Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN APPENDIKS

OLEH:
ALYA SHAFIRA
219012742

PROGRAM STUDI NERS REGULER


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN FRAKTUR

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


I. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka
organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur
dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2015).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2013:43).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi
menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2013:625).
II. Etiologi
Menurut Carpenito (2013) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Menurut (Doenges, 2010) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur, seperti :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali atau progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran
(Sachdeva, 2000 dalam Kristiyanasari,2012).
III. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang
tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
4. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound),  bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur
terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
a. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
b. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
c. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif.
IV. Patofisiologi
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan,
fraktur terjadi dapat berupa fraktur tertutup atau terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak sedangkan fraktur terbuka disertai dengan kerusakan jaringan lunak
seperti otot, tendon, ligamen dan pembuluh darah.
Tekanan yang kuat dapat terjadi multiple fraktur terbuka karena fragmen tulang keluar
menembus kulit dan menjadi luka terbuka serta peradangan yang dapat memungkinkan infeksi,
keluarnya darah dapat mempercepat perkembangan bakteri. Tertariknya segmen karena kejang
otot pada area fraktur sehingga disposisi tulang. Multiple fraktur terjadi jika tulang dikarnakan
oleh stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya.
Multiple fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah jaringan
disekitarnya akan terpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan keotot dan
sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah.
Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau
akibat fragmen tulang.. Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi multiple fraktur, pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya.

V. Pathway `

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Kecelakaan, Tekanan Tumor tulang,


benturan rakhitis, osteoporosis

FRAKTUR

Fraktur tertutup Fraktur terbuka

Invasi bakteri

Pre op Kurang Post op


informasi
Resiko Infeksi
Cemas Efek
Patah tulang merusak jaringan Trauma
jaringan prosedur
Ansietas operasi
post op
Terputusnya kontinuitas
jaringan
Gangguan Nyeri
Integritas Akut
Menekan saraf perasa nyeri
Kekuatan Kulit
Stimulus neurotransmitter nyeri pergerakan otot
sendi menurun
Perubahan
Pelepasan mediator
permeabilitas Gangguan
prostaglandin
kapiler Mobilitas Fisik
Respon nyeri
Kehilangan cairan
hebat dan akut
ekstra sel ke jaringan
yang rusak
Nyeri Akut

Hipovolemia
Manifestasi Klinis

Manifestasi Fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran pragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
estremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas ada dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu
sama lainnya sampai 2,5 – 5 cm (1-2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.

VI. Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Doengoes, 2000) pemeriksaan diagnostic fraktur diantaranya:
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi atau luasnya fraktur
2. Scan tulang, tonogramm, scan-CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau meurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur/organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan
jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple, atau
cedera hati.
VII. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi serta
kekuatan normal dengan rehabilitasi (brunner& suddarth 2002). Reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk
mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, teraksi, dan reduksi terbuka. Metode
yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Mempertahankan dan megembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan dengan reduksi
dan mobilisasi. Pantau status neurovaskuler, latihan isometric, dan memotivasi klien untuk
berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian dan harga diri (brunner& studdarth 2005).
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan 4 R yaitu:
1. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan kemudian
dirumah sakit
2. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
3. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk
mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur dan dibawah fraktur
4. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur (price 2006).

Penatalaksanaan perawat adalah sebagai berikut:


1. Terlebih dahulu memperhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan kesadaran, baru
periksa patah tulang.
2. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah komplikasi
3. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini, dan pemantauan
neurocirculatory pada daerah yang cidera adalah:
a. meraba lokasi apakah masih hangat
b. observasi colour
c. menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali kapiler
d. tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi pada lokasi cedera
e. meraba lokasi cidera apakah pasien bisa membedakan rasa sensasi nyeri
f. observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
4. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
5. Mempertahankan kekuatan kulit
6. Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan intake protein 150-
300gr/hari
7. Memperhatikan imobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan tujuan untuk
mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


I. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa
akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri, Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk, Region : radiation, relief: apakah
rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya, Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi
dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang .
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.

e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain.
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh
klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
8. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut.
Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

II. Diagnose Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencendera fisik: spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema, cedera jaringan lunak
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis: penekanan pada
tonjolan tulang, gesekan
4. Ansietas berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi
5. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang).
6. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
III. Intervensi Keperawatan
Diangnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan

1. Nyeri akut SLKI : Tingkat Nyeri SIKI : Manajemen Nyeri 1. Untuk mengetahui lokasi,
berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, karakteristik, durasi, frekuensi,
dengan agen selama …x24 jam diharapkan nyeri pasien durasi, frekuensi, kualitas, kualitas dan faktor pencetus nyeri
pencendera dapat teratasi dengan kriteria hasil : intensitas nyeri 2. Untuk mengetahui respon
fisik: spasme 1. Keluhan nyeri berkurang 2. Identifikasi respon nyeri non nonverbal dari nyeri
otot, gerakan 2. Klien tidak menunjukkan respon verbal 3. Agar pasien mampu mengurangi
fragmen meringis. 3. Berikan teknik non farmakologis nyeri tnapa obat
tulang, edema, 3. Penurunan tingkat nyeri untuk mengurangi rasa nyeri 4. Untuk minimalisir nyeri agar
cedera 4. Fasilitasi istirahat dan tidur berkurang
jaringan lunak 5. Ajarkan teknik non farmakologis 5. Agar pasien mampu mengurangi
. untuk mengurangi rasa nyeri nyeri tnapa obat secara mandiri
6. Kolaborasikan dengan dokter 6. Untuk mengurangi nyeri pasien
pemberian analgetik
2. Gangguan mobilitas SLKI : Mobilitas Fisik SIKI : Dukungan Mobilisasi 1. Untuk menentukan intervensi
fisik berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi adanya nyeri atau 2. Untuk mengetahui ada atau
dengan kerusakan selama …x24 jam diharapkan pasien akan keluhan fisik lainnya. tidaknya gangguan yang abnormal
integritas struktur menunjukan tingkat mobilitas optimal dengan 2. Monitor kondisi umum selama 3. Membantu pasien dalam
tulang kriteria hasil : melakukan mobilisasi. pergerakan
3. Fasilitasi aktivitas mobilisasi 4. Membantu pasien dalam
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik dengan alat bantu. meningkatkan pergerakan
2. Mengerti tujuan dari peningkatan 4. Libatkan keluarga dalam 5. Membantu proses pemulihan
mobilitas membantu pasien meningkatkan 6. Mencegah terjadinya kaku pada
3. Memverbalisasikan perasaan dalam pergerakkan. otot
meningkatkan kekuatan dan 5. Jelaskan tujuan dan prosedur
kemampuan berpindah mobilisasi.
6. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (duduk
ditempat tidur, disisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi).
3. Gangguan integritas SLKI : Integritas Kulit dan Jaringan SIKI : Perawatan Luka 1. Mempermudahkan perawat
kulit berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor karakteistik luka menentukan intervensi
dengan factor selama …x24 jam diharapkan tidak terjadi 2. Pertahankan teknik steril 2. Mencegah terjadinya resiko infeksi
mekanis: penekanan kerusakan integritas kulit dengan kriteria hasil 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap 3. Untuk mencegah masuk kuman
pada tonjolan tulang, : bersih dan kering
4. Untuk mencegah terjadinya
gesekan 1. Integritas kulit yang baik bisa 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
dekubitus
dipertahankan pasien) setiap dua jam sekali
5. Mempercepat proses penyembuhan
2. Melaporkan adanya gangguan sensasi 5. Berikan posisi yang mengurangi
luka
atau nyeri pada daerah kulit yang tekanan pada luka
6. Mempercepat penyembuhan dan
mengalami gangguan 6. Kolaborasi dengan pemberian
mencegah infeksi
3. Menunjukkan pemahaman dalam antibiotic.
proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya sedera berulang
4. Mampumelindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit
dan perawatan alami
4. Ansietas SLKI : Tingkat Ansietas SIKI : Reduksi Ansietas 1. Mengobservasi tanda verbal dan
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi tanda verbal dan non non verbal dari kecemasan klien
kurang terpaparnya selama …x24 jam diharapkan cemas pasien verbal dari kecemasan klien dapat mengetahui tingkat
informasi dapat berkurang optimal dengan kriteria 2. Mendengarkan penyebab kecemasan yang klien alami.
hasil : kecemasan klien dengan penuh 2. Klien dapat mengungkapkan
1. Klien mampu mengidentifikasi dan perhatian penyebab kecemasannya sehingga
mengungkapkan gejala cemas 3. Menganjurkan keluarga untuk perawat dapat menentukan tingkat
2. Mengidentifikasi,mengungkapkan tetap mendampingi klien kecemasan klien dan menentukan
danmenunjukkan tehnik 4. Mengurangi atau menghilangkan intervensi untuk klien selanjutnya.
untukmengontrol cemas rangsangan yang menyebabkan 3. Dukungan keluarga dapat
3. Vital sign dalam batas normal kecemasan pada klien memperkuat mekanisme koping
klien sehingga tingkat ansietasnya
berkurang
4. Pengurangan atau penghilangan
rangsang penyebab kecemasan
dapat meningkatkan ketenangan
pada klien dan mengurangi tingkat
kecemasannya
5. Risiko infeksi SLKI : Tingkat Infeksi SIKI : Pencegahan Infeksi 1. mengidentifikasi tanda-tanda
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi tanda-tanda vital peradangan terutama bila suhu
ketidakadekuatan selama …x24 jam diharapkan infeksi tidak 2. Lakukan perawatan terhadap tubuh meningkat
pertahanan primer terjadi/ terkontroloptimal dengan kriteria hasil prosedur inpasif. 2. untuk mengurangi resiko infeksi
(kerusakan kulit, : 3. Jelaskan tanda dan gejala nosokomial
taruma jaringan 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi. 3. menentukan intervensi yang tepat
lunak, prosedur infeksi 4. Jika di temukan tanda infeksi 4. penurunan Hb dan peningkatan
invasif/traksi 2. Mendeskripsikan proses penularan kolaborasi untuk pemeriksaan jumlah leukosit dari normal bias
tulang). penyakit, faktor yang mempengaruhi darah, seperti Hb dan leukosit. terjadi akibat terjadinya proses
penularan serta penatalaksanaanya 5. Kolaborasi untuk pemberian infeksi
3. Menunjukkan kemampuan untuk antibiotic. 5. antibiotic mencegah perkembangan
mencegah timbulnya infeksi mikroorganisme pathogen
4. Jumlah leukosit dalam batas normal
5. Menunjukkan perilaku hidup sehat
6 Hipovolemia Status cairan Siki: manajemen hypovolemia 1. Untuk mengetahui kebutuhan
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Observasi tanda dan gejala cairan tubuh pasien
kehilangan cairan 2 x 24 jam, diharapkan status nutrisi meliputi hypovolemia (frekuensi nadi 2. Untuk meningkatkan kebutuhan
aktif intake cairan membaik dengan kriteria hasil meningkat, nadi teraba lemah, cairan pasien
sebagai berikut : tekanan darah menurun, volume 3. Untuk menstabilkan cairan tubuh
1. Kekuatan nadi dalam batas normal (60- urine menurun, haus, lemah) pasien
100 x/menit) 2. Monitor intake dan autput cairan 4. Untuk mencegah syok
2. Turgor kulit elastic 3. Berikan cairan asupan oral 5. Untuk membantu mempercepat
3. Tekanan darah dalam batas normal 4. Anjurkan memperbanyak asupan penyembuhan pasien
(120/80 mmHg) cairan oral
5. Kolaborasi pemberian cairan iv
isotonis (Nacl , RL)
IV. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan,  dimana
perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan.
V. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat
untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi
klien.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2015. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC.

Carpenito, L. J. (2013). Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktek Klinik (Terjemahan).


Edisi 6. Jakarta: EGC

Doengoes, M.E., 2010. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta

PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnosa
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai