen
bebas danmandiri. Bagi orang beriman, penciptaan bukan hanya berarti kesadaran
akan kemakhlukannya, melainkan pengakuan akan tindakan kasih dan perhatian
Allah. Apa yang tertulis dalam kitab nabi Yeremia, dirasakan oleh semua
orang:”Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau” (Yer.1:5). Allah menciptakan manusia sebagai mitra dialog, dan menjadi
sahabat-Nya. Dari kebebasan-Nya yang tak terbatas, Tuhan mengadakan manusia
sebagai subjek yang bebas juga, yang otonom, berdikari.
Hubungan yang utuh dan benar dengan Allah: manusia dibahasakan sebagai
salah satu ciptaan dalam relasinya dengan Allah yang merupakan satu- satunya
Sang Pencipta. Inilah identitas dan eksistensi yang utuh dan benar pada waktu
penciptaan. Relasi yang utuh telah dipatahkan oleh manusia ketika manusia jatuh
dalam kesombongan sehingga manusia merasa tidak lagi membutuhkan Sang
Penciptanya. Manusia telah menjadi pencipta bagi dirinya sendiri, ia berkuasa atas
dirinya dan yang lain. Tindakan dan sikap sebagai penguasa atas yang lain inilah
mengakibatkan rusaknya identitas atau dapat dikatakan krisis identitas. Artinya
manusia tidak lagi menjadi manusia sebagai ciptaan yang diciptakan sesuai dengan
gambar dan rupa Allah, imago Dei.
Pada hakikatnya manusia memiliki hubungan yang perlu dijalankan, yaitu
hubungan sacara vertikal dan horizontal. Hubungan secara vertikal merupakan
hubungan manusia kepada Tuhan. Hubungan vertikal ini sangat pribadi, individual,
dan spiritual. Hanya manusia dan Tuhan yang tahu seberapa kedekatan itu. Dalam
membangun relasi personal dengan Tuhan, manusia sangat dipengaruhi oleh
kehidupan sosial manusia dengan relasi dengan dirinya, sesama yang seringkali
tidak genuine, tetapi dipenuhi kepalsuan dan kepuraan-puraan. Kehidupan
keberagamaan manusia zaman ini yang seringkali jatuh pada formalism:
menjalankan syariah atau ritual keagamaan tanpa menyadari membuat relasi
manusia dengan Tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhan telah kehilangan
rohnya. Manusia dalam berelasi dengan Tuhan terkadang kurang jujur, takut
membuka jati diri yang sebenarnya. Relasi inilah yang harus dipulihkan kembali
agar manusia dapat hidup dan berelasi dengan Tuhan seperti kata sang Pemazmur:
“Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang juga aku datang
menghadap Tuhan”. Relasi yang jujur, terbuka apa adanya dengan segala
kekurangan dan keterbatasan manusia datang kepada Tuhan untuk mencari dan
menemukan apa kehendak Tuhan dalam diri Anda.

7. Menurut Kozier dikutip dari buku Yusuf kebutuhan spiritual sebagai berikut
A. Peran Makhluk Spiritual dengan diri sendiri
Hubungan dengan diri sendiri antara lain meliputi keinginan untuk memiliki
arti, makna dan arahan hidup, mengekspresikan kreatifitas, memiliki harapan,
tantangan hidup yang lebih bermakna, memiliki martabat, penghargaan
personal, berterima kasih, memiliki visi hidup, menyiapkan dan menerima
kematian.
B. Peran Mahluk Spiritual dengan Orang lain
Hubungan spiritual dengan orang lain merupakan kebutuhan untuk memberi
maaf kepada orang lain, beradaptasi dalam menyelesaikan masalah terkait
adanya kehilangan seseorang atau objek lain, baik aktual maupun kehilangan
yang dipersepsikan.
C. Peran Mahluk Spiritual dengan Kelompok
Kebutuhan spiritual terkait dengan kelompok antara lain kebutuhan untuk
berkontribusi dalam kelompok, menjunjung tinggi norma dan nilai kelompok,
mengetahui apa dan kapan harus memberi atau menerima dalam kelompok.
D. Peran Mahluk Spiritual denagn Tuhan
Kebutuhan spiritual terkait hubungan dengan Tuhan atau kekuatan
supranatural lainnya adalah kebutuhan untuk mendapatkan kepastian adanya
kekuatan Tuhan atau kekuatan utama dalam alam, percaya bahwa

Anda mungkin juga menyukai