Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan oleh suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-
rata penduduk, serta yang penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar
pelayanan profesi yang telah ditetapkan.
Pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat memberikan tindakan
yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar dapat meminimalkan angka
kematian dan mencegah terjadinya kecacatan yang tidak perlu.
Upaya peningkatan gawat darurat ditujukan untuk menunjang pelayanan dasar, sehingga
dapat menanggulangi pasien gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam
keadaaan bencana. Dengan semakin meningkatnya jumlah penderita gawat darurat, maka
diperlukan peningkatan pelayanan gawat darurat baik yang diselenggarakan ditempat
kejadian, pelayanan pra rumah sakit,selama perjalanan ke rumah sakit, maupaun di rumah
sakit.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka di Unit Gawat Darurat perlu dibuat standar
pelayanan yang merupakan pedoman bagi semua pihak dalam tata cara pelaksanaan
pelayanan yang diberikan ke pasien pada umumnya dan pasien UGD klinik Jatisari
khususnya. Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka, dalam melakukan pelayanan gawat
darurat di UGD klinik Jatisari harus berdasarkan standar pelayanan Gawat Darurat klinik
pratama.
1. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelayanan Unit Gawat Darurat meliputi :
a. Pasien dengan kasus True Emergency
Yaitu pasien yang tiba – tiba berada dalam keadaan gawat darurat atau akan menjadi
gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya ( akan menjadi cacat) bila
tidak mendapat pertolongan secepatnya
b. Pasien dengan kasus False Emergency
yaitu pasien dengan :
 Keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat
 Keadaan gawat tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota badannya
 Keadaan tidak gawat dan tidak darurat
B, Batasan Operasional
1. Unit Gawat Darurat
Adalah unit pelayanan pra rumah sakit yang memberikan pelayanan pertama pada
pasien dengan ancaman kematian dan kecacatan.
2. Triage
Adalah pengelompokan korban yang berdasarkan atas berat ringannya trauma /
penyakit serta kecepatan penanganan / pemindahannya
3. Prioritas
Adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan
pemindahan yang mengacu tingkat ancaman jiwa yang timbul.
4. Survey Primer
Adalah deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang mengancam jiwa.
5. Survey Sekunder
Adalah melengkapi survei primer dengan mencari perubahan – perubahan
anatomi yang akan berkembang menjadi semakin parah dan memperberat perubahan
fungsi vital yang ada berakhir dengan mengancam jiwa bila tidak segera diatasi.
6. Pasien Gawat darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan
terancam nyawanya atau anggota badannya ( akan menjadi cacat ) bila tidak mendapat
pertolongan secepatnya.
7. Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat
misalnya kanker stadium lanjut.
8. Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba – tiba tetapi tidak mengancam nyawadan
anggota badannya, misalnya luka sayat dangkal.
9. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Misalnya pasien dengan ulcus tropium , TBC kulit , dan sebagainya
10. Kecelakaan ( Accident )
Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai faktor yang datangnya
mendadak, tidak dikehendaki sehingga menimbulkan cedera fisik, mental dan sosial.
11. Kecelakaan dan cedera dapat diklasifikasikan menurut :
1. Tempat kejadian :
- Kecelakaan lalu lintas
- Kecelakaan di lingkungan rumah tangga
- Kecelakaan di lingkungan pekerjaan
- Kecelakaan di sekolah
- Kecelakaan di tempat – tempat umum lainnya.
2. Mekanisme kejadian
Tertumbuk, jatuh, terpotong, tercekik oleh benda asing, tersengat, terbakar baik
karena efek kimia, fisik maupun listrik atau radiasi.
3. Waktu kejadian
a. Waktu perjalanan ( travelling / transport time )
b. Waktu bekerja, waktu sekolah, waktu bermain dan lain – lain
12. Cidera
Masalah kesehatan yang didapat / dialami sebagai akibat kecelakaan.
13. Bencana
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam dan atau manusia
yang mengakibatkan korban dan penderitaaan manusia, kerugian harta benda,
kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang
memerlukan pertolongan dan bantuan.
14. Kematian dapat terjadi bila seseorang mengalami kerusakan atau kegagalan dari salah
satu system / organ di bawah ini, yaitu :
1. Susunan saraf pusat
2. Pernafasan
3. Kardiovaskuler
4. Hati
5. Ginjal
6. Pancreas
15. Kegagalan ( kerusakan ) System / organ tersebut dapat disebabkan oleh :
1. Trauma / cedera
2. Infeksi
3. Keracunan ( poisoning )
4. Degerenerasi ( failure)
5. Asfiksi
6. Kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar ( excessive loss of water and
electrolit )
7. Dan lain- lain
Kegagalan sistim susunan saraf pusat, kardiovaskuler, pernafasan dan
hipoglikemia dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat,sedangkan
kegagalansistim/organ yang lain dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang
lama. Dengan demikian keberhasilan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat
(PPGD) dalam mencegah kematian dan cacat ditentukan oleh :
1. Kecepatan menemukan penderita gawat darurat
2. Kecepatan meminta pertolongan
3. Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan
4. Ditempat kejadian
5. Dalam perjalanan ke rumah sakit
6. Pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah sakit
C. Landasan Hukum
1. Undang – undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 436 / Menkes / SK / VI / 1993 tentang
berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit
3. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 0701 / YANMED / RSKS / GDE / VII /
1991 Tentang Pedoman Pelayanan Gawat Darurat
4. Undang – undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
5. .Undang – undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi SDM
Pola ketenagaan dan kualifikasi SDM UGD adalah
No Nama Jabatan Kualifikasi Formal Keterangan
1 Penanggung Jawab UKP Dokter Umum Bersertifikat
BLS/ACLS/PPGD
2 Koordinator UGD Dokter Umum Bersertifikat
BLS/BTCLS/PPGD
3 Perawat Pelaksana UGD D3 Keperawatan Bersertifikat
BLS/BTCLS/PPGD
4 Dokter UGD Dokter Umum Bersertifikat
BLS/ACLS/PPGD

B. Distribusi Ketenagaan
Pola pengaturan ketenagaan Unit Gawat Darurat yaitu :
1. Untuk Dinas Pagi :
yang bertugas sejumlah 2 ( dua) orang dengan standar minimal bersertifikat BLS
Kategori :
- 1 orang Koordinator
- 1 orang Pelaksana
b. Untuk Dinas Sore :
yang bertugas sejumlah 1 ( satu ) orang dengan standar minimal bersertifikat BLS
Kategori :
 1 orang Penanggung Jawab Shift
 1 orang Pelaksana
c. Untuk Dinas Sore :
yang bertugas sejumlah 1(saturang dengan standar minimal bersertifikat BLS
Kategori :
- 1 orang Penanggung Jawab Shift
 1 orang Pelaksana
C. Pengaturan Jaga
I. Pengaturan Jaga Perawat UGD
 Pengaturan jadwal dinas perawat UGD dibuat dan di pertanggung jawabkan oleh
 Kepala Perawatan dan disetujui oleh Kepala klinik jatisari
 Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan dan direalisasikan ke perawat
 pelaksana UGD setiap satu bulan..
 Untuk tenaga perawat yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu, maka
perawat tersebut dapat mengajukan permintaan dinas pada buku permintaan.
Permintaan akan disesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang ada (apa bila tenaga cukup
dan berimbang serta tidak mengganggu pelayanan, maka permintaan disetujui).
 Setiap tugas jaga / shift harus ada perawat penanggung jawab shift ( KJ Shift) dengan
syarat pendidikan minimal D III Keperawatan dan masa kerja minimal 2 tahun, serta
memiliki sertifikat tentang kegawat daruratan.
 Jadwal dinas terbagi atas dinas pagi, dinas sore, dinas malam, lepas malam, libur dan
cuti.
 Apabila ada tenaga perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak dapat jaga sesuai
jadwal yang telah ditetapkan ( terencana ), maka perawat yang bersangkutan
harus memberitahu Kepala Perawatan: 2 jam sebelum dinas pagi, 4 jam sebelum dinas
sore atau dinas malam. Sebelum memberitahu Kepala Perawatan, diharapkan perawat
yang bersangkutan sudah mencari perawat pengganti, Apabila perawat yang
bersangkutan tidak mendapatkan perawat pengganti, maka Kepala Perawatan akan
mencari tenaga perawat pengganti yaitu perawat yang hari itu libur.
 Apabila ada tenaga perawat tiba – tiba tidak dapat jaga sesuai jadwal yang telah
ditetapkan ( tidak terencana ), maka Kepala Perawatan akan mencari perawat pengganti
yang hari itu libur. Apabila perawat pengganti tidak di dapatkan, maka perawat yang
dinas pada shift sebelumnya wajib untuk menggantikan. II. Pengaturan Jaga Dokter
UGD
 Pengaturan jadwal dokter jaga UGD menjadi tanggung jawab UKP dan disetujui
Kepala Puskesmas.
 Jadwal dokter jaga UGD dibuat untuk jangka waktu 1 bulan serta sudah diedarkan ke
unit terkait dan dokter jaga yang bersangkutan 1 minggu sebelum jaga di mulai.
 Apabila dokter jaga UGD karena sesuatu hal sehingga tidak dapat jaga sesuai dengan
jadwal yang telah di tetapkan maka :
- Untuk yang terencana, dokter yang bersangkutan harus menginformasikan ke PJ
UKP paling lambat 3 hari sebelum tanggal jaga, dan PJ UKP tersebut wajib
menunjuk dokter jaga pengganti.

BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruangan

B. Standar Fasilitas
I. Fasilitas & Sarana UGD klinik Jatisari berlokasi terdiri dari ruangan Triase, ruang non
bedah, ruang trauma,ruang emergensi PONED.
II. Peralatan
Peralatan yang tersedia di UGD mengacu kepada buku pedoman pelayanan Gawat
Darurat Departermen Kesehatan RI untuk penunjang kegiatan pelayanan terhadap pasien
Gawat darurat. Alat yang harus tersedia adalah bersifat life saving.
a. Alat – alat untuk ruang UGD
1. Mesin suction ( 1 set )
2. Oxigen lengkap dengan flowmeter ( 1 set )
3. Spuit semua ukuran ( masing – masing 10 buah )
4. Oropharingeal air way ( sesuai kebutuhan ) - Nomer 18 ( 2 buah )
5. Spekulum hidung ( 2 buah )
6. Spuit sesuai kebutuhan
-5 cc ( 5 buah )
- 2.5 cc ( 5 buah )
7. Dower Catheter segala ukuran
- Nomer 16 ( 2 buah )
- Nomer 18 ( 2 buah )
8. Emergency lamp ( 1 buah )
9. Elastis verban sesuai kebutuhan
- 6 inchi ( 1 buah )
10. Neck collar ukuran S/M ( 2 buah )
2. Alat – alat dan obat
untuk ruang PONED
1. Urine bag ( 1buah )
2. Kateter no 16 ( 1buah)
3. Funandoskope ( 1 buah )
4. Spekulum( 1buah)
5. midline( 1 buah )
6. Laringoskope( 1 buah )
7. Infus set ( 1 buah )
8. IV catheter ( 1 set )
9. Spuit sesuai kebutuhan :
- 1 cc ( 5 buah )
- 2.5 cc ( 5 buah )
- 5 cc ( 5 buah )
- 10 cc ( 5 buah )
10. Tensimeter ( 1 buah )
11. Stetoskop ( 1 buah )
12. Thermometer ( 1 buah )
13. Tiang infus ( 1 buah )
14. Deksamethasone Inj ( 2buah)
15. Epineprin Inj. (1buah)
16. Lidocani Inj.( 3buah)
17. Diphenhidramin Inj.( 4buah)
18. MgSO4 Inj. ( 2buah)
19. Atropin Sulphas Inj.( 1buah)
20. HPP set( 1buah)
21. Neonatal set( 1buah)
22. PEB KIT( 1buah)
3. Alat – alat dan obat dalam emergency bok.
1. Infuset ( 1 buah )
2. IV line ( 1 buah )
3. Cairan RL ( 1 buah )
4. Aminophiline inj. ( 4 buah )
5. Deksamethasone inj. (41 buah )
6. Diphenhidramine inj. ( 4 buah )
7. Adrenalin inj. ( 2 buah )
8. Sulphas Atrophin inj. ( 1 buah )
9. Diazepem inj. ( 2 buah )
10. D40% (41 buah )

BABIV
TATA LAKSANA PELAYANAN
A. TATA LAKSANA PENDAFTARAN PASIEN
1. Petugas Penanggung Jawab
Perawat UGD
2. Perangkat Kerja
Status Medis
3. Tata Laksana PendaftaranPasien UGD
Pendaftaran pasien yang datang ke UGD dilakukan oleh pasien /keluarga ( SOP –
Pendaftaran pasien baru di UGD)
4. Bila keluarga tidak adapetugas UGD bekerja sama dengan securiti untuk mencari
identitas pasien.
5. Bila pasien dalam keadaan gawat darurat, maka akan langsung diberikan pertolongan
di UGD, sementara keluarga / penanggung jawab melakukan pendaftaran
B. TATA LAKSANA SISTIM KOMUNIKASI UGD
1. Petugas Penanggung Jawab
Perawat jaga UGD
2. Perangkat Kerja
- Pesawat telpon
- Hand phone
3. Tata Laksana Sistim Komunikasi UGD
a. Antara UGD dengan unit lain dalam Puskesmas Cukir adalah dengan nomor extension
masing-masing unit.
b. Antara UGD dengan dokter jaga yang terkait dengan pelayanan adalah
menggunakan pesawat telephone langsung dari UGD.
c. Antara UGD dengan petugas ambulan yang berada di lapangan menggunakan pesawat
telephone.
C. TATA LAKSANA PELAYANAN TRIASE
I. Petugas Penanggung Jawab
- Dokter jaga UGD
II. Perangkat Kerja
- Stetoscope
- Tensimeter
- Status medis
III. Tata Laksana Pelayanan Triase UGD
1. Pasien / keluarga pasien datang dan diterima perawat jaga UGD
2. Dokter jaga UGD/Perawat jaga melakukan pemeriksaan pada pasien secara lengkap
dan menentukan prioritas penanganan.
3. Prioritas pertama ( I, tertinggi, emergency ) yaitu mengancam jiwa / mengancam
fungsi vital, pasien ditempatkan di bed dengan lajur merah.
4. Prioritas kedua ( II, medium, urgent ) yaitu potensial mengancam jiwa / fungsi vital,
bila tidak segera ditangani dalam waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat
terakhir. Pasien ditempatkan di bed dengan lajur kuning.
5. Prioritas ketiga ( III, rendah, non emergency ) yaitu memerlukan pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Pasien
ditempatkan di bed lajur hijau.
D. TATA LAKSANA PENGISIAN INFORMED CONSENT
I. Petugas Penangung Jawab
- Perawat jaga UGD
II. Perangkat Kerja
- Formulir Persetujuan Tindakan
III. Tata Laksana Informed Consent
1. Dokter /Perawat UGD yang sedang bertugas menjelaskan tujuan dari pengisian
informed consent pada pasien / keluarga pasien .
2. pasien menyetujui, informed consent diisi dengan lengkap disaksikan oleh perawat.
3. Setelah diisi dimasukkan dalam status medik pasien.
E. TATA LAKSANA TRANSPORTASI PASIEN
I. Petugas Penanggung Jawab
- Perawat UGD
- Sopir Ambulan
II. Perangkat Kerja
- Ambulance
- Alat Tulis
III. Tata Laksana Transportasi Pasien UGD
1. Bagi pasien yang memerlukan penggunaan ambulan Puskesmas sebagai transportasi,
maka perawat unit terkait menghubungi bagian ambulance.
2. Perawat UGD menuliskan data-data / penggunaan ambulance ,nama pasien,tujuan
dan nama sopir.
3. Perawat UGD menghubungi bagian / supir ambulance untuk menyiapkan
kendaraan.
4. Perawat UGD menyiapkan alat medis sesuai dengan kondisi pasien
 Perawat jaga
 Dokter jaga UGD
IV. Perangkat Kerja
- Stetoscope
- Tensi meter
- Alat Tulis
V. Tata Laksana Pelayanan False Emergency
1. Pasien / keluarga pasien mendaftar
2. Dilakukan triase untuk penempatan pasien
3. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik oleh dokter jaga UGD
4. Dokter jaga menjelaskan kondisi pasien pada keluarga / penanggung jawab
5. Bila perlu dirawat / observasi pasien dianjurkan mengisi informed consent
6. Bila tidak perlu dirawat pasien diberikan resep dan bisa langsung pulang
7. Pasien dianjurkan untuk kontrol kembali sesuai dengan saran dokter
F. TATA LAKSANA PELAYANAN VISUM ET REPERTUM
I. Petugas Penanggung Jawab
- Petugas UGD
- Dokter jaga UGD
II. Perangkat Kerja
- Formulir Visum Et Repertum
III. Tata Laksana Pelayanan Visum Et Repertum
1. Petugas UGD menerima surat permintaan visum et repertum dari pihak kepolisian
( SOP Pelayanan Visum)
2. Surat permintaan visum et repertum diserahkan kebagian rekam medic
3. Petugas rekam medik menyerahkan status medis pasien kepada dokter jaga yang
menangani pasien terkait.
4. Setelah visum et repertum diselesaikan oleh rekam medik maka lembar yang asli
diberikan pada pihak kepolisian.

H. TATA LAKSANA PELAYANAN DEATH ON ARRIVAL ( DOA


I. Petugas Penanggung Jawab
- Dokter jaga UGD
II. Perangkat Kerja
- Senter
- Stetoscope
IV. Tata Laksana Death On Arrival UGD ( DOA )
1. Pasien dilakukan triase dan pemeriksaan oleh dokter jaga UGD
2. Bila dokter sudah menyatakan meninggal, maka dilakukan perawatan jenazah
3. Dokter jaga UGD membuat surat keterangan meninggal
4. Jenazah dipindahkan / diserah terimakan kepada keluarga
I. TATA LAKSANA SISTIM RUJUKAN
I. Petugas Penanggung Jawab
- Dokter IGD
- Perawat IGD
II. Perangkat Kerja
- Formulir persetujuan tindakan
- Formulir rujukan
III. Tata Laksana Sistim Rujukan UGD
1. Alih Rawat
a. Perawat UGD menghubungi rumah sakit yang akan tuju
b. Perawat jaga UGD memberikan informasi pada perawat /dokter jaga rumah sakit
rujukan mengenai keadaan umum pasein ( SOP - Rujukan UGD )
c. Bila tempat telah tersedia di rumah sakit rujukan, perawat UGD menghubungi
ambulan puskesmas jatisari.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pasien / keluarga pasien dijelaskan oleh dokter jaga mengenai tujuan
pemeriksaan diagnostik, bila setuju maka keluarga pasien harus mengisi informed
consent
b. Perawat UGD menghubungi Laboratorium yang di tuju.
3. Spesimen
a. Pasien / keluarga pasien dijelaskan mengenai tujuan pemeriksaan specimen
b. Bila keluarga setuju maka harus mengisi inform consent
c. Dokter jaga mengisi formulir pemeriksan, dan diserahkan ke petugas laboratorium.
d. Petugas laboratorium melakukan rujukan ke laboratorium yang dituju
BAB V
KESELAMATAN PASIEN

Keselamatan pasien klinik adalah suatu sistem dimana klinik membuat asuhan pasien
lebih aman yang meliputi asesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar
yaitu:
1. hak pasien
2. mendidik pasien dan keluarga
3. keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien tindakan yang
seharusnya diambil
1. Standar I. Hak pasien
Standar:
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana
dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Kriteria:
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan
benarkepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan
atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
2. Standar II. Mendidik pasien dan keluarga
Klinik harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan
pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di klinik harus ada
sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasiendalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan
keluarga dapat :
1. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan klinik
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
3. Standar III.
Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan Standar :
Puskesmas menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan
menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
1. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien
masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan,
rujukan dan saat pasien keluar dari puskesmas.
2. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap
pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
3. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk
memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,
konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
4. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
4. Standar IV. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi danprogram peningkatan keselamatan pasien
Standar:
Klinik harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis
secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja
serta keselamatan pasien.
Kriteria:
Setiap klinik harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu
padavisi, misi, dan tujuan puskesmas, kebutuhan pasien, petugas pelayanan
kesehatan, kaidah klinisterkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien klinik.
1. Setiap klinik harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara
lain terkaitdengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi,
mutu pelayanan, keuangan.
2. Setiap klinik harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden, dan
secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.
3. Setiap klinik harus menggunakan semua data dan informasi hasil
analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan
keselamatan pasien terjamin.
5. Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar:
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secaraterintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah
Menuju Keselamatan Pasien klinik.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko
keselamatanpasien dan program menekan atau mengurangi insiden.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit
dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan
pasien.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji, dan meningkatkan kinerja klinik pratama serta meningkatkan
keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja klinik dan keselamatan pasien
Kriteria:
a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden.
c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen
dari klinik terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan
pasien.
d. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yangterkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan
penyampaian informasi yang benar danjelas untuk keperluan analisis.
e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden termasukpenyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis
Akar Masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian
Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden,
misalnya menangani“Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan
proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung
staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”.
g. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan di dalam klinik dengan pendekatan antar disiplin.
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan
perbaikan kinerja klinik dan perbaikan. keselamatan pasien, termasuk
evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
i. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untukmengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja puskesmas dan
keselamatan pasien, termasuk rencanatindak lanjut dan implementasinya.
6. Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar:
1. Klinik memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara
jelas.
2. Klinik menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untukmeningkatkan dan memelihara kompetensi staf
serta mendukung pendekatan interdisiplinerdalam pelayanan pasien
Kriteria:
3. Setiap klinik harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi
bagi staf baruyang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya
masing-masing.
4. Setiap klinik harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap
kegiatan-service training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan
insiden.
5. Setiap harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama
kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan
kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7. Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan
pasien Standar:
1. klinik merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasienuntuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal.
2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
a. Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untukmemperoleh data dan informasi tentang halhal terkait
dengan keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi
untuk merevisi manajemen informasi yang ada
SASARAN KESELAMATAN PASIEN
SASARAN I : KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN
Standar SKP I
Klinik mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan ketelitian
identifikasi pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran I
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir
semuaaspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada
pasienyang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar,
bertukar tempattidur/kamar/ lokasi di puskesmas, adanya kelainan sensori, atau akibat
situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu:
pertama, untuk identifikasi
Pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua,
untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki
prosesidentifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian
obat,darah,atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis; ataupemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau
prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti
nama pasien, nomor rekam medis,tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code,
dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi.
Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di
lokasi yang berbeda di klinik, seperti dipelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang
operasi termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif
digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan
semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.
Elemen Penilaian Sasaran I
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak
bolehmenggunakannomorkamar atau lokasi pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis.
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada
semua situasi dan lokasi.
SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
Standar SKP II
Klinik mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar
para pemberi layanan.
Maksud dan Tujuan Sasaran II
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh
pasien,akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien.
Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah
terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui
telepon.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil
pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon
ke unit pelayanan Klinik secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (atau memasukkan ke komputer)
perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian
penerima perintah membacakan kembali (read back). perintah atau hasil pemeriksaan; dan
mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan
dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan
pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi
gawat darurat di IGD atau ICU.
Elemen Penilaian Sasaran II
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan
secara lengkap oleh penerima perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap
oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi lisan
atau melalui telepon secara kofrehensif
SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI
(HIGH-ALERT)
Standar SKP III
Klinik mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat
yanperlu diwaspadai (high-alert).
Maksud dan Tujuan Sasaran III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan
secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-
alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan
serius(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
(adverseoutcome)
Seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah
pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml
atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebihpekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat
=50% atau lebih pekat).
Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit
pelayanan pasien, atau bila perawat tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum
ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi
atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat
yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan
pasien ke farmasi. Klinik secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di
klinik. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan
elektrolit konsentrat, seperti di IGD, serta pemberian label secara benar pada elektrolit
dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut,
sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati.
Elemen Penilaian Sasaran III
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan
lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara
klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area
tersebut sesuai kebijakan.
SASARAN V : PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN
KESEHATAN
Standar SKP V
Klinik pratama mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi
risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan
Maksud dan Tujuan Sasaran V
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan
kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayana
kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional
pelayanan kesehatan.
Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi
saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia ( sering
kalidihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-
infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
Pedoman hand hygiene
bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasinasional dan internasional. klinik
mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau rosedur yang
menyesuaikan atau petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk
implementasi petunjuk itu di klinik.
Elemen Penilaian Sasaran V.
1. Klinik pratama mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygieneterbaru yang
diterbitkandan sudah diterima secara umum (al.dari WHOPatient Safety).
2. klinik pratama menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
SASARAN VI : PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH
Standar SKP VI
Puskesmas mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera
karena jatuh.
Maksud dan Tujuan Sasaran VI
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap.
Dalam konteks populasi / masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan
fasilitasnya, klinik perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi resiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya
jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut
harus diterapkan klinik pratama.

Elemen Penilaian Sasaran VI.


1. klinik menerapkan proses asesment awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan
melakukanasesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan, dan lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada
hasil asesment dianggap berisiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh
dandampak dari kejadian tidak diharapkan.
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di klinik.
PRINSIP UMUM PENCEGAHAN INFEKSI
1. PENCEGAHAN INFEKSI
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan tenaga kesehatan untuk mencegah
penularanpenyakit dari atau kepada pasien di fasilitas kesehatan.
2. MENJAGA KEBERSIHAN TANGAN
a. Jaga agar kuku jari-jari tangan tetap pendek. Tutup luka di tangan dengan bahan kedap
air.
b. Selalu bersihkan tangan pada situasi-situasi berikut ini:
 Sebelum dan sesudah menyentuh pasien.
 Sebelum memegang alat/instrumen invasif, baik ketika mengenakan sarung
tangan maupun tidak.
 Setelah kontak dengan cairan tubuh atau ekskresi, membran mukosa, kulit yang tidak
kontak, atau kasa penutup luka.
 Ketika berpindah dari satu bagian tubuh yang terkontaminasi ke bagian tubuh lain
dari pasien yang sama.
 Setelah kontak dengan permukaan objek yang bersentuhan dengan pasien
(termasuk peralatan medis).
 Setelah melepas sarung tangan (steril maupun non-steril).
Jika tangan tidak terlihat kotor, gunakan pembersih tangan berbahan dasar
alcohol (alcohol-based handrub).
 Jika tangan tidak terlihat kotor namun pembersih tangan berbahan dasar
alkohol tidak tersedia, cucilah tangan dengan sabun dan air bersih
mengalir.
 Jika tangan terlihat kotor, atau bila terkena darah/cairan tubuh, atau setelah
menggunakan toilet, cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir.
 Cuci tangan juga dianjurkan bila dicurigai ada paparan terhadap patogen
berspora, misalnya pada wabah Clostridiumdifficile. Lakukan teknik mencuci
tangan sesuai BAGAN 1 selama 40-60 detik. Sebelum menangani obat-obatan atau
menyiapkan makanan, bersihkan tangan dengan pembersih tangan berbahan dasar
alkohol atau cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir. Bila di fasilitas
kesehatan tidak tersedia keran dengan air bersih mengalir, letakkan ember berisi air
bersih di tempat yang cukup tinggi dan berikan keran di dasar ember sehingga air bisa
mengalir keluar untuk cuci tangan.
PEMBERIAN INFORMASI KEPADA PASIEN
Pemberian informasi kepada pasien adalah kewajiban pemberi layananan dan merupakan
hak dari pasien.
kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien :
a) Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati
b) Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan
c) Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk pilihan
untuk tidak diobati
d) Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau pengobatan
yangdilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan nyeri, bagaimana pasien
seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan, termasuk efek samping yang biasa terjadi dan yang serius
e) Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan/keuntungan dan
tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan risiko yang serius
atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut.
f) Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih eksperimental.
g) Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor
atau dinilai kembali
h) Nama dokter yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut, serta
bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya
i) Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka
sebaiknyadijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan
j) Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu. Bila hal
itu dilakukan maka pasien bertanggung jawab penuh atas konsekuensi pembatalan tersebut.
k) Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain.
l) Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya
KOMUNIKASI DAN KONSELING
Dalam berkomunikasi dengan ibu, tenaga kesehatan perlu memegang prinsip-prinsip
berikut ini:
1. Buat ibu merasa nyaman dan diterima dengan baik. Bersikap ramah, senantiasa
menghargai, dan tidak menghakimi.
2. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti dan sederhana. Setiap kali hendak
melakukan pemeriksaan atau prosedur/tindakan klinis, minta persetujuan dari ibu
dan jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Rangkum informasi-informasi yang penting termasuk informasi mengenai hasil
pemeriksaan laboratorium rutin dan pengobatan.
4. Pastikan ibu mengerti tanda-tanda bahaya/kegawatdaruratan, instruksi pengobatan,
dankapan ia harus kembali berobat atau memeriksakan diri. Minta ibu mengulangi
informasi tersebut, atau mendemonstrasikan instruksi pengobatan.
5. Lakukan konseling, anamnesis, maupun pemeriksaan di ruang yang pribadi dan tertutup
dari pandangan orang lain. Pastikan bahwa ketika berbicara mengenai hal yang
sensitif/pribadi, tidak ada orang lain yang dapat mendengar pembicaraan tersebut.
6. Minta persetujuan ibu sebelum berbicara dengan keluarganya.
7. Jangan membahas rahasia ibu dengan rekan kerja ataupun pihak lain.
8. Pastikan semua catatan sudah dilengkapi dan tersimpan dengan rapi serta
terjaga kerahasiaannya.
9. Batasi akses ke dokumen-dokumen yang memuat informasi terkait ibu hanya kepada
tenaga kesehatan yang berkepentingan.
10. Seringkali informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan tidak diterapkan atau
digunakan olehibu karena tidak dimengerti atau tidak sesuai dengan kondisi ataupun
kebutuhan mereka. Hal inidapat terjadi karena komunikasi yang terjadi antara tenaga
kesehatan dan ibu terjadi hanya satuarah sehingga ibu tidak mendapatkan
dukungan yang cukup untuk menerapkan informasi tersebut.
11. Konseling merupakan proses interaktif antara tenaga kesehatan dan ibu serta
keluarganya.Selama proses tersebut, tenaga kesehatan mendorong ibu untuk saling
bertukar informasi danmemberikan dukungan dalam perencanaan atau pengambilan
keputusan serta tindakan yangdapat meningkatkan kesehatan ibu.
LANGKAH-LANGKAH KONSELING
1. Ajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengerti situasi ibu dan latar
belakangnya.Lakukan klarifikasi bila diperlukan dan jangan menghakimi.
2. Identifikasi kebutuhan ibu, masalah ibu, dan informasi yang belum diketahui
ibu.Pelajari setiap masalah yang ada serta dampaknya terhadap berbagai pihak (ibu,
suami, keluarga, komunitas, tenaga kesehatan, dan sebagainya).
3. Tanyakan pendapat ibu mengenai solusi alternatif apa yang dapat dilakukan
untuk menyelesaikan masalah yang ia hadapi.
4. Identifikasi kebutuhan ibu terhadap informasi, sumber daya, atau dukungan lain untuk
memecahkan masalahnya.
5. Susun prioritas solusi dengan membahas keuntungan dan kerugian dari
berbagaialternatif pemecahan masalah bersama ibu.
6. Minta ibu untuk menentukan solusi apa yang paling memungkinkan untuk mengatasi
masalahnya.
7. Buatlah rencana tindak lanjut bersama.
8. Evaluasi pelaksanaan rencana tindak lanjut tersebut pada pertemuan konseling
berikutnya.
KETERAMPILAN KONSELING
Komunikasi dua arah
Ketika tenaga kesehatan ingin agar sebuah informasi diterapkan oleh ibu atau
keluarganya, proses konseling dan komunikasi dua arah harus berjalan. Misalnya, ketika
menentukan di mana ibu harus bersalin dan bagaimana ibu bisa mencapai fasilitas kesehatan
tersebut.
Membina suasana yang baik
Tenaga kesehatan dapat membangun kepercayaan dan suasana yang baik dengan ibu
misalnya dengan cara menemukan kesamaan-kesamaan dengan ibu dalam hal usia, paritas,
daerah asal,atau hal-hal kesukaan.
Mendengar dengan aktif
Ketika ibu berbicara, tenaga kesehatan perlu memperhatikan informasi yang
diberikan dan menunjukkan bahwa informasi tersebut sudah dimengerti. Tanyakan
pertanyaan yang berhubungan dengan informasi yang ibu berikan untuk mengklarifikasi
pemahaman bersama.
Ulangi informasi yang ibu sampaikan dalam kalimat yang berbeda untuk mengkonfirmasi
dan rangkum butir-butir utama yang dihasilkan dari percakapan.
Mengajukan pertanyaan
Dalam berkomunikasi, kita mengenal dua jenis pertanyaan:
• Pertanyaan tertutup
memiliki jawaban pasti dan biasa dipakai untuk mendapatkan data riwayat kesehatan ibu,
misalnya: “Berapa usia Anda?” atau “Apakah Anda sudah menikah?”
• Pertanyaan terbuka
menggali informasi terkait situasi, emosi, perasaan, sikap,pengetahuan, maupun
kebutuhan ibu, misalnya “Apa yang Anda rasakan setelah melahirkan?” atau
“Ceritakanlah mengenai persalinan terakhir Anda
” Hindari pertanyaan yang bersifat sugestif.
Contoh:
× SALAH: “Apakah suami Anda memukuli Anda?”
√ BENAR: “Bagaimana munculnya memar-memar ini?”
Ajukan pertanyaan yang tidak menghakimi dan memojokkan ibu. Contoh:
× SALAH: “Mengapa Anda tidak segera datang kemari ketika Anda tahu Anda hamil?”
√ BENAR: “Baik sekali Anda mau datang untuk memeriksakan kehamilan Anda saat ini.
Apakah ada alasan yang membuat Anda tidak bisa datang sebelumnya?”
Memberikan informasi Sebelum memberikan informasi, tenaga kesehatan harus
mengetahui sejauh mana ibu telahmemahami informasi yang akan disampaikan dan
memberikan informasi baru yang sesuaidengan situasi ibu.
Contoh:
Bidan: “Apakah Ibu sudah mengerti bagaimana Ibu harus merawat diri selama
kehamilan”?
Bidan: “Betul sekali Bu. Selain itu, ada pula beberapa jenis makanan tertentu yang perlu
Ibu konsumsi lebih banyak. Apa Ibu sudah tahu makanan apa saja itu”?
Ibu: “Sayur, daging”...
Bidan: “Ya, benar. Makanlah lebih banyak sayur dan daging, juga buah, kacang-
kacangan, ikan,telur, keju, dan susu. Ibu tahu mengapa Ibu perlu
mengkonsumsinya”?
Ibu: “Agar bayinya sehat”.
Bidan: “Ya, makanan-makanan itu akan mendorong pertumbuhan bayi dan menjaga Ibu
tetap sehat. Apakah ada lagi yang ingin ibu tanyakan mengenai apa yang harus
ibu makan selama hamil”?
Fasilitasi Penting diingat bahwa konselor tidak boleh memaksa ibu untuk mengatasi
masalahnya dengansolusi yang tidak sesuai dengan kebutuhan ibu. Bimbinglah ibu
dan keluarganya untuk menganalisa kelebihan dan kekurangan dari setiap pilihan yang mereka
miliki dan memutuskan sendiri pilihannya.
PERSETUJUAN TINDAKAN, PERSETUJUAN TERTULIS DIPERLUKAN PADA
KEADAAN-KEADAAN SBB:
Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping yang
bermakna. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi Bila tindakan
kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukankepegawaian atau
kehidupan pribadi dan sosial pasien Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu
penelitia
C.TATA LAKSANA
a. Memberikan pertolongan pertama sesuai dengan kondisi yang terjadi pada pasien
b. Melaporkan pada dokter jaga UGD
c. Memberikan tindakan sesuai dengan instruksi dokter jaga
d. Mengobservasi keadaan umum pasien
e. Mendokumentasikan kejadian tersebut pada formulir “ Pelaporan Insiden
Keselamatan

Anda mungkin juga menyukai